NovelToon NovelToon

Sign Of Zodiac: Aries

[Sign 1: Aries] Tok Ara Anaru

Pemuda itu menghentikan langkahnya di atas bukit kecil yang tandus. Lagi-lagi ia hanya menemukan sebuah padang gersang. Telah lewat lima hari sejak ia meninggalkan rumah untuk menggembalakan domba-domba milik matunya[1]. Namun ia belum juga menemukan rumput hijau yang segar bagi kawanan domba itu. Sambil menghela napas pelan ia mulai menggiring kawanan domba menyusuri lereng bukit yang landai.

Berhari-hari ia telah berkeliling dari satu padang ke padang yang lain, namun tak satu tempat pun memiliki rumput yang layak dimakan oleh ternaknya. Semuanya telah layu dan mengering. Tak ada lagi warna hijau di tanah itu.

Bencana kekeringan yang berlangsung di Khitai selama bertahun-tahun telah mencekik denyut kehidupan dengan jari-jarinya yang keji. Pemuda itu sendiri telah kehilangan lebih dari separo kawanan ternaknya. Tidak hanya itu, bekal minum dan makannya sudah mulai menipis. Tak ada yang dapat diambil di alam yang kejam ini. Semua pohon meranggas, sungai mengering, bahkan udara pun terasa menyesakkan. Tanah tak lagi bersahabat, seakan sengaja ingin membunuh semua makhluk yang hidup di atasnya.

Akhirnya pemuda itu sampai di kaki bukit. Senja yang menguning, membuat pemandangan semakin tampak mati. Warna jingga di cakrawala tak lagi cantik karena beradu dengan tanah kering kecoklatan yang penuh retakan.

Sang pemuda kembali menghela nafas putus asa. Dibiarkannya para kawanan domba saling berebut sepetak rumput layu yang sudah separuh mengering. Ia sendiri harus beristirahat. Malam hampir menjelang dan ia harus mengumpulkan tenaga untuk mengusir segala ancaman yang biasanya datang saat malam tiba.

Ia sebenarnya bukan seorang penakut, namun desas desus mengatakan bahwa setelah matahari tak lagi bersinar, kinokambe[2] yang merajalela di tanah itu akan keluar dan memangsa apapun yang mereka temui. Tak ada satu orang atau binatang pun yang bisa selamat setelah bertemu dengan kinokambe.

Tentu saja ia tak percaya takhyul. Menurutnya ‘kinokambe’ yang banyak digosipkan itu tak lebih dari serigala hutan yang memang sering berkeliaran hingga ke desa-desa karena tak ada lagi buruan yang dapat mereka makan di hutan. Wajar saja, tak mungkin ada herbivora yang dapat bertahan hidup tanpa tumbuhan.

Pemuda itu tak terlalu peduli dengan ancaman serigala hutan atau kinokambe sekalipun. Meski hanya seorang gembala biasa, ia merasa cukup percaya diri dengan keahlian bela dirinya. Ia sering beradu pukul dengan beberapa pemuda lain di desanya. Bahkan ia pernah membuat seorang laki-laki yang merebut kekasihnya nyaris sekarat karena pukulannya.

Melawan serigala mungkin tidak lebih buruk daripada melawan manusia, pikir pemuda itu. Lagipula selama beberapa hari perjalanannya, tidak pernah sekalipun ia bertemu dengan serigala atau kinokambe yang banyak dibicarakan.

‘Mungkin hanya cerita rekaan untuk menakuti anak-anak di desa,’ pikir pemuda itu sambil mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak tersebar di dekatnya. Ia harus membuat api unggun. Serigala takut pada api.

Tekad kuat itulah yang akhirnya membuat api redup yang kian membesar berhasil menyala meski tanpa setetes minyak pun. Dengan puas pemuda itu menepuk-nepuk kedua tangannya lalu duduk bersandar pada sebatang pohon kering.

