NovelToon NovelToon

Merpati Kertas

Lembaran Awal

" Kalian Yang benar dong. Masa baris berbaris saja tidak bisa. Niat dikit kalau lagi ngerjain sesuatu. Kalian kira , kalian doang yang kepanasan, aku juga kena matahari dan haus ".

Seorang senior berteriak dengan noraknya dari bawah naungan pohon di pinggir lapangan.

Keringatku menetes dengan heboh. Sialan, kepanasan apanya sih. Kau saja berteduh di bawah pohon aku misuh-misuh dan tentu saja itu didalam kepalaku.

Memangnya masih jaman ya masa orientasi sekolah di suruh seperti ini. Mana hari ini panas banget lagi, padahal kota tempatku bersekolah ini termasuk dalam jajaran kota dengan cuaca dingin. 

" Heh kamu. . . Yang dari tadi bengong. Maju sini. Masih pagi kok ngantukan", senior yang tadi menunjuk ke arah siswa baru di sampingku. 

Siswa baru yang dipanggil tadi papan namanya tertulis ' My name is Kutu', berdecak pelan seperti sama kesalnya denganku.

Dia maju ke depan dan di hukum menyanyikan lagu balonku ada lima dengan aturan huruf a diganti e. Memang pada norak banget kan ini senior, nyebelin.

Aku menutup wajahku dengan tangan karena panas matahari benar-benar menusuk kulit wajahku padahal ini masih jam 10 pagi.

Aku mengedarkan pandangan ke pinggir lapangan. Melihat banyak senior Osis berkumpul di sana. Malah ada yang pacaran juga. Tanpa sadar aku berdecak cukup keras. Beberapa teman sampai menoleh ke arahku.

" Siapa itu? Siapa yang berdecak? udah bosan dengan kegiatan ini ? Kamu ya?. . Kenapa berdecak ? Gak suka saya kasih arahan ? Sini maju", senior norak itu menunjuk tepat ke wajahku.

Sial... kena deh.

Padahal bentar lagi kelar, kenapa harus kena sekarang sih. Dengan niat yang di buat-buat akhirnya aku maju ke depan. Aku berdiri terdiam di sebelah siswa baru yang tadi menyanyikan lagu balonku ada lima.

Senior yang dari tadi dipanggil Junet oleh temannya mulai memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki, sembari memasang tampang ' aku adalah senior ' yang jelas sekali tidak keren.

" Kamu tidak suka saya kasih arahan? ", Junet berkata sambil melipat tangan di dadanya. 

" Maaf kak ", Aku menjawab singkat, berharap itu menyelesaikan masalah yang entah kenapa jadi heboh. 

" Kamu dari SMP mana? ", Teman Junet menimpali lebih ramah. 

" SMP Negri 1 Jakarta ", aku menjawab.

" Wah jauh juga ya", kata Junet sok paham. " Karena kamu tadi buat kesalahan, sekarang kamu saya tugaskan untuk melakukan sesuatu", si Junet  berbicara lagi. 

'Ah ! apalagi ini ', perasaanku mulai tidak enak.

" Kamu lihat cowok blasteran yang di pinggir lapangan sana? Namanya Juan. Dia kakak kelas 3 Ips2, dulunya adalah mantan ketua Osis kita", Junet menjelaskan yang tentu saja menyiratkan kekaguman, maklum si Junet ini sedikit kewanitaan. " Sekarang kamu ke sana dan nembak dia. Bilang kamu suka dia dan tanya mau tidak dia jadi pacar kamu", perintah Junet.

Aku melihat ke arah senior itu melongo, tidak percaya dengan isi titah yang sedang disampaikannya. Si Junet setan ini mau menghukum sambil mempermalukan aku.  Seumur-umur aku tidak pernah menyatakan perasaanku pada cowok manapun dan dengan alasan apapun.

" Kamu tidak mau? Ya udah tidak apa-apa, tapi sebagai gantinya kamu dan teman-teman kamu harus menanggung hukuman bersama. Lari keliling lapangan 30 kali putaran", Junet berkata sok serius. 

