NovelToon NovelToon

SIANIDA (Siap Nikah Sama Duda)

Pindahan

"Huft... akhirnya beres juga." Lisa menghela napas lega karena semua barang miliknya sudah beres di bungkus. Sekarang ia tinggal menunggu jemputan sang Kakak.

Hari ini Lisa memang akan kembali ke kampung halaman karena sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya. Dan sudah mengantongi gelar sarjana. Sebenarnya bisa saja kemarin itu Lisa ikut pulang dengan keluarga besarnya yang datang untuk menghadiri acara wisuda. Hanya saja terlalu banyak barang miliknya di kos yang tidak mungkin ditinggal. Mau di jual juga rasanya sayang. Karena benda-benda itu sangat berarti untuknya.

"Ah... akhirnya aku bisa meninggalkan kota penuh kenangan ini dan kembali ke kampung halaman. Senangnya." Gumam gadis itu tersenyum lebar. Ia sudah tidak sabar untuk menghirup udara segar di tempat kelahirannya.

Lima belas menit kemudian, jemputan pun tak kunjung datang. "Aduh, lama banget si Aa... kemana sih? Jangan bilang dia pacaran dulu sama Teh Devi. Ngeselin banget sih."

Karena kesal menunggu, Lisa pun terus mondar-mandir di depan kosnya. Menunggu jemputan yang tak kunjung datang itu. Syukurnya tidak lama dari itu mobil jemputan pun datang.

"Ini dia orangnya baru nongol." Lisa pun mengacak pinggang sambil menunggu si supir turun dari mobil.

"Maaf, Neng. Tadi bannya bocor." Aa Asep pun turun dari mobil tua milik Abahnya dengan senyuman lebar. Tidak lama Teh Devi, kekasihnya pun ikut turun.

"Alah, bilang aja kalian pacaran dulu kan?" Semprot Lisa memberikan tatapan sengit.

"Hehe... ya gitulah. Kapan lagi cobak bisa pacaran di kota."

"Eleh... palingan juga makannya di warung pecel lele."

"Tau aja si Eneng. Udah mana barangnya? Si Mamah udah nunggu dari tadi."

"Bawain lah di dalam semua barangnya. Tar aku aduin sama Mamah, kalau Aa sama Teh Devi pacaran dulu sampai aku jamuran di sini kelamaan nunggu."

Teh Devi yang mendengar itu pun tertawa lucu. "Hayuk, teteh bantu juga bawa barangnya."

"Ya udah atuh hayuk."

Satu jam berlalu, kini semua barang milik Lisa pun sudah berpidah ke mobil.

"Edan si Eneng mah, kuliah atau pindahan sih?"

"Maklumin aja, soalnya banyak barang hadiah. Itu lemari, di kasih sama si Bella, anaknya pak bupati. Terus itu ada sepeda, di kasih sama Neng Desi, anak pengusaha besar. Terus itu ada lagi springbad, di kasih sama Mona, ponakan sultan Andara."

"Wih, hadiah wisuda udah kayak seserahan kawin aja. Aneh bener nya teman-teman si Eneng mah." Celetuk Aa Asep yang disambut tawa oleh Teh Devi.

"Katanya sengaja biar buat kenang-kenangan. Udah ah, ayok kita berangkat. Gak sabar mau meluk Mamah."

"Idih, baru juga ketemu kemarin lusa."

"Namanya juga udah setahun gak pulang. Rindu kali, A."

"Ya udah atuh hayuk. Gak ada yang tinggal lagi kan?"

"Ada, kenangan yang gak mungkin bisa dibawa."

"Aduh, gini nih kalau punya adek lebay."

"Huh, tapi sayang kan?"

"Iya sih, hehe."

"Dasar."

Mereka bertiga pun langsung naik ke mobil, kemudian meninggalkan kos-kosan sederhana itu dengan perasaan senang. Dan perjalannan pun berlangsung empat jam lamanya.

****

"Mamah!" Lisa berteriak histeris saat mobil yang ditumpanginya sampai di depan rumah. Gadis itu pun melompat dari mobil dan langsung berlari menghampiri Mamahnya yang sedang memberi makan ikan di kolam. Lalu berhambur memeluk wanita paruh baya itu seerat mungkin.

