Namaku Raya, saat ini usiaku 26 tahun, aku bekerja sebagai salah satu pramusaji di restoran, selain bertugas menyajikan makanan dan melayani tamu yang datang, kadang aku juga mendapat pekerjaan lain untuk mengirimkan makanan jika ada delivery order.
Aku tinggal di sebuah kota kecil yang kini tak kalah maju dari kota-kota besar, karena jaman sudah berubah, semua hal dilakukan secara online, dari nenek-nenek sampai anak kecil semua memegang gadget. Semua mata bisa seharian hanya tertuju pada gadget mereka.
Bangun tidur langsung buka gadget, mandi sambil mendengarkan musik dari gadget, sarapan sambil membaca berita online, bahkan sampai belajarpun dilakukan secara online.
Perusahaan ponsel terus mengeluarkan fitur-fitur baru dan menarik, agar tak kalah dari produk saingan mereka. Orang kaya semakin kaya, karena hanya dengan membuat video tak jelas yang mereka upload di aplikasi online bisa membuat mereka mendapatkan penghasilan lumayan.
Berbeda denganku yang hanya seorang pramusaji, penghasilan tak seberapa, padahal kerja dari pagi sampai petang, aku memang hanya lulusan SMP, bahkan itu karena aku mengikuti kesetaraan paket B. Aku menyesali masa mudaku yang hidup semauku sendiri, tidak mendengarkan nasehat orang tua dan saudara-saudara ku dulu.
Semua karena aku jatuh cinta, sebenarnya aku masih ragu, entah itu cinta atau hanya nafsu dan kesenangan sesaat. Karena setahuku jika itu cinta, seharusnya kami berjuang bersama. Bukan hanya bersama saat senang dan bahagia saja, tapi seharusnya selalu bersama baik suka ataupun duka.
Dan itu tidak pernah terjadi, yang ada saat itu, dia yang sudah merenggut kesucian ku, meninggalkan aku saat aku mengatakan aku mengandung anak nya.
Usiaku baru menginjak 14 tahun saat itu, aku masih seorang pelajar di kelas 9. Aku mengenal laki-laki itu melalui sosial media, dia pria tampan seusiaku, tinggal di kecamatan sebelah, anak seorang TNI, dan ibunya seorang bidan.
Singkat cerita, saat itu kami bertemu dan saling tertarik satu sama lain. Dia memang tampan, berkulit putih dan berperawakan tinggi, sangat sesuai dengan kriteria cowok idaman. Apalagi dia anak orang dari keluarga terhormat. Tentu saja aku menyukainya.
Namanya Yoga, Steve Prayoga Setyawan. Kami bersekolah di SMP yang berbeda, aku yang bersekolah di SMP negeri, dan dia bersekolah di SMP favorit, dimana anak-anak orang kaya dan terhormat sekolah di sana.
Mama dan Papa ku tidak pernah melarang ku berpacaran, mereka menyadari anak-anak jaman sekarang jika di larang justru bisa berbuat nekad. Karena itulah saat Yoga memberanikan diri bermain ke rumahku dan memperkenalkan diri sebagai pacarku, Mama dan Papaku tidak mempermasalahkannya.
Kami sudah mulai berpacaran sejak dua bulan yang lalu, tapi baru hari ini aku mengajak Yoga ke rumah dan memperkenalkannya pada papa dan mamaku.
Papaku bernama Tono, seorang driver ojek online, dan mamaku Wina, bekerja sebagai salah satu buruh di pabrik tekstil. Aku anak pertama dari dua bersaudara, adikku bernama Juna, Arjuna Saputra, kami hanya berjarak usia 6 tahun. Saat itu Juna baru berusia 8 tahun.
Kedua orang tuaku selalu berpesan, " Jika mau berpacaran dirumah saja, jangan kelayapan ke mana-mana. Nggak baik juga dilihat tetangga kalau kalian suka pergi berduaan".
Dan ucapan itu seperti sebuah senjata makan tuan, posisi rumahku yang berada di barisan paling pinggir dekat dengan aliran sungai. Membuat rumahku sangat strategis untuk menghadirkan setan diantara kami berdua.
Tiap pagi papa dan mamaku harus berangkat untuk mengais rejeki, aku dan adikku sekolah, dan di siang hari di rumah hanya ada aku dan adikku saja.