Aku menatap Junet kesal. 'Sial, dia mikir apa sih '.

Aku melihat ke arah teman-teman kelompokku yang berharap cemas. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke arah para senior itu dengan kepangan rambut pita warna warni, baju SMP dan kaos kaki bola warna kuning dan merah dengan sedikit sumpah serapah yang ku ucapkan dengan pelan dan penuh niat untuk Junet.

" Semoga waktu pulang kau kesandung batu gede trus pinggangnya encok...", aku menyumpahi Junet sambil berjalan menyebrangi lapangan dengan malas. Kalau udah kelar masa orientasi ini bakal aku sepak-sepak muka si Junet itu. 

Senior yang dimaksud sedang duduk di pinggir lapangan dengan kelompok gengnya. Di lihat dari arah manapun jelas banget tertulis di kening mereka, kalau mereka anak kelas 3. 

Aku mendekati kelompok itu. Jantungku berdegup tak beraturan karena malu, takut dan kesal. Aku menelan ludah karena rasanya tenggorokanku sangat kering lalu hendak menyapa mereka. Tapi suaraku hanya sampai di tenggorokan dan parahnya mereka cuekin aku. 

" Hai kak, aku siswa baru. Ada yang namanya kak Juan di sini ?", aku berusaha sekuat tenaga mengeluarkan suara. 

Mereka semua menoleh ke arahku. Mata mereka seolah-olah berkata 'berani lo sama kakak kelas'. Aku menelan ludah lagi.

" Iya ", salah seorang dari mereka berdiri.

Juan tampak menjulang di depanku. Parasnya memang tidak bisa di pungkiri dan membuat hati perempuan mana saja langsung meloncat keluar dari tempatnya, suaranya berat dan berwibawa masuk ke telingaku seperti lagu dari band-band Indie yang sering kudengar. 

Tapi sayang Juan bukan tipeku. Itulah yang membuat hatiku tetap diam di tempatnya tidak meloncat ke mana-mana. 

" Ada apa? Nama kamu siapa? Lagi di hukum ya?", Juan menanyakan pertanyaan sambil melihat ke arah Junet di tengah lapangan. 

" Iya", aku menjawab dengan singkat. 

" Si Junet sialan itu masih saja kayak anak-anak. Dia nyuruh kamu nembak aku kan?", Juan menebak. 

Aku mengangguk cepat 'duh ngomong mulu sih cepat dengerin aja napa, gue udah haus banget lagi'.

" Nama kamu .... Kukang ? panggilannya apa nih? kung atau kang aja? ", Juan melihat papan nama gede milikku.

"Kukang tolong bilang sama Junet, aku tidak tertarik sama kamu dan aku tolak pernyataan cinta dari kamu ", Juan berkata pelan sambil tersenyum dingin. 

Jleb… rasanya ada tombak dengan tulisan DIPERMALUKAN langsung menancap di dadaku.

'Sial dia nolak gue sebelum gue ngomong apa-apa, udah gila ya', aku meruntuk di dalam hati.

Aku melihat ke arah Juan yang hendak berbalik. Entah datang dari mana malaikat keberanian yang kurang ajar ini, tiba-tiba aku nyeletuk dengan cukup keras. 

" Lagian kakak bukan tipe saya ", aku berkata cukup keras.

Juan berhenti dan berbalik melihat ke arahku dengan heran bercampur syok. Dari reaksinya aku tau dia sepertinya belum pernah di tolak.

Teman-temannya juga melihat ke arahku. Suasana canggung tiba-tiba berubah menjadi teriakan dari teman-teman Juan.  Mereka tertawa dan bertepuk tangan dan aku berdiri dengan begonya tanpa tau apa yang terjadi. 

" Kamu bilang apa barusan ?", Juan bertanya sambil mendekat. 

Aku diam saja. Juan membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajahku.

" Anak baru, tadi kamu bilang apa?".