"Aduh, peluknya jangan kenceng-kenceng. Kalau masuk kolam gimana?"

"Tinggal berenang aja, Mah. Kangen tahu gak sih?"

"Ck, kemarin itu kan udah ketemu. Malah kamu tidur sama Mamah sampe Mamah sesak napas karena kamu peluk terus."

Lisa cengengesan mendengar itu. "Kangen masakan Mamah."

"Ck, bilang aja kamu lapar."

"Tau aja sih Mamah aku ini, hehehe."

"Udah sana makan, Mamah udah buatin sambel terasi plus lalap, sama itu si peda goreng kesukaan kamu."

"Sayur asemnya gak ketinggalan kan, Mah?"

"Enggak dong."

"Wah... beneran Mah? Asik... makan dulu ah, love you Mamahku yang paling cantik." Setelah mengatakan itu Lisa pun langsung melesat cepat menuju dapur.

Matanya langsung berbinar saat melihat beberapa ikan asin peda tertidur pulas di atas piring, juga satu cobek sambel terasi plus lalap kesukaannya. Di tambah lagi satu baskom sayur asem yang bikin ngiler. Beh... seketika air liur Lisa meleleh melihat makanan super lezat itu. KFC sama Pizza mah kalah kalau sama yang satu ini. Kalah jauh pokoknya mah.

Tidak ingin membuang waktu, Lisa pun langsung mengambil piring dan mencicipi semua hidangan yang ada di meja makan.

"Mah, makanan buat si Abah udah di pisahin kan?" Teriak Lisa.

"Udah, Neng."

Lisa pun tersenyum lebar, dan tanpa ragu lagi ia melahap makanan favoritnya itu.

Setelah perutnya kenyang, Lisa pun membantu si Aa mengangkat barang.

"A... bantu atuh ini berat banget." Seru Lisa seraya mengangkat koper miliknya. Lalu dengan sigap A' Asep pun membantunya.

"Lagian isinya apa sih? Bom lain sih?"

"Ih... mana punya Eneng yang kayak gituan. Ini itu isinya barang berhaga Eneng semua."

"Hih, paling juga kolor butut."

"Enak aja, emang Aa, kolornya udah sobek-sobek juga masih dipake."

"Hehe... habis enak dipakeknya kalau yang bolong-bolong."

"Ih... kayak gak pernah dibeliin yang baru aja sama Mamah. Padahal tiap minggu juga dibeliin. Yang ada kolor baru pun dibolongin, kebiasaan. Aneh banget punya Aa padahal cuma satu."

"Namanya juga limited edition."

"Serah ah. Kenapa gak sampe-sampe ke kamar sih? Keasikan ngobrol sih. Padahal mah bahasnya cuma kolor."

"Lah, situ yang duluan."

Lisa menyebikkan bibirnya. Lalu keduanya pun memasukkan koper berukuran jumbo itu ke kamar Lisa.

Setelah semua barang itu berhasil di bawa ke kamar. Lisa menghampiri Mamahnya yang sedang nyabut rumput di depan gerbang rumah.

"Loh, ngapain di luar pagar pake di bersihin segala, Mah?" Tanya Lisa merasa heran.

"Ck, kamu mah gak tau kalau desa kita lagi ngadain lomba rumah paling bersih. Makanya Mamah mau bantai semua rumput yang ada di sini. Kebetulan ada Devi yang bantu."

Yang disebut namanya pun cuma tersenyum sambil mencabut rumput tetangga. Eh... maksudnya rumput membandel.

"Eh... sini atuh bantuin, jangan cuma nonton aja."

"Ih... Mamahnya gak tau aja Eneng teh masih bengek habis angkat barang berat."

"Itu kan barang kamu sendiri. Udah sini jongkok."

"Iya deh iya." Mau tidak mau Lisa pun ikut cabut rumput meski bibirnya maju beberapa inci.

"Nenek!" Teriak anak kecil yang berhasil menyita perhatian ketiga wanita itu.

Lisa mengerut bingung saat melihat anak laki-laki berpakain rapi mendatangi Mamahnya.

