"Hawa." Suara baraton terdengar menggema. Seorang pria menatap tajam putrinya yang baru saja pulang.
Hawa Aqila Putri, seorang pelajar yang masih duduk di bangku SMA, pergaulannya yang begitu bebas membuat sang ayah murka. Seperti saat ini Hawa, baru saja kembali setelah bermain bersama teman-temannya. Pergaulannya pun bukan seperti anak gadis pada umumnya.
Hawa, selalu pulang malam saat jarum jam menunjukan pukul 02.00 dini hari, sang ayah selalu memarahinya namun tidak pernah ia dengar. Amarah sang ayah pun tidak pernah ia takutkan. Bukan tanpa alasan Hawa, seperti itu Hawa, bisa di bilang salah bergaul apalagi memilih teman.
Sebagai gadis kota tidak heran jika pergaulan itu yang mereka pilih. Nongkrong di cafe, nonton konser, pergi ke club hanya, balapan sampai akhirnya pulang malam. Marwan, sang ayah tidak pernah mengajar, kan putrinya seperti itu bahkan ibu dan kakaknya juga tidak bisa menasehati Hawa, yang memang sangat keras kepala dan tidak mau di atur.
"Dari mana kamu?" Marwan, begitu marah ia berjalan ke arah Hawa, yang berdiri di ambang pintu. Marwan, sengaja berdiam diri di ruang tamu untuk menunggu putrinya pulang, karena bukan untuk pertama kalinya, Hawa, selalu pulang pada dini hari.
"Abis main," jawab Hawa, santai.
"Hawa, kamu itu anak gadis. Tidak baik seorang gadis pulang selarut ini. Sudah Papa bilang jangan bergaul dengan teman-temanmu itu, mereka bukan anak-anak yang baik," tegas Marwan.
Marwan, sangat tidak suka dengan teman-teman putrinya karena baginya pergaulan mereka membawa putrinya ke jalan yang sesat.
"Udah ah, pa Wawa ngantuk." Hawa, pergi begitu saja tanpa menghiraukan ucapan Papanya. Marwan, hanya bisa geleng-geleng kepala.
Sesampainya di kamar Hawa, terus menggurutu dia sangat kesal dengan ocehan papanya, namun itu sudah biasa Hawa, dengarkan. Karena tidak ingin terus menggerutu Hawa, pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
****
Keesokan paginya Hawa, kembali hang out bersama teman-temannya. Kali ini dia bolos sekolah, di rumahnya dia berangkat untuk sekolah namun saat di jalan Hawa, langsung naik mobil temannya yang mengajaknya untuk bolos.
"Wawa ayo naik!" ajak temannya yang bernama Sherly, yang mengendarai mobilnya.
"Kita mau kemana sih!" tanya Hawa, yang masuk ke dalam mobil Sherly.
"Idih, sejak kapan lo nanya kita mau kemana biasanya juga lo enjoy-enjoy aja," timpal Sherly, yang langsung melajukan mobilnya.
"Eh, lo kenapa sih! Kaya ketakutan gitu," ujar Mira, temannya yang duduk di belakang.
"Semalam gue di marahin bokap, gara-gara kalian nih, pulang kemalaman." Hawa, sangat kesal.
Seandainya dia tidak mengikuti saran temannya untuk pergi ke club mungkin Hawa, tidak sampai pulang malam dan tidak akan di marahi papanya. Teman-temannya sering mengajaknya ke club, walau pun masih pelajar pergaulan mereka benar-benar sangat bebas.
Namun, walau pun pergi ke club Hawa, tidak pernah meminum-minuman haram yang ada di club itu. Karena Hawa, tahu itu minuman yang akan memabukan, dan juga Hawa, tidak ingin ayahnya tahu karena bau minuman itu sangat menyengat.
"Gue heran deh sama kalian. Bokap yokap kalian gak marah apa?" tanya Hawa, heran.
"Hidup gue mah bebas Wa, ya gak Mir!" Mira, yang duduk di belakang pun mengangguk. "Bokap ma yokap gue gak ada di rumah, mereka sibuk dengan kerjaan mereka masing-masing," sambung Sherly.
