Mata Viona membulat melihat keadaan Azve yang memprihatinkan. “Tidak… Azve…”
Darah merembes keluar dari tubuh laki-laki itu, pakaiannya sobek dan terdapat sisa-sisa terbakar dimana-mana. Namun, Azve masih berusaha memeluknya dengan erat seolah tidak ingin melepaskan.
Air mata jatuh di pipi Viona, suaranya bergetar saat berbicara “Tidak, ini salahku. Azve, maafkan aku.”
Azve menatap Viona yang berlinang air mata. Wajah yang selalu tanpa ekspresi milik Azve kini menghilang. Senyuman tipis terbit di wajahnya, mencoba menenangkan gadis di pelukannya “Jangan menangis Viona, ini bukan salahmu. Aku tidak apa-apa.”
Percakapan keduanya terputus kala suara Victor terdengar menginterupsi, “Ayolah, jangan lupakan aku.” Pria itu terbang mendekati keduanya dengan ekspresi cemberut, “kalian tidak kasihan padaku yang masih melajang di umur 30 tahun, huh? Pamer kemesraan di depanku membuat sakit hati!”
Azve mencoba menghalau Victor dengan sihir anginnya, supaya pria berambut hitam itu tidak mendekat lebih jauh. Hanya saja, sihirnya melemah. Victor dengan mudah menepisnya seolah itu bukan apa-apa lalu terbang lebih cepat untuk mencekik leher laki-laki itu.
“Tidak, hentikan. Kak Victor, lepaskan Azve!” suara lemah Viona terdengar berusaha menghentikan kakak tirinya.
Victor melirik Viona di dalam pelukan Azve, kedua tangan gadis itu yang diborgol oleh sihir masih memeluk leher Azve dengan erat. Pandangan matanya yang berusaha mengintimidasi, terlihat menyedihkan dengan bulir-bulir air mata yang tidak henti jatuh membasahi pipinya. Victor juga bisa melihat aliran energi di tubuhnya kacau.
Pria itu tersenyum miring, “Jika saja kamu mau bekerja sama sejak awal, Azve tidak perlu terluka.”
Tangan kiri Victor yang bebas menyentuh puncak kepala Viona dengan lembut. Tidak lama, napas Viona tercekat saat tangan penuh dengan bekas luka sayatan itu berada di kepalanya. Pandangan gadis itu semakin gelap ketika inti sihirnya mulai ditarik paksa oleh Victor.
“Anggap saja inti sihirmu adalah bayaran untuk perhatianku selama ini padamu, adikku.”
Azve menggeram marah, ia berusaha lepas dari genggaman pria dihadapannya. “Le-paskan tanganmu da-ri Viona!” teriak Azve dengan suara tercekat.
Seolah angin lalu, Victor mengabaikan Azve yang sudah kehabisan energi sihir. Ia fokus pada Viona, adik tirinya. “Selamat tinggal adikku, “ suara lembut Victor terdengar jelas di tengah kegelapan yang menyelimuti Viona, “di kehidupan selanjutnya, semoga kamu tidak bertemu kakak sepertiku lagi.”
“Tidak! Viona!”
Setelah itu, Viona tidak mampu mempertahankan kesadarannya.
- Tamat –
"UWAHHH BACA APAAN AKU INII!!"
Hampir saja Thalia melempar ponselnya karena kesal.
Gadis itu mengusap wajahnya kasar, menghapus air mata yang membuktikan bahwa ia sangat menghayati membaca cerpen tersebut. Cerpen berjudul 'Aku Tidak Butuh Sihir' itu membuat mata Thalia menjadi merah. Ia menatap layar ponsel dengan perasaan yang buruk.
Kenapa Victor tiba-tiba menjadi kakak yang jahat? Kenapa Azve tiba-tiba menjadi baik? Kenapa? Kenapa?! Kenapa kisah Viona begitu suram?!
