NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Miana

TCM 1

Di tengah halaman sekolah.

"Lihat! Bian. Buka mata kamu! Tampilan seperti ini bukankah hanya akan membuatmu malu. Bukankah ini seperti gadis murahan!" Sisil meletakkan satu lembar foto pada dada Bian. Perlahan, Bian mengamati foto itu.

Bian berusaha menepis apa yang ia takutkan. Akan tetapi, tampilan dalam foto yang ia lihat itu seakan membenarkannya.

Melihat raut wajah Bian yang menegang, hingga otot lehernya terlihat timbul seakan menahan amarah membuat Miana menggelengkan kepalanya samar. Ia sudah dapat menebak, bahwa Bian akan mempercayai apa yang ia lihat daripada penjelasannya.

"Aku nggak nyangka. Ternyata ini yang kamu sembunyikan."

"Nggak, Bian. Kamu salah paham."

"Kita, putus, Mia. Hubungan kita sampai di sini." Bian berucap dan memalingkan wajahnya dari Miana.

"Nggak, Bian! Kamu harus dengerin penjelasan aku!" Miana berusaha meraih tangan Bian dan segera di tepis oleh Bian.

"Ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan, Bian."

Bian mengangkat satu telapak tangannya. Tanda ia tidak mau di dekati.

Melihat penolakan Bian, hati Miana terasa teriris. Ia menoleh pada Sisil yang terdiam mengamati Bian yang tengah memejamkan matanya. Hati Bian sungguh ingin menyangkal apa yang ia saksikan. Namun, wajah Miana sangat jelas disana.

"Ikut aku, Sisil!" Miana menarik paksa tangan Sisil. Ia berjalan cepat mengabaikan panggilan dari Bian. Sisil pun tidak berusaha memberontak. Ia ikuti langkah lebar Miana yang tengah menahan sisa kesabarannya.

Miana, gadis cantik berkulit putih, berambut panjang ,berwajah imut yang selalu ceria itu kini terlihat berbeda dari hari biasanya. Pada lengan kiri seragamnya terdapat bet bertuliskan XII IPA 1, dan di sisi lengan kanannya terdapat lokasi tempat sekolah Miana, SMAN 89 Kota A.

Plakk. Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Sisil. Miana membawa Sisil menepi dari tengah halaman sekolah dan berakhir di samping gedung laboratorium. Miana sudah di ambang batas kesabarannya. Mulut mungil adik kesayangannya itu sudah sangat keterlaluan memfitnahnya di depan kekasihnya, Bian.

Terasa panas dan perih di satu pipi kiri gadis berseragam SMA itu. Sisil, memegangi sisi pipi kirinya dan menatap tajam pada gadis berseragam yang sama dengannya.

"Jaga mulut kamu, Sisil! Cukup kamu fitnah aku! Aku udah cukup mengalah diam karena berbagai ulah kamu. Kali ini aku nggak akan diam lagi terlebih dengan alasan Papa!" Miana membentak gadis bernama Sisil di depannya.

"Oh, ya. Kamu lupa, Papa punya penyakit jantung, kakakku sayang." Sisil tersenyum sinis dan melirik seseorang yang tengah berlari menghampirinya.

"Yakin, kamu tega sama Papa? Baiklah, akan aku kasihkan foto ini kepada Papa." Sisil mengangkat satu lembar foto berukuran 4R, yang menampilkan potret Miana sedang memapah seorang pria berusia paruh baya dalam keadaan berjalan menunduk. Baju yang dikenakan Miana hanya berbalut tank top berwarna coklat dengan rok mini berwana senada. Dalam remang cahaya di depan sebuah cafe. Siapapun yang melihatnya, pasti akan berfikir yang tidak-tidak.

Miana terpaku. Ia selalu lemah jika berhubungan dengan Papa, orang yang amat sangat ia sayangi.

"Apa maumu kali ini, Sil?" lirih Miana.