Anak siapa itu? Ganteng banget. Pasti Mamah sama Abahnya pasangan cucok. Lisa tersenyum sendiri membuat imajinasi tentang kedua orang tua anak itu.

"Eh... ada si kasep. Mau kemana udah ganteng?" Tanya Mamah terlihat akrab.

"Hari ini Papah mau ajak aku jalan-jalan, Nek. Nenek mau ikut tidak?"

"Engak usah ah nenek mah, lagi nyabut rumput soalnya."

"Yah... padahal Ray pengen banget Nenek ikut."

"Lain kali deh nenek ikut ya?"

"Beneran? Promise?"

"Eh.. iya pro...promis pokoknya mah." Balas Mamah bingung karena tidak bisa bahasa inggris.

"Psttt... siapa sih?" Bisik Lisa pada Teh Devi. Lalu gadis manis itu pun menoleh.

"Anak tetangga baru di depan." Teh Devi pun menunjuk rumah besar tepat di depan mereka.

"Eh! Kok aku baru sadar rumahnya udah bersih dan cantik. Setaun yang lalu perasaan rumahnya masih angker ya?"

Teh Devi tersenyum mendengarnya. "Namanya setahun gak pulang, pasti pangling."

"Iya sih." Lisa pun terus memandangi anak kecil tampan itu.

Aduh... kalau aku nikah sama cowok ganteng. Kira-kira anak aku kayak gitu gak ya? Ganteng banget si dedek. Jadi pengen nyubit.

Saat sedang asik menghayal. Suara bariton milik seseorang pun berhasil membuyarkan semuanya.

"Assalamualaikum."

Duda Anak Satu

Mulut Lisa sedikit terbuka saat melihat wajah sempurna tanpa cacat orang yang baru saja memberikan salam. Sampai ia lupa untuk menjawab. Padahal Mamah dan Teh Devi saja sudah menjawab salam lelaki itu.

Ya Allah, tiga tahun delapan bulan aku netap di Ibu Kota. Gak pernah nemu malaikat setampan ini. Ya Allah, apa ini nikmat dunia yang Engkau maksud? Jika benar, maka nikamat Tuhan manakah yang kau dustakan, Lisa?

"Lis." Teh Devi yang melihat reaksi Lisa pun langsung menepuk legannya. "Jawab salamnya atuh."

"Eh!" Lisa tampak kaget. "Wa... waalaikum sayang. Eh... maaf. Maksudnya walaikumsalam."

Lelaki berperawakan kekar itu menatap Lisa heran. Mungkin dia merasa asing karena sebelumnya tidak pernah bertemu.

"Ini siapa, Buk?" Tanya lelaki itu pada Mamah.

"Aku Lisa, anak bungsu Mamah Endang dan Abah Wawan." Jawab Lisa dengan cepat. Padahal harusnya Mamahnya yang menjawab karena pertanyaan itu untuk beliau.

"Owh, saya tidak pernah lihat sebelumnya. Perkenalkan, saya Erkan."

"Salam kenal kembali." Sahut Lisa.

"Lisa baru aja datang dari Jakarta, dia baru lulus kuliah." Kali ini Mamah ikut menimpali.

"Oh." Sahut lelaki tampan itu menjauhkan pandangan dari Lisa.

Lisa pun nengok kiri dan kanan seolah mencari seseorang. Namun tiba-tiba saja anak kecil itu menghampirinya dan membuat Lisa kaget.

Eh?

"Hallo Kakak cantik, kenalin aku Rayden." Anak itu mengulurkan tangannya pada Lisa.

"Aduh, tangan Kakak kotor gimana dong?"

"Kalau tangan Kakak kotor, aku bisa kenalan dengan cara lain kok."

Lisa mengerut bingung. "Gimana?"

Cup!

Tubuh Lisa membeku saat anak itu mencium pipinya dengan tiba-tiba. Bukan hanya Lisa yang kaget, tapi ayah dari anak itu pun terlihat kaget dengan apa yang anaknya lakukan.

"Sekarang kita sudah kenalan. Ray senang deh punya teman baru. Apa lagi cantik kayak Kakak."