Malam mulai turun dan hawa dingin yang kontras dengan cuaca di siang hari yang terik mulai datang. Sejenak pemuda itu mengawasi kawanan dombanya yang sudah kehabisan rumput. Mereka mengembik gelisah seakan tak puas dengan porsi makannya beberapa hari ini.

Sang pemuda tak mengacuhkan rengekan domba-domba tersebut. Setidaknya mereka punya bulu-bulu tebal yang dapat menghangatkan tubuh mereka setiap malam datang. Ia sendiri hanya mengenakan pakaian berlengan panjang dari beludru berwarna abu-abu dengan kerah tinggi yang dipadukan dengan celana panjang dengan warna senada.

Pada ujung lengan, kaki, kerah serta dada berhiaskan ornamen khas sukunya yang berbentuk burung enggang berwarna merah dan kuning. Ia juga mengenakan tutup kepala berhiaskan bulu burung enggang yang mencuat memanjang ke atas.

Pakaian itu tidak setebal bulu-bulu domba. Hawa dingin dapat dengan mudah menelusup masuk dan membuatnya bergidik. Ia sedikit menyesal telah mengabaikan peringatan matunya untuk memakai pakaian yang lebih tebal.

Sudahlah, ia toh sebenarnya tidak ingin melakukan hal ini. Bila bukan karena permohonan uma[3]-nya, mungkin ia tidak akan pernah mau menggantikan pekerjaan matunya yang sedang sakit untuk menggembalakan domba-domba itu. Ia tak peduli meski nanti saat kembali tak ada satu domba pun yang bisa ia bawa pulang dalam keadaan hidup. Bukan salahnya bila semua padang rumput itu mengering. Ia justru senang bila semua dombanya mati. Sudah saatnya pekerjaan semacam ini ditinggalkan.

Ia tak habis pikir mengapa semua orang di desanya begitu bangga menjadi penggembala. Pekerjaan yang sama sekali tidak menantang. Pemuda itu baru berusia 16 tahun, dan ia sama sekali tidak ingin menyia-nyiakan masa mudanya untuk menjadi seorang gembala.

Ia selalu berangan-angan untuk bisa menjadi uluwero[4]. Uluwero adalah orang-orang yang bertugas untuk melindungi desa dari serangan suku-suku lain. Pekerjaan itu sangat dihormati oleh orang-orang di sukunya dan hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi uluwero. Mereka adalah ahli pertempuran laut, dan merupakan pelayar yang handal.

Desa suku Khitai, tempat pemuda itu tinggal adalah sebuah pulau kecil di tengah samudra Kanawallan. Khitai adalah salah satu dari dua belas suku di tanah Luteria yang terletak jauh di ujung selatan daratan besar. Kondisi geografis itu sedikit menguntungkan karena membuat suku-suku yang lain enggan menyerang daerah tersebut.

Meski begitu, peran uluwero tetap sangat disakralkan. Mereka merupakan simbol kekuatan dan kebanggaan suku Khitai yang mayoritas penduduknya adalah penggembala.

Menjadi uluwero. Itulah cita-cita pemuda itu. Ia kemudian mulai membayangkan dirinya bertempur di tengah laut dengan Mandau di tangan melawan orang-orang Leirus, Giyatsa atau Makhor. Khayalan itu membuai benaknya dan membuat semangat pemuda itu menggelora.

Sejenak ia melupakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa suasana telah berubah sunyi. Rengekan domba-dombanya telah lama berhenti. Kegelapan total melingkupi pemuda itu dan cahaya api unggun mulai meredup seolah dikalahkan gelapnya malam. Entah apa yang terjadi pada para domba.

Biasanya mereka masih terus mengembik hingga tengah malam atau kadang hingga pagi menjelang. Kini domba-domba itu begitu tenang meski malam baru saja datang.

Bahkan angin pun berhenti bergerak membuat udara menggantung ganjil dalam kesunyian malam. Sekali lagi pemuda itu tidak menyadari keanehan yang tengah terjadi. Ia masih tenggelam dalam khayalannya sendiri.