Semenjak dikenalkan dengan Papa dan Mama, Yoga jadi sering sekali datang kerumah sepulang sekolah, dia begitu perhatian kepadaku, bahkan juga pada Juna, adikku. Tiap kali datang, Yoga selalu membawa buah tangan untukku dan adikku, tentu saja tidak seberapa, karena pasti itu bisa dibeli dari sisa uang sakunya, entah hanya sekotak martabak, atau satu buah es krim. Itu saja sudah cukup menunjukkan kalau dia perhatian kepadaku dan adikku.
Perhatian yang dicurahkan kepadaku makin lama membuatku semakin mencintainya. Hingga pada suatu siang, saat itu Yoga datang kerumah, dia selalu datang seorang diri, saat itu jam menunjukkan pukul 3, jadwal Juna pergi ke TPQ, untuk belajar mengaji.
Rumah sepi, sangat sepi, hanya ada kami berdua yang duduk di kursi kayu di ruang tamu rumahku. Papaku masih menerima orderan ngojek, dan mamaku hari ini lembur sampai jam 5. Anehnya.... cuaca yang awalnya terang mendadak mendung dan hujan.
Yoga keluar untuk memasukkan motornya ke teras rumahku yang minimalis, tentu saja agar tidak basah kehujanan, stelah itu dia kembali masuk dan duduk persis di sampingku. Bajunya yang sedikit basah menempel di lengan bajuku yang bersinggungan dengannya.
Siang itu awal pertama kali aku bersentuhan kulit dengannya lebih dari bersalaman tangan. Entah bagaimana mulanya. Yoga tiba-tiba menatap mataku begitu dalam, aku seperti tersihir oleh pesonanya. Kami melakukan ciuman pertama kami di ruang tamu rumahku.
Entah dorongan dari mana, aku yang baru pertama kali berciuman merasa sangat menikmatinya.
Awalnya dia mengecup pipiku dengan sangat cepat, lebih tepatnya seperti mencuri ciuman. Tapi aku menanggapinya hanya dengan tersenyum.
Aku mengira ciuman seperti itu sudah biasa dilakukan oleh anak remaja seusiaku, aku sering mendengar teman-teman ku bercerita, jika mereka bahkan sudah berciuman lebih dari itu, tepatnya dari mulut ke mulut.
Mungkin karena aku tersenyum saat Yoga mengecup pipiku, seolah seperti memberi lampu hijau padanya untuk melakukannya lagi. Tiba-tiba Yoga mengecup ku lagi, tapi kali ini bukan di pipiku, melainkan di bibir. Aku sedikit tersentak, tapi lagi-lagi aku hanya menanggapinya dengan tersenyum dan menepuk pahanya.
Hujan semakin deras, tidak ada orang yang berlalu lalang di depan rumahku, suasana semakin sepi dan gelap. Yoga tiba-tiba kembali mengecup bibirku pelan. Dan tangannya meraih tengkukku agar aku mendekat ke arahnya.
Aku awalnya ragu, ada rasa takut juga jika tiba-tiba papa pulang dan memergoki apa yang kami berdua lakukan. Tiba-tiba ada pesan masuk dari papa, membuatku sedikit mendorong tubuh Yoga agar menjauh.
Tapi alam seolah seperti mendukung kami untuk melanjutkan kesalahan yang sedang kami lakukan. Ku buka pesan dari Papa, ternyata Papa mengirim pesan kalau dia mendapat penumpang yang harus diantar ke stasiun, jaraknya lumayan jauh, bisa satu setengah jam untuk pulang pergi, dan papa menyuruhku untuk menjaga Juna adikku.
Yoga bisa membaca pesan yang kuterima dari papa, karena kami masih duduk dalam jarak yang sangat dekat, dan lengan tangan kami saling bersinggungan.
Aku tahu dia sedikit kecewa karena tadi aku mendorongnya saat dia merengkuh tubuhku. Bukan aku menolak, aku hanya khawatir ketahuan papaku, dan kekhawatiran itu kini sudah lenyap setelah membaca pesan dari papa. Setidaknya papa masih lama berada di jalan.
Yoga kembali merengkuh tubuh ku dan kami saling berciuman. Aku memang menyukainya, dan aku menikmati ciuman pertama kami. Meski kami masih sama-sama remaja, kami sudah melakukan french kiss yang entah bagaimana, aku sangat sangat menikmatinya.
Entah belajar dari mana, tapi aku bisa merasakan gerakan tangan Yoga yang menelusup ke dalam bajuku.
