POV: Arno
Namaku Arno Alvara. Seorang mahasiswa biasa dengan kehidupan normalnya. Aku tidak menganggap diriku sebagai pria tampan apalagi pria idaman. Hidupku sendiri sangat berkecukupan untuk sehari-harinya. Walaupun aku masih sering mendengar beberapa orang yang membicarakanku di belakang.
Mungkin memang benar bahwa aku punya wajah yang cukup rupawan. Kulit yang tidak terlalu coklat, rambut lurus hitam serta mata hitam. Tinggi badanku sekitar 183 cm, dan berat badan ideal.
Yah, mereka hanya berani bicara di belakangku karena ... aku sudah punya pacar.
"Arno!"
Itu dia. Namanya Varesa Madea, bunga kampus yang selalu menarik perhatian. Aku juga tidak percaya bagaimana aku bisa berpacaran dengannya. Tapi aku benar-benar bahagia sekarang.
"Kau sudah pulang?" tanyaku lalu menarik pinggangnya ke pelukanku. Dia hanya tersenyum cerah sambil sesekali berkedip menatapku.
"Ada apa?" tanyaku lembut.
"Tidak ... sepertinya, hari ini kau jangan bekerja. Di rumah saja ya?" ucapnya dengan nada yang sedikit memelas. Aku mengusap pucuk kepalanya pelan lalu mengecupnya. Tidak biasanya dia memelas seperti ini. Selama 3 tahun kami berpacaran, tidak pernah dia menunjukkan sikap seperti ini.
"Kenapa? Apakah ada sesuatu?" tanyaku dengan nada khawatir. Tanganku menangkup kedua pipinya, mata kami saling bertatapan.
"Emm, tidak apa-apa sih. Tapi jangan keluar rumah malam ini! Kumohon!" ucapnya lagi dengan nada yang lebih memelas. Aku menarik nafas panjang lalu merapikan rambut yang menutupi matanya.
"Aku tidak bisa sayang, hari ini aku harus bekerja," ucapku dengan nada yang selembut mungkin. Dia terlihat sedikit kecewa, tapi sesegera mungkin memperbaiki ekspresinya.
"Baiklah, jika terjadi apa-apa. Telpon aku! Ingat, telpon aku!" tegas Varesa sambil mencubit hidungku. Aku tertawa kecil sambil menganggukkan kepala.
Yah, memangnya apa yang akan terjadi? Ini hanya akan jadi malam yang sama seperti biasa.
***
Harusnya aku tidak bicara seperti itu. Harusnya aku menuruti perkataan Varesa tadi siang! Situasi apa ini?!
Kedua tanganku diikat di sebuah tiang, bahkan mulutku disumpal dengan gumpalan kertas. Di depanku, duduk seorang pria dengan jas hitam dengan kemeja putih lengan pendek. Matanya menatapku dengan tajam, begitu juga dengan seluruh bodyguard yang berada di sampingnya.
Sebenarnya siapa mereka?! Apa salahku hingga terlibat dengan kelompok semacam ini?!
Srak!
"Ack!" ucapku saat merasa gumpalan kertas itu ditarik paksa dari mulutku.
"Baguslah kau sudah sadar, aku tidak perlu menyirammu dengan air dingin," ucap pria yang duduk dengan jas hitam. Suaranya begitu rendah dan mengintimidasi. Badannya juga sangat kekar, hampir seperti atlet binaraga.
"Apa yang kalian mau?" tanyaku dengan nada setenang mungkin. Aku berusaha agar tidak panik. Suasana ruangan itu begitu hening, tidak ada satupun yang menjawab pertanyaanku.
"Hei, bawa itu ke sini," bisik pria itu pada bodyguard di samping kirinya. Bodyguardnya mengangguk dan mengambilkan sebuah amplop di sana. Pria itu membuka amplopnya, lalu melemparkan sejumlah kertas ke arahku.
Tidak, ini bukan kertas. Ini ... foto? Loh ... INI KAN FOTOKU DAN VARESA? ASTAGA! APAKAH MEREKA JUGA MENGINCAR VARESA?!
"Apa yang hendak kalian lakukan pada Varesa?!" teriakku pada mereka.
BUAGH!
Salah satu bodyguard di sana langsung memukul wajahku dengan papan kayu. Bisa kurasakan amis darah di dalam mulutku, dan rasa ngilu di gusi serta pelipisku.