Menyebalkan. Menyedihkan. Thalia sangat tidak suka akhir seperti ini. Apalagi ini hanyalah cerpen yang sangat singkat. Tidak ada detail yang memuaskan rasa penasarannya. Hanya alur singkat yang tidak lebih dari dua ribu kata.
Tahu bahwa tatapan tajamnya tidak akan mengubah akhir cerita, Thalia menghela napas. "Dah lah, makan aja. Makan. Bodo amat cerita sad end kek gitu. Makan aja yang banyak."
Gadis itu meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian menyeruput mie cup instan di hadapannya. Beberapa cup berbaris di atas meja, setia menunggu disantap oleh Thalia. Hanya beberapa saat, cup di tangannya sudah kosong. Gadis itu terlihat kelaparan di saat moodnya hancur karena membaca cerpen.
Melihat hal itu, seorang karyawati minimarket yang sedang bertugas menghampiri Thalia kemudian duduk di kursi sebelahnya.
"Pelan-pelan makannya, entar keselek mampus."
Thalia meletakkan cup mie terakhirnya di atas meja. Tak peduli dengan penampilannya yang berantakan, ia menatap karyawati di sampingnya. "Naya jahat," Thalia menarik napas di saat hidungnya tersumbat, "aku tuh ceritanya lagi sediiih."
Karyawati itu bernama Naya, teman SMA Thalia dulu. Kini ia bekerja paruh waktu di minimarket dekat rumah Thalia. Oleh karena itu, mereka sering bertemu mengingat Thalia sangat sering belanja disini.
"Sedih sih sedih, tapi makannya jangan buru-buru gitu dong. Yang santai gitu loh. Kaya cewe cewe, jaim. Engga teriak-teriak. Untung engga banyak pelanggan yang dateng."
"Emang kenapa kalo banyak pelanggan yang dateng?!" Thalia membuka tutup botol air mineral, "kalo bukan kamu yang shift malem, mana berani aku disini jam 4 pagi kek gini. Lagian nih ya, orang gila mana sih yang nyuruh kamu shift malem sendirian?"
Naya tertawa mendengar komentar Thalia mengenai bosnya. Tiba-tiba ia terdiam dengan raut yang serius, "kalo bos gue orang gila, gue juga gila dong mau-maunya kerja sama dia."
Masih minum air, Thalia menatap Naya seolah mempertanyakan hal yang sudah jelas.
"Gue getok nih pala lu pake sapu."
"Pfftt!"
Kedua gadis yang duduk di dalam minimarket 24 jam ini terdiam dengan mata saling menatap. Menyadari situasi, perlahan Naya mengelap wajahnya yang dipenuhi air semburan dari mulut Thalia.
Merasakan bahaya, Thalia bangun dan mulai berlari menghindari Naya. "Maaaap, engga sengaja beneran Nay!"
Segera, Naya berlari mengejar Thalia. Aksi kejar-kejaran itu terekam cctv. Mereka berhenti ketika seorang pria memasuki minimarket. Pria dengan hoodie hitam itu terkejut melihat Thalia yang mendadak berhenti berlari di hadapannya.
"Ma-maaf, pak. Hehe, silahkan masuk aja pak." Ujar Thalia merasa canggung sekaligus malu. Ia yang sudah kuliah tertangkap basah masih bermain kejar-kejaran seperti ini. Pria itu tidak ambil pusing dan segera memasuki rak-rak di dekat kasir.
Naya yang sudah berada di balik meja kasir menatap Thalia tajam. "Udah sana pulang, emangnya pagi engga kuliah apa?"
Thalia melirik Naya, tangannya berpura-pura membereskan snack coklat di depan meja kasir untuk menetralisir rasa malunya. "Libur dong sampe bulan depan, makanya aku gabut engga tau mau ngapain."