"Emang gak pernah pulang atau nanyain kabar?" Hawa, merasa heran kedua orangtua temannya begitu tidak peduli.
"Gue, orangnya enjoy bodo amat gak pulang yang penting duit ngalir ya gak Mir!"
"Yo'i," jawab Mira.
"Enak banget sih hidup kalian bebas." Hawa, merasa iri karena hidup temannya sangat bebas tanpa ada yang memarahi setiap hari. Mereka, bebas melakukan apapun.
Namun, tanpa Hawa, sadari justru dialah yang sangat beruntung memiliki orang tua yang sangat peduli, dan perhatian padanya. Papanya yang selalu memarahinya bukan berati tidak sayang melainkan sangat sayang dan melakukan itu demi kebaikan anaknya.
Sherly, melajukan mobilnya ke sebuah mal. Hobi mereka yaitu shoping dan shoping. Mereka hanya bisa menghabiskan uang kedua orang tuanya. Merasa tercukupi dan uang mereka banyak tanpa peduli bagaimana cara orangtuanya mendapatkan uang.
Di tempat lain Marwan, dan Marwah, ibu dan ayahnya Hawa, mereka di beritahukan pihak sekolah karena Hawa, sudah tiga hari ini bolos. Mereka pun ternganga tidak percaya apa yang di katakan pihak sekolah. Karena jelas, tadi pagi Hawa, pergi memakai seragam sekolah, mereka sungguh tak percaya putrinya telah berbohong.
"Ma, keputusan Papa sudah bulat, untuk mengirim Hawa, ke pesantren. Setelah melihat tingkah Hawa, selama ini sepertinya Papa tidak sanggup lagi untuk mendidiknya. Mungkin jika di sana Hawa, akan lebih dewasa dan penurut. Papa hanya tidak ingin putri kita terjerumus ke jalan yang salah, apalagi kita sudah lihat bagaimana pergaulan Hawa, dengan teman-temannya," ucap Marwan, pada istrinya.
Pergaulan bebas membuat Marwan, gelisah dan takut akan hidup putrinya. Marwan, seorang pengusaha namun dirinya tidak pernah lupa untuk memperhatikan anak-anaknya. Marwan, pun selalu mengajarkan tentang ilmu agama dan ajaran-ajaran yang benar terhadap putrinya.
Tentang Sholat, mengaji Marwan, tidak pernah lupa untuk mengingat, kan. Dulu saat kecil Hawa, sangat penurut tetapi setelah remaja Hawa, sedikit bandel dan ngeyel juga membangkang jika di ingatkan Sholat dan mengaji. Setiap di tanya Hawa selalu menjawab 'Bawel deh pa, aku itu bukan anak kecil lagi' itu yang selalu ia katakan. Marwan, tidak tahu kenapa putrinya jadi seperti itu.
"Mama setuju saja, jika menurut papa itu baik, Mama akan selalu mendukung," ucap Marwah, yang kini sedang berbincang di ruang keluarga.
"Aneh ya Ma, biasanya anak perempuan akan selalu menurut, tapi ini sebaliknya. Bahkan, Yusuf, putra kita dia lebih menurut di banding, kan adiknya."
Yusuf, adalah kakak, Hawa yang kini sedang menempuh pendidikan di universitas al-azhar di kairo, selain itu Yusuf, juga menjadi guru disana, semenjak kecil Yusuf, sudah tinggal di pesantren, hingga saat lulus Yusuf, mengutarakan ke inginannya untuk menempuh pendidikan di universitas yang sangat terkenal di kairo. Tanpa ada paksaan dari kedua orangtuanya, murni keinginannya sendiri.
"Sudah, Pa, jangan di pikirkan. Nanti sakit lagi, mending sekarang Papa, minum obatnya lalu istirahat dan tidur sebelum waktu ashar tiba."
Marwah, begitu perhatian pada suaminya. Karena tingkah Hawa, akhir-akhir ini membuat suaminya itu sering sakit karena memikir, kan putrinya itu. Setelah meminum obatnya Marwan, langsung masuk ke dalam kamarnya.