"Beraninya kau menyebut nama nona dengan mulut kotormu!" bentak bodyguard itu sambil menjambak rambutku. Aku dipaksa untuk menatap matanya secara langsung, bisa kulihat bahwa dia bersiap memukulku lagi dengan papan kayu tadi.
"Siapa yang mengizinkanmu memukulnya?" suara berat pria dengan jas itu langsung mengheningkan suasana. Bodyguard yang awalnya hendak memukulku, langsung bersimpuh dengan lutut yang gemetar.
"Maafkan saya bos, saya tidak suka dia menyebut nama nona muda sembarang," ucapnya sambil berlutut dan menundukkan kepala. Orang yang dipanggil bos itu hanya diam dan memperhatikan. Beberapa kali dia mengetukkan jarinya pada lengan kursi.
"Bagaimana kalau kupotong satu jarimu sebagai jaminan bahwa kau akan patuh?" tanya pria itu dengan nada dingin. Mendengar perkataan pria tadi, bodyguard itu semakin menunduk dan ketakutan.
"M-mohon jangan bos, saya janji tidak akan melakukan hal seperti ini lagi!" ucap bodyguard itu. Pria dengan jas itu hanya tersenyum remeh lalu melirik ke arah bodyguard lainnya.
"Baik bos," ucap mereka bersamaan. Mereka mulai mengangkat bodyguard yang tadi memukulku dan membawanya pergi dengan paksa.
"Ti-tidak! Saya mohon ampuni saya bos! Bos!" teriak bodyguard tadi sambil meneteskan air mata.
"Nah, karena gangguannya sudah hilang. Kita langsung mulai saja," ucap pria itu sambil berdiri, lalu berjalan ke arahku.
Berdasar pada apa yang kulihat dan kudengar, dia adalah pemimpin kelompok ini. Apa yang akan dia lakukan? Langsung mengeksekusiku?
"Apa kau kenal siapa itu Varesa?" tanya pria itu sambil menepuk pundakku. Aku langsung menggigil ketakutan saat merasakan tekanan dari matanya.
"A-aku ti-," ucapku terpotong. Aku bingung dengan apa yang harus kukatakan.
Jika kujawab bahwa aku mengenalnya, apakah dia akan berada dalam bahaya? Tapi bagaimana jika sebaliknya? Jika aku bilang tidak mengenalnya, bukankah itu sama berbahayanya?
Orang ini sudah mengenal Varesa, bahkan dia menyebut namanya seolah sangat akrab. Bagaimana ini?
BUAGH!
Pria itu langsung meninju wajahku. Ini bahkan lebih sakit daripada dipukul oleh papan kayu. Seberapa kuat pukulannya?!
"Uhuk! Uhuk!" Aku terbatuk beberapa kali, bisa kulihat bahwa ada darah yang menetes keluar dari mulutku.
"Aku tidak membawamu ke sini untuk diam membisu. Jawab pertanyaanku, kau kenal atau tidak?" tanyanya lagi dengan nada yang lebih dingin. Aku merinding ketakutan, bibirku mulai menggigil, rasanya aku ingin segera pergi dari tempat ini.
BUAGH!
Lagi-lagi dia memukulku. Semakin lama rasanya kepalaku semakin pusing. Samar-samar kulihat pria itu mulai mengeluarkan sebilah pedang. Seringaian aneh terpampang jelas di wajahnya.
"Kita ganti cara mainnya. Dipukul saja tidak membuatmu bicara ya? Bagaimana kalau kita main kupas kulit?" tanyanya sambil mengasah pedang. Aku mulai menutup mataku, berharap siksaan ini akan segera berakhir.
BRAK!
"DADDY! APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Tunggu, ini suara Varesa?
Aku membuka mataku perlahan, ternyata benar ... itu adalah Vares.
Dia memanggilnya, Daddy?
"Oh putri tercintaku datang menjemput, apa kau rindu dengan Daddy? ucap pria tadi dengan wajah yang melembut. Varesa melihatku beberapa kali, wajahnya semakin marah setiap kali dia menatapku.
"Apa ini perbuatanmu? Ayah?" tanya Varesa dengan penekanan di setiap kalimatnya.
"Benar! Karena pria ini, kau mulai memanggilku ayah! Bukan Daddy lagi! Apa kau sudah tidak sayang pada Daddy?!" bentak pria itu. Varesa yang dibentak, bukannya menangis, dia malah mengeluarkan pistol dan menodongkannya tepat ke wajah ayahnya.
..."Lepaskan dia, sebelum kutarik pelatuknya."...
TBC.