Aku menarik napas panjang " Kakak bukan tipe saya. Dan saya juga tidak ada niat apa-apa buat nembak atau apalah itu, kalau bukan karena dihukum kakak osis. Udah ya permisi", aku berbalik meninggalkan Juan.

Saat berjalan kembali ke tengah lapangan, punggungku rasanya seperti terbakar. Saat aku melihat ke belakang, Juan berdiri melihatku dengan mata elangnya. 

Aku berjalan dengan cepat dan melapor dengan mengarang bahwa aku ditolak Juan biar si Junet ini senang. Lalu aku kembali duduk ke posisi sebelumnya. 

Aku melirik ke arah tempat Juan dan teman-temannya tadi berada, mereka masih tertawa dan Juan sepertinya membuat ekspresi wajah tidak senang.

Sekilas aku melihat Juan melihat ke arahku, dengan cepat aku berpaling dan berusaha fokus mengikuti teman- teman yang berjalan menuju aula sekolah. 

Seharusnya aku sadar sejak awal membuat senior marah adalah hal yang tidak boleh dilakukan apalagi oleh anak baru.

Dan terjadilah prahara yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya di masa SMA aku yang indah ini. 

****

Embun Si Kukang

Hai perkenalkan, namaku Embun!

Hari ini aku resmi menjadi anak SMAN 5 di kota kecil yang bernama Ruteng, di daerah Manggarai NTT.

Bagaimana aku bisa sampai di sini? Dulunya aku adalah anak metropolitan. Tetapi ibu tiri aku yang kejam itu melemparkan aku kesini dengan alasan supaya aku mandiri.

Saat kedatangan awalku ke sini dan berkeliling kota tanpa minat, aku kira akan mengalami depresi. Tidak ada Mal besar seperti di Jakarta, yang ada hanya beberapa supermarket di tengah kota.

Aku yang dulunya sering di antar jemput sopir ke mana-mana, akhirnya harus merasakan naik angkot ke sekolah. Tidak ada Taxi ataupun ojek online.

Yang membuatku lebih terheran-heran adalah kota ini tidak memiliki gedung bioskop atau tempat nongkrong seperti cafe. Jam 8 malam kota ini sudah sepi, semua orang tinggal berdiam di dalam rumah karena udara yang sangat dingin menusuk tulang.

Gila ! Gila ! Aku nangis 3 hari 3 malam karena stres. 

Untung di rumahku wifi nya kenceng setidaknya aku bisa nonton film di rumah, walaupun kadang wifi nya bermasalah.

Aku tidak bisa membayangkan kemana anak-anak sekolah yang pacaran mejeng.  

Hari ini adalah hari ke tiga aku masuk sekolah. Sebelum menginjakkan kakiku di gerbang sekolah, aku melihat ke arah sepatu sekolah yang kupakai.

' Better Lah'.

Aku sedang menunggu temanku, namanya Elisabet. panggilannya Elsa.

Sejak masa orientasi banyak siswa yang selalu melirik ke arahku seperti penasaran. Hanya Elsa yang berani berkenalan dan mengajakku berteman karena kami juga sekelompok selama orientasi. 

" Embun… udah sampai dari tadi?", Elsa menepuk bahuku pelan. 

" Hai. . . Baru saja kok", Aku tersenyum ramah ke arah Elsa. 

" Yuk.. kayaknya sudah mulai doa bersama di lapangan. Nanti kita dimarahi kalau telat", Elsa menarik tanganku.

Aku berjalan beriringan dengan Elsa sambil bercerita tentang ini dan itu. Elsa orang yang menyenangkan, baru beberapa hari bersama sudah terlihat bahwa dia anak yang baik hati. Aku suka berteman dengannya.

Benar saja, banyak siswa sudah berkumpul di lapangan sekolah. Mulai dari kelas 1 sampai kelas 3. Aku dan  Elsa berjalan menuju kelas untuk menaruh tas. Saat akan kembali ke arah lapangan beberapa orang kakak kelas berjalan di belakang kami dengan ributnya. 

