Bab 1.
Diduga Terkait Prostitusi Online, Polisi Tangkap Artis Berinisial ZA di Hotel Mewah Jakarta Pusat – Breaking News.
Dari informasi yang didapat, ketiga tersangka diduga dua orang muncikari dan seorang artis berinisial ZA.
Hingga detik ini, belum ada keterangan dari polisi terkait kabar berikut.
Rayyan meletakkan ponselnya di meja setelah membaca berita viral baru-baru ini dan wara-wiri muncul di beranda sosial medianya. Dia pun tak habis pikir, wanita yang beberapa hari belakangan ini dekat dengannya itu, ternyata adalah seorang ....
Ya, sedemikian buruknya wanita berinisial ZA yang dia kenal baik-baik, walau pengetahuan agamanya cukup minim.
“Nggak aku sangka, ternyata kamu seperti itu. Aku pikir, kamu wanita baik-baik. Ternyata bukan. Salah kalau aku sedikit berharap bahwa kamu sudah berubah.”
Agak kesal, pria berusia 26 tahun kemudian mengemas buku-bukunya yang ada di meja untuk segera pergi dari tempat itu. Tepatnya di cafe milik keluarganya sendiri. Dia memang suka belajar di sana karena suasananya lebih menyenangkan dibandingkan di rumahnya sendiri. Sebab, ia selalu terganggu oleh suara berisik ketiga adik-adiknya.
Tapi saat ia beranjak keluar, wanita yang baru saja diberitakan demikian, justru muncul di hadapannya. Dia adalah Zara Angel Purnawirawan, kerap disapa Zara oleh orang-orang termasuk dirinya. Usianya hampir menginjak 30 tahun, usia yang sudah sangat dewasa bagi seorang perempuan. Tetapi masih sangat kekanakan dan mempunyai hidup tak terarah karena kurangnya kasih sayang dari orang tuanya.
Zara berpakaian tertutup memakai selendang yang hanya di sampirkan di kepalanya. Rayyan yakin, dia berpenampilan demikian hanya saat berada di hadapannya saja. Karena berdasarkan foto-foto yang beredar, Zara selalu memakai pakaian biasa saat melakukan syuting.
“Assalamualaikum, Ustaz,” sapanya tersenyum.
“Waalaikumsalam.”
“Aku tahu Ustaz pasti di sini, lagi belajar buat kajian nanti malam. Aku mau ngembaliin ini.” Wanita yang berinisial ZA tersebut mengulurkan buku fiqih wanita yang dipinjamkannya beberapa waktu yang lalu, “Aku sudah membacanya sampai habis dan hampir menghafal semuanya. Makasih, ya!”
“Kamu simpan saja,” jawab Rayyan enggan menerimanya.
“Oh, ini buat aku?” tanya wanita itu memastikan dan melihat pria di hadapannya tersebut menganggukkan kepala, “ya sudah, sekali lagi makasih. Next aku akan baca-baca lagi kalau aku lupa. Kamu mau pulang?”
“Sudah, kan?” tanya Rayyan, “apa ada lagi yang mau kamu bicarakan?”
Senyum di wajah Zara langsung memudar, pria yang selama ini di kenalnya ramah itu tiba-tiba berubah menjadi dingin dan berbeda. Apa aku pernah berbuat salah? Batinnya menduga-duga.
“Nggak ada,” jawab Zara menundukkan kepala. Dari wajahnya, wanita itu terlihat sedikit kecewa.
“Ya, sudah. Saya mau pulang,” ujar Rayyan melangkahkan kaki meninggalkan wanita yang tengah terdiam kebingungan.
Tak ingin di dera rasa penasaran, Zara pun mengejarnya dan refleks memanggilnya tanpa menyematkan sebutan, “Rayyan!”
Rayyan sontak berhenti dan menoleh.
“Tunggu.”