Sisil mengangkat satu sisi alisnya, kakak tercintanya telah menunjukkan kekalahannya kembali kali ini. "Aku mau Bian, Kak. Kamu tahu, aku udah suka sejak dulu sama dia. Namun, kamu dengan teganya menerima dia! Walau kamu tahu aku menyukainya!"

Miana sudah tidak terkejut lagi, ia sudah bisa menebak bahwa ini yang adiknya inginkan. Dulu ia berusaha menghindar dari Bian karena Sisil juga menyukai Bian. Namun, Bian tidak menghiraukannya karena yang ia cinta adalah Miana, bukan Sisil.

"Perasaan itu nggak bisa di paksakan. Mulut bisa saja berkata iya, Namun, hati tidak akan bisa berbohong."

"Jadi, jangan paksa aku buat melepasmu dan bersama Sisil, Mia!" terang Bian, beberapa bulan yang lalu. Saat itu Miana berusaha menepis rasanya pada Bian, agar Sisil tidak tersakiti olehnya.

Miana begitu menyayangi Sisil, begitu pun juga Sisil yang amat sangat menyayangi Miana. Namun, semua berubah semenjak masuk di kelas pertama, sekolah menengah atas dua tahun yang lalu.

Suatu ketika, Sisil merasa, Papa sangat membanggakan Miana yang selalu juara kelas paralel dari kelas satu. Hingga memberikan hadiah sepeda motor saat Miana berulang tahun yg ke tujuh belas. Sedangkan tidak untuk Sisil.

Tampilan Sisil yang selalu rapi dengan tatanan rambut modis dan selalu menjaga tubuh dengan perawatan tiap minggunya membuat ia berfikir ulang, sia -sia saja perawatan jika harus bertemakan debu jalanan. Sisil akhirnya menerima keputusan Papa dengan alasannya yang mementingkan kesehatan Sisil yang menjadi prioritas semua anggota keluarganya.

Awalnya, Sisil tidak terima. Namun, papa memberi pengertian jika Sisil tidaklah sekuat Miana. Dengan penyakit asma yang sering kambuh jika terkena debu berlebihan.

Beruntung ,waktu itu Sisil segera menurut dan menerima keputusan Papa. Ia akan tetap berangkat sekolah bersama Papa, dan pulang dengan menaiki taksi.

Sebetulnya Miana pun juga bisa berangkat bersama Papa. Tapi, Sisil selalu memaksa Papa untuk menurunkan Miana jauh sebelum sampai pada sekolahnya.

Awalnya Miana tidak keberatan, Namun, setelah ia rasakan ketidakadilan ini, Miana memilih untuk menggunakan sepeda motor pemberian Papa agar terhindar dari kemacetan ibukota. Terlebih usainya yang sudah menginjak tujuh belas tahun.

Sisil tidak mau, satu sekolah mengetahui jika ia dan Miana adalah saudara. Entahlah. Mungkin karena ketenarannya sebagai anak donatur tetap Yayasan di sekolah tidak menghilang darinya. Bagi Sisil, Miana sudah banyak beruntung karena prestasinya di bidang akademik. Sedangkan ia tidak dapat lebih unggul dari Miana. Ia tidak ingin semua orang membandingkannya dengan Miana.

"Miana," panggilan dari Bian mengalihkan perhatiannya dari renungannya.

"Jadi, biarkan Bian melepasmu dan jangan mengusiknya lagi, Kak," hardik Sisil lirih.

Miana melirik adiknya, berusaha menahan genangan air yang siap terjatuh dari pelupuk matanya.

Bian datang terengah karena berlarian mencari keberadaan Miana dan Sisil. Melihat keduanya baik-baik saja, ia merasa lega. Meskipun ia tidak menyukai Sisil, tapi membiarkan Miana berbuat yang tidak-tidak sungguh bukan yang ia harapkan.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bian mendekati Sisil.

Tentu hal itu membuat Sisil bagai mendapatkan oase di gurun pasir. Sejuk dan membuat hatinya berbunga-bunga. Ia pasang wajah menyedihkan agar dapat menarik perhatian Bian.