Mendadak terdengar bunyi berderak keras yang mengejutkan pemuda itu dan membuyarkan lamunannya. Serta merta pemuda itu menyadari bahwa dirinya telah dilingkupi kegelapan. Api unggun yang sebelumnya menyala terang benderang kini sudah nyaris mati.

Para domba yang berubah tenang pun semakin membuat pemuda itu merasa tegang. Bahkan langit pun tampak sangat lengang tanpa bintang-bintang yang selama ini menjadi penunjuk jalan bagi pemuda tersebut.

Dengan gerakan pelahan, pemuda itu mencabut pisau kecil dari pinggangnya sambil berusaha menajamkan semua indranya. Nyala api unggun telah mati sepenuhnya dan di tengah kegelapan total itu, sang pemuda sama sekali tidak bisa melihat apapun.

Bahkan meski ia telah berusaha keras menajamkan pendengaran, ia sama sekali tidak mendengar desau angin. Keadaan ganjil yang menegangkan itu berlangsung selama beberapa saat, sampai akhirnya sang pemuda memutuskan untuk mengambil tindakan berani.

“Ewa kei heka?[8]” tanya pemuda itu sedikit keras.

Tak ada jawaban.

“Ewa kei heka?! [5]” pemuda itu kembali berseru dengan lebih berani.

Detik berikutnya suara geraman panjang yang mengerikan menjawab seruannya. Bulu romanya langsung berdiri dan detak jantung berdetum cepat di dadanya. Pemuda itu langsung melompat berdiri dengan pisau kecil terhunus di depannya.

“Ewa kotu?! Bayan kei hetu![6]” seru pemuda itu dengan suara bergetar.

Sekali lagi suara geraman menjawab seruannya. Meski gentar, pemuda itu tetap waspada. Ia berusaha mengira-ira sumber suara geraman itu, namun rasanya suara itu berasal dari segala arah. Tiba-tiba pemuda itu menyadari di hadapannya, kurang lebih lima meter di depannya, sepasang mata merah yang sangat besar dan bengis tengah menatapnya dengan hawa membunuh.

Mata yang sangat besar dan merah itu melayang di tengah kegelapan. Selama beberapa menit mengamati, pemuda itu menyadari bahwa ia tengah bertatapan dengan makhluk yang tingginya mungkin dua kali tinggi tubuhnya.

Untunglah, di saat yang tepat pemuda itu menemukan keberaniannya. Setidaknya ia kini tahu bahwa ia menghadapi semacam binatang hutan yang sedikit lebih besar darinya. Tapi itu bukan masalah, karena kedua mata merah besar itu terlihat jelas di tengah kegelapan dan dapat membantu sang pemuda melihat gerakan makhluk tersebut.

Sambil mengatur nafas untuk menenangkan diri, pemuda itu bersiap melancarkan serangannya. Namun, sebelum si pemuda sempat melakukan langkah pertamanya, makhluk tersebut sudah menerkamnya dengan kecepatan yang nyaris tak terlihat. Reflek pemuda itu membanting tubuhnya ke samping untuk menghindar di saat yang tepat. Nyawanya tertolong tapi bahu dan lengan kirinya terkena cakaran makhluk tersebut.

Rasa panas dan ngilu menyerang tubuh pemuda itu. Ia merasakan aliran darah mengucur deras melewati dada dan perutnya. Pemuda itu merintih pelan tapi segera berusaha berdiri dan menghadapi makhluk misterius tersebut.

Sekali lagi makhluk tersebut mengeluarkan suara geraman yang mendirikan bulu roma. Tapi sang pemuda tak lagi terlalu takut. Keberaniannya telah bangkit sepenuhnya. Malah kini ia merasa tertantang untuk mengalahkan makhluk asing tersebut.

Dengan penuh semangat, ia menerjang ke arah makhluk raksasa di hadapannya. Meski lengan kirinya mulai terasa kebas, ia tetap nekat. Namun, sebelum ia berhasil mencapai makhluk itu, tiba-tiba tubuhnya disambar oleh sesuatu yang lembut, hangat dan harum. Selama beberapa waktu ia terlena dengan wangi hutan tropis yang sejuk hingga merasa seperti melayang di udara.