Seketika wajah Lisa pun merona karena terus dipuji oleh anak kecil itu. "Beneran nih Kakak cantik?"

Rayden pun mengangguk yakin.

"Kalau cantik, sebelah lagi kasian nih belum dicium." Tanpa ragu Lisa memberikan pipi mulus sebelahnya pada anak menggemaskan itu.

Cup!

Rayden pun kembali mencium pipi Lisa yang satu lagi. Tetapi kali ini Lisa malah tertawa lepas. "Ya ampun... lucu banget sih. Kayaknya kita harus sering main deh. Gimana kalau besok kita main?"

Rayden tampak berbinar dan langsung mengangguk setuju. Lalu berlari menghampiri sang Papa. "Papa, besok Ray boleh main sama Kakak cantik kan?"

"Boleh, sayang."

"Yey... terima kasih, Papa."

"Sama-sama."

Tanpa sadar Lisa tersenyum saat melihat keharmonisan Ayah dan anak itu. Bahkan ia juga tidak sadar jika lelaki itu terpana dengan senyumannya yang begitu manis.

"Papa, kita jadi kan ke rumah Omah?" Tanya Rayden yang berhasil menarik perhatian Erkan.

"Jadi, sayang." Erkan pun menatap Mamah Endang sambil tersenyum. Aduh... senyumannya itu terlalu menggoda hati. "Buk, kami pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab ketiganya kompak.

"Hati-hati bawa mobilnya, Nak Erkan. Kasian si kasep."

"Iya, Buk. Mari." Erkan pun tersenyum dan langsung memboyong Rayden ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan gerbang.

"Dadah Nenek, dadah Kakak cantik."

"Dadah." Saat ini Lisa yang terlihat semangat. Dan mobil itu pun melaju perlahan meninggalkan komplek rumah.

"Mah, kok mereka perginya cuma berdua? Mamahnya Rayden gak ikut?"

Mamah pun tersenyum. "Erkan itu duda anak satu. Katanya sih istrinya udah meninggal saat lahirin Rayden. Kasian kan anak seganteng itu harus besar tanpa Ibu."

Owh... jadi dia duda anak satu toh. Lisa pun tersenyum sendiri. Tanpa sadar Mamah melihatnya.

"Kamu kenapa senyum-senyum pas tahu Erkan itu duda? Jangan bilang kamu tergoda lagi sama ketampanan dia?"

"Iya." Jawab Lisa spontan. Namun detik berikutnya ia langsung sadar. "Eh? Enggak maksudnya."

"His.. dasar ganjen." Cibir Mamah.

"Lah... kok malah dibilang ganjen. Lagian kalau Eneng nikah sama yang tampan kayak gitu pasti Mamah juga senang kan?"

"Iya juga sih. Hehehe."

"Hu... pake bilang Eneng ganjen lagi."

"Maaf deh... Mamah khilaf."

Lisa menyebikkan bibirnya sambil mencabut rumput dengan kasar. Sampai akar rumput itu ikut tercabut sangking kesalnya.

"Neng, emangnya beneran gak punya pacar gitu? Kan Eneng lama tuh tinggal di kota, masak iya gak ada yang nyangkut satu pun." Tanya Mamah yang belum percaya anaknya masih menjomblo. Padahal kan Lisa cukup cantik, apa lagi punya lekuk tubuh yang bagus.

Lisa menatap Mamahnya sekilas. "Mamah... bukan gak ada yang nyangkut sama Eneng. Cuma enengnya aja yang gak mau tersangkut sama orang kota. Lagian Eneng pernah denger ceramah di kampus. Katanya pacaran itu gak baik, sama aja kayak mendekati zina. Kalau yang naksir mah banyak. Bahkan ada nih dosen muda yang ngajak Eneng nikah."

Teh Devi yang merasa tersindir pun cuma melirik Lisa. Ia tidak bisa protes karena apa yang Lisa katakan itu ada benarnya.

"Terus kamu tolak?"

"Iya." Jawab Lisa dengan entengnya.

"Lah kunaon di tolak? Bukannya dosen itu gajinya gede?"