Elsa menarik tanganku untuk menyingkir ke dekat tembok agar gerombolan kakak kelas itu bisa lewat.

Seseorang yang berjalan paling belakang menghentikan langkahnya tepat di depanku.

" Oh..kelas kamu di sini ? 1 C ya? ", sebuah suara yang pernah ku dengar entah di mana.

Aku mengangkat wajahku. Juan berdiri di hadapan kami sambil melihat ke arahku tanpa berkedip. 

" Hai... Kukang... apa kabar? ", Juan sang kakak kelas menyeringai. 

Aku kaget tapi berusaha tenang sambil terus berdempetan dengan Elsa.

Sepertinya Elsa tampak takjub pada paras Juan tapi sekaligus takut padanya. Dan aku tentu saja takut setengah mati tapi ku tahan dengan segala kemampuanku.

' Ya Tuhan, masa dia dendam karena kejadian waktu itu, tolong jauhkan yang jahat dari hadapanku ', aku berdoa didalam hati. Enggan bermasalah dengan yang berstatus kakak kelas.

" Oi Juan… ayo.. ", salah seorang teman Juan berteriak. 

" Duluan saja… aku lagi ada urusan penting ", Juan balas berteriak tanpa menoleh. 

" Ha… ai. .k...ak", aku menyapa takut-takut. 

"Nyali kamu gede juga ya…. KU...KANG..Nama kamu kukang kan ?!", Juan membaca name tag di baju seragamku. 

Aku nyengir canggung " Bukan. Oh udah mulai doa. Ayo Elsa", aku menarik tangan Elsa dengan cepat dan terbirit-birit menuju lapangan tanpa menoleh sama sekali. 

Saat sampai di lapangan Elsa memegang dadanya karena sesak. " Gila kamu… dia kan … preman sekolah kita… kamu ada masalah apa ... sama dia?", Elsa terbata-bata.

Aku yang juga ngos-ngosan hanya menepis tangan ke udara kosong " udah pokoknya... yang penting... selamat dulu. Paling ...besok dia lupa".

Elsa mengangguk mengiyakan perkataanku.

***

Apa yang terjadi tidak sejalan dengan perkataan kita, selalu seperti itu.

Entah kenapa aku malah jadi lebih sering bertemu dengan Juan dan gengnya. Di kantin, dalam perjalanan ke toilet, saat mau ke ruang guru, bahkan entah kenapa jam olahraga kami sama di hari jumat pagi. 

Setiap bertemu Juan, dia selalu memanggil dengan teriakan

" Kukang"

" Hai.. Kukang.. ".

" Eh ada Kukang.. ".

" Ku..kang.. kang bakso... kang cilok"

"K U K A N G...".

Tentu saja itu membuat semua orang yang bersamanya melihat ke arahku dengan penasaran.

Suatu pagi yang cerah di tengah kekhusyukan aku berdoa di lapangan, entah bagaimana dia bisa berada di barisan anak kelas 1 dan dengan entengnya berbisik di belakang tengkukku.

" Morning Kukang.. doanya lama banget".

Aksi itu membuatku terkejut dan menyebabkan kepalaku tanpa sengaja menghantam hidungnya. Kejadian itu membuat perselisihan di antara kami semakin menjadi-jadi.

Karena kejadian itu juga, aku harus kucing-kucingan bersembunyi bahkan memutar arah saat melihat Juan. Elsa yang selalu bersama aku pun kena getahnya ikut main petak umpet guna menghindari Juan.

Suatu hari Elsa yang tidak tahan karena di bawakan roti terus olehku biar tidak ke kantin jadi protes. 

" Embun kenapa kita ngumpet mulu sih. Kan Juan tidak ngapa-ngapain ".

Aku cemberut " aku rasa kalau ketemu sama dia seperti ketemu malaikat pencabut nyawa tau gak. Matanya itu loh kalau ngeliat aku, kayak ada dendam kesumat gitu". 

Elsa menggigit rotinya " loh bukannya mata kak Juan bagus banget ya. Tatapannya itu tajam, alisnya tebal, garis wajahnya keras. Laki banget ", Elsa memainkan tangannya seolah-olah sedang menggambar di langit. 