Jangan lupa likenya ya guys! Anw ini novel romance pertamaku! Maaf kalau kaku:(
..."Lepaskan dia, sebelum kutarik pelatuknya."...
POV: Arno
Aku melongo tidak percaya. Varesa menatap tajam tanpa gentar, tangannya terlihat sangat terbiasa dengan pistol.
Maksudku ... meskipun aku adalah pacarnya, tapi yang dia todong dengan pistol itu ayahnya loh?!
Pria yang disebut ayahnya itu hanya diam lalu tersenyum puas. Tangannya menyentuh ujung pistol Varesa lalu mengusapnya dengan pelan.
"That's my daughter, pretty cool," ucapnya dengan nada bangga. Dia segera berbalik lalu berjalan pergi. Saat sudah di depan pintu, dia berhenti sejenak lalu berbalik dan menatapku.
"Lepaskan saja dia, selama ada putriku, kalian tidak akan bisa menyentuhnya," ucap sang ayah dengan seringaian. Para bodyguard itu menunduk dan mengikuti langkahnya dari belakang. Dalam hitungan detik, ruangan ini akhirnya kosong. Kini tersisa aku dan Varesa di sini.
"Arno! Kau baik-baik saja?" Varesa langsung berlari ke arahku dengan tergesa-gesa. Dia memasukkan pistol itu ke dalam jas hitamnya.
Trak!
Akhirnya Varesa berhasil melepaskan tali yang mengikat tanganku. Aku meringis kesakitan saat merasakan perih di sekitar pipi dan pelipisku.
"Maaf," ucap Varesa. Aku menatapnya pelan, terlihat ekspresi cemas dan khawatir di raut wajahnya.
Tapi tetap saja, aku kecewa kenapa dia tidak memberitauku identitas aslinya? Bukankah 3 tahun adalah waktu yang cukup lama?
"Aku ... tidak tau harus berkata apa," ucapnya lagi lalu mengeluarkan salep dari balik jasnya lagi. Dia hendak menyentuh pergelangan tanganku yang lecet, tapi dengan cepat aku menarik tanganku.
"Aku ... butuh waktu untuk sendiri," ucapku lalu berdiri dan berjalan pergi. Jalanku sedikit sempoyongan karena ada rasa sakit dan pusing di kepalaku.
"Arno!" teriak Varesa dari belakang. Aku berhenti melangkah, hendak mendengar apa yang dia katakan.
"Kita ... jangan putus ya?" tanyanya dengan nada yang sedikit sedih. Mungkin dia menahan tangis. Meskipun aku mendengarnya, tapi aku tidak memberi jawaban apapun. Aku hanya kembali berjalan, tanpa menoleh padanya.
***
Cklek.
"Aku pulang," ucapku saat membuka pintu rumah. Meskipun aku tau di rumah tidak ada siapa-siapa, tapi aku masih terbiasa mengucapkannya.
Bahkan aku pernah membayangkan bahwa kau akan menyambutku jika aku membuka pintu.
Aku segera menaruh sepatuku di tempatnya, lalu bergegas ke kamar mandi.
"Akh!" rintihku saat dinginnya air menyentuh luka di pelipisku. Aku membuka mataku perlahan, mencoba menjernihkan kepala.
Rasanya sangat malas, dan lelah. Aku tidak mau pergi bekerja sekarang. Haruskah aku membuat alasan palsu? Atau membolos saja?
...
Lebih baik aku berbohong bahwa aku sedang sakit.
Setelah cukup lama aku berdiri di bawah shower, aku segera keluar dan mulai mengelap rambutku dengan handuk. Mataku melirik ke sekitar, mencoba mencari dimana keberadaan ponselku.
"Haaah, sial. Sepertinya tertinggal di sana ya?" umpatku kesal saat teringat bahwa ponselku jatuh di tempat yang tadi. Aku langsung mengambil baju dari lemariku secara acak dan memakainya. Begitu juga dengan celana, aku hanya mengambil yang paling dekat dengan tanganku.
Cklek.
Aku mengunci rumahku lagi dan berjalan pergi. Benar, aku berniat mengambil kembali ponselku. Dengan hati yang berdebar karena rasa takut. Aku tetap melangkahkan kakiku di tempat itu.
"Ternyata ini gudang kosong?" ucapku pelan sambil menatap lokasi aku diculik tadi. Mereka benar-benar memilih lokasi yang bagus, daerah ini memang jarang ada petugas keamanan.
Kriet.