“Aku pikir, kita tidak punya urusan. Kalau kamu mau memahami ilmu agama lebih jauh, kamu bisa masuk ke pesantren atau kalau bisa datangi kajian di mana pun ada. Jangan mengejarku seperti ini, seolah aku punya hutang sama kamu.”
“Ngejar?” tanya Zara tak habis pikir. Pertemuan mereka selama ini Zara yakini bukan karena dia mengejarnya—tetapi hanyalah sebuah kebetulan.
“Aku nggak ngejar kamu. Aku cuma mau ngembaliin buku ini.” Zara menunjukkan buku yang masih ada di tangannya. “Maaf kalau aku membuatmu kurang nyaman.”
Tak kunjung mendapatkan respons, Zara kembali berkata, “Ray, kalau aku punya salah, aku minta maaf.”
Rayyan menatapnya sekilas. Terdengar decakan halus setelah pria itu menggelengkan kepalanya serupa orang yang tengah keheranan melihat perilaku yang tidak menyenangkan, sebelum akhirnya kembali melangkah pergi.
“Rayyan!” panggil Zara tak suka diabaikan seperti itu. Tapi kali ini, Rayyan menoleh dengan rahang yang mengeras. Terlihat pria itu menahan semburat amarah yang membuat Zara semakin bingung. Apa yang salahnya?
Agak lama Rayyan terdiam, sebelum kini ia berujar dengan suara pelan, namun begitu menekan, “Jangan pernah sebut namaku lagi, apalagi di depan umum.”
DEG....
Bagaikan dipelintir. Air mata Zara langsung luruh sepersekian detik setelah mendengarkan pernyataan itu.
“Aku ingatkan sekali lagi, jangan pernah sebut namaku,” Rayyan mengulang dengan tegas.
“Tapi apa salahku? Kalau ada, beritahu supaya aku bisa introspeksi.”
“Anggap saja kita tidak pernah mengenal.”
“Kenapa?” tanya Zara dengan lelehan air mata yang tidak lagi dapat ia bendung, “apa kamu takut reputasimu sebagai seorang ustaz akan hancur kalau mereka tahu kamu berteman dengan pendosa sepertiku?”
Rayyan terlihat menelan salivanya, namun tidak berkeinginan untuk membuka suara apa pun selain pergi dari hadapannya. Hingga kemudian, berlalu begitu saja. Meninggalkan Zara yang masih berdiri di tempat tadi.
‘Apa aku serendah itu di matamu?’ batin Zara amat nyeri, ‘semua orang pun akan malu berteman denganku karena berita murahan itu.’
Pada saat terjadi penggerebekan, kebetulan Zara memang berada di sana untuk urusan pertemuan dengan seseorang. Tetapi malah di duga sebagai salah satu tersangka. Dia baru menyadari bahwa dirinya dijebak oleh orang-orang setelah dia tahu, orang yang dijanjikan tidak kunjung datang.
Zara dilepaskan setelah terbukti tidak bersalah. Namun, berita sudah terlanjur tersebar, dan namanya sudah terlanjur buruk. Terlebih selama ini Zara dikenal sebagai artis kontroversial. Membuat apa yang dilakukannya selalu salah dan panen hujatan. Mungkin bernapas saja salah, pikirnya.
Dari beberapa kasus, ada yang paling dikecam; meng-endorse kosmetik palsu, operasi plastik, silang pendapat dengan netizen, perseteruannya dengan artis lain, dan yang terakhir, terlibat kasus prostitusi. Celakanya, semua orang malah justru mengira ia membayar orang-orang berseragam tersebut untuk membebaskannya.
Usai Rayyan pergi dari hadapannya, Zara pun kembali masuk ke dalam mobilnya yang ada di tempat parkir. Dia menangis di dalam sana sejadi-jadinya. Entah kenapa dia begitu sedih hari ini. Perkataan Rayyan barusan yang terdengar begitu menyakiti hatinya. Dan dia menyadari ada perasaan lain yang mulai tumbuh—lebih dari sekadar teman.