Aku mulai khawatir jika kami bisa berbuat lebih dari sekedar berciuman. Dan kekhawatiran ku pun terjadi. Yoga merangkul dan membimbingku masuk ke dalam rumah.
Dia menanyakan dimana kamarku, dan aku tunjukkan kamar dengan pintu bercat pink. Kami berdua masuk kedalam, dan terjadilah sebuah adegan yang seharusnya tidak pernah kami lakukan. Sebuah kesalahan dan kebodohan dua insan remaja yang saling dimabuk asmara.
Kami berdua melakukan hubungan terlarang, di kamarku. Dengan mudahnya aku menuruti keinginannya untuk menonton sebuah film dewasa dengan adegan panas seperti yang dilakukan oleh sepasang suami istri.
Yoga membimbingku untuk mempraktekkan semua yang baru saja kami lihat. Video berdurasi 15 menit yang berhasil membuat suhu tubuhku dan suhu tubuh Yoga seketika memanas.
Untuk pertama kalinya aku melihat adegan film panas, dan melakukan hubungan **** seperti yang baru saja kulihat di video di ponsel Yoga.
Aku terkejut ketika menjumpai noda merah di bagian inti ku, aku sudah tidak suci lagi. Dan itu semua karena kebodohan ku mengikuti keinginan Yoga.
Apa aku menyesal?, jawabannya tentu saja iya. Tapi apakah kami berdua kapok setelah melakukan permainan panas itu sekali?, jawabannya adalah tidak.
Karena Yoga berjanji akan bertanggung jawab jika sampai terjadi apa-apa padaku. Bahkan sejak kejadian siang itu, Yoga jadi semakin sering mengajakku bertemu, dan semakin sering datang kerumah.
Satu kalipun aku tidak pernah memikirkan resikonya, aku mencintai Yoga, begitu juga sebaliknya. Saat itu aku belum berpikir jauh tentang masa depan. Yang aku tahu Yoga sudah berjanji akan bertanggung jawab apapun yang terjadi.
Satu kali tidak ketahuan, kami melakukannya lagi untuk kedua kalinya, masih sama di kamarku. Kali ini Yoga datang tak membawa apa-apa, tapi dia memberi uang saku untuk jajan Juna saat di TPQ nanti. Yoga yang sudah tau rutinitas semua orang di rumahku, selalu datang di jam saat tidak ada seorangpun di rumah.
Seperti sebuah candu, tiap kali datang, yoga meminta padaku untuk melakukannya lagi, dan lagi. Kami berdua bahkan melakukan sampai dua kali saat di pertemuan yang kedua.
Ku lihat, sudah banyak video dewasa yang Yoga download di ponselnya. Dan aku masih tetap menuruti keinginannya, karena Yoga selalu memintaku untuk membuktikan jika aku mencintainya, maka aku harus menuruti keinginannya itu. Keinginan untuk melakukan hubungan terlarang.
Bodohnya saat itu aku mengira Yoga juga benar-benar mencintaiku, dan akan tetap disisi ku apapun yang terjadi. Seperti katanya yang selalu mengatakan akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padaku.
Dua kali kami melakukannya tanpa ketahuan, membuat kami kembali melakukannya lagi hingga ketiga kalinya. Justru Yoga semakin pandai mencari waktu untuk datang ke rumahku. Hingga hubungan terlarang yang ke empat kalinya Yoga bahkan mengajakku untuk bolos sekolah.
Yoga menjemput ku ke sekolahan ku, saat itu istirahat pertama, aku sampai berbohong pada guruku, jika aku sakit perut dan ijin untuk pulang. Aku katakan pada guruku jika sudah ada saudara yang menjemput ku di luar.
Guru langsung percaya begitu saja dengan alasanku, karena selama ini aku termasuk siswi yang rajin berangkat sekolah, dan jarang sekali ijin atau bolos. Aku pun pulang berboncengan dengan Yoga. Motor satria yang dibawanya membuat aku harus menempel seperti ransel di punggungnya. Sudah tidak ada jarak diantara kami berdua.
Aku langsung pulang ke rumah, tentu saja tidak pergi kemana-mana, karena rumahku sendiri justru menjadi tempat yang paling aman untuk kami berdua berpacaran hingga melakukan hubungan ****.
Papaku masih ngojek, dan mamaku pun masih di pabrik. Baru jam 10, masih sangat lama hingga mama dan papaku pulang kerumah. Mungkin jika kami tanpa basa-basi dan langsung memulai menonton video panas dan mempraktekannya, kami berdua bisa mengulangi nya sampai beberapa kali hingga Juna pulang sekolah.