Ia yakin sesuatu yang menyambarnya bukan makhluk yang tengah dilawannya, karena ia dapat melihat sepasang mata merah besar yang bengis itu menjauh darinya.

Detik berikutnya ia terlempar dari udara dan menghantam tanah kering yang keras. Rasa ngilu di bahunya menyadarkan pemuda itu kembali ke kenyataan. Sambil mengerang keras, ia kembali bangkit dan mencari keberadaan makhluk misterius yang menyerangnya.

Sayangnya kegelapan sepertinya telah menelannya. Kepalanya terasa begitu pusing dan berat. Pemuda itu pun kembali terjatuh menghantam tanah dan kehilangan kesadaran.

...***...

[1] matu: Ayah

[2] kinokambe: Roh jahat

[3] uma: ibu

[4] uluwero: Pasukan pelindung suku Khitai.

[5] Ewa kei heka?: Siapa di sana?

[6] Ewa kotu?! Bayan kei hetu! :Siapa kau?! Kalau berani, datang kemari!

[Sign 1: Aries] Suku Giyatsa

Pemuda itu bermimpi menjadi seorang uluwero. Dalam mimpinya, ia mengenakan seragam kebesaran pasukan Khitai tersebut – celana pendek dan pakaian abu-abu tanpa lengan dengan ornamen berwujud singa berwarna merah dan kuning berhiaskan manik-manik serta bulu burung enggang –.

Ia tengah berada dalam ritual penobatan. Di depan tahta batu berbentuk punden berundak, pemuda itu berlutut khusyuk. Putri Aroha, pemimpin suku Khitai, menyematkan ikat kepala berhias bulu burung enggang ke kepalanya sambil mengucapkan sumpah penobatan.

Pemuda itu benar-benar bangga. Di sudut matanya ia melihat matu dan uma-nya tersenyum bahagia. Akhirnya ia dapat membuktikan pada semua orang bahwa ia memang seorang uluwero. Ia adalah laki-laki terhormat. Di sudut lain matanya pemuda itu juga melihat Kaharab, laki-laki yang telah merebut kekasihnya, Ngaio.

Kaharap berdiri di samping Ngaio dengan wajah masam. Jelas terlihat ia merasa iri dengan posisi yang tidak dimilikinya. Ia hanya seorang gembala biasa. Pemuda itu tampak puas. Diliriknya Mandau yang tersarung rapi di pinggangnya. Ia benar-benar telah menjadi seorang uluwero.

Samar-samar pemuda itu mendengar suara derak kayu dan mencium aroma daging panggang. Mungkin uma-nya tengah memasak domba panggang untuk merayakan penobatannya. Bahkan cuaca terasa bersahabat. Ia merasa sangat hangat meski hanya mengenakan celana pendek dan pakaian tanpa lengan.

Tunggu. Apa?! Hangat? Penobatannya dilakukan siang hari. Seharusnya matahari yang terik terasa membakar di siang hari. Bagaimana bisa ia merasa hangat? Mendadak rasa panas mulai menjalar dari bahu kirinya, disusul nyeri yang tak tertahankan. Pemuda itu mengerang keras lalu terbangun.

Di hadapannya kini sudah menyala api unggun besar dengan sebongkah daging domba tengah dipanggang di atasnya. Tutup kepala burung enggangnya berada tak jauh darinya, tergeletak begitu saja di atas tanah. Dengan bingung pemuda itu berusaha bangun dari posisi tidurnya.

Namun rasa nyeri di bahu dan lengannya membuat pemuda itu akhirnya memutuskan untuk tetap pada posisi semula. Ia hanya menoleh ke segala arah untuk mencari penjelasan akan kondisinya. Tak berapa lama kemudian ia melihat seorang gadis berpakaian aneh duduk di sisi seberang.

Gadis itu mengenakan mantel bulu aneh dan topi yang memiliki ekor. Jelas bukan jenis pakaian yang dapat ditemukan di pulau tersebut.