“Kenapa semua orang membenciku? Apa aku nggak pantas berteman dengan siapa pun?”
Zara kemudian menyetir mobilnya ke sebuah apotek. Memakai masker dan kerudung agar tak dikenali oleh orang-orang, dia pun turun untuk membeli paracetamol sebanyak mungkin. Sesampainya di rumah, dia pun menenggaknya dalam satu waktu secara bersamaan.
Banyak sekali beban dan masalah yang dia pikirkan. Entah sebuah ide konyol dari mana—tetapi ia yakin cara ini bisa mengakhiri semua penderitaannya selama ini. Ya, dia harapnya demikian.
Hingga beberapa menit kemudian, wanita itu menunjukkan tanda-tanda atau reaksi yang dia harapkan. Sakit perut, mual, diare, kemudian nyeri dada yang teramat sangat. Sampai akhirnya, tubuhnya mulai lemah dan ambruk di lantai kamar dengan mulut berbusa.
***
Selamat datang di cerita terbaruku, semoga suka. Jangan lupa tekan like, love, komen dan share sebagai bentuk dukunganmu terhadap cerita ini.
Bab 2.
Rayyan baru saja tiba di rumahnya. Di sana, dia langsung disambut oleh mamanya di depan pintu.
“Waalaikumsalam, Nak,” jawab beliau begitu Rayyan mengucapkan salam. Kemudian, mencium tangan ibundanya yang masih cantik di usia hampir lima puluh tahunan tersebut.
“Tumben sepi, pada ke mana, Ma?” ujar Rayyan bermaksud menanyakan ketiga adik-adiknya.
“Lagi pada pergi semua, ada yang tugas kuliah, ada yang lagi main sama teman-temannya, ada yang pergi sama Papa beli makanan di luar.”
Setelah duduk, pria itu langsung disuguhi dengan minuman hangat di depannya. Dia paham, kalau sudah seperti ini, pasti mamanya akan menyampaikan sesuatu. Terlebih, beliau sudah duduk di sebelahnya sekarang.
“Ada apa, Ma?” tanya Rayyan agar mamanya langsung mengatakannya sekarang juga.
“Kamu selalu tahu kalau Mama punya unek-unek,” Vita tersenyum dan mengusap pundak putranya, “ya, memang ada hal yang ingin Mama sampaikan sama kamu. Ini soal kamu sama Zara.”
Rayyan sempat terkesiap saat mamanya menyebut nama itu. Wanita cantik yang belakangan ini menghiasi hari-harinya.
“Sejauh apa hubunganmu dengannya?”
“Kami nggak pernah ada hubungan apa-apa, Ma,” jawab Rayyan membuat mamanya bernapas lega.
Bukan tanpa sebab Vita bertanya demikian. Dia sering melihat foto-foto putranya dan juga wanita itu di program atau acara yang sama. Bahkan tak sedikit komentar-komentar yang menjodohkan keduanya dan berharap Rayyan dapat mengubah Zara menjadi lebih baik. Vita seorang yang sangat perasa dan sangat mengenali anaknya melebihi dirinya sendiri. Ada tatapan berbeda ketika mereka sedang berbicara berdua.
Ini yang dia khawatirkan, Zara adalah seorang publik figur yang tak mempunyai prestasi selain kontroversi. Dia tidak setuju jika anaknya bersanding dengan wanita seperti itu. Ada banyak perempuan baik di luar sana yang bisa Rayyan pilih.
Semua orang tua hanya menginginkan yang terbaik. Dia sudah lelah dalam mengurusnya siang dan malam, mendidiknya dengan penuh ke hati-hatian, membiayainya sekolah di luar negeri. Rasanya kalau bisa menentukan, bukan demikian menantu yang dia inginkan. Terlebih—usia Zara jauh lebih tua dibandingkan dengan putranya. Ya—meskipun andai dilihat-lihat cocok dan sebaya dengan Zara Angel. Sudah menjadi rahasia umum, seorang artis pasti mempunyai perawatan mahal dibalik penampilan sempurnanya.