Belum lagi di tambah waktu saat Juna pergi mengaji. Selama seharian berduaan mungkin kami berdua bisa melakukan penyatuan hingga 5 kali.
Dan itu benar terjadi, di pertemuan kami yang ke 4, kami melakukannya beberapa kali, hingga area sekitar mis V ku terasa sakit dan pedih. Namun aku masih saja menuruti Yoga untuk mengulang kenikmatan yang luar biasa, yang bisa kami rasakan tiap kali kami melakukan penyatuan.
Aku senang saat Yoga tersenyum bahagia dan mengecup kening ku sambil mengatakan i love you usai kami bercinta. Dan masa masa indah itu ternyata berlangsung tak lama.
Yoga masih tetap sering datang ke rumah, namun karena papaku sedang sepi penumpang, papa jarang keluar, dan menemani kami di rumah hingga sore.
Tidak ada yang kami berdua lakukan jika papaku dirumah, Yoga juga bersikap seperti remaja pada umunya yang mencari muka di depan papaku. Membahas tentang ayam peliharaan, tentang bola, dan sebagainya, Yoga memang terlihat nyambung saat ngobrol dengan papa. Dan tak terasa sudah hampir 4 bulan kami berpacaran.
Lambat laun kurasakan aneh pada tubuhku, aku mulai merasa cepat lelah, kadang pusing, kadang mual, tapi aku masih bisa menahannya. Aku masih tetap berangkat sekolah seperti biasanya. Mengikuti upacara, olahraga dan mengikuti semua kegiatan belajar mengajar seperti biasa.
Tapi aku baru ingat, ternyata sudah tiga bulan ini aku tidak datang bulan. Aku merasa bobot tubuhku juga naik, begitu juga dengan nafsu makan ku yang kini bisa dua kali dari porsi biasanya.
Kebetulan saat itu di sekolah ada jam pelajaran biologi, tentang reproduksi. Dan aku mulai merasa takut saat mendengar penjelasan dari Bu Ina, guru biologiku tanda-tanda kehamilan. Bukan karena apa, tapi aku merasakan semua tanda-tanda kehamilan seperti yang di jelaskan Bu Ina di depan kelas.
Aku mulai merasa khawatir dan takut jika sampai aku hamil. Karena aku sadar, tiap kali kami berhubungan ****, tidak pernah sekalipun kami menggunakan pengaman, tapi apa iya anak anak remaja seperti aku dan Yoga bisa membuat seorang bayi hidup di perutku?, aku masih sangat kecil, usiaku baru 14 tahun lebih, begitu juga dengan Yoga, yang masih remaja, ibaratnya... di sunat saja baru beberapa tahun yang lalu.
Namun ternyata kekhawatiran ku terbukti, aku yang ingin memastikan semuanya baik-baik saja memutuskan membeli testpack di apotik, ku ajak Yoga bersamaku, kami berboncengan naik motornya, sengaja membeli testpack di apotik yang jauh dari rumah.
Kami berhenti di taman yang berada tak jauh dari apotik itu. Bahkan saat di taman Yoga sempat meminta padaku untuk ikut masuk ke dalam toilet umum. Karena sudah cukup lama kami berdua tidak melakukan hubungan intim, aku tahu Yoga pasti menginginkan kami melakukannya lagi, seperti tidak ada kapoknya.
Tapi ini taman umum, dan siapa saja bisa tiba-tiba memergoki kami jika sampai kami keluar dari toilet yang sama. Apa coba yang akan orang lain pikirkan jika mengetahui hal itu. Bisa-bisa kami di laporkan pada orang tua kami.
Karena itulah aku menolaknya, Yoga menungguku di depan toilet, meski sebelumnya kami sempat melakukan french kiss di depan toilet saat keadaan aman.
Aku masuk dan buang air kecil di toilet, ku masukkan ke dalam gelas bekas air mineral sedikit. Dan ku celupkan batangan panjang seperti korek ke dalamnya. Ku lihat ada dua tanda garis merah, seketika aku merasa sangat takut dan shock.
Dan aku keluar dari toilet umum dengan wajah pias ku, ku tarik tangan Yoga mencari tempat yang sunyi dan aman. Ku tunjukkan hasil dari pengecekan tadi.