Thalia menghela napas panjang, "Tau engga sih, Nay. Perasaan hidupku ini ngebosenin, kek datar banget. Kuliah, organisasi, panitia, ujian. Dah gitu-gitu aja," walaupun Thalia tiba-tiba curhat, Naya hanya diam mendengarkan keluh kesahnya. "ngapain kek ngapain gitu. Gabut banget."
Naya melirik ke arah pria yang membawa satu lusin buku dan beberapa alat tulis. Naya membiarkan Thalia melamun sementara dirinya melayani pembeli di sampingnya.
Semuanya berjalan normal seperti biasanya. Namun ketika Naya membuka laci penyimpanan uang, suara mengancam terdengar di depannya. "Keluarkan semua uang yang ada atau gadis ini ku tembak!"
Sontak Naya mendongak, jantungnya seolah jatuh dari tempatnya saat ia melihat Thalia membeku di bawah todongan senjata api.
Thalia tidak berani bergerak sedikitpun. Ia dengan jelas merasakan benda dingin menempel di belakang kepalanya. Pikirannya kacau. Rasa takut menyelimuti seluruh tubuhnya.
Mendapatkan ancaman dengan taruhan hidupnya membuat Thalia merasakan tekanan dahsyat. Air mata yang tak lagi terbendung mengalir begitu saja. Isak tangis tak dapat keluar seolah seseorang mencekik lehernya dengan erat.
Takut.
Snack di tangannya jatuh, genggaman tangannya terasa lemah dan bergetar tak terkendali. Sebagai seorang gadis yang hidup damai selama 20 tahun, saat ini adalah titik tertinggi rasa takut, cemas, gelisah yang pernah Thalia rasakan.
Ia tidak berdaya. Tubuhnya hanya bisa membeku tak mampu berbuat apa-apa. Matanya yang bergetar tidak fokus, tertangkap oleh iris biru milik Naya.
Berbeda dengan Thalia, Naya begitu tenang.
Gadis itu mengikuti instruksi pria itu dengan baik. Satu demi satu, ia memasukkan uang ke dalam tas yang diberikan pria itu. Ia tidak memikirkan apapun konsekuensi yang akan ia dapat setelah melakukan ini. Apakah nanti ia dipecat? Apakah ia harus mengganti rugi?
Naya tidak peduli.
Sekarang, keselamatan Thalia adalah yang terpenting.
Di tengah suasana yang berat ini, pintu terbuka menampilkan seorang pria tua. Tidak, lebih tepatnya, pria itu menendang pintu kaca hingga retak. "Naya! Mana gaji kamu bulan ini, ha?! Jangan kira-"
'DOR!'
"ARGHH!!"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, peluru melesat ke dalam kakinya. Ia terjatuh dan meraung kesakitan. Darah mulai membasahi lantai membuat pria tua itu semakin panik.
Melihat hal itu, Thalia merasa pusing. Tekanan batinnya semakin besar saat memikirkan kemungkinan bahwa dia bisa saja menjadi pria tua itu beberapa saat yang lalu. Bahkan lebih parah, ia akan mati seketika sesaat peluru masuk ke dalam kepalanya.
Di tengah suasana mencekam ini, sepertinya hanya pria bersenjata itu yang merasa jengkel akan kebisingan yang ada.
Ia menggaruk pelipisnya dengan pistol kemudian melangkah mendekati pria tua. Ia berjongkok untuk melihat wajah pucat itu lebih jelas. "Anda tau sopan santun? Ini area publik, jangan berteriak disini. Suara Anda benar-benar mengganggu telinga saya."
Pria tua itu merasa geram, ia mencoba bangkit dan memukul wajah pria bersenjata dengan keras. Tidak mengharapkan hal itu, wajahnya terpukul dengan keras. Amarahnya semakin memuncak sehingga tanpa ampun ia melesatkan tembakan ke arah pria tua.
Di sisi lain, Thalia melihat semua kejadian mengerikan itu di depan mata. Pikiran Thalia memberikan peringatan keras padanya. Kesempatan! Ia harus segera kabur.