“Maaf ... tidak seharusnya Mama bertanya seperti itu. Tapi terus-terang, ini yang kami khawatirkan semenjak kemarin.”
“Nggak papa, Ma,” jawab Rayyan tersenyum memandang wanita pertama yang dicintainya.
“Bagaimana hubunganmu dengan Hamidah?” tanya Vita lagi.
Hamidah adalah wanita yang sudah disematkan cincin pertunangan beberapa bulan lalu dari perjodohan kedua orang tuanya. Ya, mereka saling mengenal dan berteman cukup baik. Yudha dan Vita sendiri tidak pernah memaksa anaknya untuk menerima. Sebab andai tidak pun, mereka tidak masalah. Mereka hanya khawatir, di usia yang sudah sejauh ini, anaknya belum pernah terlihat dekat dengan seorang perempuan.
Namun pada saat itu Rayyan menyetujui karena yakin, orang tuanya tahu yang terbaik untuk dirinya—dan cinta, pasti akan datang kalau sudah terbiasa.
Tetapi hingga saat ini, Vita dan Yudha melihat hubungan mereka masih abu-abu. Keduanya tidak terlihat sungguh-sungguh untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.
“Apa sudah tidak bisa diperbaiki lagi?” Vita khawatir, putranya menjadi sosok pengecut yang tidak mau bergerak untuk membuat semua ini menjadi jelas.
“Dia sendiri yang memutuskan tali silaturahmi dengan memblokir kontak ponselku, tanpa aku tahu penyebabnya. Saat aku temui, keluarganya selalu bilang nggak ada. Aku nggak tahu harus apa.”
“Mama minta kamu cepat selesaikan masalahmu. Jangan dibiarkan seperti ini, harus ada kejelasan.”
“Tapi untuk sementara ini aku belum bisa. Masih sibuk, Ma. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan. Nggak enak kalau harus terus bolak-balik ke rumahnya. Nggak dihargai itu malu.”
“Iya, Mama tahu,” kata Vita akhirnya mengerti kegundahan hati putra pertamanya. Keduanya berbicara banyak hal tentang kegiatan mereka hari ini dan apa saja rencana adik-adik mereka ke depannya dengan membiarkan TV di depan mereka tetap menyala.
“Umar mau S2 di Yaman. Zunaira tetap di sini, tapi kalau Mauza mau langsung menikah saja katanya,” ujar Vita membuat Rayyan terkekeh.
“Masih kecil, sudah punya cita-cita menikah.”
“Dia sudah malas sekolah atau mikir lagi. Dia ingin punya suami seperti papanya atau kakaknya katanya, biar tidak perlu susah-susah sekolah. Jadi kalau mau tahu banyak hal, tinggal belajar saja dari suaminya.”
“Semoga saja begitu.”
“Mauza memang beda. Kembar itu sama bar-barnya seperti opa kalian. Kalau Zunai mode kalem. Mama sama Papa hati-hati sekali kalau bicara sama dia. Dia itu hatinya lembut sekali. Gampang tersentuh. Duh, Mama sama Papa nggak rela kalau Zunai berjodoh sama orang kasar. Ke depannya kalau mau menerima lamaran orang harus selektif.”
Rayyan hanya tersenyum dan menganggukkan kepala menanggapi ucapan mamanya. Tapi kali ini pembicaraan mereka terhenti sebab mendengar berita yang tak lain dari layar televisi. Yang menerangkan bahwa:
“Diduga bunuh diri, artis bernama Zara Angel tenggak 17 tablet obat hingga overdosis. Zara ditemukan terkapar di lantai kamar rumahnya sendiri dengan kondisi mulut berbusa. Kondisinya saat ini masih dalam keadaan kritis dan sudah dibawa di rumah sakit Adyaksa.”
“Ya Allah ... Innanilah,” ujar Vita terkejut menatap televisi dengan mengatupkan kedua tangannya. Tak menyangka, bahwa artis yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini karena kasusnya, kini memilih untuk mengakhiri hidup.
