NovelToon NovelToon

GARA-GARA 3 MILLIAR

1. Pertemuan

Sebuah tamparan kulayangkan ke pipi Deni hingga jatuh tersungkur. Ia yang selama ini jadi orang kepercayaan, mengurus masalah keuangan selama delapan tahun ternyata hari ini melakukan kesalahan yang paling fatal

Memberikan pinjaman sebesar tiga miliar tanpa jaminan apapun. Bahkan kecolongan hingga menghilangkan seutas kalung yang sangat berarti bagiku.

"Maafkan saya Tuan, saya kira berlian yang dibawanya asli. Ia juga membawa ID card klub kita. Sehingga menambah keyakinan saya bahwa ia benar-benar orang kaya." Deni berusaha membela diri.

"Kau membuat malu saja. Penipu malah ditipu?" ucapku.

"Ini pertama kalinya ia datang ke bar kita, Tuan. Saya ...,"

"Aku tidak peduli. Kau harus bertanggungjawab!" aku menatapnya tajam.

"Ada jaminan lain yang diberikannya." Deni bangkit, mengambil selembar foto dalam saku jasnya, lalu diberikan padaku.

"Apa ini?" aku semakin meradang. Bagaimana ia bisa sebodoh ini. Meloloskan pinjaman di meja judi dengan jaminan berlian palsu dan selembar foto usang yang bahkan gambarnya saja tidak jelas.

"Ini putrinya. Mungkin kita bisa menemukan Bimo lewat gadis ini. Atau, jika tidak ketemu ...,"

"Apa?"

"Gadis ini bisa kita pekerjakan atau dijual."

"Huh. Apa yang bisa kau harapkan dari putri seorang penipu?" aku mencengkeram erat kerah baju Deni. Seorang yang tidak berharga jadi jaminan untuk uangku. "Kau kira ia berharga? Palingan ia pun sudah rusak. Hanya akan merepotkan ku saja!"

"Lalu apa kita harus melepasnya?"

"Dasar kau ini. Cepat bawa aku ke tempatnya!"

"Siap tuan!"

Deni segera membawaku menuju perkampungan kumuh yang berada di pinggir kota Jakarta, bersama empat orang anak buah. Memasuki wilayah ini, nyaliku langsung ciut, merasakan uang tiga miliar telah menguap hilang. Uang yang aku kumpulkan dengan susah payah dari hasil judi dan memeras orang dengan pinjaman berbunga.

"Dari informasi orang-orang kita, ini rumah si Bimo, tuan." Deni menunjuk rumah berdinding triplek yang ukurannya tidak kurang dari tiga meter.

"Dobrak pintunya!" Aku semakin kesal, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang dan kalungku kembali. Tempat ini seolah mengatakan, tidak ada harapan lagi.

Brug.

Suara pintu didobrak. Lalu Deni masuk bersama dua orang. Terdengar seseorang menjerit dari dalam, lalu para tetangga yang hendak keluar melihat keributan yang kami ciptakan kembali masuk begitu melihatku berkacak pinggang.

Mungkin mereka mengenalku, mungkin juga tidak. Aku, Qret, ketua gengster pemilik usaha bar di bilangan Jakarta Selatan. Sering memberikan pinjaman pada para penjudi yang bertaruh di meja judi. Tentunya dengan bunga tinggi.

Melihatku didampingi anak buah, orang-orang itu memutuskan kembali masuk. Tetapi, aku sangat yakin mereka masih mengintai dari balik jendela.

"Tuan, ini dia," ucap Deni, sambil menyeret seorang gadis.

Sial. Mengapa ia. Aku menggerutu. Menatap seorang gadis yang memakai penutup kepala. Tiba-tiba bayangan itu muncul di ingatanku. Seorang perempuan memakai penutup kepala, ia yang mendekap tubuh kecilku saat ketakutan. Juga menyuapi jika aku lapar. Perempuan tua yang bisa memberiku rasa nyaman saat dunia begitu mengerikan dalam kehidupan masa kecilku.