Lari!
Bersembunyi!
Otaknya sudah memberi perintah, namun kakinya tidak kunjung bergerak.
Bergerak!
Ku mohon, bergeraklah!
Melihat penjahat itu pergi menjauhi Thalia, Naya segera menekan tombol untuk menghubungi polisi terdekat, kemudian menarik tangan Thalia untuk segera berlari menuju pintu belakang.
Sayangnya, penjahat bersenjata itu menyadari lebih cepat. Pria itu berbalik, menodongkan senjata, membidik target, lalu akhirnya menarik pelatuk.
Thalia melihatnya sementara Naya terlalu fokus untuk keluar.
Tubuh Thalia tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Tanpa pikir panjang, ia berlari lebih cepat untuk memeluk tubuh Naya, target logam panas yang melesat itu.
'DOR!'
"Thalia!"
Thalia tidak bisa merasakan tubuhnya. Pandangannya mulai terasa kabur.
Tidak menyadari kedatangan ambulans. Tidak menyadari kedatangan polisi. Tidak menyadari bahwa tubuhnya mulai tergenang oleh darah.
Hal terakhir yang diingat Thalia adalah Naya memeluknya. Setelah itu, kesadarannya menghilang.
...****************...
Sinar matahari yang menerobos melewati celah-celah gorden membuat ruang kamar ini terasa lebih hangat. Di tempat tidur dengan perpaduan warna krem dengan coklat, seorang gadis kecil tertidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya dari ujung kaki hingga dada. Ia terlihat gelisah dalam tidurnya.
Tiba-tiba Thalia membuka matanya, terbangun dari mimpi buruk. Napasnya memburu, tubuhnya berkeringat, ia berusaha untuk menenangkan diri dengan menarik napas secara perlahan.
Mencoba bangun dari tidur, Thalia terkejut. Sesaat ia beranjak bangun, tubuhnya kembali terhempas di atas tempat tidur. Ia tidak menyangka bahwa tubuhnya terasa lemas tak berenergi.
Gadis kecil itu menghela napas. "Sebenarnya aku kenapa?"
Thalia menutup mulutnya, terkejut. Suaranya berbeda. Suaranya kini lebih terdengar seperti anak kecil. Matanya menyapu lingkungan sekitar, mencari anak kecil yang mungkin ada di tempat ini dan berbicara.
Tapi, sepertinya tidak mungkin seseorang mengatakan hal yang ia pikirkan. Thalia pun mencoba kembali berbicara.
"Ekhem, halo?" mendengar suara anak kecil keluar dari mulutnya membuat Thalia tertegun.
Ia menatap tangannya, jari-jarinya, membuka tutup telapak tangannya, ia memikirkan sebuah hal gila. "Apa aku pindah ke tubuh anak kecil?"
Tidak sampai sedetik, Thalia menolak kemungkinan itu. "Eii, mana mungkin. Emangnya cerita fiksi pindah ke tubuh orang lain." Ia menarik napas panjang untuk menjernihkan pikirannya, merasakan udara yang begitu segar masuk ke dalam pernapasannya. Seperti berada di pegunungan.
Hanya saja, saat ia menarik napas, dadanya terasa sedikit sesak. Namun ia mencoba mengabaikan hal itu dan mulai mengamati langit-langit kamar.
Itu terasa lebih jauh, lebih tinggi daripada kamarnya.
Kamar siapa ini?
Bagaimana ia bisa berada di tempat ini?
Beberapa pertanyaan muncul bertubi-tubi di benaknya. Ia pun mulai menebak-nebak jawaban atas pertanyaan di dalam hati.
Mungkin ia mabuk setelah memakan begitu banyak mie cup instan. Tunggu, memangnya makan terlalu banyak mie bisa menyebabkan mabuk?
Sepertinya tidak.
Thalia tidak bisa memikirkan kemungkinan tentang situasinya saat ini. Gadis ini merasa bingung.