Lisa menghela napas berat. "Gajinya emang gede, tapi dia perhitungan banget. Masak iya dia yang ngajak makan ke restoran, Eneng yang harus bayar. Alasannya sih karena Eneng ini muridnya. Aneh banget kan?"

"Lah... bagus kalau kamu nolak. Bisa berabe Mamah punya mantu kayak gitu. Percuma banyak uang kalau pelit mah."

"Nah itu makanya aku nolak."

Mamah tersenyum lucu. "Terus kalau di kasih duda anak satu kayak Erkan mau gak?"

"Mau lah." Sambar Lisa. Sontak Mamah pun tertawa lepas mendengar itu. Bahkan Teh Devi juga ikut mesem-mesem mendengar jawaban refleks Lisa.

"Iihhh... Mamah mah suka mancing."

"Gak papa, Mamah juga setuju kalau punya mantu ganteng kayak Erkan. Mana tajir melintir lagi."

"Huh, mana mungkin Pak Erkan itu mau sama Eneng, Mah. Eneng ini kan cuma anak desa yang baru lulus kuliah. Kalau dilihat-lihat, kayaknya Pak Erkan suka sama tipe cewek sosialita deh."

"Sok tahu kamu mah. Emangnya bisa baca pikiran orang?"

"Enggak juga sih, hehe."

"Ada-ada aja. Udah ah ngobrolnya, kalian cabut semua rumput sampe ujung peger itu ya? Mamah mau ke dalam dulu buat minuman dingin."

"Iya, Mah." Jawab Lisa dan Teh Devi kompak.

"Teh, kapan mau nikah sama si Aa?"

"Gak tau atuh si Aa, teteh mah ikut si Aa aja lah. Gak mungkin kan maksa juga kalau si Aa belum siap."

"Iya sih, tapi kan kalian pacaran udah jalan lima tahun. Gak bosan kelamaan?"

"Kamu tanya aja sama Aa kamu. Dia yang masih ragu buat nikah. Teteh mah siap-siap aja diajak nikah pun."

Lisa tertawa lucu. "Setuju aku sama Teteh, yang penting mas kawinnya yang gede kan Teh? Saya terima nikahnya... dengan mas kawin satu unit mobil alpard, rumah mewah, uang seratus juta dan seperangkat alat solat dibayar tunai. Mantap gak kalau gitu?"

Teh Devi tertawa geli saat mendengar candaan Lisa. "Si Aa mah paling bisa pun ngasih ikan satu empang. Orang kerjanya aja cuma ngurus empang."

Kali ini Lisa yang tertawa kencang. "Ikan satu empang juga gak papa sih, Teh. Kalau di jual sampe juga lima puluh juta. Asal empangnya yang paling gede."

Kedua gadis berbeda usia itu pun tertawa geli karena obrolan yang mereka ciptakan sendiri.

Pengen Peluk

Besoknya, Lisa pun bangun agak kesiangan karena malamnya ia harus begadang, merapikan semua barang bawaannya. Lisa memang paling tidak suka dengan keadaan kamar yang berantakan.

"Neng, udah bangun belum?" Teriak Mamah dari luar.

"Udah, Mah. Ini mau mandi." Sahut Lisa yang kemudian menguap. Lalu gadis itu pun beranjak menuju kamar mandi.

Seperti biasa, Lisa akan menghabiskan waktu setengah jam untuk bersemedi di kamar mandi. Setelah puas, ia pun menyudahi rutual mandinya dan langsung ganti pakain santai.

"Masak apa, Mah? Harum banget." Lisa pun mengintip ke dapur di mana Mamah Endang masih sibuk memasak.

"Biasa, masak nasi goreng kesukaan Abah kamu."

"Owh... kok porsinya banyak banget sih?"

"Lah, kan sekarang nambah kamu. Balum lagi nanti Ray juga pasti ke sini dan nanyain nasi goreng."

"Emang iya Ray sering ke sini minta nasi goreng?" Lisa masih tidak percaya dengan perkataan Mamahnya.

"Kalau gak percaya tunggu aja beberapa menit lagi. Dia pasti datang sama Abah kamu."

Lisa pun cuma manggut-manggut. Ia sangat penasaran dan akan menunggu kehadiran anak tampan itu.