Kini, gadis itu mengangkat wajahnya. Sambil sesekali berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua orang anak buahku. Tapi usahanya tidak berhasil karena tenaganya kalah.

"Lepaskan dia," pintaku.

Sepasang mata bulat itu menatapku sesaat, lalu kembali menundukkan wajahnya. Cantik. Meski tampilannya lusuh. Sepasang matanya pun menyiratkan keteduhan. Aku merasa nyaman menatapnya.

"Siapa namamu?" tanyaku, sambil berusaha menenangkan diri. Entah mengapa, aku yang biasanya langsung bersikap kejam, sekarang lebih bisa menahan untuk tidak langsung main tangan.

"Yasmin," jawabnya.

"Kau tahu, ayahmu berhutang padaku. Tiga miliar," aku mengacungkan tiga jari. "Ia juga mencuri kalungku."

Gadis itu tidak menjawab, juga tidak terlihat gusar. Bahkan ketika Deni memberitahu bahwa ia dijadikan jaminan.

"Kau harus menggantinya!" aku menegaskan.

"Aku tidak punya uang sebanyak itu," jawabnya, pelan.

"Hei, Yasmin. Kalau kau tidak bisa membayar, maka kami akan menjualmu." tambah Deni.

"Serahkan saja aku ke kantor polisi!" ia kembali mengangkat kepalanya.

"Apa maksudmu?" kini tatapan kami beradu.

"Aku sudah bilang, tidak punya uang sebanyak itu. Kalian bisa melaporkanku ke polisi, agar aku dipenjara!" sepasang bola mata itu berkaca-kaca. Aku melihat luka yang dalam di sana.

Tiba-tiba tawa Deni menyadarkanku. Apa-apaan ini. Bagaimana mungkin aku, ketua gengster yang terkenal kejam bisa terenyuh pada perempuan ini. Putri dari seseorang yang sudah menipu dan mencuri kalungku.

"Kau pikir kami akan melepaskanmu begitu saja?" Deni menarik lengannya, sepertinya sangat keras hingga ia menjerit.

"Lepaskan dia," kataku. "Hei, kau. Aku lebih baik mencincangmu daripada melapor pada polisi. Kau tahu, aku ini penjahat. Anti dengan polisi!"

"Aku tidak bisa membayarnya sekarang. Aku tidak punya uang sebanyak itu," Yasmin menjawab pelan.

"Apa pekerjaanmu?"

"Guru honor,"

"Kalau begitu kau harus bekerja lebih giat lagi. Bahkan, mulai sekarang kau tidak punya hak lagi atas dirimu sampai kau bisa melunasinya. Bekerja keraslah!"

"Aku mengerti,"

"Lalu berapa lama kau akan melunasinya?"

"Aku tidak tahu,"

"Baiklah. Kau mulai mengujiku rupanya," aku jadi geram padanya. "Kau punya waktu satu bulan!"

"Tidak bisa,"

"Kalau begitu tiga bulan. Bayar hutang ayahmu lengkap dengan bunganya. Jangan lupa, temukan juga kalungku. Atau kalau tidak ...," aku menatapnya tajam. "Aku akan menghancurkanmu serta orang-orang yang kau sayangi. Termasuk ayahmu!"

Perempuan itu kembali mengangkat wajahnya. Pandangan kami kembali beradu. Aku lagi-lagi tidak sanggup menatap matanya. "Tolong jangan sakiti ayahku. Hidupnya sudah sangat susah." matanya mulai menganak sungai. ia sampai menautkan kedua tangannya sebagai bentuk permohonan.

Aku tersenyum puas mendengar kata-katanya barusan. Ia masih mengkhawatirkan ayahnya. Tandanya masih ada harapan untuk mendapatkan kembali uangku.