Aku membuka pintu, menampilkan ruangan yang gelap. Mungkin karena sudah malam, dan tidak ada listrik di gudang ini. Hanya ada sedikit cahaya rembulan sebagai penerangan di sini. Mataku mencari ke sekeliling, begitu juga dengan kakiku yang melangkah ke setiap sudut ruangan.
"Dimana ya?" tanyaku pelan sambil berjongkok.
Tidak mungkin mereka mengambil ponselku kan? Untuk apa mereka mengambil ponsel padahal mereka sendiri sudah cukup kaya?
Aku yakin pasti ponselku terjatuh! Tapi di mana?!
"Apa kau mencari ini?"
Aku mendengar suara pria yang menculikku tadi. Spontan aku langsung berbalik hingga terjatuh ke lantai. Jantungku langsung berpacu, nafasku mulai tidak beraturan.
Ayolah! Kau sudah pernah melewati situasi yang lebih menakutkan dari ini! Jangan biarkan dirimu dikuasai rasa takut!
Aku mulai berdiri lalu membersihkan celana dan telapak tanganku. Barulah mataku menatapnya, ternyata dia yang membawa ponselku. Tangan kekarnya itu menggenggam ponselku yang sedikit berdebu.
"Benar, terimakasih," ucapku lalu mendekat padanya, saat hendak mengambilnya. Pria itu langsung mencekik leherku.
Grep!
"Uhuk! Ukh!" Aku merasakan nafasku menjadi sempit. Ada rasa sesak di leherku. Dia mengangkat tubuhku dengan satu tangan. Tatapan matanya begitu dingin dan tajam.
"Kau cukup berani juga kembali ke sini, padahal biasanya orang-orang normal akan merelakan ponselnya daripada kembali ke tempat mereka diculik," ucap pria itu dengan senyum yang mengerikan. Aku mencengkram lengan yang dia gunakan untuk mencekikku. Rasanya semakin sesak, aku bahkan tidak sanggup untuk bicara.
"Akan kukatakan tujuanku dengan jelas. Putuskan putriku, dan nyawamu akan selamat," ancamnya tegas.
Bruk!
Dia melepaskanku secara spontan, aku jadi terjatuh ke lantai secara langsung. Sebenarnya dia tidak mengangkatku terlalu tinggi, tapi kakiku sangat lemas setelah dicekik cukup lama.
"This is the last chance, break up with my daughter, tomorrow." Dia langsung pergi setelah mengatakan itu. Dia berhenti sejenak untuk melemparkan ponselku.
Prak!
Ponselku jatuh tepat di hadapanku, layarnya retak parah.
Brak!
Akhirnya dia pergi. Kupikir aku akan mati, ini cukup menyakitkan.
Aku menyentuh leherku dengan pelan, rasanya mati rasa. Aku yakin akan ada bekas saat bangun besok pagi. Aku langsung mengambil ponselku dan mencoba menyalakannya.
"Syukurlah masih bekerja," ucapku lega. Aku langsung mengirim pesan pada atasanku, sebagai izin bahwa aku sedang sakit.
"Lalu bagaimana? Apakah aku harus putus dengan Varesa?"
***
Ciip! Ciip! Ciip!
Sial ... karena memikirkan perkataan ayahnya, aku jadi tidak bisa tidur sepanjang malam!
Aku bangun dengan ekspresi yang tidak enak. Ada lingkatan hitam di sekitar mataku. Setelah cukup lama duduk di atas kasur, aku segera turun dan mulai berjalan ke kamar mandi.
BRAK!
"Aku harus bagaimana arkhhh!" ucapku frustasi sambil menatap kaca kamar mandi. Aku sangat bingung sekarang, beberapa kali aku membasuh wajahku dan mengusap rambutku secara kasar.
BYUR!
Aku langsung memasukkan wajahku ke dalam wastafel.
SPLASH!
"Baiklah, hari ini Varesa ada kelas, kan?" ucapku sambil merapikan rambut basahku. Aku langsung bergegas mandi dan mulai mencari baju untuk ke kampus.
Srak!
Cklak!
Aku mengunci pintu rumahku dan bergegas pergi ke kampus. Karena jarak kampus dengan rumahku cukup jauh, aku harus memesan taksi untuk sampai ke sana.
Tin!
"Ke kampus XX," ucapku sambil masuk ke dalam taksi. Sepanjang jalan, aku hanya diam dan menatap ke luar jendela. Pikiranku dipenuhi kejadian kemarin malam.
...Apakah aku harus putus?...
TBC.
Jangan lupa likenya ya guys!
...Apakah aku harus putus?...
POV: Arno
Cklek.