Benar saja, beberapa menit kemudian suara menggemaskan anak itu terdengar di halaman depan. Sepertinya anak itu sedang mengobrol dengan Abah.

"Kakek, aku ke sini mau minta nasi goreng lagi. Habis nasi goreng buatan Nenek enak banget."

Abah tertawa renyah. "Ya sudah, ayok masuk."

Lisa yang sedari tadi mengintip pun berlari kecil menuju dapur.

"Ngapain lari-lari?" Tanya Mamah yang teryata sudah selesai masak. Bahkan Lisa mengekori Mamahnya ke sana kemari.

"Mah, Pak Erkan sering main ke sini gak?" Lisa pun malah balik bertanya.

"Jarang sih, paling juga datang kalau mau jemput Rayden."

"Owh."

Tidak lama Abah dan Rayden pun datang.

"Pagi... Nenek, Kakak cantik." Sapa anak tampan itu tersenyum begitu manis.

Ya ampun, jadi pengen peluk. Batik Lisa.

"Pagi juga cucu tampan, Nenek. Pasti pengen nasi goreng lagi ya?"

"Kok Nenek tahu sih?"

"Ketebak, tuh udah bawa piring doraemon."

Rayden pun tertawa kecil. Dan itu sangat menggemaskan bagi Lisa.

"Sini biar Kakak ambilin. Rayden duduk di sini ya." Kali ini Lisa ikut nimbrung. Bahkan ia membantu Rayden naik ke atas kursi. Lalu ia pun ikut duduk di sebelah Rayden.

"Terima kasih Kakak cantik. Seneng deh sekarang ada Kakak cantik. Jadi Ray gak kesepian lagi. Kapan-kapan... Kakak main ya ke rumah Ray. Di sana ada kolam renang loh."

Lisa tertawa renyah. "Di sini juga kan banyak kolam, tapi kolam ikan." Candanya yang berhasil mengundang tawa lucu Rayden.

Lisa pun mengusap kepala Rayden lembut. Seketika tubuh anak itu menegang. Sebenarnya ia paling tidak suka orang lain memegang kepalanya dan akan langsung marah jika ada yang melakukan itu. Tetapi kali ini ia sama sekali tidak marah, justru merasakan sesuatu yang aneh.

"Kak, cobak elus kepala Ray lagi." Pinta anak itu.

"Eh?"

Karena Lisa tak kunjung menyentuhnya, Rayden pun mengambil inisaitif untuk meraih tangan Lisa dan mengeluskan sendiri ke kepalanya. "Ray senang kalau di elus sama Kakak."

"Tumben, biasanya juga marah-marah kalau di pegang kepala." Sindir Mamah.

"Tangan Kakak cantik enak, Nek. Ray suka di elus kayak tadi."

"Dasar." Mamah pun tersenyum geli.

"Makan yang banyak, supaya cepat besar." Lisa pun menuangkan nasi goreng ke piring kesayangan anak itu.

"Ray kan udah gede, Kakak. Papa bilang tahun depan Ray udah bisa masuk sekolah."

"Oh ya?"

"Iya, Ray jadi gak sabar mau sekolah."

"Ya udah, cepat dimakan. Supaya Ray jadi anak pintar."

"Ini sosis telur mata sapinya." Mamah Endang pun memasukkan sosis mata sapi ke piring Rayden. Lisa sempat tertegun karena Mamah benar-benar memperlakukan Rayden seperti cucunya sendiri. Dari cara Mamah menyiapkan semuanya, sepertinya Mamah sudah tahu apa saja yang disukai Rayden.

"Rayden itu seneng banget sama yang namanya sosis dan telur. Makanya Mamah gabungun aja. Biar double, hehe."

Lisa menggeleng pelan mendengar Mamahnya itu. Kemudian ia pun ikut sarpan dengan lahap karena perutnya memang sudah keroncongan.

****

Saat ini Lisa dan Rayden sedang asik memancing di pinggiran empang. Rayden terlihat menyangga dagu dengan kedua tangannya sambil menunggu pancingnya disambar ikan. Anak itu sangat menggemaskan.

