NovelToon NovelToon

Inah Dan Dimas

Akhirnya Bertemu

"Jadi kamu yang namanya Inah?" tanya ibunya Dimas yang bernama Sarita.

"Iya Bu, saya yang bernama Inah," jawab Inah dengan sopan.

Inah mencoba untuk bersalaman dengan Sarita, tetapi Sarita menolaknya dan mengabaikan tangan Inah yang masih terjulur. Dimas pun segera menatap wajah sang ibu dengan tatapan tajam. Memprotes atas sikap ibunya yang tidak menghargai Inah.

Karena sang ibu tidak ingin Dimas marah kepadanya, ia pun dengan terpaksa bersikap baik terhadap Inah, walaupun dalam hatinya merasa kesal dan tidak ingin melihat Inah.

"Namaku Sarita, Ibunya Dimas!" Sarita meraih tangan Inah dan memperkenalkan dirinya.

"Terima kasih sudah mengijinkan saya datang kesini," Inah melemparkan senyuman kepada Sarita.

"Karena semua ini atas keinginan Dimas!" sahut Sarita dengan lirih yang hanya didengar oleh Inah.

Inah pun menyadari jika ibunya Dimas tidak menyukainya. Tetapi, rasa cintanya terhadap Dimas membuat Inah tidak ingin menyerah begitu saja. Karena semua perlu waktu dan penyesuaian. Inah bertekad dalam hatinya, bahwa dia akan berusaha untuk membuat calon mertuanya menyukai dirinya.

Karena desakan dari Dimas, Sarita pun membicarakan tentang rencananya untuk melamar Inah Minggu depan. Inah pun tersenyum, karena hari-hari yang selama ini ia tunggu pun akan segera datang.

"Minggu depan kita akan melamar mu, jadi katakanlah kepada Ibumu kalau kita akan datang!" kata Sarita dengan nada dingin.

"Baik, saya akan memberitahu Ibu dan mempersiapkan semuanya," sahut Inah dengan lembut.

Setelah mereka selesai membicarakan tentang rencana lamaran. Dimas pun mengajak Inah untuk masuk kedalam kamarnya dan memperlihatkan foto-fotonya waktu masih kecil. Inah tampak serius membuka album masa kecilnya Dimas. Sesekali ia tersenyum melihat foto Dimas yang masih imut.

"Inah, maafkan aku ya! Beberapa bulan, aku tidak menghubungi atau memberimu kabar," kata Dimas sambil berlutut di depan Inah yang masih serius melihat foto-foto.

"Iya gak apa-apa, kan yang terpenting sekarang kita sudah bertemu!" sahut Inah memandangi wajah tampannya Dimas.

"Terima kasih sudah mengerti," kata Dimas tersenyum manis pada Inah.

Setelah selesai melihat-lihat foto Dimas waktu masih kecil, mereka berdua pun keluar dari kamar, karena ibunya Dimas sudah menyuruh mereka berdua untuk makan malam.

Sarita nampak kesal sambil melirik ke arah Inah. Ia merasa Inah tak pantas makan bersamanya, apalagi status Inah yang hanya sebagai pekerja rumah tangga, hal itu semakin membuat Sarita kehilangan selera makannya.

"Papa pulangnya kapan Ma?" tanya Dimas sambil mengambilkan ayam panggang untuk Inah.

"Besok Papa pulang! Mama udahan makannya, kalian terusin saja, Mama mau istirahat dikamar," jawab Sarita yang langsung beranjak dari duduknya dan pergi masuk ke kamarnya.

Saat itu Dimas nampak kesal dengan sikap sang ibu. Ia ingin memarahinya, tetapi dia ibu kandungnya dan tak sepantasnya ia marah dengan sang ibu. Disisi lain Dimas tidak ingin perasaan Inah terluka karena sikap sang ibu.

"Inah, maafin sikap Mama ya! Mama memang seperti itu, tapi kamu jangan pernah tersinggung sama sikap Mama," kata Dimas memandangi Inah.

"Gak apa-apa kok Mas, aku tahu bagaimana perasaan Mama. Tetapi tenang saja, aku akan berusaha sebaik mungkin, agar aku lebih dekat dengan Mama kamu," sahut Inah dengan yakin.

Setelah selesai makan malam, Dimas mengantar Inah pulang. Mereka tidak pamitan dengan Sarita, karena ketika Dimas mengetuk pintu kamarnya, Sarita pura-pura tidur dan tidak mendengar panggilan dari Dimas.