Brak!
"Terimakasih pak," ucapku sopan sambil memberikan uang. Aku langsung menuju ke kafe terdekat di daerah dekat kampus. Sesampainya di sana, aku memesan minuman lebih dulu dan memilih untuk duduk menunggu.
Tak lupa aku memberi pesan pada Varesa agar dia menemuiku di samping kampus. Tapi, ada yang aneh.
"Apa nomornya ganti?" tanyaku pada diri sendiri. Pesan itu tidak terkirim, nomor Varesa seperti hilang dari muka bumi. Tak menyerah begitu saja, aku langsung mencoba menelponnya.
Tuut tuut tuut.
Tidak tersambung. Aku menatap kampus kami dengan tatapan cemas. Setelah berpikir lebih dalam, aku memutuskan untuk pergi ke gedung fakultas Varesa.
"Kalau tidak salah, dia mengambil jurusan psikologi," gumamku pelan sambil berjalan. Aku masih melihat ke kiri dan kanan, mencoba mencari petunjuk di sekitar sini.
"Permisi! Apakah kalian tau ...," ucapku yang bertanya pada beberapa orang. Tapi jawaban mereka sama, tidak ada yang mengenal Varesa. Tak peduli berapa banyak orang yang aku tanyai, jawaban mereka sama.
Tidak ada mahasiswa yang bernama Varesa Madea.
4 jam aku mencari tanpa henti, akhirnya aku menyerah dan duduk di bawah pohon dekat kampus. Aku mengusap kepalaku dengan frustasi, bahkan beberapa umpatan aku lontarkan dalam hati.
Meskipun 3 tahun kami berpacaran, tapi aku tidak tau dimana dia tinggal. Selama ini kami bertemu hanya di luar kampus, kafe, dan beberapa tempat wisata. Aku juga tidak pernah mengajaknya ke rumahku, karena aku sendiri juga tidak pernah punya waktu.
Srak!
Sebuah amplop jatuh tepat di depanku. Dengan cepat aku mengambil amplop itu dan mencari dimana orang yang menjatuhkannya. Karena banyak orang yang berlalu-lalang, aku tidak tau mana yang pasti.
Akhirnya aku memilih untuk menaruh amplop itu kembali ke tempatnya.
"Aku tidak mau terlibat dengan hal yang berurusan dengan privasi orang lain, aku biarkan saja di sini," gumamku sambil menaruh amplop itu.
Plak!
Tiba-tiba ada seorang pria dengan jaket dan kacamata hitam datang, dia langsung menepuk tanganku cukup keras.
"Apa kau bodoh atau bodoh? Amplop itu untukmu! Buka!" ucapnya geram sambil menyodorkan amplop itu padaku. Aku jadi menatapnya dengan takut, apa dia salah satu penggemar priaku?
"Aku tidak tega melihat nona seperti itu, hanya kau yang mampu membuatnya kembali seperti semula. Kalau kau memang laki-laki, jadilah seorang yang pemberani, jangan jadi pengecut dan memilih lari," ucapnya lalu berlalu pergi. Aku bahkan tak sempat berbicara satu kata apapun. Akhirnya aku hanya diam lalu memungut amplop itu.
Kreeek!
###
Aku menyobek amplopnya, di dalamnya terdapat surat.
Kalau kau ingin tau dimana keberadaan Varesa. Datanglah ke area Selatan kota ini.
Ini tidak akan mudah, tapi jangan menyerah.
~X
Setelah membaca surat itu, sebuah mobil hitam langsung menerobos kerumunan dan berhenti di depanku. Kaca mobil pengemudinya turun, menampilkan salah satu bodyguard yang aku lihat kemarin malam. Benar, dia adalah bodyguard yang memukulku kemarin.
"Naik." Tegas dan dingin. Aku langsung memantapkan hatiku dan berjalan mendekati mobilnya.
Klak!
...
Klak! Klak!
"Permisi, buka pintunya gimana ya?" tanyaku dengan nada canggung. Pria itu hanya diam sambil menatapku malas.
"Duduk di sampingku saja," ucapnya dengan ekspresi datar.
***
Sepanjang perjalanan, aku duduk diam dengan tangan yang berkeringat. Kami sudah sangat jauh dari pusat kota, ini hampir seperti di pedalaman hutan.
Walaupun jalanannya masih beraspal, tapi di sini tak ada pencahayaan sama sekali. Aku yakin saat malam pasti tidak ada yang berani lewat sini.