Demikian yang dirasakan oleh Rayyan. Dia pun sama-sama syok meski pria itu tak menunjukkannya. Padahal beberapa jam yang lalu, mereka baru saja bertemu. Sontak ia merasa begitu bersalah karena pertemuan mereka barusan sangat buruk.
‘Ya Rabb ... apa ucapan dan perlakuanku terhadapnya barusan terlalu berlebihan?’
“Semoga saja dia masih selamat, ya,” ujar Vita lagi, “pasti dia depresi berat karena kabar berita kemarin. Entah itu benar atau tidak, tapi kasihan juga, sih. Mungkin semua orang punya dosa, tapi kalau aibnya diketahui semua orang pasti sedihlah.”
Rayyan dilema. Ingin menjenguknya, namun takut beritanya muncul di media dan mengira mereka ada hubungan. Tapi kalau tidak menjenguk, dia merasa bersalah.
“Aku mau masuk ke dalam dulu, Ma,” kata Rayyan sangat terburu-buru dan segera masuk ke dalam kamar. Di sana, dia langsung mencari kontak ponsel Zara untuk menghubunginya. Dia yakin Zara sedang bersama asisten atau manajernya sekarang.
“Iya, siapa ini?” sahut suara dari seberang begitu telepon tersambung.
“Apa tidak ada namaku di sana?”
“Hanya ada huruf R di sini.”
“Namaku Ray, aku hanya salah satu teman laki-lakinya yang ingin mengetahui bagaimana kabar Zara sekarang.”
“Zara masih berada di IGD, untuk kabarnya sendiri saya pun belum bisa memastikan,” tegasnya.
“Apa saya bisa menemuinya?”
“Maaf, untuk beberapa hari ini belum bisa. Ada lagi yang mau dibicarakan? Kalau tidak ada, saya tutup.”
“Baik, terima kasih.”
Telepon ditutup. Dia mengusap wajahnya frustrasi, “Ya Allah, maafkan aku yang terlalu sombong ini ... pasti dia syok dengan perkataan ku.”
Oleh karenanya, Rayyan segera bersiap. Mengambil kunci motor dan menuju ke rumah sakit tempat Zara ditangani tanpa peduli Grace menolaknya.
Bab 3.
Sejumlah anggota satuan pengamanan Rumah Sakit Adyaksa, Jakarta Timur melarang wartawan meliput di areal rumah sakit. Hal ini dilakukan, menyusul adanya kasus bunuh diri artis cantik Zara Angel, yang dilarikan ke rumah sakit ini.
Untuk berada di areal rumah sakit saja sudah mendapat perlakuan sinis. Apalagi untuk mengambil gambar, hal itu sangat dilarang.
Salah satu oknum Satpam melarang wartawan menjalankan tugas jurnalistiknya, “Jangan ambil gambar dulu ya, Pak,” kata dia seraya menghalangi kamera. Sebab rumah sakit berwenang untuk membuat kebijakan dan larangan untuk tidak mengambil foto atau video di lingkungan ini. Upaya bentuk larangan ini adalah untuk melindungi hak privasi dari semua pasien, termasuk melindungi rahasia medis pasien.
“Pak bisa di luar saja dulu,” titah salah seorang satpam yang lain mendorong tubuh mereka.
“Apa sudah ada kabar terbaru mengenai Artis Zara Angel?” seorang wartawan tetap menodongkan kamera berikut perekam suara.
“Kurang tahu saya. Tugas kami di luar,” jawab dia lagi.
Sementara di dalam, Zara masih berada dalam penanganan. Kondisinya dinyatakan kritis akibat mengonsumsi obat-obatan yang berlebih. Namun beberapa penanganan sudah dilakukan oleh para dokter. Yakni memasukkan tabung pernapasan, memompa perut untuk mengeluarkan zat dari dalamnya, memberikan cairan infus untuk membantu mempercepat pembuangan zat dari tubuh, berikut memberikan obat penawar agar Zara bisa segera kembali pulih.