"Ingat, mulai sekarang, kami mengawasimu. Kau adalah jaminan untuk hutang-hutang itu. Jadi kaulah yang bertanggung jawab untuk melunasinya. Paham!" ucapku, sambil menatap sekeliling. "Satu lagi, jangan coba-coba bunuh diri. Sebab sebelum kau melakukannya, aku yang akan mencincangmu!"

"Iya. Aku tidak akan melakukannya."

Entah mengapa, aku percaya saja padanya. Setelah cukup, aku melambaikan tangan pada anak buahku sebagai isyarat meninggalkan tempat ini. Di ujung jalan, sekilas kulihat gadis itu tersungkur, ia pasti menangis karena merasa sangat menderita. Tetapi itu risiko menjadi jaminan.

"Apakah tidak perlu orang untuk mengawasinya, Tuan?" tanya Deni, saat kami sudah berada di dalam mobil.

"Tidak perlu. Aku sendiri yang akan mengawasinya," jawabku, sambil menatap jalanan yang masih macet.

"Tapi Tuan, bukankah Anda masih punya banyak pekerjaan?"

"Hei, sejak kapan kau mengaturku? Kau tahu, berapa uangku yang dibawa ayahnya? Tiga miliar dan itu gara-gara, kau!" aku mengacungkan tiga jari ke hadapannya. Rasa jengkel itu kembali muncul. Gara-gara ketidakbecusannya bekerja, aku harus mengalami masalah seperti ini. "Kau kira aku tidak tahu, kau pasti bekerja dalam keadaan mabuk, kan?"

"Ti ... tidak, Tuan,"

"Sudah kukatakan padamu. Kalau kau masih ingin bertahan, kau harus bisa diandalkan!"

"Saya minta maaf, Tuan. Tolong beri kesempatan sekali lagi. Saya akan segera memberikan keuntungan lebih banyak lagi."

"Baiklah. Satu kesempatan lagi. Tapi ingat, lupakan keluargamu. Fokus dengan pekerjaan kita."

"Baik Tuan!"

Aku tidak akan membiarkan bisnis yang sudah kubangun selama lima belas tahun ini berantakan hanya karena sebuah rasa. Hidup ini terlalu keras, tidak pantas mengandalkan perasaan.

2. Ancaman

Begitu pintu terbuka, gadis itu nyaris melonjak saat melihatku berdiri di depan rumahnya. Wajar saja, ini masih terlalu pagi untuk bertamu ke rumah orang. Tetapi aku tidak niat bertamu, aku ingin memastikan ia berusaha mendapatkan uangku kembali.

"Ada perlu apa?" tanyanya, dengan tatapan heran.

"Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar berusaha mengembalikan uangku," meskipun agak grogi, aku berusaha bersikap tenang.

"Anda tenang saja, saya akan berusaha,"

"Lalu kau mau kemana, pagi-pagi seperti ini? Kau mau kabur? Jangan coba-coba, kemanapun kau pergi, aku akan menemukanmu. Bahkan ke ujung dunia sekalipun!"

"Aku hanya ingin menitipkan dagangan ini," ia mengangkat kantung plastik yang ditentengnya ke hadapanku. Aroma makanan langsung tercium.

"Lalu?"

"Apa aku harus menceritakan semua aktifitas ku?"

"Kau masih ingatkan, jadi jaminan untuk hutang ayahmu? Tiga miliar. Paham!"

Ia menghembuskan nafas. Mungkin merasa tidak nyaman. Aku saja bingung, mengapa sepagi ini berada di depan rumahnya. Sejak pertemuan kemarin, ada rasa penasaran padanya sehingga membawaku kembali ke sini.

"Baiklah. Aku sadar, sekarang terikat hutang dengan Anda. Pagi ini aku akan mengajar, lalu pulang sekolah mengajar les. Malamnya mengerjakan jahitan dan menyiapkan makanan untuk dititipkan."

"Kalau usahamu seperti itu, tidak akan cukup untuk melunasi hutang selama tiga bulan!"