Di mal, Hawa, kebingungan saat akan melakukan transaksi pembayaran, kartu debitnya tidak bisa di gunakan, hingga Hawa, malu saat akan membayar belanjaannya.
"Kalau tidak punya uang jangan belanja," cibir seorang kasir toko.
"Siapa yang gak bisa bayar, mesinnya aja nih yang elor!" ketus Hawa, yang memukul mesin EDC, mesin yang berbentuk seperti telepon genggam yang biasa di lakukan untuk pembayaran antara rekening bank.
"Malah nyalahin mesin, bilang saja tidak punya uang," cibir kasir itu "Sini, kembalikan barangnya," ketus kasir itu yang meminta kembali semua barang yang sudah di beli Hawa.
Hawa, pun tidak terima karena merasa di permalukan. Akhirnya Hawa, meminjam uang Sherly, untuk membayar belanjaannya. Hawa pun tidak tahu kenapa kartu debitnya tidak bisa di gunakan. Dia tidak tahu bahwa papanya sudah blokir semua kartu debitnya.
"Nih, gue bayar puas," ketus Hawa, seraya memberikan uang pada kasir itu.
"Nah gitu dong dari tadi ke' minjem aja bangga."
"Apa!" Hawa, tak terima dengan ucapan kasir itu, karena baginya itu adalah penghinaan.
"Denger ya, jangan, kan baju ini tokonya bisa gue beli." Hawa, tidak terima hingga menantang kasir itu seolah meyakinkan jika dirinya mampu dan anak dari keluarga kaya.
"Idih, ngayal," gumam kasir itu sinis. Namun, masih terdengar oleh Hawa.
Karena tidak ingin terus terpancing emosi Hawa, pun pergi meninggalkan toko tersebut.
...----------------...
Jangan lupa klik favorit untuk mendapatkan notifnya tiap hari. Jangan lupa beri dukungannya like setelah membaca dan Vote, setiap minggunya 🙏🤗. Kasih bintang 5 juga ya 🤗🙏. Semoga suka dengan ceritanya
Salam author
❤❤❤
Di sebuah pondok pesantren, sepasang suami istri sedang berbincang dia adalah Kiyai Abdullah dan istrinya Siti khodijah, mereka merupakan pemilik pondok tersebut. Pesantren mereka pun sudah lama di diri, kan sehingga santri dan santriwatinya sudah banyak dan mereka semua berasal dari berbagai kota.
"Umi, in sya Allah kita akan kedatangan santri baru," ucap Kiyai setelah meneguk teh hangatnya.
"Alhamdulillah By, santri kita bertambah. Kalau boleh tahu siapa By?" tanya Umi, yang sedang melipat pakaian.
"In Sya Allah anaknya pak Marwan,"
"Bukannya anak pak Marwan, sedang berada di kairo!" Umi berpikir yang akan mondok adalah Yusuf, karena yang Umi tahu hanya Yusuf, putra pak Marwan.
"Bukan Yusuf, Umi tapi putrinya adik dari Yusuf," jelas Kiyai.
"Umi tidak tahu By, Umi kira hanya Yusuf, satu-satunya putra pak Marwan."
"Kita sudah lama tidak bertemu, jadi tidak tahu juga kalau mereka punya seorang putri."
Yusuf, juga mondok di pesantren An-Nur, saat itu Marwan belum di karuniai seorang putri, karena perbedaan usia Yusuf dan Hawa cukup jauh. Jadi saat Yusuf, masih mondok Hawa, belum lahir.
Saat ini Hawa berusia 18 tahun dan Yusuf 28 tahun, usia mereka terpaut 10 tahun. Saat itu Yusuf, mondok saat usianya masih kecil saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Itu sebabnya mereka belum mengetahui sosok Hawa.
"Iya, juga ya By. Oh iya By, Adam sebentar lagi pulang, kan dari Kairo." Umi begitu antusias karena putranya akan segera kembali setelah menempuh pendidikan di negri piramida itu.
"Iya, tidak terasa ya, semoga putra kita membawa ilmu yang bermanfaat dari sana."
"Aamiin,"
Di tempat lain Hawa, dikejutkan dengan keputusan sang ayah untuk mengirimnya ke pondok, Hawa, sangat menentang karena itu bukanlah keinginannya.