“Ewa kotu?” tanya pemuda itu setengah mengerang.

Gadis itu mendongak menatap sang pemuda dengan sepasang mata abu-abu cemerlang. Senada dengan warna matanya, rambut gadis itupun berkilau keperakan dan tergerai sepanjang punggung. Namun meski rambutnya berwarna putih keperakan, sepertinya gadis itu seumuran dengannya.

“Ewa kotu? He nare tok saba?[1]” ulang pemuda itu.

Gadis itu tetap terdiam sambil menatapnya. Pemuda itu mendengus putus asa. Sepertinya sia-sia bicara dengan gadis itu. Entah ia memang bisu atau menolak bicara dengannya, yang jelas sepertinya gadis itu tidak berniat buruk terhadapnya.

“Tok ara Ānaru. Tēnāko[2],” kata pemuda itu mencoba ramah.

Gadis itu tampak menghela nafas lelah. Ia kemudian mulai menyodok-nyodok kayu yang membara di tengah api.

“Dengar. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan. Aku juga tidak yakin kau mengerti kata-kataku. Tapi setidaknya aku harus mencoba bicara. Bila memang kau tak mengerti apa yang kukatakan…” kata gadis itu kemudian membuat tanda silang di depan mulutnya dengan dua jari telunjuk.

“… lebih baik kita tidak saling bicara,” lanjut gadis itu pendek. Ia kemudian mulai membalik bongkahan daging domba yang sudah mulai matang.

Di sisi lain, pemuda itu, Ānaru, tampak terperangah. Ia menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. Seharusnya ia tahu gadis itu tidak berasal dari Khitai. Pakaian serta penampilannya tidak seperti orang Khitai. Orang-orang Khitai memiliki rambut hitam dan mata yang juga hitam cemerlang, seperti milik Ānaru.

Pemuda itu pun memiliki rambut cepak yang sedikit berantakan serta bola mata hitam yang selalu penuh semangat. Orang-orang Khitai juga rata-rata berkulit kuning langsat, sementara kulit gadis itu seputih awan yang berarak di langit siang.

“Kau bukan orang Khitai…” desah Ānaru takjub. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan Ānaru. Namun hanya satu kalimat itu yang berhasil terucap di bibirnya.

“Apa kau bilang?” tanya gadis itu kemudian. Ānaru buru-buru mengerjap untuk menyadarkan pikirannya.

“Maaf, seharusnya aku tahu kau tidak mengerti bahasa Khitai. Mmm… Namaku Ānaru… senang bertemu denganmu,” kata Ānaru terbata-bata.

“Oh syukurlah kau bisa bahasa umum. Hampir semua gembala yang kutemui sebelum ini tidak mengerti apa yang kukatakan. Syukurlah aku bertemu denganmu,” kata gadis itu tampak benar-benar gembira.

Ānaru tersenyum kecil. Tentu saja ia bisa bahasa umum. Ia sudah menghabiskan puluhan ekor domba matu-nya untuk membayar seorang uluwero agar mau mengajarinya bahasa tersebut. Itu adalah salah satu syarat untuk menjadi seorang uluwero, jadi ia benar-benar berusaha keras untuk menguasainya. Ānaru memang serius ingin mewujudkan cita-citanya.

“Pulau Khitai memang jauh dari daratan Luteria. Tidak ada banyak interaksi dengan orang di luar pulau ini, karena itu tidak banyak orang merasa perlu belajar bahasa umum,” kata Ānaru menjelaskan.

“Yah, aku tahu. Itu salah satu kendala yang cukup serius,” sahut gadis itu mengangkat sebelah alisnya.

Ānaru mendengus kecil. Ia tak menyangka akan mengalami petualangan hebat ini setelah enam hari meninggalkan rumahnya. Ia bertemu makhluk buas kemudian gadis dari suku lain.