Bagaimana mungkin dirinya yang sedang makan mie cup instan tiba-tiba bangun tidur di tempat yang luas dan mewah ini. Selimutnya terasa lembut dan nyaman. Rasanya ia bisa tenggelam ke dalam gravitasi kasur dan berlama-lama tak mau beranjak.
Akhirnya satu kesimpulan muncul di pikirannya, "Kayanya, aku masih mimpi deh."
Hanya itu satu-satunya yang terasa mungkin untuk situasi ini. Thalia pun mulai menganggap hal itu benar walau masih terasa janggal di hatinya.
Jika ini mimpi, semuanya terasa begitu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi.
Bicara tentang mimpi, Thalia merasa ia bermimpi buruk semalam.
Mimpi apa itu?
Ia ingat bahwa dia mengalami hal buruk di sana, hanya saja Thalia tidak ingat apa isi mimpinya.
Thalia berusaha beranjak dari tempat tidur, kemudian menyender. Setelah melakukan gerakan kecil itu, Thalia merasa kelelahan yang amat sangat. Ia menarik napas berkali-kali dengan panjang, diiringi rasa sesak di dadanya yang semakin menumpuk.
"Oke, hufftt... jadi ayo pikirin tadi malem aku ngapain."
"Pertama, aku nemenin Naya di minimarket. Terus baca cerpen sambil nunggu mie mateng. Cerpen menyebalkan itu bikin aku kesel, jadinya aku makan mie sampe sepuluh cup. Terus,"
Napas Thalia semakin berat, "Terus, aku nyembur air ke muka Naya. Jadi aku, lari... dikejar Naya. Terus..."
Tiba-tiba rasa sakit yang menyengat terasa jelas di kepala Thalia. "Aaah! Sakit!"
Thalia menarik rambutnya dengan kencang, berharap rasa sakit di kepalanya menghilang. Napasnya memburu, air mata mulai menggenang, kepalanya benar-benar terasa sakit seolah ribuan jarum menusuk kepalanya.
"Sakit!!"
Pintu terbuka menampilkan seorang anak laki-laki berlari tergesa-gesa mendekati Thalia, "Viona!"
Anak laki-laki itu segera menggenggam kedua tangan Thalia, mencoba menenangkan gadis kecil itu supaya tidak menyakiti dirinya sendiri.
"Viona, tenanglah. Ini kakak, kakak ada disini."
Cahaya jingga mulai muncul menyelimuti kedua tangan Thalia yang digenggam oleh anak laki-laki itu. Perlahan, rasa sakit di kepala Thalia menghilang.
Meskipun begitu, napas Thalia masih terengah-engah. Ia mendongak menatap anak laki-laki dihadapannya. Menatapnya dengan lembut seraya merapikan rambut panjangnya yang berantakan.
"Viona, tarik napas secara perlahan. Ayo ikuti kakak, tarik napas... hembuskan."
Thalia mengikuti arahan anak laki-laki itu. Laki-laki yang mengaku sebagai kakaknya itu dengan sabar menuntun Thalia sampai bisa bernapas lebih tenang.
Gadis kecil itu tidak lagi merasa sakit. Hanya saja, kepalanya terasa pusing sehingga ia menyender pada headboard kasur tanpa tenaga. Kedua tangannya masih digenggam oleh anak laki-laki itu, mengalirkan cahaya jingga yang energinya terasa di seluruh tubuhnya.
"Hangat," lirih Thalia pelan. Anak laki-laki itu tersenyum lega, ia cukup panik saat ingin menjenguk gadis kecil itu lalu mendengar teriakan sakit.
Ia merasakan ada sesuatu yang salah saat sihirnya mengecek kondisi Thalia. Tapi ia tidak tahu apa. Sihirnya hanya bisa menenangkan, tidak bisa memeriksa kondisi seseorang dengan pasti. Mengingat tipe sihirnya bukanlah tipe penyembuh.