Namun keputusan Marwan, sudah bulat tidak ada lagi penawaran, bahkan Marwan, geleng-geleng kepala saat melihat putrinya yang marah-marah padanya. Sudah keputusan yang baik dan benar untuk mengirim Hawa, ke pondok. Jika lama-lama di sini dan di biarkan bergaul yang salah entah apa yang akan terjadi pada putrinya mungkin akan semakin tersesat.
"Hawa, bicara yang baik pada papamu," bentak Marwah, dia merasa putrinya itu keterlalua.
"Pokoknya aku gak mau mondok. Papa dan Mama gak bisa maksa aku." Hawa, semakin berani berbicara tinggi kepada orangtuanya.
"Keputusan Papa sudah bulat, mulai besok kamu akan Papa kirim ke pensantren An-nur, jika kamu tidak ingin silahkan pergi, tapi ingat kamu tidak bisa membawa apapun saat pergi dari rumah ini."
Hawa, tertegun tidak mungkin Hawa, pergi tanpa membawa uang sepersen pun. Apalagi sekarang kartu debitnya sudah di blokir. Tetapi, hati Hawa, sudah di penuhi nafsu dan amarah hingga Hawa, pun berani pergi membangkak orangtuanya.
"Hawa, mau kemana kau!"
"Bukankah Papa, menyuruhku pergi, sekarang Wawa akan pergi dari rumah ini. Biar Papa, puas!" Hawa, beranjak pergi membawa kopernya namun tiba-tiba
"Astagfirullah." Marwan, meringis seraya menyentuh bagian jantungnya.
"Papa," Marwah, terkejut melihat suaminya yang sudah terkulai lemah, Marwan, kembali merasakan sakit pada jantungnya, setiap kali Hawa, berulah.
Hawa, yang tadinya akan pergi pun berpaling dan terkejut melihat kondisi Papanya. Hawa, menjatuh,kan kopernya begitu saja lalu berlari menghampiri Papanya.
Senakal-nakalnya Hawa, dia tidak akan tega melihat papanya sakit. Hingga akhirnya hati Wawa, pun luluh dia menyetujui keinginan papanya untuk mondok di pesantren An-nur.
Keesokan paginya Wawa, pun berkemas semua barangnya hanya saja untuk pakaian Marwah, sudah menyiapkan pakaian khusus untuk putrinya, karena tidak mungkin berpakaian minim dan ketat saat berada di pesantren.
"Sayang, kamu perlu ingat papa dan mama melakukan ini untuk kebaikan kamu, Nak." Marwah, mengusap lembut pundak Hawa, agar Hawa, lebih tenang.
"Tapi Wawa, tidak ingin mondok Ma." Jika bukan karena sakit papanya semalam Hawa, tidak akan menyutujui keinginan Papanya itu.
****
Hawa sudah sampai di pesantren An-nur, salah satu pesantren terbesar yang berada di kota bogor. Tidak jauh memang dari ibu kota, namun tempat dan lingkungannya tidak sesuai dengan kehidupan Wawa.
Hawa, terus menekuk wajahnya dia benar-benar tidak percaya akan berada di tempat ini. Saat memasuki gerbang banyak sekali santri dan santriwati berlulu lalang, mereka sedang melakukan kerja bakti setiap pagi. Mata Wawa, terus menatap para santri yang membuatnya risih.
"Dasar, kuno," gumam Wawa, lirih.
Wawa, melihat pakaian yang di kenakan para santri yang menurutnya sangat kuno. Untuk laki-laki mereka menggunakan, sarung dan koko ada juga yang mengenakan kaos panjang dan celana. Sedangkan untuk para wanita mereka mengenakan gamis yang longgar dan hijab yang tertutup hingga bokongnya.
'Masa iya aku harus berpakaian seperti itu, Ih … enggak banget. Model apaan coba, gak ada bentuknya' batin Wawa.