"Baru itu yang bisa kulakukan. Sambil berjalan, aku akan tetap memikirkan cara lainnya,"

"Kau tidak punya benda berharga atau tabungan?"

"Tidak Tuan. Kami bukan orang kaya,"

"Lalu kenapa ayahmu harus berhutang sebanyak itu? Merepotkan orang lain saja!"

"Maafkan ayahku, Tuan. Aku akan bertanggung jawab,"

"Baguslah. Kau harus membayarnya tepat waktu!"

Perempuan itu berlalu dari hadapanku. Sebenarnya ingin mengejar, tetapi aku tidak punya alasan lain untuk membersamainya terus. Ia sudah menjelaskan jadualnya hari ini.

Arghhh. Aku menggeram sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Begitu hendak berbalik, aku nyaris melonjak melihat seseorang di hadapanku. "Riana? Sedang apa kau di sini? Membuat orang kaget saja!"

Riana adalah satu-satunya teman yang kupunya sejak kecil. Ayahnya mengajariku tentang bisnis ini. Aku berhutang budi pada mereka.

"Harusnya aku yang bertanya. Kau sedang apa, Qret? Mengapa sepagi ini ada di sini?"

"Oh itu," kembali, kugaruk kepala yang tidak gatal.

"Kau menguntit?"

"Tidak. Itu, aku ...."

"Qret? Dari semalam kau terlihat aneh. Deni juga cerita padaku,"

"Hei, sejak kapan kalian menggosipkan ku?"

"Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau kerjakan,"

"Tapi tidak dengan menjadikan Deni mata-matamu!"

"Maaf Qret,"

"Harusnya aku yang bertanya. Sedang apa kau disini? Kau membuntutiku, ya?"

"Iya. Aku ingin tahu, ada apa denganmu?"

"Ah kau ini. Ayahnya membawa kabur uang dan kalungku, makanya aku ada di sini untuk memastikan semua yang diambilnya kembali,"

"Kau kan punya anak buah,"

"Kali ini aku tidak ingin mengandalkan mereka. Aku akan mengurus sendiri semuanya,"

"Kenapa Qret?"

"Riana, aku tidak harus memberitahukan mu tentang betapa berharganya kalung itu untukku, kan?"

"Qret,"

"Jangan melihatku seperti itu!"

"Deni bilang kau tidak menyakiti perempuan itu sedikitpun,"

"Kalau dia terluka, bagaimana dia akan berusaha mengembalikan uangku!"

"Kau tidak pernah memikirkan ini sebelumnya,"

"Riana, sebenarnya kau mau bilang apa?"

"Aku ...."

"Sudahlah. Ayo kita pergi dari sini. Lihat, sudah banyak orang yang berlalu-lalang memperhatikan kita!"

"Qret,"

"Ayo kita cari makan saja. Kau yang tentukan, dimana kita sarapan. Aku akan mentraktirmu." aku menarik lengan Riana, gadis itu menurut saja.

***

"Qret, apa-apaan ini?" Riana tampak marah. "Kau mengajakku membuntuti gadis itu!"

"Kecilkan suaramu. Nanti orang-orang melihat kita. Namanya Yasmin," aku berusaha meminta Riana duduk, tapi ia malah menghentakkan tanganku. Beberapa orang sampai melihat ke arah kami. Untung saja gadis itu tidak menyadari kehadiran kami.

"Kau hafal namanya?"

"Riana, kau ini kenapa?"

"Qret, kau aneh sekali,"

"Kau yang aneh,"

"Kamu Qret!"

"Ah sudahlah, aku tidak ingin berdebat. Aku mengajakmu ke sini karena ingin makan bubur ayam,"

"Tapi di sini tidak ada bubur ayam,"

"Masa?"

"Lihat Qret, ini warung bubur kacang hijau,"

"Apa bedanya?"

"Qret!"