"Apa masih sakit?" tanya anak laki-laki itu, Thalia menggeleng pelan.
"Syukurlah," merasa bahwa Thalia sudah merasa lebih baik, anak laki-laki itu melepaskan sihirnya. Walaupun begitu, tangannya masih menggenggam tangan Thalia. Ia masih khawatir sesuatu mungkin terjadi pada gadis kecil ini. "Kakak minta maaf Viona. Harusnya kakak tidak pergi ke ibukota dan meninggalkanmu sendirian disini."
Thalia tidak mengerti, namun ia tetap diam mendengarkan ucapan kakaknya. Yah, lagipula ini adalah mimpi kan? Thalia memutuskan untuk mengikuti situasi apapun disini.
Ini pasti cuma mimpi, kan?
"Viona?" anak laki-laki itu menatap Thalia dengan raut khawatir yang kembali muncul di wajahnya.
Thalia bingung harus mengatakan apa, ia tidak tahu apa yang terjadi pada tubuh ini sebelumnya hingga membuat anak laki-laki dihadapannya begitu menyesal dan khawatir. Gadis itu memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak tahu apa-apa. Akan lebih aneh jika ia pura-pura mengerti padahal tidak.
"Aku... apa namaku adalah Viona?"
Sontak, anak laki-laki itu membulatkan matanya. "Tidak mungkin..."
"Maaf, tapi bisakah kamu menjelaskan siapa aku? Aku tidak ingat-"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tubuh kecil Thalia-atau Viona sekarang-jatuh ke dalam pelukan anak laki-laki dihadapannya. "Maaf, maafin kakak Viona." ujar anak laki-laki itu pelan, Viona merasakan bahunya terasa basah.
Apa dia menangis?
"Maafin kakak, jika saja kakak lebih berani melawan ayah-" di akhir, suaranya terdengar lemah. Seolah-olah, ia sudah tau bahwa sesuatu yang telah ia lakukan akan membuat ingatan Viona terganggu. "kamu pasti akan baik-baik saja. Ya, tidak apa-apa."
Ucapan anak laki-laki itu berusaha menenangkan Viona yang kebingungan, atau mungkin dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Anak laki-laki itu melepaskan pelukan, Viona melihat mata kakaknya yang memerah. Ternyata benar, anak laki-laki itu menangis karenanya.
"Kamu istirahat dulu, ya Viona." Kakaknya memaksakan senyuman muncul di wajahnya, "kakak panggil dokter dulu."
Anak laki-laki itu membantu Viona untuk berbaring.
Merasakan kehangatan dan kelembutan kasur. Ditambah tubuhnya yang terasa lemah, perlahan kelopak mata Viona tertutup.
Memastikan selimut menutupi tubuh adiknya dengan benar, anak laki-laki itu menarik tali yang menggantung di samping tempat tidur.
Tidak lama, seseorang mengetuk pintu kamar. "Ini saya, nona."
"Masuk," bukannya mendengar suara Viona, pria itu terkejut mendapati respon dari suara anak laki-laki yang familiar. Ia pun segera mengerti bahwa tuan muda keluarga Liez sedang mengunjungi adiknya.
Pria tua itu, Falko, melihat Victor berdiri di samping tempat tidur. Tempat dimana Viona berbaring dan terlelap.
"Tuan muda Victor," sapa Falko seraya menunduk sopan.
Kakak Viona, Victor, menyuruh pria tua itu untuk memeriksa Viona. "Tolong jaga Viona sebentar, Fal."
"Baik, tuan muda."
Meninggalkan kamar, Victor keluar untuk mencari para pelayan yang seharusnya menemani Viona dan mengurus bebagai kebutuhan adiknya.
Para pelayan yang sedang bersantai di dapur pergi dengan tergesa-gesa saat mendengar bahwa tuan muda Victor mengunjungi Viona tanpa pemberitahuan. Mereka pasti akan ditegur. Tapi ya, mungkin hanya beberapa teguran singkat lalu mereka akan kembali ke dapur.