Hari itu Inah sangat kecewa, tetapi ia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa kecewaannya. Karena setelah kurang lebih selama dua bulan ia terpisah dengan Dimas, ia baru menyadari jika dirinya sangat mencintai dan takut kehilangan Dimas.

"Berarti, sekarang Mas Dimas sudah mulai bekerja di perusahaan orangtuamu?" tanya Inah sambil memasangkan sabuk pengaman.

"Iya, karena memang orangtuaku dari dulu menginginkan aku meneruskan bisnis mereka. Jadi mereka setuju dengan hubungan kita, tetapi aku harus mengurus perusahaan," jawab Dimas melajukan mobilnya.

Inah tahu, kalau Dimas terlahir dari keluarga kaya raya. Awalnya ia tidak percaya diri untuk mendapatkan hati Dimas, tetapi karena Inah mencintai Dimas bukan karena Harta dan Dimas juga terlihat tulus kepadanya, jadi Inah memutuskan untuk bertahan mencintai Dimas.

Tiba-tiba Dimas menghentikan laju mobilnya. Ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Inah. Inah pun nampak bingung, karena belum sampai, tetapi Dimas sudah berhenti.

"Kok berhenti Mas?" tanya Inah kebingungan.

"Karena aku mau memperlihatkan mu sesuatu," jawab Dimas tersenyum tipis dan membantu Inah keluar dari dalam mobil.

Dimas menyuruh Inah untuk memejamkan matanya. Mereka berdua berjalan mendaki bukit dan setelah sampai, Dimas pun menyuruh Inah untuk membuka matanya. Perlahan Inah membuka matanya dan dilihatnya pemandangan kota yang dipenuhi dengan kelap-kelip lampu.

Pemandangan yang membuat Inah takjub. Ternyata masih ada pemandangan yang bagus di balik padatnya penduduk kota. Hal itu membuat Inah tersenyum sumringah. Dimas pun menggandeng tangan Inah dan memandangi pemandangan bersama-sama.

"Ini kali pertama bagiku, melihat pemandangan yang indah dengan orang yang aku cintai," kata Inah menarik nafas panjang.

"Berarti, aku orang pertama yang kamu cintai?" tanya Dimas sedikit meledek.

"Iya! Mas Dimas lah orang pertama yang mengisi kekosongan hatiku," jawab Inah menundukkan kepalanya.

Bukan karena malu, tetapi karena Inah merasa terharu bisa menghabiskan waktu dengan orang yang ia cintai. Ia masih tidak yakin dengan apa yang ia rasakan saat itu. Seorang Dimas bisa mencintainya adalah hal yang sulit dipercaya.

"Terkadang aku masih tidak percaya, berada di sampingmu dan bergandengan tangan seperti ini. Aku merasa ini hanyalah mimpi," Inah memandangi hamparan lampu-lampu perkotaan.

"Inah, tatap mataku dan rasakan detak jantungku. Ini bukan mimpi dan aku sangat mencintaimu, aku ingin kita segera menikah!" kata Dimas menuntun tangan Inah menyentuh dadanya.

Mereka berdua saling berpandangan, ingin rasanya memeluk tubuh Inah, tapi Dimas mengurungkan niatnya, karena dia takut kalau Inah marah atas perlakuannya yang tidak disukai Inah. Mengingat kejadian didalam lift, yang membuat Inah marah hingga berhari-hari.

Setelah puas melihat pemandangan, Dimas pun mengantar Inah pulang. Sesampainya mereka di depan pagar rumah, tiba-tiba Inah meluncurkan sebuah ciuman di pipi Dimas. Itu kedua kalinya Inah mencium Dimas.

"Sudah malam, Mas Dimas cepetan pulang!" suruh Inah sambil menundukkan kepalanya karena malu.

"Baru jam sembilan, aku mau menemui Simbok. Tadi siang kan aku belum sempat mengobrol," Dimas ingin berlama-lamaan dengan Inah.

"Ini sudah jam sembilan, Simbok juga sudah tidur!" kata Inah memberitahu.

Tanpa mereka sadari, Anton dan Dinda mengintip mereka berdua dari jendela lantai dua. Akhirnya, Dimas pun pulang karena dia juga tidak mau menggangu simbok yang sudah tidur.

Bersambung...

Lamaran

Keluarga Dimas datang kerumah Anton untuk melamar Inah. Dengan acara yang sederhana, Inah dan Dimas saling bertukar cincin. Senyum Inah tak henti-hentinya menghiasi wajah manisnya. Ia merasa menjadi wanita yang paling bahagia saat itu.