"Sudahlah Riana. Jangan berdebat lagi. Kalau kau mau, makanlah. Kalau tidak, silakan pergi,"

"Kau mengusirku?"

"Bukan begitu. Aku hanya ...."

"Kau sungguh jahat, Qret!"

Mata Riana berkaca-kaca. Gadis itu berlalu meninggalkanku. Ahhhh, aku baru menyadari, seharusnya tidak mengajak Riana. Atau harusnya lebih natural lagi membuntuti Yasmin, tidak perlu melengok ke kiri kanan sehingga membuat Riana tidak curiga.

***

Kedua tanganku mengepal, ingin sekali memberi pelajaran pada lelaki tua yang berdiri di hadapanku. Lelaki yang seharusnya kuhormati dan padanya aku berbakti, tetapi justru sebaliknya, aku sangat benci. Bahkan ingin menghancurkan hidupnya.

Namanya Pak Wijaya, salah seorang konglomerat di negeri ini. Mafia berjubah malaikat. Orang-orang di dunia hitam tahu betapa jahat dan liciknya ia. Tetapi bagi masyarakat awam, ia seperti malaikat, pencitraannya sangat sukses sekali sehingga bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.

Kini ia turun tangan sendiri, bernegosiasi, setelah orang suruhannya tiga kali gagal melakukan lobi.

"Bar ini tidak akan saja jual," kataku.

"Kau punya waktu sepekan untuk memberikan harganya. Aku akan bayar tunai." ucap Pak Wijaya dengan suara datar.

"Saya tidak mau,"

"Kalau begitu, bersiaplah menerima hadiah dariku pekan depan!" lelaki tua itu bangkit dari duduknya, laku berlalu diikuti anak buahnya.

"Breng***, kenapa dia selalu muncul!" aku meninju meja sekuat mungkin untuk melepaskan kekesalan.

"Lalu sekarang harus bagaimana, Qret?" Riana masuk diikuti Deni. "Ayah sudah bercerita, Pak Wijaya itu sangat berbahaya. Ia sangat licik. Apa sebaiknya kita mundur?"

"Apa maksudmu?"

"Qret, kalau ia sudah mengancam, biasanya akan direalisasikan. Sebelum terjadi hal buruk, sebaiknya jual saja. Kita pindah saja,"

"Tidak akan pernah. Aku akan menghadapinya sendiri!"

"Qret,"

"Sudahlah, tinggalkan aku sendiri!"

***

Aku sangat takut ketika ibu meninggalkanku di depan bangunan tua yang gelap. Tangisku pecah sambil terus berteriak memanggil ibu. Berharap perempuan itu segera kembali dan memelukku untuk menghilangkan rasa takut.

Ketika aku bisa menemukan jalan pulang menuju kosan tempat ibu tinggal, aku malah mendapati ibu bersama lelaki itu. Tuan Wijaya, yang kemudian kutahu adalah ayah biologisku.

Mereka terlihat mesra. Sementara aku diluar takut, lapar dan kedinginan. Kalau mereka tidak menginginkanku hadir, mengapa membiarkanku hadir ke dunia ini?

Enam tahun, usia yang masih sangat muda. Aku harus berpisah dengan ibu untuk sebuah alasan yang belum bisa kupahami sampai sekarang. Keadaan memaksaku untuk kuat, aku tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan, selain diri sendiri.

Peluh membanjiri pelipis saat terbangun. Mimpi itu lagi. Setelah bertemu dengan lelaki itu, aku akan merasakan perasaan muak seperti sekarang.

Aku segera bangkit. Mengambil segelas air putih dan meneguknya sampai habis. Sampai kapan mimpi itu akan menghantuiku? Aku ingin lepas dari dua orang yang membuatku hadir di dunia, namun juga sudah menghancurkan hidupku.

3. Bayangan

Aku berdiri tepat di depan rumah gadis itu. Mendekat ke pintunya. Lalu menghempaskan badan. Berharap beban itu segera hilang. Sungguh, saat seperti ini aku rindu sosok nenek Aini, perempuan yang sudah membesarkanku meski iapun hidup dalam keterbatasan.