Wawa, termasuk gadis yang fashionable dia tahu tren-tren baju anak remaja seusianya. Yang sering dia pakai seperti rok pendek, celana pendek, dan kaos ketat baginya itulah pakaian yang modern. Namun, pakaian itu tanpa sengaja mengundang syahwat para lelaki yang melihatnya, sedangkan agamanya menyarankan untuk menutup seluruh tubuhnya atau aurat termasuk rambut di kepalanya.
"Sayang ayo kita turun," ajak Marwah, yang menuntun Hawa, untuk turun. Karena mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di depan sebuah rumah besar yang ada di tengah-tengah pondok itulah rumah Kyai pemilik pondok ini.
Saat Hawa, turun dari mobil banyak sekali pasang mata yang melihat, dan tak sedikit orang yang terkejut dengan penampilan Hawa. Sebab, Hawa, mengenakan pakaian ketat, jeans panjang dan kaos ketat yang membentuk tubuhnya.
Marwah, sudah melarangnya namun Hawa, bersikeras dengan pakaian itu, masih mending Hawa, memakai celana panjang karena Marwah, menyuruhnya sebelumnya Hawa, akan pergi dengan mengenakan celana pendek yang panjangnya hanya sepaha.
"Astagfirullah,"
"Siapa dia? Santri baru! Masa iya pakaiannya kaya gitu,"
"Kayanya dari kota deh,"
Bisik ketiga santriwati yang melihat itu.
"Istigfar," ucap seorang Ustadz, yang menegur para santrinya yang sedang melongo melihat kecantikan Hawa, yang tiada tara.
"Astagfirullah haladzim," jawab santri itu kompak.
"Jaga pandangan ingat!" ceramah seorang Ustadz yang mengingatkan muridnya.
"Maaf, Ustadz khilaf"
"Abis cantik Ustadz, ops" ucap salah seorang santri yang langsung menutup mulutnya. Ustadz, hanya menggeleng-geleng kepala.
"Sudah, lanjutkan bersih-bersihnya sebentar lagi ada kelas."
"Iya, Ustadz," jawab para santri. Ustadz pun berlenggang pergi.
Santri juga manusia, pasti khilaf dan dosa apalagi saat melihat wanita cantik di sekitarnya. Tidak bisa pungkiri, jika ciptaan Tuhan, begitu indah membuat mereka terkagum-kagum.
"Masya Allah cantik ya! Tapi sayang pakaiannya."
"Kaya bidadari jatuh dari kayangan."
"Andai, kan pakai hijab pasti lebih cantik,"
Para santri itu kembali bercengkrama.
****
Kini Hawa, dan orangtuanya sudah berada di dalam rumah tersebut, mereka sedang berhadapan dengan Kyai, saat ini.
"Apa kabar pak Marwan? Lama tidak jumpa," ucap Kyai, pada sahabat lamanya itu.
"Alhamdulillah Kyai, kabar saya baik. Saya senang bisa kembali berkunjung kemari," ucap Marwan, di akhiri dengan senyuman.
"Ini putri saya Hawa Aqila Putri, yang akan mondok disini," ucap Marwan, mengenalkan Hawa.
"Masya Allah, saya senang anda berniat untuk memondok, kan putri anda dan belajar disini. Tapi maaf, jika tidak keberatan bisakah putri kalian berganti pakaian terlebih dulu, karena asrama putri ada di sebrang sana jadi tidak baik jika di lihat para santri lain."
Kyai, melihat pakaian Hawa, bahkan Hawa, hanya menutup kepalanya dengan selendang.
"Maaf, Kyai bukannya saya tidak menyuruh tapi anak ini susah di atur. Itu sebabnya saya datang kemari," jelas Marwan, Kyai hanya tersenyum.
"Tidak apa-apa, saya mengerti," ucap Kyai.
"Sayang ayo ganti pakaianmu dulu," ajak Marwah, namun di sanggah Hawa.
"Enggak ah, pakaian itu gak pantas buat aku, gerah kali pakai baju kaya gitu." Pipi Marwah, sudah memerah karena tak kuat menahan malu dari sikap putrinya itu, namun tidak dengan kyai dan umi yang tersenyum menanggapinya.
"Tidak apa-apa, coba saja dulu nanti juga kamu terbiasa," ucap Umi dengan lembut.