" udah gila ya. . rasanya sebentar lagi dia bakal jadiin aku tempe penyet kalau ketemu dalam jarak dekat".

" Eh mungkin dia gak dendam… mungkin dia penasaran sama kamu. Karena katanya yang aku dengar sih yaa... denger-denger kamu cewek pertama dan junior pertama yang bilang ' kakak bukan tipe saya'. Wibawanya sebagai anak tertampan sepanjang dia sekolah langsung tercoreng", terang Elsa.

Aku berjengit mendengar kata-kata Elsa yang aneh itu " dia emang bukan tipe aku sih. Tipe aku itu kayak Chris Brown. Manis-manis legit". 

Elsa menggeleng mendengarkan perkataanku. Lalu mulai mengunyah satu rotinya lagi.

***

Di siang panas bolong saat semua kelas sudah boleh pulang dan kelasku harus ada les tambahan, aku bertemu Juan tanpa sempat berlari atau bersembunyi.

" Embun tolong dong ambil spidol lagi di TU. Bentar lagi bu Merry mau masuk", ketua kelas meminta tolong kepadaku. 

" Oke ", aku melihat berkeliling mencari teman untuk ke TU.

Semuanya sibuk dengan makan dan tidur-tidur ayam di meja mereka. Semua sama malasnya ikut pelajaran tambahan ini. 

Pada akhirnya aku berjalan sendiri dengan penuh percaya diri tanpa memikirkan saat itu kelas 3 juga mulai sering mengikuti pelajaran tambahan. 

Dengan santai aku berjalan sambil membalas chat di ponselku dan sampai saat itu aku lupa bahwa untuk bisa sampai ke TU aku harus melewati ruang kelas 3 Jurusan IPS dan Bahasa.

Ketika melewati ruang kelas yang cukup ramai karena banyak siswa yang bersantai di depan kelas, aku memasukan ponselku ke kantong seragam dan mempercepat langkahku.

" Juaaaaannnn…. Ini gebetan kau lewaaatttt…..  mo kita apakan?". 

Saking kerasnya suara kakak kelas itu aku sampai menengok ke samping dan Juan berdiri di sana. Sepertinya dia berlari keluar kelas karena panggilan itu. 

Aku menatap Juan bego, belum sadar apa yang terjadi. Siapa yang jadi gebetan Juan? Beberapa detik kemudian aku tersadar kalau mereka lagi membicarakan diriku.

Juan berdiri menghalangi jalanku dengan tatapan angkuh nan sombong.

" Mau kabur ke mana lagi?", Juan berbicara kepadaku yang hendak putar balik. 

Aku diam saja sambil tetap berjalan balik ke arah kelasku. Juan mengikuti dari belakang.

" Kamu mau ke TU kan? Kalau kamu putar balik kamu harus keluar gerbang sekolah, jalan muter trus masuk lewat gerbang belakang baru bisa sampai TU. Kamu mau aku antar pakai motor?", Juan mengoceh di belakangku.

Aku berhenti. Lalu memutar badan kembali berjalan ke arah kelas Juan tanpa berkomentar sedikitpun, hanya langkah kakiku di percepat. 

" Keputusan bagus. Memang jalan paling cepat ke TU harus lewat kelas IPS kok. Ya udah hati-hati di jalan ya, abang tungguin di sini", Juan berhenti didepan kelasnya sambil melambai kepadaku yang setengah berlari ke TU. 

Saat akan kembali ke kelas rasanya aku ingin melewati gerbang belakang sekolah, tapi jauh sekali bisa-bisa aku sampai saat kelas sudah selesai.

Aku mengintip dari balik tembok berusaha melihat apakah anak IPS 3 masih berkumpul di sana. 

" Syukurlah sudah sepi", aku bergumam. 

" Apa yang sepi?", sebuah suara membuatku terlonjak. 

Aku yang kaget, hampir mengeluarkan kata makian langsung menutup mulut karena Juan berada tepat di belakangku. 