"Anda?" tiba-tiba pintu dibukanya. Gadis itu terlihat kaget mendapatiku di depan rumahnya. Sepertinya ia keluar karena mendengar suara tubuhku menghantam pintunya yang sudah reot. "Tuan, aku tahu ayahku punya hutang yang sangat banyak pada anda. Aku juga masih ingat menjadi jaminan untuk hutang-hutang tersebut. Aku akan berusaha membayarnya. Tapi tolong, jangan mengikutiku terus." ia mengatupkan kedua tangannya sebagai bentuk permohonan.

"Aku hanya ...." air mata itu sudah tidak bisa tertahan lagi. Untuk pertama kalinya aku menangis di hadapan orang lain. "Biarkan aku di sini sebentar saja." pilu, aku memohon padanya.

Gadis itu masuk, tidak lama ia kembali membawa segelas air putih. "Minumlah," ia menyodorkan gelas tersebut ke hadapanku.

Segelas air putih itu telah habis kuteguk. Lega rasanya. Tetapi ada rasa tidak enak. Apalagi ia terus memperhatikanku dari dalam rumahnya.

"Maaf kalau kehadiranku membuatmu kaget," aku mencoba mencairkan suasana. "Tapi kenapa semalam ini kau belum tidur?"

"Bukankah Anda yang menyuruhku untuk bekerja keras, Tuan?"

Canggung rasanya mendengar pernyataan gadis itu. "Jadi kau mau menyalahkan ku? Yang berhutang itu siapa? Kenapa jadi menyudutkan ku?"

"Maafkan aku Tuan,"

"Minta maaf kata orang gampang. Tapi ingat, tetap bayar hutangmu." aku mendengus kesal. "Oh ya, kau memang harus bekerja keras, tapi jangan sampai lupa istirahat. Kau kan manusia, bukan robot!"

"Tuan, apakah anda sudah baik?"

"Apa maksudmu?"

"Ini sudah sangat malam. Aku tidak ingin ada warga yang melihat dan berfikiran tidak-tidak,"

"Hei, kau pikir aku ini apa?"

"Tuan, aku hanya mencoba menjalankan apa yang sudah ditetapkan syariat. Tidak boleh berduaan dengan yang bukan mahram. Apapun kondisinya. Kalau anda sedang marah, kesal atau sedih, lebih baik cari teman laki-laki untuk bercerita, atau ...."

"Hei, apa maksudmu? Siapa yang sedih? Aku hanya kesal dengan ulah ayahmu. Kapan dia akan kembali? Akan kupatahkan kakinya,"

"Tuan,"

"Apa? Kau mau marah karena aku mau mematahkan kaki ayahmu? Hei lihat, kau sampai berani melotot ke arahku."

"Ayahku memang bersalah, aku tidak akan membelanya,"

"Huh, kau yang anaknya saja pasti benci pada ayahmu. Apalagi aku!"

"Aku tidak membenci ayahku. Tapi aku juga tidak berusaha untuk membelanya. Ayahku salah dan aku mengakui itu."

"Lalu kenapa kau memelototi aku? Hah, bicara denganmu membuat suasana hatiku jadi semakin buruk. Sudah malam, kau istirahatlah. Besok bangun dan bekerja dengan giat agar hutangmu segera lunas!" aku berlaku meninggalkan rumah gadis itu.

Kini seutas senyum kembali terkembang di bibir ini. Setidaknya, sedikit laraku terobati setelah menatap matanya.

***

Teror itu mulai dilancarkan. Aku tahu, pelakunya adalah Wijaya. Tetapi sampai detik ini belum ada balasan yang bisa kulakukan. Bahkan untuk sekedar melindungi diri. Satu-persatu pelanggan bar mulai berkurang. Lama-lama aku bisa gulung tikar bila pengunjung makin sepi.