"Iya cobalah Nak, apa kamu tidak tahu pakaianmu itu mengundang Syahwat, islam memerintahkan pada para wanita untuk menutup auratnya dari kepala sampai kakinya," jelas Kyai
"Ayo, ikut sama ummi untuk ganti pakaian, sebentar lagi kamu, kan tinggal disini harus terbiasa berpakaian seperti itu. Ummi juga pakai tapi gak kegerahan." Lambat laun Hawa, pun luluh. Mau tak mau Hawa, harus berganti pakaian. Sesuai aturan pondok.
Hanya berpakaian seperti itu saja Hawa, keberatan. Bagaimana jika Hawa, tahu bahwa belajar di pesantren bukanlah hal yang mudah. Entah Hawa, kuat atau tidak menjalaninya. Karena Hawa, merupakan anak manja.
"Kyai, saya sudah menyerahkan anak saya untuk belajar disini. Saya percayakan pada Kyai, dan para ustadz disini. Saya sudah tidak sanggup untuk mendidik anak saya Kyai, saya tidak ingin anak saya tersesat Kyai, apalagi saat melihat pergaulan anak zaman sekarang." Kyai, hanya tersenyum menanggapi ucapan Marwan.
"Saya tahu tidak mudah mendidik anak muda seperti Hawa, in sya Allah setelah Hawa, belajar disini sikapnya akan lebih baik."
Kyai, sudah mengerti dan tidak heran dengan sikap para anak remaja, karena tidak sedikit dari santrinya yang sebelumnya memiliki masalah yang sama. Namun, setelah mondok di pesantrennya alhamdulillah mereka bisa merubah sikapnya lebih baik.
"Jika anak saya nakal atau membangkang hukum saja Kyai, saya rela. Saya tidak akan marah." Marwan sudah mempertanggung jawabkan Hawa, pada pihak pesantren dengan harap anaknya akan merubah sikap.
"In sya Allah," jawab Kyai.
Tak berselang lama Hawa, pun keluar dari kamar Ummi, dia begitu terlihat cantik dengan pakaian tertutup. Hawa, mengenakan baju Syar'i berwarna dusty dengan kerudung berwarna senada, membuat aura kecantikannya terpancar.
"Masya Allah," ucap Kyai, dan Marwan, yang terkagum-kagum.
"Lihatlah, Nak. Kamu semakin cantik saat berpakaian seperti itu. Pakaian tertutup itu tidak akan mengurangi kecantikanmu," ujar Kyai, sedikit memuji namun Hawa, tetap menekuk wajahnya karena kesal.
Hari ini hari pertama Hawa, di pesantren An-nur. Hawa, di bawa ke pondok santriwati yang jaraknya tak jauh dari rumah kyai. Hawa, di antar oleh ustadzah pemimpin pondok putri, menuju kamarnya.
Lagi-lagi Hawa, di buat terkejut, bukan kamar yang megah atau luas yang dia dapatkan. Melainkan kamar yang sederhana dan di isi oleh empat santri. Ranjang tidur pun bukanlah ranjang yang besar dan kasur yang empuk melainkan kasur yang berukuran kecil dengan desain ranjang yang bertahap dan terbuat dari kayu.
"Assalamualaikum ustadzah" sapa para santri putri, saat ustadzah dan Hawa, memasuki kamar itu.
"Waalaikumsalam," jawab Ustadzah. "Hawa ayo masuk." Saat Hawa, memasuki kamarnya, ke empat santri itu terus menatapnya, Hawa, merasa risih dengan tatapan itu namun Hawa, tetap terlihat santai.
"Perkenalkan dia Hawa, santri baru dan teman baru kalian. Hawa, itu tempat tidurmu dan itu lemari baju mu." Mata Hawa, terbelalak saat melihat lemari kayu kecil dan tempat tidur kayu yang Ustadzah tunjukan, benar-benar jauh berbeda dengan kehidupannya di kota.
"Apa itu tempat tidurku? Sekecil itu!"
"Sombong sekali," ucap salah satu santri bernama Aminah. Dia seperti tidak menyukai Hawa. Namun, wajar saja Hawa, seperti itu karena kehidupannya memang sangat jauh berbeda dengan kehidupan di kota santri ini. Yang mengajarkannya untuk mandiri dan hidup sederhana.