" Kamu…. Ngomong jorok ya? Kamu ngatain aku?", Juan menuding.

" Gak kok. Lagian ngapain kakak kagetin aku seperti itu", aku membela diri lalu berjalan meninggalkan Juan. 

Juan mengikuti dari belakang " kamu tadi ngomong jorok ke aku ya? Aku kayak denger kamu bilang apa ya tadi?", Juan berbicara sambil mengikuti aku. 

" Gak. Kakak salah dengar".

" Iya aku denger. Kamu berani ya sama senior".

Aku mempercepat langkahku. Saat melewati kelas Juan salah seorang teman Juan menegur dari jendela kelas. 

" Eh sapi, mau ke mana kau?".

" Antar adik kelas ini. Takut diganggu orang di jalan", Juan seenaknya menjawab sambil terus mengikuti langkahku di belakang.

Aku diam saja, terus berjalan. 'Dari semua penghuni sekolah ini , kau itu yang paling mengganggu', aku membatin.

" Hei Kukang, kamu tinggal di mana?", Juan bertanya serius.

" Di rumah ", jawabku cepat sambil terus berjalan.

Juan terus membuntuti di sampingku " emmm… rumah siapa? Rumah papa, mama, kakek, nenek atau kepala sekolah?".

Aku menghela napas tidak menjawab sambil mempercepat langkahku. Pintu kelasku sudah terlihat tapi kok ya kayak jauh banget.

" Kang… kamu bisu ya?", Juan terus bertanya. 

" Gak, lagi radang tenggorokan aja kak. Uhuk", aku beralasan. 

" Oh kasihan. Kamu harus berobat tuh, biar cepat sembuh. Trus bisa jawab pertanyaan aku ", Juan ngoceh tidak jelas. 

Akhirnya sampai di depan kelas. Aku cepat-cepat masuk dan ternyata pelajaran sudah dimulai. Aku meletakan spidol di atas meja guru dan buru-buru duduk tanpa melihat ke arah Juan. 

" Selamat siang bu Merry", Juan menyapa bu Merry guru kimia dan tentu saja itu membuat seisi kelas mendongak dan aku kaget. 

" Eh selamat siang Juan. Kamu tidak ada kelas tambahan? Kenapa kesini", Bu Merry bertanya kepada Juan yang berdiri di depan pintu.

" Ada bu, nanti jam 3. Tadi saya habis tolongin adik kelas yang itu. Dia tersesat habis dari TU", Juan menjawab enteng sambil menunjuk ke arahku  

" Oh begitu. Makasih ya Juan sudah bantuin adik kelasnya", Bu Merry tersenyum ramah. 

Beberapa anak bertepuk tangan heboh. Aku yang mendengar itu melotot ke arah Juan dengan tidak senang. Juan cuek. 

" Kalau begitu permisi ya bu", Juan berpamitan dengan sopan.

Bu Merry mengangguk lalu melanjutkan pelajaran. Sedangkan Juan berlalu dengan santainya meninggalkan kedongkolan di hatiku. 

***

Strategi Embun

Di hari lain aku terlambat ke sekolah. Aku berlari sekuat tenaga memasuki gerbang sekolah yang akan ditutup. 

Ini semua karena aku sibuk menghabiskan maraton film korea sepanjang malam. Elsa menelpon ku berkali-kali pagi ini.

" Heeh… gila yaa…. Buruan bangun… kamu mau berdiri di podium karena telat ",teriakan Elsa tadi pagi di telpon membuatku melompat dari tempat tidur.

 Saat berlari menuju gerbang sekolah aku baru menyesal, seharusnya aku pura-pura sakit saja.

Seseorang ikut berlari di sampingku. 

" Morning kukang…. Kamu baru telat ya? Gak pernah kelihatan lari pagi sebelumnya ", Juan berlari di sampingku. 

Aku terus berlari, fokusku hanya gerbang sekolah yang sebentar lagi tertutup. Juan mempercepat larinya, entah kenapa aku juga ikut mempercepat lariku. 