"Nggak apa, Bian."

Sisil memegang tangan Bian dan menarik pergi dari sisi Miana.

Miana melihat kepergian Bian dan Sisil dengan nanar. Sekuat ia menahan air matanya keluar, nyatanya tumpah sudah. Ia terduduk pada bangku permanen. Pepohonan di sisi halaman sekolah membuat Miana sedikit meredakan panas terik matahari dan juga panas hatinya yang tengah hancur melihat hubungannya dengan Bian berakhir.

Miana menangkup wajahnya dan terisak sendirian disana.

Tanpa ia tahu, sedari tadi seorang lelaki bercelana jeans dengan kemeja yang di gulung rapi memerhatikan semua yang terjadi padanya. Ia hanya melipat kedua tangannya bersandar pada dinding ruang kesiswaan.

"Miana," panggil seorang gadis yang muncul dari koridor berlari kecil mendekati Miana.

Miana yang merasakan panggilan dari sahabatnya menoleh dan menghapus sisa air matanya, seraya tersenyum.

"Maafin aku, Na," pinta seorang gadis yang berkuncir ekor kuda, setelah sampai di hadapan Miana.

"Bukan salah kamu, Ris," tepis Miana.

Miana tahu, sahabatnya itu merasa bersalah atas apa yang menimpanya kali ini.

Riska, sahabat Miana, menarik tangan Miana untuk mengajaknya berjalan memasuki koridor kelas.

"Oh, namanya, Miana." Senyum kecil terbit di bibir seorang lelaki yang sedari tadi memerhatikan Miana. Dengan menyugar rambutnya, ia melirik pada pintu ruang kesiswaan yang masih tertutup. Ia segera berlalu untuk masuk ke ruang itu setelah dia yang di panggil Miana berlalu bersama seorang teman yang mengajaknya pergi.

☘️☘️☘️

Hai hai , mohon dukungannya kakak² ini karya kedua aku . Maafin dan mohon koreksinya bila banyak typo, maklum AQ baru baget di Dunia kepenulisan ini, jadi kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan.

🙏🙏🙏

Boleh follow igeh aku bila mau kenal lebih dekat dengan aku, @rna.darkchoco.14

TCM 2

Dua hari yang lalu

"Sayang, yakin kamu mau pulang sendiri?" tanya Bian lembut pada Miana.

Miana menyapu pandangan pada parkiran sekolah yang sudah tinggal beberapa motor di sana. Bisa di pastikan, hampir seluruh siswa sudah pulang dan tinggal beberapa motor milik tenaga administrasi sekolah yang masih stay di sana.

Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WIB, tapi Miana masih enggan untuk pulang karena rasa setia kawan pada Riska, sahabatnya yang masih mencari referensi tugas yang diberikan oleh guru mapel IPA tadi pagi.

Miana memasukkan laptop pada ranselnya. Ia mengangguk mantap pada lelaki di depannya yang sudah duduk di kap mobil. Sedangkan Miana sedang duduk di kursi sisi taman dekat parkiran sekolah, mengemas beberapa alat tulis. "Aku nungguin Riska, Yang. Nggak apa, khan?" tanya Miana seraya menutup resleting ranselnya.

"Kamu selalu setia kawan, yah. Itu kenapa, Riska selalu mementingkan kamu daripada Bayu yang notabennya adalah pacarnya."

Bian turun dari kap mobilnya lalu mendekat pada Miana. Ia mengacak poni tipis pada kepala Miana yang masih sibuk memasukkan kelengkapan alat tulisnya yang masih tersisa.

"Terang aja kamu belain Bayu, dia sohib kamu!" Miana mencurutkan mulutnya.

Bian diam memerhatikan Miana yang kini tengah mencari-cari sesuatu di dalam backpacknya. Setelahnya, ia tersenyum karena kekasih yang di pacarinya dari tiga bulan yang lalu begitu menggemaskan saat menemukan kesukaannya, permen lollipop.