" Aku positif", ku bisikkan kata-kata itu dekat telinga Yoga, dan bisa kulihat jelas seperti apa ekspresi Yoga saat ini. Dia lebih pucat dari pada aku.
Tapi Yoga berusaha bersikap seolah tenang dan menatapku dengan tatapan penuh keyakinan.
" Kamu tenang saja Ra... aku tidak akan pernah membiarkanmu sendirian, aku pasti bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Aku akan memberi tahu ibuku terlebih dahulu, kamu sabar ya... setelah ibuku tahu, pasti kita bisa cari solusi bersama".
Itu kata-kata yang Yoga ucapkan saat pertama kali mengetahui aku hamil. Dan aku mempercayai nya begitu saja.
Satu bulan....
Yoga tidak sekalipun datang ke rumah. Aku masih sabar menunggu, karena aku tahu, pasti dia juga bingung bagaimana menyampaikan pada orang tuanya. Pada ibunya mungkin berani, tapi ayahnya seorang tentara, mungkin Yoga bisa dihajar habis-habisan oleh ayahnya jika mengetahui apa yang sudah di lakukan putranya.
Meski tidak datang ke rumah, kami masih lancar berhubungan melalui telepon dan video call. Papa dan mamaku bahkan kini sering menanyakan kepada ku kenapa Yoga tidak lagi main kerumah. Mereka mengira aku sudah putus. Tapi aku mengatakan jika kami masih pacaran, hanya saja Yoga sedang sibuk dan mengikuti banyak les privat. Dan orang tua ku percaya begitu saja dengan alasan yang ku buat-buat.
Hingga pada suatu hari akhirnya Yoga datang, dia mengajakku bertemu dengan ibunya. Awalnya aku menolak, karena aku takut dan juga malu bertemu ibunya Yoga sudah dalam keadaan hamil. Tapi Yoga meyakinkan aku bahwa ibu tidak akan marah, karena Yoga adalah anak laki-laki satu-satunya.
Aku pun akhirnya setuju untuk datang ke rumah Yoga, hanya 15 menit perjalanan menaiki motornya, kami sudah sampai di rumah besar yang berdiri di pinggir jalan utama kota. Halaman yang luas dengan taman yang indah terawat. Kesan pertama masuk ke rumah itu tentu saja yang punya adalah orang kaya.
Yoga menggandeng tanganku mengajakku masuk kedalam rumah besar itu. Aku diajak masuk hingga ke dalam rumah. Kulihat ibunya Yoga yang sudah menunggu kedatangan kami berdua.
Aku mengucap salam, dan mencium tangan nya, ternyata Bu Bidan Herni, ibunya Yoga menyambut ku dan menerima salam ku. Tidak se menakutkan yang aku bayangkan sebelumnya. Sepertinya beliau memang sangat baik dan sangat menyayangi Yoga.
Bu Herni mengajakku masuk kedalam sebuah kamar besar, untuk berbicara empat mata, dan menyuruh Yoga untuk membelikan es teler untukku di depan kantor kecamatan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Tidak ada kecurigaan sedikitpun, Yoga pergi menuruti perintah ibunya, dan aku masuk kedalam kamar bersama Bu Herni.
Karena beliau seorang bidan, beliau menyuruhku merebahkan diri di kasur periksa, dan mengecek perutku sendiri. Aku memang merasa tidak nyaman dengan perlakuannya, tapi aku hanya bisa menuruti keinginan beliau.
" Kapan terakhir datang bulan?", itu pertanyaan yang pertama di ucapkan beliau.
Ku sebutkan tanggal terakhir kali aku datang bulan. Dan kulihat dia nampak menghitung dengan jarinya.
" Sudah 11 minggu, masih bisa di buang", gumamnya.
Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang baru dia katakan, 'masih bisa dibuang'. Apa maksud kalimat itu?, aku mulai merasa khawatir. Apakah iya, beliau akan menyuruhku menggugurkan kandunganku?, padahal janin yang ada di dalam perutku ini adalah cucu kandungnya. Aku mulai merasa takut dan khawatir.
" Ibumu sudah tahu kamu hamil?".
Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Bu Herni.
" Apa kamu benar-benar mencintai Yoga?".
Aku mengangguk dengan cepat mendengar pertanyaan selanjutnya.