Mereka hanya akan membersihkan kamar Viona setiap kali tuan muda berada di mansion dan selalu mengabaikan kamar itu dikala tuan muda pergi dari mansion. Walaupun begitu, tuan muda sudah tau dan hanya berakhir dengan teguran singkat saat mereka tertangkap basah tidak menjalankan tugas dengan benar.
Selain itu, mereka bisa bersantai tidak melakukan apapun.
Tapi hari ini benar-benar aneh. Tuan muda tidak pernah datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sebenarnya ada apa?
Hanya saja, mereka tidak menyangka bahwa tuan muda mereka sangat marah. Tuan muda yang tidak pernah benar-benar peduli pada adik tirinya kini terlihat bisa menebas siapapun dan kapanpun.
Ekspresi kakak laki-laki Viona mengeras saat beberapa pelayan itu masuk ke dalam ruang kerjanya dengan percaya diri.
"Kemana saja kamu disaat tuanmu sedang sakit?" nada suaranya terdengar dingin. Sangat berbeda saat ia berbicara dengan Viona.
Para pelayan itu tersentak ketakutan, mereka sudah mengira bahwa Victor akan menegur. Tetapi tidak mengira bahwa tuan muda keluarga Liez yang baru saja mendapatkan sihirnya akan mengeluarkan tekanan yang begitu besar pada mereka.
Mereka saling memandang, tidak tau bagaimana menjelaskan.
"Tidak ingin bicara?"
"Tu-tuan muda, kami hanya-"
Victor bangun dari kursi kerjanya, mengambil pedang yang selalu berada di dekatnya lalu melangkah secara perlahan mendekati para pelayan itu.
"Jika kamu berani berdalih, aku tidak yakin bisa menahan pedangku melayang ke kepala kalian."
Tenggorokan para pelayan tercekat. Mereka segera berlutut dan memohon ampun.
Namun, itu hanyalah hal yang sia-sia.
Setelah hari itu, tidak ada lagi yang bisa menemukan mereka. Dimanapun.
...****************...
Hari mulai gelap saat Viona membuka mata. Ia merasa tubuhnya lebih segar dari terakhir kali ia bangun. Beberapa lilin menyala tuk menerangi kamar yang gelap. Saat itu juga, ia melihat seorang wanita paruh baya berjalan mendekat.
"Nona, Anda sudah bangun?"
"Ya," Viona berdehem pelan, merasa tenggorokannya serak. Dengan sigap pelayan itu menuangkan air dan menyerahkannya pada Viona.
"Silahkan diminum dulu, Nona."
Viona menerima gelas dari tangan pelayan itu lalu meminum air secara perlahan.
Setelah dahaganya hilang, pelayan itu kembali bertanya. "Apakah nona lapar?"
Mendengar hal itu, Viona baru sadar bahwa dirinya belum makan sejak pagi. Ia mengangguk pelan tuk menanggapi.
"Kalau begitu, saya akan siapkan makanannya Nona." Kemudian pelayan itu mengambil sebuah surat dan menyerahkannya ke Viona, "Sebelumnya, tuan muda Victor menyuruh saya menyerahkan surat ini kepada Nona."
Viona menerima amplop surat yang berwarna jingga dengan kelopak bunga yang ditempatkan dengan hati-hati sebagai hiasan.
"Kalau begitu saya undur diri, Nona. Tolong tunggu sebentar, makanan akan segera saya siapkan."
Setelah pelayan itu pergi, Viona menatap amplop surat di tangannya. "Victor August Liez?"
Viona merasa bahwa ia pernah melihat nama Victor di satu tempat.
"Victor ya, dan siapa namaku di tempat ini? Viona?"
"Victor... Viona..."
Viona terkejut saat menyadari sesuatu.
"Apa aku pindah ke dalam cerpen?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!