Adu balap itu tentu saja di menangkan oleh Juan, dengan selisih yang sangat teramat kecil.

Juan berhasil melewati pintu gerbang dan dia langsung mendorong pintunya menutup. Sedangkan aku, hanya selisih sepersekian detik dari dia tidak di perbolehkan masuk. Ini adalah hebatnya kekuatan senior yang baru ku lihat hari ini.

Dengan napas yang memburu aku memegang jeruji pagar gerbang dengan penuh kekecewaan.

Di balik pagar Juan terlihat berdiri santai sambil mengipasi badannya yang kepanasan dengan sebuah buku tulis.

" Wah... kamu telat ya… masih baru berani-beraninya telat", Juan berbicara dari balik jeruji gerbang tanpa dosa.

" Kan kakak yang nutup pintunya tadi. Memangnya kakak anggota osis?", aku menjawab kesal.

Aku melihat berkeliling, masih banyak yang telat sama sepertiku, tapi tetap saja menyebalkan. 

" Kamu gak tau ya ? gini-gini dulunya aku bagian dari osis. Bagian konsumsi", Juan berdiri dengan tetap mengipasi badannya.

Aku mendelik sewot 'mana ada yang kek gitu'.

" Kamu mau masuk ? Bisa sih tapi ada syaratnya, kamu harus nurut ke aku selama seminggu ", Juan menawari kekuatannya sebagai senior. 

Aku melengos ' emangnya ini komik. Gak akan mau gue diperlakukan  kek gitu'. Aku ngedumel di dalam hati. 

" Ya udah kalau gak mau ", Juan memasukan bukunya ke dalam tas. " eh … minggu ini hukuman yang telat apa ?", Juan bertanya ke anggota osis yang berdiri di situ.

" Membersihkan toilet dan koridor ", jawabnya. 

" haaa? Gila Apa? wah gila sih. Toilet cowok yang bau itu. Oke deh makasih ya infonya", Juan hendak beranjak pergi.

Saat mendengar itu aku langsung berubah pikiran yang akan ku sesali di kemudian hari. 

" Kak…. Kak Juan… tolong ", Aku menarik bajunya dari antara jeruji pagar. 

Juan melihat ke arahku sok polos. " Tolong? bukannya kamu mau bersihin toilet minggu ini? Lumayan loh, hitung-hitung olahraga".

Aku menggeleng kepala kuat-kuat. " Oke aku setuju, hanya 1 minggu kan? gak lebih ", aku menyetujui persyaratannya. 

" Oke. Cool", Juan membuka pintu membiarkanku masuk. 

Dan aku berjalan dengan senyum cerah di wajahku karena berhasil menghindari hukuman, tanpa tahu apa yang akan terjadi.

***

Prahara itu datang.

Ting. 

Iblis: Hei kang, Aku haus. Pop Ice 1 ya. Rasa taro, kejunya yang banyak. Aku tunggu di lapangan. 

Aku mengepalkan tanganku. Elsa mengelus punggungku kasihan. 

" Tadi istirahat pertama dia minta pisang goreng. Sekarang minum pop ice. Ini baru hari pertama kenapa udah seperti perbudakan setahun. Dan lagi manggil kang kang emang aku kang pop ice ", aku marah-marah.

" Sudah jangan marah-marah . Tarik napas ... buang... panjang sabar... panjang umur. Yuk aku temenin", Entah kenapa Elsa jadi selalu memberikan terapi untuk setiap stres yang aku terima dari Juan.

 " Liat aja bakal aku campur obat pelancar sembelit biar kapok ", aku berdiri untuk membeli pop ice di kantin sekolahan dengan emosi yang meluap di ubun-ubun.

***

Aku melihat Juan sedang duduk sendiri setelah bermain bola. Teman- teman yang bersamanya sedang membeli gorengan melalui pagar sekolah.

Setelah merasa keadaan cukup aman, aku dengan kecepatan kilat bergegas menghampiri Juan dan langsung menyodorkan pop ice tepat di bawah hidungnya tanpa salam pembuka. 