"Apakah ... masih lama?" tanyaku tanpa menoleh ke arah pria tadi. Sudah 3 jam aku berada di dalam mobil ini. Dan lebih dari 2 jam aku hanya melihat hutan dan pepohonan. Entah berapa lama lagi kita akan sampai di tempat tujuan.
"Masih cukup lama, kita harus menghindari rute pengeboman," ucapnya dengan nada datar. Aku terdiam saat mendengar sebuah kata yang aneh dari mulutnya.
"Pengeboman?" tanyaku dengan ekspresi shock.
"Harusnya aku tidak boleh membawamu kemari, tapi nona kami mengancam akan bunuh diri jika tidak bertemu denganmu," jelas pria itu lagi. Aku hanya diam melongo mendengar perkataannya.
Varesa sampai mengancam akan bunuh diri?
...
Dia masih sesuka itu padaku?
Kalau begini, apakah aku harus tetap menyerah?
Cklik.
"Hah?" Mataku menoleh dengan cepat ke arah suara itu. Badanku langsung membeku kaku saat melihat ujung pistol yang mengarah ke dahiku.
"Antarannya sampai di sini, berjuanglah." Dia melepaskan kacamatanya, menampilkan mata coklat yang menatapku dengan tajam. Secara insting, aku tau bahwa dia akan menarik pelatuk dari pistol ini.
Buagh!
Dengan cepat aku langsung meninju mata dan sendi sikunya. Aku tergesa-gesa melepaskan sabuk pengaman di tubuhku, sebelum dia memulihkan penglihatan dan sendinya, aku harus keluar dari mobil ini.
Cklak!
BRUGH!
Aku langsung menjatuhkan diriku dari mobil yang melaju kencang. Tentu saja aku tidak bebas dari luka. Rasanya sangat perih dan pusing. Bahkan bahu serta pinggangku seperti terkilir, untuk kugerakkan rasanya sangat sakit.
"Target ditemukan. Segera tembak!"
Crik!
Aku menajamkan indra pendengaranku. Seluruh tubuhku langsung merinding saat aku tau bahwa aku sudah dikepung. Ada begitu banyak orang dengan jas hitam dan pakaian aneh di sini. Mereka sudah siap menembakkan hujan peluru ke arahku.
"Wah, kalian benar-benar tidak membiarkanku istirahat sejenak ya? Bahuku sangat sakit, bisakah kalian beri obat?" tanyaku dengan senyuman di wajah. Mereka hanya diam dan memperhatikan.
DOR! DOR! DOR! DOR!
Aku langsung bangun dan berlari lurus ke arah hutan. Peluru itu terus menghujaniku tanpa henti, dengan jantung yang berdegup kencang, aku mengabaikan rasa sakit di bahu dan pinggangku.
Buagh!
Bruk!
Aku jatuh terbaring saat merasakan sesuatu menghantam kepalaku dari depan. Sekarang kepalaku ikut berdenyut-denyut karena rasa sakit, dan ini membuatku semakin pusing.
"Selamat datang, Arno."
Deg.
Ini adalah suara pria itu. Ayah Varesa.
Aku membuka mataku perlahan, mencoba duduk dari posisi yang masih terbaring. Dia sudah berdiri di depanku dengan knuckle yang terpasang di tangan kanan serta kirinya.
"Sepertinya kau belum putus ya? Apa kau tidak sayang nyawa?" tanyanya dengan senyuman yang mengerikan. Aku menelan ludahku gugup, dengan badan yang lemas, aku mencoba untuk berdiri.
"Anda benar, aku tidak bisa putus dengannya. Dia mencintaiku dengan mempertaruhkan nyawanya, bukankah aku harus melakukan hal yang serupa?" balasku sambil memasang kuda-kuda. Biarpun aku bukanlah seorang atlet maupun profesional, aku pernah belajar taekwondo saat aku SMP, dan SMA dulu.
"Kenapa kau jadi menggunakan bahasa yang sopan?" tanya pria itu dengan seringai khas miliknya. Aku hanya tersenyum lembut lalu menatap mata coklatnya yang mirip dengan milik Varesa.
"Bukankah aku harus sopan pada calon mertua?" balasku.
"Hahaha! Baiklah! Berikan satu pukulan padaku! Aku akan mempertimbangkanmu setelah itu!" tantangnya lalu memasang posisi menyerang.
..."Tunjukkan padaku. Apakah kau pantas bersanding dengan putriku? Anak dari mafia kelas dunia, Amo Rakessa."...
TBC.
Jangan lupa likenya ya guys!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!