“Tunggu. Kalau kau tidak berasal dari sini, berarti kau adalah orang dari suku lain. Kau adalah musuh Khitai! Bagaimana kau bisa memasuki pulau kami dan melewati penjagaan para uluwero?!” seru Ānaru terperangah. ia segera terbangun dari tidurnya dan sejenak melupakan rasa sakit di bahunya.

Keputusan itu berakibat fatal, karena detik berikutnya bahunya kembali berdenyut-denyut nyeri. Tapi Ānaru tak peduli. Sebagai calon uluwero, ia harus melindungi sukunya dari penyelundup asing.

Tapi sepertinya gadis itu tampak tenang-tenang saja. Ia malah sempat mengiris daging domba dengan belatinya dan memberikan potongan daging itu pada Ānaru. Tapi pemuda itu bergeming. Ia masih menatap si gadis dengan curiga. Akhirnya gadis itu menyerah. Ia mengela nafas sejenak lalu kembali ke tempat duduknya.

“Itulah yang kubenci dari suku kalian. Orang-orang Khitai selalu curiga pada orang asing. Kalian terlalu menutup diri dan menganggap diri kalian hebat. Kutanya padamu, apa untungnya menyerang Khitai? Kalian sudah tidak punya apa-apa lagi.

Padang rumput yang subur dan kawanan ternak yang melimpah itu hanya masa lalu. Kini semuanya sudah hilang. Kalian bahkan tidak punya gaya hidup yang cukup beradab,” komentar gadis itu sambil menggigit potongan daging dombanya.

“Apa kau bilang?! Kami tidak beradab?! Lihat siapa yang bicara?! Diam-diam menyusup kemari tanpa identitas yang jelas. Aku yakin kau sudah membunuh pasukan uluwero yang berjaga di pintu masuk Khitai untuk bisa sampai kemari!” seru Ānaru penuh emosi.

Ia kemudian bangkit berdiri dan mencari-cari pisau kecilnya. Tapi sepertinya gadis itu telah menyembunyikan pisau itu. Ānaru memutuskan untuk menyerang gadis itu dengan kepalan tinjunya. Tapi dengan lincah gadis itu berkelit menghindari serangan-serangan Ānaru, bahkan sambil masih menggigiti daging dombanya.

[1] Apa yang terjadi padaku?

[2] Namaku Ānaru. Salam.

[Sign 1: Aries] Ramalan

“Ini juga yang kubenci dari orang Khitai. Kalian sama sekali tidak bisa mengukur kemampuan kalian sendiri. Kau tahu, pasukan-apalah-itu yang kau sebut tadi, aku sama sekali tidak kesulitan menghadapi mereka. Kurasa tak ada satupun orang dari suku kalian yang bisa menjadi petarung, bagaimanapun kalian hanyalah suku penggembala,” kata gadis itu mengejek.

Ānaru semakin terbakar emosi. Serangannya semakin membabi buta. Ia sudah sepenuhnya melupakan rasa sakit di tubuhnya. Ia kini hanya berfokus untuk menyerang gadis yang sudah menghina sukunya dan mengalahkan pasukan uluwero. Namun gadis itu benar-benar lincah. Ia melompat, berkelit dan menangkis serangan Ānaru dengan sangat baik. Sejauh ini Ānaru hanya menjadi bulan-bulanan gadis tersebut.

Akhirnya setelah beberapa menit yang melelahkan, pergulatan tak seimbang tersebut diakhiri dengan hantaman keras oleh gadis itu tepat di dada Ānaru, dan membuatnya terdorong jatuh sejauh dua meter. Ānaru terbatuk pelan karena hantaman itu. Ia benar-benar lelah dan nyaris tak sanggup berdiri lagi. Akhirnya ia pun merebahkan diri di tanah kering yang keras. Anehnya, ia tidak lagi merasakan nyeri di bahunya.

“Dengar dan perhatikan,” kata gadis itu tiba-tiba.

Tapi Ānaru tidak mengacuhkannya. Ia kini duduk dan benar-benar terkejut melihat luka di bahunya sudah sembuh sempurna, bahkan tak berbekas. Bagaimana hal semacam ini bisa terjadi?