Miana tersenyum hingga terlihat barisan giginya yang rapi. "Mau?" tawar Miana. Ia menyodorkan satu lolipop yang lain untuk Bian yang di hadiahi gelengan kepala dari Bian.

"Mau, tapi yang ada di mulut kamu."

"Aduh." Bian mengaduh karena bahunya menjadi sasaran cubitan dari Miana. Tentu saja itu hanya upaya Bian untuk meminta perhatian Miana. Namun, yang ada ia malah mendapat cubitan kecil dari kekasihnya itu. Meski begitu, Bian selalu suka kelakuan Miana yang jahil ini.

Miana yang menjadi pelakunya hanya terkekeh tanpa rasa bersalah, lalu menjulurkan lidahnya.

"Awas aja. Nakal sekali lagi, aku cium, kamu." Bian menggertak pada Miana, berusaha untuk membuat candaan.

"Silakan, aku bilangin sama Papa!" Miana melirik jahil pada Bian.

Bian selalu mendengar Miana yang sangat menyayangi papanya. Bian juga penasaran kenapa jika ia selalu mendapat larangan jika ia ingin berkunjung ke rumah Miana. Jika di tanya, selalu Miana menjawab jika papa akan marah, anaknya berani berpacaran. Padahal itu hanya alasan Miana agar menjaga perasaan Sisil.

Perbincangan receh kedua siswa-siswi itu berakhir ketika Riska datang. Bian memaksa keduanya untuk ikut bersama Bian di mobilnya. Lalu meninggalkan sekolah.

Di atas rooftop sekolah, seseorang sedang meremas tali ranselnya, seolah meluapkan rasa kesalnya pada pemandangan di parkiran sana.

☘️☘️☘️

Sampai di rumah, Miana yang melintas di ruang keluarga segera menyapa Papa dan Mama yang sedang berbincang. Tidak lupa ia mencium tangan orang tuanya itu. Miana selalu menantikan kedatangan Surya, papanya. Pekerjaan Surya yang sering ke luar kota untuk peninjauan proyeknya selalu membuat Miana bersedih. Intensitas bertemunya dengan papa selalu kurang.

"Jam segini baru pulang, kemana saja?" tanya Mama Miranti ketus.

Ia melirik Papa yang juga terlihat menunggu jawabnya. "Tadi nungguin Riska cari referensi di perpus, Ma," jawab Miana.

Lalu ia melirik Sisil yang berjalan ke ruang tengah dan mendaratkan bokongnya pada sofa tunggal di samping mama.

"Pacaran terus, dia, Pa," cicit Sisil.

Hal itu tentu mendapatkan tatapan menelisik dari Surya, membuat Miana menundukkan wajahnya. Ia sedikit merasa bersalah untuk hal ini, karena papa selalu melarangnya untuk pacaran. Papa ingin kedua anaknya fokus pada sekolahnya.

Tidak mau berlama-lama di sana, Miana pamit untuk ke kamarnya. Ia tidak ingin keributan terjadi antara ia dan Sisil.

Ia membuka room chat dengan Riska. Beberapa pesan dari Riska membuat ia membulatkan matanya. Setelah membaca keseluruhan pesan, ia bergegas untuk mandi. Tidak lama, Miana sudah bersiap dengan rok klok di atas lutut. Ia balut tubuhnya dengan tank top berwarna coklat, dengan jaket berwarna kuning. Sesuai permintaan Riska.

Sedikit terkekeh melihat pantulan dirinya dalam kaca besar di kamarnya. Beberapa hari yang lalu Riska iseng memesan baju kembar untuknya yang sama persis dengan milik Riska. Kekompakan keduanya bahkan seperti saudara. Padahal, dengan Sisil yang benar-benar saudaranya saja kini tidak sedekat itu.

☘️

Riska dan Miana pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana mereka sengaja menghabiskan waktu bersama, sekedar melihat-lihat tanpa membeli satu barangpun. Terkadang ia menghampiri baju atau barang yang menurutnya sangat lucu. Dan memutuskan untuk membelinya.