"Apa tidak ada kamar lain yang ranjangnya besar, dan bukan dari kayu seperti ini. Mana gak ada AC lagi, panas banget!" gerutu Hawa.
"Kayanya dia orang kota, pasti orang kaya lihat aja gayanya." bisik santri yang bernama Asiyah, pada temannya.
"Hawa, cepat masuk." perintah ustadzah, membuat hawa kesal.
"Kalian semua cepat tidur, nanti kesiangan saat tahajud,"
"Iya Ustadzah," jawab para santri, namun tidak dengan Hawa.
"Kalau begitu Ustadzah pamit, assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," jawab semua santri serempak.
Kini semua mata tertuju pada Hawa, ada dua santri yang melihatnya tak suka, dia bernama Aminah, dan Asmaa. Aminah terus mendelik ke arahnya, lalu melangkah menuju tempat tidurnya. Diikuti oleh temannya Asma.
"Assalamualaikum Hawa, kenalkan aku Aisyah," sapa seorang santri yang begitu ramah pada Hawa, dia memperkenalkan dirinya.
"Hawa," jawab Hawa, singkat walau begitu Hawa, tetap membalas sapaan teman sekamarnya seraya menjabat tangannya.
"Aku Asiyah," ucap seorang santri lagi, yang bersama Asiyah. Hawa, pun membalas dengan senyuman seraya menjabat tangan Asiyah.
Asiyah, dan Aisyah, begitu senang melihat kedatangan Hawa, bagaimana tidak, untuk pertama kalinya mereka mendapat teman sekamar dari luar kota apalagi ibu kota, dan Hawa, terlihat begitu cantik seperti gadis-gadis kota pada umumnya.
Hawa, berjalan ke arah ranjangnya yang berada paling sudut dekat jendela, dan berada di dekat ranjang Aisyah, juga Asiyah. Karena malam sudah larut mereka pun segera tidur. Lampu kamar pun di matikan, keadaan pondok terlihat begitu sepi hanya terdengar suara jangkrik di malam hari.
****
Rasanya baru beberapa menit Hawa, memejamkan mata, namun waktu begitu cepat, Hawa, merasakan tubuhnya berguncang membuat tidur nyenyaknya terganggu. Saat membuka matanya ternyata Asiyah yang menggoyangkan tubuhnya.
"Hawa, bangun cepat?"
"Jam berapa sih ini?" tanya Hawa malas.
"Jam tiga," jawab Asy.
"Baru juga jam 3, ngapain coba bangunin gue. Udah sana jangan ganggu tidur gue." Hawa, kembali tertidur di balik selimutnya.
"Astagfirullah," lirih Aisyah yang di samping Asy.
"Hawa, kita harus sholat tahajud, ayo bangun jangan sampai nanti bu ustadzah yang bangunin." Asy dan Aisyah, mencoba membujuk Hawa.
"Kalian belum ke mesjid!" Baru saja di omongkan ustadzah sudah datang. Ustadzah yang terkenal galak dan tegas di takuti semua santri.
"Bentar ustadzah, saya lagi bangunin Hawa," ujar Aisyah.
"Kalian pergi saja ke mesjid, biar ustadzah yang bangunkan Hawa."
"Baik ustadzah." Asy dan Aisyah pun terpaksa pergi walau sebenarnya merasa kasihan pada Hawa, pasti kena omel ustadzah.
Aaa … baru saja Asy dan Aisyah melangkah keluar dari pintu, mereka sudah di kejutkan dengan jeritan Hawa, yang terbangun karena jeweran telinga dari ustadzah.
"Sakit tahu!" bentak Hawa, pada ustadzah.
"Sakit? Mau lagi?"
"Ah, tidak-tidak." Hawa, menggeleng cepat seraya memegang daun telinganya.
"Cepat bangun. Lihat teman-temanmu sudah pergi ke mesjid," hardik Ustadzah dengan tegas.
"Iya, bawel!"
"Kau bilang apa tadi?" Hawa langsung berlari saat melihat tatapan tajam dari ustadzah.