"Qret, kau tidak punya pilihan lain," ucap Paman Rudi, ayahnya Riana.

"Aku juga sudah mengatakan padanya untuk mundur, tapi Qret tidak mendengarkan ku!" Riana mulai mengomel.

"Sejak umur lima belas tahun aku bekerja keras agar bisa punya bar sendiri. Sekarang setelah semuanya terwujud, bagaimana mungkin aku menyerah. Paman, tolong beri ide lain selain menyerah," pintaku dengan penuh harap.

"Qret, Wijaya bukan lawan yang sebanding untukmu,"

"Paman tahu kan, dia siapa? Dalam tubuhku ada darahnya, Paman. Harusnya akupun bisa sekuat dia." orang bilang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Meskipun aku membencinya, kuharap kekuatannya juga menurun padaku, agar kelak aku bisa membalaskan dendam ini.

"Berurusan dengan Wijaya bukan hal yang mudah. Tapi kalau kau sudah bertekad, aku akan selalu berada di sisimu untuk memberikan sedikit masukan." kata Paman Rudi.

"Ayah, kenapa membiarkan Qret dalam masalah!" Riana langsung protes.

"Kau diamlah. Ini urusan laki-laki. Sebaiknya kembali ke rumah. Jangan mengganggu Qret terus." Paman Rudi mengusir putrinya. Sebelum pergi, Riana terus saja mengomel. Tidak terima dengan keputusan ayahnya.

Keberadaan Riana memang agak mengganggu. Aku butuh ketenangan untuk menemukan jalan membalas Wijaya. Saat ini ia boleh merasa di atas awan, tapi sebentar lagi akulah yang akan memenangkan permainan ini.

***

Panas rasanya hati ini saat melihat foto keluarga Wijaya. Ia duduk di kursi bersama istrinya. Sementara di kiri dan kanan berdiri dua orang anak laki-laki. Satu orang berseragam polisi, seorang lagi memakai jas hitam.

"Bagaimana mungkin ia bermain-main dengan perempuan lain, padahal sudah punya istri dan anak!" aku mengumpat berkali-kali.

Tidak lama Deni masuk. Memberitahu bahwa apa yang sudah kuperintahkan telah dilaksanakannya dengan baik. Meskipun masih was-was, tetapi aku bisa sedikit bernafas lega dengan persiapan yang sudah kurancang bersama Paman Rudi untuk menghadapi serangan Wijaya.

"Tidak ada yang mengganggu, kan?" tanyaku, memastikan bahwa kali ini ia tidak melakukan kesalahan lagi.

"Hanya Riana yang terus-menerus mencari tahu tindakan kita selanjutnya."

"Jangan beritahu apapun padanya."

Setelah memberikan laporan, Deni segera berlalu, meninggalkanku sendiri. Kini aku beralih ke laporan keuangan. Memperhatikan jumlah uang yang kumiliki. Jumlahnya tidak akan seberapa dengan harta kekayaan Wijaya. Tetapi aku tidak ingin kalah dalam pertarungan ini.

Mulai sekarang aku akan menjadi bayangan Wijaya. Aku akan menghancurkan hidupnya. Aku akan membuatnya menyesal sudah membuatku terkahir ke dunia ini.

Sakit, di hati ini. Kehidupan yang sangat rumit. Tetapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku harus menang.

***

"Qret, kau mau kemana?" Riana menghadang langkahku.

"Jangan mengikutiku!" aku mengancamnya.

"Qret, jangan melakukan hal bodoh,"

"Kau bicara apa? Aku hanya ingin mencari angin,"

Sebelum Riana mencecarku dengan rasa ingin tahunya, aku segera masuk ke mobil, memacunya secepat mungkin agar ia tidak bisa membuntutiku.

Jalanan pagi ini agak lengang. Aku bisa sampai tujuan dengan cepat. Mobil kuparkir di ujung jalan. Lalu menuju rumahnya. Lagi-lagi kami bertemu di depan pintu.