Riska dan Miana begitu bahagia dengan kebersamaannya. Ia sengaja tidak menghubungi Bian dan Bayu agar keduanya dapat menikmati waktu bersama. Tertawa kecil hingga terbahak jika melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

Seperti saat ini, keduanya hanya terkekeh melihat meja di belakangnya yang sedikit berisik. Terlihat sepasang kekasih sedang ribut kecil. Bukan menertawakan keributan orang lain melainkan tubuh oversize si cewek sangatlah kontras dengan tubuh proporsional cowoknya.

Miana dan Riska segera berlari ketika si cewek yang ia tertawakan melotot tajam pada keduanya dan berniat menghampiri keduanya tapi segera di tahan oleh cowoknya.

Tawa renyah Miana hingga memegangi perutnya, di susul timpukan singkat pada bahunya oleh Riska.

"Lucu, banget, sumpah," ucap Miana di sela tertawanya. Begitu juga dengan Riska yang masih mengendalikan tawanya.

"Padahal cowoknya, cakep baget. Tapi ceweknya, ...." cicit Riska dan kembali tertawa kompak.

Miana mendadak menghentikan tawanya saat matanya mengenali sosok yang berada di meja food court masakan Jepang. Sejurus kemudian ia melirik Riska, dan ternyata Riska juga menatap kepada objek yang sama, Sandi–papa dari Riska.

Tanpa di duga Riska melangkah lebar menuju ke meja ayahnya. Menggebrak meja itu hingga Sandi yang sedang merangkul mesra wanita di sampingnya membelalakkan matanya. Orang yang sedang bermesraan dengan ayahnya bukan bundanya. Hal itu membuat Riska merasa terbakar. Papanya telah bermain api di belakang mamanya.

Perdebatan tidak dapat di hindari antara Sandi dan Riska. Bapak-anak itu saling mengumpat karena Riska terlalu sakit melihat papanya tega mengkhianati mamanya.

"Hanya karena ja**ng ini, papa tega menduakan mama," ucap Riska.

Tanpa di duga wanita yang sedari tadi diam itu hendak melayangkan satu gelas vanilla blue ice pada Riska. Namun, Riska tidak merasakan basah pada tubuhnya. Ketika ia menoleh, Mianalah yang menghalanginya dan berakhir Miana yang tengah basah kuyup di badannya.

Riska segera mengajak Miana pergi dari pemandangan yang membuatnya jijik itu. Mereka ke toilet untuk menghilangkan lengket pada tubuh Miana. Udara malam di tambah pendingin Mall semakin dalam menusuk pori-pori kulit Miana.

Miana terpaksa melepaskan jaket yang membalut tubuhnya agar tidak membuatnya kedinginan.

Saat keluar dari toilet Riska segera di seret oleh Sandi dan mengabaikan teriakan Miana. Ia mengejar Riska tanpa perduki lalu-lalang pengunjung mall yang sedang ramai. Ia tidak sengaja menabrak seseorang pria paruh baya berpakaian rapi, hingga membuatnya terhuyung nyaris terjatuh.

Hal itu segera di manfaatkan oleh orang-orang yang sejak tadi memerhatikan Miana dan Riska, yang tanpa sengaja tertangkap di netra keduanya. Pose seorang pria paruh baya dengan Miana itu sungguh membuat dua gadis seumuran Miana itu memekik dan segera mengaktifkan mode kamera pada HP nya.

..._to be continue_...

Jangan lupa untuk tekan like dan komentarnya, ya, pren 🤗. Boleh sekali kasih penilaian buat karya ini, di sampul TCM , di barisan rate. Matur nuwun 🙏😍

TCM 3

Miana segera menegakkan tubuhnya.

"Terimakasih, Pak. Dan maaf karena saya sedang terburu-buru," ucap Miana segan pada pria paruh baya itu. Kecerobohannya karena menghawatirkan Riska membuat Miana tidak memerhatikan lalu lalang pengunjung Mall yang semakin malam semakin ramai saja.