" Kalau kamu mencintainya, tolong minum ini, ini tidak akan menyakitimu, hanya akan menghilangkan janin yang ada di perutmu, ibu tidak akan melarang kalian berpacaran, dan ibu pasti akan merestui hubungan kalian, meski entah darimana kamu berasal, tapi sepertinya Yoga sudah sangat mencintai kamu, hanya saja untuk saat ini, Yoga belum bisa menjadi ayah untuk bayi yang ada dalam perutmu, dia masih kecil, masih remaja, dan masih harus bersekolah. Kalian berdua baru kelas 9, nantinya kalian harus melanjutkan ke SMA dan juga kuliah, perjalanan kalian berdua masih sangat panjang untuk mencapai cita-cita kalian".
" Jika kehadiran bayi itu diketahui orang lain, akibatnya akan sangat buruk, dan merusak masa depan Yoga, juga masa depanmu. Kamu tidak mau itu terjadi kan?. Karena itu, minumlah ini, ini pil mahal, yang susah payah ibu dapatkan, kalau kamu minum ini, ibu janji akan merestui hubungan kalian berdua".
Percakapan kami hanya sampai di situ, karena setelah itu aku pulang ke rumah, tentu saja diantar Yoga, dengan membawa 4 cup es teller, untukku dan untuk keluargaku, juga dua butir pil yang diberikan oleh Bu Herni padaku.
Sampai di rumah aku kembali merasa bingung, memang ada benarnya apa yang dikatakan Bu Herni tadi, jika sampai ada yang mengetahui aku hamil, bukan hanya aku yang akan malu, tapi papa mamaku, juga ayah dan ibunya Yoga juga akan malu, apalagi mereka dari keluarga terpandang. Aku bisa mencoreng nama baik keluarga mereka.
Ku dengar obrolan Papa dengan Yoga di ruang tamu, semuanya terdengar normal.
Papa juga terlihat semakin menyukai Yoga, karena Yoga adalah teman ngobrol yang asyik dan nyambung, meski mereka berbeda usia.
Papa belum tahu saja, apa yang sudah dilakukan pemuda itu pada putri semata wayangnya ini, kalau Papa tahu, mungkin saat ini wajah Yoga sudah babak belur habis di jadikan pengganti samsak oleh papa.
Sekarang yang aku pertanyakan, apa Yoga tahu dengan rencana ibunya untuk menggugurkan janin dalam kandungan ku ini?. Kalau iya, berarti dia juga setuju membunuh darah dagingnya sendiri?. Dan aku bisa berbuat apa kalau mereka semua tidak menginginkan kehadiran anak ini.
Aku masih terus berpikir antara menuruti keinginan Bu Herni untuk mengugurkan janin dalam perutku, atau tidak. Seandainya mamaku tahu, mungkinkah mama akan berpikir sama dengan Bu Herni?.
Sampai pagi aku belum meminum pil pemberian ibunya Yoga itu. Aku bahkan semalam sampai bermimpi ada seorang anak kecil memohon-mohon padaku agar diselamatkan saat ular besar hendak menelannya. Dan aku berhasil menyelamatkan anak itu, dalam mimpiku anak itu memberikan seekor burung kecil miliknya sebagai tanda terimakasih padaku karena sudah menyelamatkan hidupnya.
Aku terbangun pagi hari, dan menyadari ternyata semua itu hanya sebuah mimpi.
Hari ini hari minggu, Mama ku libur dari pekerjaannya di pabrik. Mama seperti biasa sudah selesai masak sebelum jam 6 pagi, karena biasanya tiap berangkat kerja, semua makanan sudah tersaji di meja makan.
" Ra, nanti temani mama belanja kebutuhan bulanan ya... oh iya kamu butuh apa saja sekalian di catat, biar nanti nggak lupa pas sudah sampai toko".
Aku pun seperti biasa mencatat kebutuhan bulanan ku, ini memang sudah menjadi kebiasaan, mama akan belanja besar untuk kebutuhan selama sebulan di toko langganan kami. Mulai dari kebutuhan dapur, kebutuhan mandi, hingga kebutuhan tak terduga seperti persediaan lilin, dan obat-obatan warung.
Mama membaca daftar yang sudah aku buat. Aku mencatat ada sabun wajah, deodorant, bedak, dan juga parfum ku sudah habis. Kulihat mama mengernyitkan keningnya.
" Kenapa Ma?", tanyaku , karena mama nampak menatap aneh ke arahku. Namun sekejap kemudian mama menggeleng dan kembali tersenyum.
Kami berdua belanja seperti rutinitas bulanan kami. Sampai di rumah mama masuk ke dalam kamarku dan tatapannya menyapu seluruh bagian kamar, seperti mencari-cari sesuatu. Tapi aku tidak tahu apa yang mama cari.