“Ānaru!” seru gadis itu tampak kesal.

“Ah, ya,” kata Ānaru yang masih mengagumi keanehan tubuhnya.

“Tidak perlu terkejut. Aku yang baru saja menyembuhkan lukamu,” kata gadis itu malas.

“Hah? Kau? Bagaimana bisa?” tanya Ānaru bingung.

“Itu salah satu kemampuan suku kami,” jawab gadis itu kemudian kembali mengiris daging domba.  “Duduklah dengan tenang. Akan kuceritakan semuanya,” lanjut gadis itu sembari menyodorkan potongan daging domba pada Ānaru.

Ānaru menurut, lalu kembali duduk di depan api unggun sambil menikmati daging domba yang sedap. Ia memutuskan bahwa ternyata sia-sia saja melawan gadis itu sendirian. Mungkin sebaiknya ia menuruti gadis itu untuk beberapa saat sambil memikirkan cara untuk kembali ke desanya secara diam-diam dan memanggil para uluwero untuk menangkapnya. Lagipula Ānaru juga menyadari bahwa ternyata perutnya benar-benar lapar.

“Namaku Airyung. Aku berasal dari suku penunggang kuda Giyatsa. Aku kemari untuk melakukan sebuah misi penting. Tapi sebelum aku menceritakan tentang misiku, aku ingin meminta bantuanmu,” kata gadis yang ternyata bernama Airyung tersebut.

“Bontuon opo?” tanya Ānaru dengan mulut penuh makanan.

“Aku harus mencari seorang Khitai yang sangat penting. Orang itu memiliki kekuatan untuk mendatangkan perdamaian di tanah Luteria ini,” kata Airyung sungguh-sungguh.

“Orang penting di Khitai? Maksudmu Putri Aroha? Dia memang sangat penting bagi suku kami, tapi aku tak yakin dia bisa mendatangkan perdamaian di Luteria,” jawab Ānaru setelah berhasil menelan daging domba di mulutnya.

“Aku tidak tahu. Dia bisa saja Putri atau gembala biasa. Dia adalah orang yang ditakdirkan untuk melawan chögörü[1] dan memanggil ‘jiwa sang raja’ untuk memerintah Luteria,” jelas Airyung.

“Chögörü?” Tanya Ānaru tak mengerti.

“Roh jahat yang mengutuk tanah Luteria,” terang Airyung pendek.

“Maksudmu kinokambe?” sahut Ānaru memastikan.

“Yah, mungkin itu sebutannya di sini. Roh-roh jahat itu punya banyak sebutan yang berbeda di setiap daerah.”

“Kalian orang Giyatsa juga percaya omong kosong semacam itu?”

Airyung tampak marah mendengar komentar Ānaru. Gadis itu mendelik tajam menatap Ānaru yang tampak tidak acuh.

“Chögörü itu bukan omong kosong. Salah satu dari mereka baru saja menyerangmu,” kata Airyung serius.

“Apa? Makhluk yang menyerangku tadi kinokambe?” tanya Ānaru terkejut.

Airyung mengangguk pelan.

“Dan kau mengalahkannya seorang diri?” lanjut Ānaru tampak sedikit kagum.

“Tentu saja. Aku terlatih untuk melakukannya. Aku adalah anggota suku penunggang kuda. Pertempuran kecil semacam itu tidaklah sulit,” jawab Airyung sambil mengangkat bahu.

Ānaru tampak sedikit mengagumi gadis itu. Ia menyesal tidak bisa melihat secara langsung pertempuran Airyung dengan kinokambe yang menyerangnya.

“Tanah Luteria benar-benar telah dikutuk,” kata Airyung tiba-tiba. Roman mukanya kini berubah muram.

“Padahal Luteria sangat makmur sebelumnya. Tapi karena suatu ketika…” lanjut Airyung yang tak bisa menyelesaikan kalimatnya.