Terlihat pria lain dengan stelan jas yang hampir sama berbisik pada pria itu. Setelah mengangguk pria paruh baya itu memandang teduh pada Miana.

"Tidak apa-apa, Nak."

"Lain kali hati-hatilah!"

Miana mengangguk patuh, sedangkan pria paruh baya tadi memeriksa arloji di pergelangan tangannya. "Sudah malam, sebaiknya kamu segera pulang, orang tua kamu pasti sedang menghawatirkanmu." Pria tadi menyempatkan menoleh pada asistennya yang terlihat tidak tenang.

"Iya, Pak. Terimakasih, kalau begitu saya permisi." Miana menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat pada kedua orang berbeda usia itu.

"Iya, silahkan."

Pria tadi memerhatikan Miana yang kembali berjalan cepat, seraya tersenyum teduh.

Di tempat yang berbeda, tapi dalam Mall yang sama dua orang gadis sedang duduk di meja cafe. Terlihat keduanya sedang mengutak-atik ponsel salah satunya. Senyum dan tawa renyah mereka memerhatikan benda pipih dalam genggaman tangan.

"Sil, aku kasih kejutan buat kamu. Pasti kamu suka🤭."

Satu pesan terkirim beserta foto yang mereka tangkap beberapa waktu yang lalu.

Di tempat lain, di balik selimut tebalnya gadis seusia Miana telah tersenyum smirk memerhatikan chat dari temannya.

"Good job."

Begitu pesan yang ia kirimkan untuk balasan chat itu. Sisilia Pramita, anak kedua dari pasangan Surya dan Miranti. "Nggak perduli itu siapa, Kak. Yang aku mau, cuma Bian."

Sisil menyingkap selimut dan beringsut dari tempat tidurnya. Ia menepi pada jendela kamarnya. Melipat kedua tangannya, memandangi gemericik air di taman tepat di samping kamarnya. "Andai saja kakak dulu mau mengalah. Dan nggak terima Bian, pasti aku nggak kaya' gini." Sisil bergumam tanpa ekspresi apapun.

Tanpa Sisil tahu, Miranti, mamanya diam memerhatikan anak keduanya itu dengan sayu. Ia ikut sedih melihat anaknya murung. Ia mendekati Sisil dan memegang bahu anaknya hingga menoleh. "Mama," sapa Sisil.

Sisil kembali menceritakan rasa sakit saat melihat Miana bersama Bian. Selalu begitu. Sisil selalu menumpahkan rasa pada mama. Begitu pula dengan Mama yang selalu hangat pada putri keduanya.

"Ma, aku mau Bian. Mama harus bisa ngomong sama Mia buat jauhin Bian, Ma."

"Sil, kenapa Bian lagi? Kamu cantik, nggak kalah cantik dari Mia. Kamu bisa dapetin cowok yang kamu suka. Cowok cakep di dunia ini nggak cuma Bian, sayang."

"Mama pikir, cinta Sisil ini bisa di setting? Enggak, Ma!"

Miranti tersenyum dan membawa Sisil ke dalam pelukannya. "Nanti mama peringatkan lagi sama Mia, ya." Sejenak, mereka terlarut. Hingga suara ojek online yang dapat terdengar dari kamar Sisil berhenti untuk menurunkan penumpang yang mereka kenali, Miana.

Sisil dan Miranti melerai pelukannya. Masih memerhatikan Miana hingga hilang dari jangkauan. Melalui mimik wajah mama yang kesal, Sisil menangkap ide untuk menjalankan misinya. "Marahin, tuh. Pulang larut banget. Kaya orang nggak bener aja," pinta Sisil pada mama.

Miranti yang sudah geram pun seakan di bumbui agar meluapkan kekesalan pada anak pertamanya. Ia berjalan cepat untuk keluar dari kamar Sisil untuk menemui Miana.

Miana yang baru meletakkan tas selempangnya, di kejutkan oleh kedatangan mama karena gebrakan kasar pada pintu kamarnya.