"Astagfirullah haladzim. Anak jaman sekarang di suruh sholat susahnya minta ampun," ucap Ustadzah yang menggelengkan kepalanya.
Hawa, melangkah keluar dari kamar matanya yang masih mengantuk pun membuat Hawa, berjalan dengan mata terpejam alhasil Hawa, yang tak melihat empang di depannya langsung tercebur.
Sontak tingkah Hawa, membuat para santri tertawa.
"Astagfurullah Hawa," Asy dan Aisyah terkejut melihat Hawa, tercebur ke dalam empang.
"Ih … ngapain coba ada empang disini." gerutu Hawa, yang menepuk-nepuk air empang.
"Kamu yang salah, empang yang di salahin," ucap Aminah, yang melihat itu.
"Makanya kalau jalan itu jangan sampai merem, haha." Para santri ikut tertawa.
"Eh, udah jangan di ketawain pergi sana ke mesjid," pekik Aisyah, yang tak suka Hawa, di tertawakan. Aisyah dan Asy, pun membantu Hawa, untuk bangun dari empang. Karena badan Hawa, sudah menggigil kedinginan.
Begitulah kehidupan anak santri, mereka akan bangun saat jam 3 dini hari untuk melakukan sholat tahajud, setelah tahajud mereka melakukan tadarus sampai adzan subuh tiba.
Namun, karena ini hari pertama Hawa, yang belum terbiasa dengan kehidupan di kota santri. Jangankan tahajud, untuk sholat subuh saja Hawa, selalu tertinggal.
Di saat teman-temannya tadarus Hawa, malah tidur, di samping Aisyah dan Asiyah. Kedua temannya itu pun saling memandang, ingin menegur Hawa, namun tidak berani.
Sampai akhirnya waktu subuh pun tiba, Hawa, terbangun karena mendengar suara adzan yang berkumandang sangat merdu, setelah bangun Hawa, pun mengambil air wudhu sebelum melakukan sholat subuh.
"Hawa, mau ngapain?" tanya Aisyah, yang melihat Hawa, menaiki ranjang tidurnya.
"Mau tidurlah." ketus Hawa.
"Astagfirullah, Hawa, jangan tidur lagi, tidak baik tidur sehabis subuh. Sekarang sudah jam 6 kita mandi, lalu pergi piket."
Hawa, hanya bisa membuang nafasnya kasar, setelah mendengar perkataan Aisyah. Hawa, dan teman-temannya pun pergi mandi secara bergantian. Setelah selesai, mereka pergi menuju lapangan untuk melakukan piket.
Hawa, yang selalu di manja dan tak pernah melakukan pekerjaan rumah kini setelah menjalani kehidupan di pondok, Hawa, harus membersihkan, merapihkan tempat tidur sendiri, bangun pagi, dan melakukan piket di pagi hari.
Semua santri akan bekerja sama untuk membersihkan lingkungan pesantren, seperti menyapu dan sebagainya.
"Eh, bukannya itu perempuan yang kemarin ya? Masya Allah cantiknya."
"Seperti bidadari." Gumam para santri putra yang tak sengaja melihat Hawa.
"Jaga pandangan." Singgung temannya.
"Astagfirullah, ya Allah, lindungilah hamba dari godaan syetan yang terkutuk," ucap santri yang bernama ikhsan seraya mengusap wajah dengan kedua tangannya.
"Astagfirullah, San, kamu anggap aku syetan!" pekik santri yang bernama Idris, karena tersinggung dengan ucapan ikhsan.
"Siapa yang bilang?" bantah Ikhsan.
"Tadi kamu bilang,"
"Aku hanya berdoa kepada Allah, supaya di jauhkan dari godaan syetan yang terkutuk. Biar aku tidak khilaf, dan selalu menjaga pandanganku. Bukankah kamu yang bilang tadi jaga pandangan," jelas Ikhsan.
"Kirain kamu nyinggung saya."
"Idih, kamu mau di sama, kan dengan syetan!" Idris, pun menatap ikhsan dengan tajam sedangkan ikhsan, tertawa renyah.
"Bercanda Dris," ucap Ikhsan, sebelum Idris, semakin marah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!