“Ya… ya… aku tahu cerita itu. Pada jaman dahulu, dua belas suku di Luteria hidup berdampingan dalam damai. Tanah Luteria begitu subur dan kaya hingga membuat semua penduduknya hidup sangat sejahtera. Namun suatu ketika dua belas anak dari dua belas suku tak sengaja membuka tabir keramat di pohon Koror dan membebaskan Roh-roh jahat yang terkunci di dunia bawah.

"Sejak saat itu tidak ada lagi kedamaian di tanah Luteria. Bencana kekeringan, kelaparan serta wabah menghantui setiap pelosok Luteria. Suku-suku saling berperang satu sama lain. Dan roh-roh jahat itu, yang berkeliaran setiap malam tiba, akan memangsa siapapun yang ditemuinya. Cerita selesai,” dongeng Ānaru panjang lebar.

“Tidak ada satu kata pun dalam cerita tersebut yang masuk akal bagiku,” lanjut Ānaru berkomentar. Ia kemudian kembali menikmati daging dombanya yang tersisa separuh.

Airyung menarik nafas dengan sabar. Tampaknya ia harus berusaha lebih keras menyakinkan satu-satunya pemuda yang mungkin dapat membantunya.

“Aku mengerti kalau kau tidak percaya pada kisah yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Tapi ceritamu itu belum sepenuhnya selesai. Lanjutan dari cerita itu adalah sebuah ramalan mengenai masa depan. Ramalan yang diucapkan oleh seorang gadis suku Ehawee tepat sebelum bencana di tanah Luteria terjadi,” ujar Airyung bagitu meyakinkan.

“Romolon suku Ehowo?” tanya Ānaru lagi-lagi dengan mulut penuh makanan. Ia mencaplok habis semua daging dombanya dan menyisakan sebuah tulang paha besar.

“Benar. Kau juga pasti tahu Ehawee adalah kota suci di Luteria. Mereka menghormati para gadis perawan yang memiliki kemampuan meramal. Dan ramalan gadis-gadis itu memang selalu tepat.”

“Jadi, apa isi ramalan itu?” tanya Ānaru setelah bersusah payah menelan daging domba di mulutnya.

Airyung memejamkan mata sejenak lalu menarik nafas panjang. Ia kemudian berbicara dengan nada khusyuk.

 

...“Saat bulan Skirof berakhir di tahun kabisat ke dua belas...

...Gerbang Orion akan terbuka...

...Dua belas kesalahan akan ditebus...

...Oleh dua belas bintang dari dua belas penjuru...

...Mengundang murka sang pencuri kedamaian...

...Hanya dua belas atau tidak sama sekali”...

... ...

Airyung kembali membuka matanya dan melihat Ānaru yang melongo dan menatapnya dengan pandangan kosong.

“Mmm… maaf, bisakah kau langsung menjelaskan artinya saja? Aku tidak berbakat dalam hal ramal meramal,” kata Ānaru kemudian.

Airyung memutar matanya dengan kesal. Ia benar-benar lelah menghadapi orang-orang di pulau ini. Sepertinya memang tidak ada gembala yang cukup waras di suku ini.

“Baiklah, akan kujelaskan. Tahun ini adalah awal tahun kabisat ke dua belas dari sejak ramalan itu dituturkan. Dan kita baru saja memasuki awal bulan Hekat. Menurut ramalan itu, dua belas bulan dari sekarang, atau akhir tahun ini tepatnya di bulan Skirof, gerbang Orion akan terbuka dan menebus kesalahan dua belas anak yang membuka tabir keramat pohon Koror.

"Namun gerbang tersebut hanya dapat dibuka oleh dua belas orang terpilih dari dua belas suku. Dua belas orang itu akan membangkitkan kemarahan roh-roh jahat yang mengutuk tanah Luteria karena mereka dapat membuat roh-roh jahat tersebut kembali ke dunia bawah. Karena itu roh-roh jahat juga akan berusaha mencari keduabelas orang terpilih itu untuk membunuh mereka,” jelas Airyung panjang lebar.

[1] Chögörü: Roh jahat dalam bahasa Giyatsa

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!