"Bagus, ya! Tiap hari keluyuran. Enak banget kamu. Mikir nggak, sih, kamu. Papa di sana banting tulang buat biayain sekolah kamu! Kamunya asyik main-main!" Miranti mencecar Miana dengan menunjukkan jari telunjuknya pada dahi Miana.

"Ma, ini weekend, tadi aku pergi sama Riska. Boleh lah, sekali-kali, Ma. Ini juga nggak tiap hari."

"Masih berani, ya, kamu jawab begitu!" Miranti menyentak dan mendorong bahu Miana. Lalu, ia membelalakkan matanya, saat menyadari cara berpakaian Miana.

"Kamu." Miranti menunjuk dari kepala hingga kaki Miana.

"Sejak kapan kamu jadi cewek ganjen, begini," sentak Miranti.

"Ma, ini nggak-"

"Kamu nggak jual diri, kan?" tuding Miranti.

"Ma," pekik Miana tidak terima.

"Apa?"

"Mia bisa jelasin, Ma. Tadi tuh ada insiden dan jaket aku basah kare-"

"Jangan bilang, kamu cari cara buat dapetin uang jajan kamu karena mama sita ATM kamu!" Miranti tergelak. Menoleh ke belakang, pada pintu kamar Miana. Di sana ada Sisil yang bersandar sambil melipat tangannya sambil menatap merendahkan.

"Kemarin kamu gunain uang melebihi batas. Sekarang masih kurang?"

"Mama, kenapa, sih. Mama selalu menduga-duga hal yang belum tentu terjadi. Miana bisa jelasin untuk apa uang itu, Ma. Mia tahu batasan! Mia juga nggak sembarangan gunain uang dari papa. Mia udah bilang berkali-kali. Mia bisa mempertanggungjawabkannya."

Transaksi di luar dugaan itu terbaca karena notifikasi seluruh transaksi langsung terkoneksi pada email papa. Bukan hanya pada kartu Miana, tapi juga pada kartu Sisil.

"Kamu masih, kecil, Mia. Bisa apa kamu! Selain nyusahin Papa sama Mama!"

"Ma. Tolong percaya aku. Aku memang rutin berbagi donasi di panti asuhan. Papa juga nggak mempermasalahkannya. Tapi jumlahnya tidak sebesar itu, Ma. Mia juga nggak tahu, kenapa jumlah sebesar itu bisa keluar dari transaksi Mia," jelas Miana frustasi.

Sudut bibir Sisil berkedut, menahan tawanya. Memerhatikan keributan mama dan kakaknya. Ia hanya menggeleng lemah tanpa berminat ikut di dalamnya.

"Sorry, ya, Kak. Aku terlalu cemburu sama kamu," batin Sisil.

Sisil tahu kegiatan rutin yang Miana lakukan setiap bulan. Dulu saat masih sekolah SMP ia tidak mempermasalahkannya karena ia juga sering di ajak Miana untuk memberikan pada panti asuhan yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Namun, karena rasa cemburunya yang sudah bertumpuk-tumpuk. Ia melancarkan aksi jahilnya.

Terlebih, beberapa hari yang lalu, ia melihat Miana bersama Bian mengunjungi panti asuhan itu berdua. Kedekatannya dulu dengan sang kakak membuat mereka saling terbuka, hingga saling tahu nomor pin ATM masing-masing. Dengan begitu mudahnya, Sisil mengambil ATM Miana untuk ia gunakan untuk mentraktir kedua temannya, pergi ke salon, belanja dan nonton di bioskop. Tentu saja hal itu bukan karena ia tidak mempunyai uang sendiri, melainkan karena ia ingin Miana dalam masalah.

Cinta sungguh membuat gila. Logikanya, sesama saudara hendaknya saling menyayangi. Namun, rasa iri dan dengki telah membutakan Sisil.

☘️

Saat jam ke-empat pembelajaran, Sisil meneruskan foto yang di kirimkan oleh kedua sahabatnya, Thea dan Hazel. Ia mengirimkan foto itu pada Bian saat pelajaran sedang berlangsung.