" Nih.. ", kataku.

Juan yang kaget langsung melihat ke arahku. 

" Selamat siang kek atau apa gitu. Adik kelas gak sopan "  Juan berkata sok dingin tapi tatapannya terlihat senang.

" Hm.. selamat siang. Buruan, tanganku pegel KAKAK", aku menekankan kata kakak dengan kesal. 

" Loh cemilannya mana?", Juan menerima minuman dari tanganku. 

" Gak ada, kompornya rusak jadi mboknya gak bisa goreng apa-apa", jawabku asal sambil menuliskan tanda terima di hp ku agar ada bukti kalau suatu saat Juan bermain licik.

Juan tertawa ringan " sini duduk", Juan menepuk tanah berumput di sebelahnya.

" Udah gila ya dia nyuruh aku duduk. Jadi babu dia aja udah buat gosip yang penuh dengan bumbu di mana-mana".

" Gak, lagi bisulan. Udah ya bye", Aku cepat-cepat berbalik, lalu lari menghampiri Elsa yang mengintip dari bawah tangga batu yang menuju lapangan.

Meninggalkan Juan yang menatap punggungku dengan senyum di wajahnya.

***

Aku berjalan mondar mandir di kamarku.  Elsa berbaring ditempat tidur sambil bermain game di ponselnya.

" Gak bisa begini, aku udah gak tahan", aku misuh-misuh.

" Udah tahan bentar lagi juga selesai", Elsa menjawab dengan entengnya. 

" Ini udah mau 4 hari tapi rasanya seperti setahun tau gak. Semakin hari permintaannya semakin aneh. Masa kemarin dia minta aku temani dia ngerjain PR dikelasnya, sesorean lagi. Trus hari kemarinnya masa aku di suruh bawain makan siang buat dia les, bawain kopi hitam pake gula 2 sendok teh, airnya harus panas banget ampasnya gak boleh banyak tapi gak boleh kelihatan macam warna teh. Trus kapan itu aku di telpon sore-sore katanya ada yang gawat. Kamu tau pas aku samperin ke taman kota ternyata motornya mogok aku di minta bantuin dorong ke bengkel, trus nungguin bareng. Emosi gak kayak gitu. Mana teman-teman ceweknya itu ngeliatin aku udah kayak ada dendam kesumat gitu", aku masih mondar-mandir sambil nyerocos marah-marah.

" Iya kan, si Sarah itu mantan Juan. Sudah sangat pasti secara alami kamu menjadi musuh dia sekarang... Yaelah kalah", Elsa melempar pelan hpnya ke tengah kasur.

" Pokoknya sekarang, kamu harus fokus. Usahakan kamu tiap jam istirahat jangan bertemu Juan, matikan Hp bila perlu gak usah bawa hp ke sekolah. Atau kamu sok sibuk Misalnya kamu ke perpustakaan bantu-bantu jaga perpus. Atau pura-pura sakit ke UKS", Elsa memberi ide. 

Aku mengernyitkan dahi " kamu yakin itu berhasil?", aku sedikit ragu.

Elsa mengangguk penuh keyakinan " kamu harus berusaha Embun. Demi masa SMA yang tenang dan berkualitas. Aku akan dukung. Kamu tau kan pepatah  ada duit ada barang", Elsa berbicara seperti para motivator di TV.

Boleh juga anak ini jadi tukang dagang obat di pasar, gaya ngomongnya meyakinkan sekali.

Aku melihat Elsa gemas " Apa hubungannya pepatah itu sama masalah aku Elisabet ?!".

" Loh sama kan. Ada usaha ada jalan", Elsa yakin. 

Aku bengong, sama begonya dengan Elsa.

" Sudahlah…  pokoknya kamu harus berusaha. Mulai senin besok, jangan telat lagi. Yang kamu lakukan pertama adalah cuekin dia, abaikan abis-abisan. Oke?", Elsa memberi semangat.

" Okeee", Aku penuh tekad baja.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!