Grace sendiri lega karena beberapa jam kemudian, Zara sudah dipindahkan ke ruang rawat. Menunggu atasannya tersebut sadarkan diri.
“Ada-ada saja, ya. Pakai bunuh diri lagi, nggak mikirin aku gimana nanti,” gumam Grace, lelaki setengah perempuan yang biasa mengatur semua jadwal aktivitas Zara selama ini. “Orang bisa mengira aku yang menyiksanya dengan memberikan jadwal yang terlalu padat.”
“Permisi,” ujar suara pria dari dekatnya membuat Grace sontak mendongak untuk melihatnya lantaran orang tersebut mempunyai tubuh sedikit lebih tinggi darinya. Dia berada di depan lift setelah membeli makanan dari bawah karena lapar yang tak tertahankan.
“Lah, Ustaz Ray. Jadi kamu yang menghubungi aku tadi?”
Rayyan menganggukkan kepala
“Kamu kok bisa masuk ke sini?”
Namun Rayyan mengabaikan pertanyaan Grace barusan, karena justru menanyakan hal lain yang lebih penting, “Gimana keadaan Zara sekarang?”
“Gimana kamu bisa masuk, sedangkan wartawan saja nggak bisa,” Grace masih saja bingung dengan kemunculan Rayyan yang secara tiba-tiba di hadapannya, “oh, iya, Zara sudah dipindahkan ke ruang perawatan.”
“Memangnya dia belum sadar?” tanya Rayyan sedikit panik.
“Belum,” jawab Grace lesu, “doakan dia, ya. Semoga lekas sadar. Kasihan. Dia pasti tertekan sekali dengan berita atau gosip-gosip yang beredar. Aku harap semua orang nggak menyalahkannya.” Grace menjawab demikian karena sama sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sebelum menemukan Zara terkapar di lantai kamar rumahnya.
“Apa keluarganya ada di dalam?” Rayyan bertanya lagi.
“Keluarga yang mana?” kata Grace agak menyentak, “nggak ada keluarga yang peduli sama dia, kecuali hartanya. Semua orang juga tahu, masa kamu enggak?” sadar suaranya terlampau tinggi, Grace kemudian merendah, “maaf, aku selalu emosi kalau bahas keluarga dia yang nggak tahu diri itu.”
“Apa kamu bisa menemani saya untuk menjenguknya?”
“Sebenarnya aku bingung kamu sepeduli ini sama dia—tapi ya, sudah, kalau Ustaz memang mau lihat saya antar. Tapi ingat, hanya sebentar,” tegas Grace memperingatkan.
Rayyan mengangguk, “Baik, terima kasih.”
Keduanya lantas masuk menuju ke ruang rawat VVIP. Di sana, Zara sedang terbaring di atas brankar dengan bibir pucat.
“Siapa yang membawanya ke sini tadi?” Rayyan bertanya setelah duduk di sofa yang di sediakan.
“Aku yang membawanya,” jawab Grace menunduk lesu, “aku nggak bisa bayangin kalau aku datang terlambat. Pasti Zara nggak akan tertolong.”
“Apa kamu tahu penyebab dia melakukan ini?” tanya Rayyan untuk memastikan dugaannya sendiri, apakah benar?
“Mana aku tahu? Awalnya, aku ke rumah Zara hanya ingin mengantarkan pakaian untuk pemotretan besok, tapi tahu-tahu pas datang, rumahnya sepi. Nggak lama setelah itu aku dengar gelas pecah di kamar. Dan kondisinya sudah seperti itu, mulutnya berbusa. Nggak nunggu lama aku langsung panggilkan ambulans ke sini,” papar Grace dengan runtut, “ributlah orang kompleks. Langsung viral berita Zara bunuh diri. Wartawan sudah nunggu aku buat klarifikasi di depan rumah sakit. Tapi aku abaikan. Biar saja sampai mereka capek, nanti kalau lapar juga pulang.”