Aku melihat tatapan mama berhenti di atas lemari pakaian ku. Di sana adalah tempatku menyimpan pembalut yang biasanya aku pakai. Apa?, pembalut?, jadi ternyata mama menyadari jika aku sudah tiga bulan ini tidak memasukkan pembalut di daftar belanja kami.
Mama mengambil satu pak pembalut persediaan ku yang masih utuh. Bahkan belum di buka sama sekali.
" Kamu belum datang bulan?", tanya mama dengan tatapan menyelidik.
Seketika aku bingung harus menjawab apa, pertanyaan mendadak dari mama tentu saja belum aku prediksikan, dan aku bingung harus menjawab apa.
" Em... anu... ma.... sebenarnya beberapa waktu lalu di sekolah ada sosialisasi dari salah satu produk pembalut wanita, dan semua siswi diberi pembalut secara gratis, cuma-cuma, makanya Raya pakai yang dikasih dari sponsor itu dulu, dan yang dibelikan mama, belum Raya pakai".
Itu adalah kebohongan pertama yang aku sampaikan kepada mamaku, aku sungguh menyesal, tapi aku terpaksa.
Mama percaya begitu saja dengan kata-kata ku tadi, tak sedikitpun mama menaruh curiga. Justru itu yang membuatku semakin merasa bersalah. Mama keluar dari kamarku setelah meletakkan pembalut persediaan ku di atas lemari lagi. Aku merasa kali ini sudah aman, dan aku berharap tidak ada lagi kebohongan yang kedua dan seterusnya.
Aku jadi merasa yakin untuk mengikuti anjuran Bu Herni, sebaiknya aku minum pil pemberian beliau itu, agar semua masalah menjadi selesai. Aku akan baik-baik saja dan begitu juga dengan orang tuaku.
Ku ambil pil pemberian ibunya Yoga yang ku simpan di laci meja rias di kamarku. Masih utuh dua butir. Ku tatap lagi pil itu dengan seksama, " maafkan mama sayang..., semoga kamu memaafkan mamamu yang jahat ini", batinku sambil mengelus perutku yang masih rata.
Ku ambil air putih dari botol yang selalu tersedia di meja rias. Ku telan sebutir pil pemberian Bu Herni dengan sebotol air.
Semoga saja obat ini tidak menyebabkan efek samping apa-apa di tubuhku. Dan jika obat ini bisa meracuniku, itu berarti sudah takdirku untuk mati bersama anakku. Aku sudah pasrah, dari pada membuat malu keluarga, mending mati dan membiarkan mereka bahagia tanpaku yang hanya bikin malu ini.
Aku tunggu reaksi dari obat itu, pintu kamar sengaja ku tutup rapat, tapi tidak aku kunci, karena aku khawatir sesuatu bisa saja tiba-tiba terjadi padaku.
Satu jam aku tiduran di kasur, tidak ada yang aku rasakan. Semua tubuhku masih terasa baik-baik saja. Apa karena harganya mahal, sehingga obat ini bisa menggugurkan janin tanpa efek samping sama sekali?. Aku jadi semakin penasaran.
Dan ku rasakan benar-benar tiap organ dari tubuhku, semuanya masih baik-baik saja. Atau seharusnya aku minum dua pil sekaligus?, tapi kemarin tidak ada pesan apa-apa dari Bu Herni, beliau hanya menyuruhku meminum pil ini, sudah itu saja.
Karena tak ada yang aku rasakan aku pun keluar dari kamarku, tujuanku adalah dapur, aku sudah lapar dan ingin segera makan, ya... justru aku merasa nafsu makan ku jadi meningkat.
Mama melihatku dengan tatapan yang menyelidik, aku yang sedang mengambil makan siang jadi merasa seperti pencuri yang ketahuan sedang mencuri makanan di rumah orang lain.
" Mama kenapa menatapku seperti itu?, apa ada yang salah dengan ku?", tanyaku karena merasa risih dengan tatapan mata mama.
" Kamu laper apa laper banget?, lihat kamu mengambil nasi sampai seperti gunung begitu. Apa bakalan habis itu kamu makan semuanya?".
Ternyata Mama terus menatap karena porsi makan ku yang makin hari makin meningkat. Memang sebentar-sebentar aku merasa lapar, karena itulah aku harus makan banyak biar aku kenyang.