Lisa yang melihat itu tersenyum geli.

"Ray, Papa kamu gak mau main ke sini?" Tanyanya iseng.

Rayden pun menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada pancingnya. "Papa itu selalu sibuk, Kak. Setiap hari mainnya depan laptop terus. Makanya Ray bosan, untung ada Nenek."

Lisa pun manggut-manggut. "Papa kan sibuk biar dapat uang. Nantinya buat jajan Ray juga kan?"

"Heem." Rayden mengangguk kecil. Tidak lama pancing miliknya pun disambar ikan. Sontak anak itu pun heboh.

"Kakak... bantu Ray tarik pancingnya. Angkat-angkat. Aaa... akhirnya Ray dapat ikan." Seru anak itu heboh sendiri. Padahal yang narik pancingnya Lisa juga.

"Yeyeye.... ikannya besar-besar."

Lisa tertawa geli. "Heboh banget sih."

"Ray senang tahu dapat ikan."

"Iya... iya... ayok duduk lagi. Nanti kecebur bisa berabe."

"Kakak pasang lagi umpannya ya? Ray bantu doa aja."

"Idih... masih kecil aja udah licik."

"Biarin, woeee." Rayden menjulurkan lidahnya pada Lisa. Kemudian menyemplungkan pancingnya lagi ke dalam kolam.

"Oh iya, Ray. Udah lama pindah ke sini?" Tanya Lisa yang sebenarnya tak cocok ditanyakan pada anak kecil. Tetapi dia kan keponya kelewatan.

"Belum." Jawab anak itu apa adanya.

"Emang kapan Ray sama Papa pindah ke sini?"

"Gak tau, pokoknya udah lama."

"Lah, tadi katanya belum. Sekarang jawab udah lama. Dasar anak kecil." Gumam Lisa kesal sendiri.

"Kakak ngomong apa?"

"Enggak kok, cuma kesel aja pancing Kakak gak ada ikan yang nyangkut."

"Pasti Kakak gak baca doa kan?"

"Emangnya mancing ada doanya?"

Rayden pun manggut-manggut. "Gini nih doanya biar Ray kasih tahu. Ikan kecil ikan besar, yang kecil mundur yang besar makan."

Lah... kok kayak gak asing lagi doanya?

"Siapa yang ngajarin?"

"Kakek."

"Owalah... pantes aja." Gumam Lisa lagi. "Iya deh, Kakak coba baca doanya. Ikan kecil ikan besar, yang kecil mundur yang besar makan."

Dan benar saja, tidak lama dari itu pancing Lisa pun bersambut. "Yey... ternyata ampuh juga doa si Abah."

"Lain kali jangan lupa doanya, supaya ikannya dapat banyak."

"Iya bawel." Lisa pun tersenyum senang karena sudah dapat ikan yang lumayan besar. "Nanti kita panggang deh ikannya. Suka ikan panggang gak?"

"Suka."

"Dicocol sama sambel kecap, beuh... nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?"

Rayden terkikik geli. Entah mengerti atau tidak apa yang dikatakan Lisa. Yang penting saat ini mereka kelihatan happy.

Saat sedang asik-asiknya memancing sambil bercanda ria. Erkan pun datang untuk menjemput Rayden.

"Ray." Panggil lelaki itu yang berhasil menyita perhatian keduanya. Sontak Lisa pun langsung bangun dari duduknya.

"Eh? Ada Pak Erkan. Mau ikut mancing juga?" Tanya Lisa basa-basi.

"Enggak, mau jemput Ray."

"Owh... tapi Ray kayaknya masih seneng main."

"Sudah waktunya tidur siang."

"Owh... gitu ya."

Wah... Papa yang perhatian ya? Mau juga dong tidur di dongengin sama pangeran tampan kayak gini. Tanpa sadar Lisa mesem-mesem sendiri. Menbuat Erkan heran sendiri.

"Ayok pulang, Ray." Ajak Erkan yang berhasil menarik Lisa keluar dari imajinasinya. Dan tanpa sadar ia berdiri terlalu pinggir. Karena merasa malu, Lisa pun sedikit bergerak mundur dan....

Byur....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!