Grace mengusap rambut panjangnya. Terus-terang dia amat frustrasi dengan kabar berita simpang siur Zara yang sedang beredar. Mungkin andai dia manajer lain, orang tersebut akan membuat gimmick untuk mencari simpatisan netizen dengan melakukan pembohongan publik supaya netizen tak terus-terusan membuly artisnya. Namun Grace tidak demikian, dia memilih untuk tak mengambil kesempatan ini karena yakin, semua berita akan redam dengan sendirinya.
Menurutnya, banyak klarifikasi akan menimbulkan banyak masalah lain—apalagi, kalau sampai salah berbicara. Toh, belum tentu mereka akan percaya. Yang ada ... masalah malah justru semakin bertambah runyam. Sebab pasti selalu ada saja media yang menggoreng beritanya.
Grace mengambil makanan yang dibelinya barusan, lalu mengunyah di depan Rayyan, “Sorry ya, aku nggak nawarin kamu makan juga. Nggak ada soalnya.”
“Nggak papa,” jawab Rayyan, “aku juga mau langsung pulang. Aku hanya mau memastikan saja bagaimana keadaannya. Syukur-syukur, secepatnya nanti ada kabar baik.”
“Makasih doanya,” jawab Grace agak bergumam karena mulutnya sedang penuh.
Usai Rayyan pergi, Grace pun kembali bergumam sendiri, “Kalau cinta ya bilang cinta, kalau sayang ya bilang sayang. Jangan bohongin diri sendiri. Kalau sudah punya tunangan ya, harus komitmen. Pastikan dan pilih salah satu. Nggak yang alim, nggak yang bad boy, semua sama aja. Aku dah pengalaman!”
🌺🌺🌺
Zara bangun karena tersedak oleh ludahnya sendiri. Pada saat membuka mata, dia langsung mendapati wajah Grace di sampingnya.
“Syukurlah kamu sudah sadar,” ujar Grace pada Zara yang membuka mulut hendak mengucapkan sesuatu.
“Kenapa aku masih hidup?”
“Jangan gila, deh. Masa cita-cita kepengen mati.”
“Aku memang sudah gila, Grace.”
“Hanya berita seperti itu saja kamu mau bunuh diri. Maaf, kalau aku bilang kamu itu bodoh. Justru namamu akan semakin bersinar kalau kamu tetap tenang dan tabah menghadapi berita ini. Buktikan ke mereka bahwa semua berita buruk ini nggak benar. Kamu percaya, kan? Semua bisa berubah, bahkan dalam sekejap sekalipun kalau Tuhan mau.”
‘Bukan itu saja masalahnya, Grace ... kamu nggak akan tahu bagaimana rasanya dibenci oleh orang yang kita cintai.’
Sejenak Zara tertegun. Hah? Cinta?
Ya, hatinya telah lancang melabuhkan hati kepada pria tersebut. Entah sejak kapan. Dia tidak tahu. Mungkinkah semenjak pertama kali mereka bertemu?
Beberapa menit kemudian, dokter dan suster datang memeriksa kondisi Zara setelah Grace menekan bel panggilan khusus yang terletak di atas kepala Zara.
“Tadi Ustaz Rayyan datang menanyakan keadaanmu,” ucap Grace memberitahu Zara yang langsung melebarkan mata bahagia. Namun hanya beberapa saat, karena beberapa detik berikutnya, Zara kembali meredup. Dia teringat ucapan Rayyan siang lalu yang melarangnya untuk menyebut namanya lagi—dan yang lebih menyakitkan, dia memintanya untuk melupakannya dan menganggapnya untuk tak pernah saling mengenal.
Sepertinya, mulai sekarang dia harus belajar melupakan. Karena Rayyan malu berteman dengan manusia buruk seperti dirinya.
***
Bersambung....
lanjut lagi gak?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!