Sebelum ini memang mama tidak pernah melihatku makan, biasanya mama berangkat kerja pagi, dan sibuk dengan berbagai persiapan sebelum bekerja membuat keluarga kami tidak pernah melakukan rutinitas sarapan bersama. Kami makan sendiri-sendiri, begitu juga dengan makan siang dan makan malam, selalu makan sendiri-sendiri. Karena itulah mama sedikit kaget karena ini kali pertama mama melihat aku mengambil nasi dengan porsi yang cukup banyak.
" Pantas saja akhir-akhir ini mama lihat kamu nampak gemukkan, ternyata nafsu makan mu meningkat. Baguslah kalau begitu, jadi nggak kurus banget anak mama ini". Mama mencubit pipiku yang memang makin hari makin chubby.
Seminggu setelah aku meminum sebutir pil pemberian ibunya Yoga. Aku masih tidak merasakan perubahan apapun, saat itu aku kira mungkin aku harus datang kerumah Yoga dan menanyakan apakah janin dalam perutku masih ada atau tidak.
Tapi saat aku sampai di depan rumah itu, ku lihat banyak mobil terparkir di depan rumah, ada beberapa mobil juga yang masuk di halaman rumah. Ternyata sedang ada acara keluarga di rumah Yoga. Ini memang salahku yang tidak mengabari rencana kedatanganku terlebih dahulu kepada Yoga.
Pintu gerbang yang terbuka membuatku bisa melihat sampai ke teras rumah, di sana kulihat Yoga sedang bercanda dengan beberapa anak sepantarannya, cowok dan cewek bergurau bersama, bahkan ku lihat Yoga merangkul pundak salah satu gadis cantik seusiaku. Aku masih berusaha berpikir positif, mungkin dia saudaranya.
Dan ku hubungi ponsel Yoga, untuk memberi tahu keberadaan ku di sini, telepon aktif, dan nyambung, tapi tak kunjung diangkat, kulihat Yoga masih bercanda dengan teman-temannya di teras, mungkin saja ponselnya di kamar sehingga Yoga tidak tahu aku meneleponnya.
Aku bingung, sudah tanggung sampai disini apa iya aku harus pulang tanpa bertemu dengan Yoga?. Tapi kalau masuk begitu saja, pasti akan sangat terkesan tidak sopan saat di rumah besar itu sedang ada acara keluarga.
Kuputuskan mengirim pesan pada Yoga dengan mengirim foto pintu gerbang rumahnya yang terbuka. Memberi tahu Yoga jika aku sempat datang, tapi tidak berani masuk ke dalam karena di rumahnya sedang banyak tamu.
Akhirnya aku pulang ke rumah, rencana ku untuk menanyakan keadaan janin dalam perutku akhirnya tertunda. Aku tidak berhasil bertemu dengan ibunya Yoga.
Esok harinya sepulang sekolah Yoga datang ke sekolahku, dia menjemputku untuk pulang sekolah bersama dan meminta maaf karena kemarin tidak tahu jika aku datang kerumahnya. Aku memaafkannya, karena semua penjelasan yang Yoga katakan sangat masuk akal.
Kami pulang bersama. Dan saat di motor Yoga menanyakan bagaimana keadaanku. Aku pun mengatakan aku baik-baik saja, dan mengatakan ingin bertemu dengan ibunya lagi untuk menanyakan sesuatu, tapi kata Yoga, sang ibu sedang dinas di luar kota selama seminggu. Berangkat tadi pagi, karena itu aku baru bisa bertemu beliau saat beliau pulang nanti.
Empat minggu semenjak aku meminum pil penggugur kandungan, aku masih saja merasa sama, bahkan aku belum berhasil bertemu dengan ibunya Yoga, karena ternyata beliau orang yang sangat sibuk. Akhirnya aku meminta pada Yoga agar menyampaikan pada ibunya, aku ingin bertemu.
Dan akhirnya kami bertemu dua minggu setelah itu. Aku kembali bertemu dan berbicara empat mata dengan Bu Herni di kamar yang sama, ekspresi wajahnya nampak marah.
" Apa kamu tidak meminum pil yang aku berikan!", kalimatnya terdengar sangat marah.
Aku langsung menggeleng dan mengatakan bahwa aku sudah meminum pil darinya. Ku lihat Bu Herni kembali meraba perutku.
" Bagaimana bisa janin ini masih bertahan disini jika kamu sudah meminum pil pemberianku?".
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!