Ketika guru mapel menyudahi pembelajaran, Bian dengan segera membuka benda pipih yang sedari tadi bergetar di saku seragamnya.

Bian membelalakkan matanya saat tahu ini adalah foto dari kekasihnya. Pemandangan yang tidak biasanya itu membuat Bian seolah menahan kobaran api yang sedang membakar hatinya. Ia lalu spontan menatap tajam pada Miana yang duduk tidak jauh dari mejanya.

Tiba-tiba, seorang gadis yang mengetuk pintu kelasnya segera mendekati meja Bian dan memberikan satu amplop putih pada dada Bian seraya bersungut-sungut.

"Nih, lihat baik-baik, Kak!"

Raya, adik Bian segera berlalu dari kelas kakaknya itu. Sedangkan Miana yang baru tersadar akan kehadiran Raya hendak menyapa gadis itu. Namun, melihat raut wajah Raya yang melirik tajam padanya membuat ia mengurungkan niatnya. Miana pernah di kenalkan pada keluarga Bian, saat Miana menghadiri ulang tahun Bian yang ke -18. Saat itu keluarga Bian menerima dengan baik kehadirannya. Tapi Raya, berubah sejak beberapa hari ini.

"Raya, kenapa ya?" batinnya.

Miana menoleh pada kekasihnya yang duduk terhalang satu meja di sampingnya, seakan mencari jawaban. Ketika ia melihat raut wajah Bian yang diam menegang hingga memperhatikan urat halus pada lehernya membuat Miana mengeryit heran.

"Bian," panggil Miana dengan senyumannya yang khas, senyum yang menampilkan jajaran giginya yang putih bersih hingga membuat matanya menyipit.

Bian yang sudah tidak tahan segera menggebrak meja dan meninggalkan kelas.

Merasa heran, Miana segera mengejar Bian yang berjalan cepat menyusuri koridor sekolah. Dan saat itu juga, room chat grup kelasnya mulai ramai dengan kiriman foto Miana yang berada dalam rengkuhan seorang pria paruh baya.

Bian sempat berhenti melihat ponselnya ramai dengan notif chat mendadak ramai itu karena foto kekasihnya menjadi topik pembahasan.

"Jangan ada yang berani menyebarkan foto ini, kalau kalian mau selamat!" Bian mengirimkan komentar pada room chat kelasnya. Terbukti notifikasi beruntun itu segera berhenti dengan ancaman dari anak orang penting di sekolah mereka.

Miana yang sempat membuka room chat grup kelasnya mendadak panik dan semakin mempercepat langkahnya. "Bian, tunggu!" Miana berhasil menahan lengan Bian.

"Bian aku bisa jelasin!"

Bian berbalik dan menatap tajam pada Miana.

"Jelaskan!"

"Waktu itu aku sedang mengejar Riska yang di seret pa-,"

"Jangan bawa-bawa orang lain, Mia," teriak Bian. "Aku bisa saja menahan apapun. Kamu larang aku anterin ke rumah, Oke! Kamu batasin waktu jalan kita. Anything! But, not for my jelously!"

Bian memegang bahu Miana kasar. "Lo deket sama ketua OSIS, oke. Gue bisa terima, karena Lo seksi humas disana. Lo deket sama Rio, Dev. Oke, gue bisa terima, karena mereka satu kelompok sama Lo. Dan sekarang, Lo ada di peluk-peluk om om, dengan pakaian minim seperti itu! Gue nggak tahan, Mia!"

Bian kembali berjalan meninggalkan Miana dengan mata yang memerah menahan kemarahannya. Saat Sisil melintasi Miana dan berusaha mengejar Bian. Saat itu Miana menahan tangan Sisil.

"Kau, lagi, Sisil."

Sisil menepis tangan Miana dan mengejar Bian. "Bian!"

☘️☘️☘️

************************************

Terimakasih yang sudah mampir di cerita ku. jangan lupa like dan komentarnya ya,pren. Kasih penilaian juga di kolom rate.

😍😍😍

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!