"Mau kemana?" tanyaku. Ini akhir pekan, harusnya ia tidak mengajar.

"Mengantar ini," ia menunjukkan bungkusan. "Pesanan jahitan."

"Kau multitalenta juga, ya. Harusnya kau kaya raya karena bisa semua hal."

Tidak ada jawaban darinya. Gadis itu terus berjalan melewati gang-gang sempit. Sementara aku mengikuti dari belakang.

"Hei, sebenarnya kita mau kemana? Mengapa harus jalan sejauh ini. Kalau tahu tadi harusnya naik kendaraan."

"Maaf Tuan, aku harus menghemat uangku agar bisa segera membayar hutang pada Anda."

"Kau menyindirku? Lagipula siapa yang menyuruhmu membuang-buang uang untuk naik kendaraan umum. Aku kan bilang naik mobilku!"

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Ia terus saja berjalan. Tanpa mengeluh sedikitpun. Sementara aku, entah sudah berapa kali berkomentar tentang jarak yang kami tempuh.

"Tuan, aku harus masuk ke rumah pelanggan ku. Jika tidak keberatan, tunggulah di sini,"

"Ya, pergilah!"

Setelah sepuluh menit, barulah ia keluar. Yasmin terlihat senang, tanpa menyapaku, ia kembali melanjutkan perjalanan pulang. Sementara aku langsung siap mengikuti dari belakang.

"Kau kelihatan senang. Apa ia membayarmu tinggi?"

"Lumayan Tuan. Tadi ada orderan tambahan lagi."

"Pantas kau semangat sekali. Hei, tadi kau minum ya, soalnya kau terlihat lebih segar dari sebelumnya?"

"Makan biskuit juga,"

"Apa? Kau membiarkanku berpanas-panasan di luar, sementara di dalam kau minum dan makan biskuit. Sungguh kejam!"

"Aku tidak meminta Anda untuk mengikutiku,"

"Jangan pura-pura lupa. Kau itu jaminan,"

"Lalu Anda mau apalagi, Tuan?"

"Kau menantangku? Benar-benar membuatku kesal. Baiklah, kita istirahat sebentar. Ayo minum di warung itu,"

Kali ini giliran gadis itu yang mengikutiku. Kami masuk ke warung bakso. Aku memesan semangkuk bakso dan es jeruk.

"Hei, kau tidak mau makan?"

"Tidak usah,"

"Setidaknya minumlah. Tenang saja, aku yang bayar. Aku tidak suka makan sendiri, sedangkan orang yang sedang bersamaku diam seperti patung!"

"Tidak, terimakasih."

"Kau ini, sudah kurus, harusnya makan yang banyak agar kuat mencari uang. Kau mau membuatku lama menunggu?"

"Baiklah Tuan. Aku pesan semangkuk bakso dan es teh,"

Aku bisa merasakan gadis ini sangat tertekan sekali. Sepasang matanya bahkan berkaca-kaca. Makanannya pun dihabiskan dengan sangat cepat. Entah mengapa, aku menjadi iba padanya.

"Kau punya pacar?" tanyaku.

"Tidak,"

"Kalau teman?"

"Tidak juga. Tidak ada yang ingin berteman denganku,"

"Kenapa?"

"Ayahku sering membuat masalah. Orang-orang di sekitarku perlahan menjauh sebab tidak ingin ikut terlibat atau disangkut pautkan."

"Kau tidak punya keluarga lain?"

"Ibuku meninggal karena melahirkanku. Aku satu-satunya anak mereka."

"Hidupmu pasti sangat sulit. Aku kasihan padamu, tapi bukan berarti hutangmu lunas. Kau harus tetap membayarnya!"

"Aku juga tidak minta dikasihani. Aku tahu, tidak selayaknya minta pada manusia."

Usai makan, kami kembali melanjutkan perjalanan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!