Dimas terpesona memandangi wajah Inah yang terlihat manis dengan riasan tipis diwajahnya. Inah memang tidak pernah memakai riasan, jadi sekalinya ia memakai riasan, Dimas pun terpana oleh kecantikannya. Sederhana dan manis, sedap untuk dipandang.

"Kami berencana akan menggelar pernikahan hari Jum'at besok. Karena Simbok masih belum begitu sehat, jadi pernikahannya secara Agama dulu. Saya harap Simbok setuju dengan rencana kita," kata pak Darko ayah Dimas.

"Jika itu yang terbaik, saya setuju saja Pak, yang terpenting bagaimana anak-anak yang menjalaninya," sahut simbok tersenyum.

Akhirnya merekapun bersepakat untuk melaksanakan pernikahan secara Agama terlebih dahulu dan akan melakukan resepsi setelah simbok benar-benar sembuh dari sakitnya. Karena memang simbok saat itu masih belum pulih dari sakitnya. Entah sakit apa yang di deritanya, karena simbok selalu menolak ketika Inah maupun Anton membawanya kerumah sakit.

"Selamat ya Mbak Inah, akhirnya Dimas melamar mu juga. Aku jadi iri, aku kan gak pernah dilamar Kak Anton," kata Dinda memberi selamat sambil memeluk Inah.

"Terima kasih Non," sahut Inah tersenyum sumringah.

"Mulai sekarang jangan panggil aku Non lagi dong Mbak, panggil namaku saja, kita kan berteman," protes Dinda.

Mereka berdua pun tertawa kecil sambil membicarakan Dimas yang saat itu terlihat lebih tampan dari biasanya. Bersyukur, Sarita waktu itu bisa menempatkan diri, jadi acara lamaran tersebut berjalan tanpa ada hal yang tidak menyenangkan.

Dimas yang menyadari bahwa Inah dan Dinda sedang membicarakannya pun pergi menghampiri mereka berdua. Dimas ingin berduaan dengan Inah, karena dia belum puas memandangi wajah manis Inah. Dinda pun pergi, memberi kesempatan untuk mereka berdua saling mengobrol.

"Inah, bagaimana perasaanmu?" tanya Dimas tersenyum kearah Inah.

"Gimana ya Mas, perasaanku ya senang," jawab Inah tertunduk malu.

"Kita kan sudah bertunangan dan beberapa hari lagi kita akan menikah, kamu jangan malu gitu dong sama aku," kata Dimas melihat Inah yang terlihat menggemaskan.

Sementara orangtua Dimas, simbok dan Anton saling mengobrol, membicarakan rencana pernikahan anak-anak mereka. Sedangkan saudara perempuannya Dimas mengobrol dengan Dinda. Hal itu memberi kesempatan untuk Dimas dan Inah berduaan. Kemudian Dimas mengajak Inah duduk di taman belakang.

"Kamu ingin punya anak berapa?" tanya Dimas ingin tahu reaksi Inah.

"Apa sih Mas, kita kan belum sah menikah, jadi pamali ngomongin anak. Lagipula, berapapun yang Allah berikan, kita harus tetap bersyukur," jawab Inah tertunduk malu.

"Beruntungnya diriku memiliki calon istri sepertimu. Wajahnya manis, baik perilakunya dan sopan santun pula. Terima kasih Inah, kamu sudah hadir dalam hidupku!" kata Dimas memuji.

Inah sendiri masih tidak percaya jika Dimas juga mencintainya. Apalagi sampai menikah, benar-benar tidak pernah terlintas dalam benaknya.

*****

Keesokan harinya, Dimas menjemput Inah. Mereka berdua berencana untuk pergi kesebuah butik untuk membeli beberapa baju untuk pernikahan mereka. Karena pernikahan mereka akan diselenggarakan secara Agama, Inah memberitahu Dimas untuk tidak membeli baju yang harganya terlalu mahal.

"Setelah ini, kamu mau gak pergi ke mall? Kita jalan-jalan sebentar," ajak Dimas penuh harap.

"Boleh, tapi pulangnya jangan malam-malam ya, soalnya simbok kan masih gak enak badan," sahut Inah.

"Baik Nyonya Dimas!" canda Dimas.

Setelah selesai membayar baju yang mereka beli, Dimas langsung mengajak pergi ke mall terdekat. Tujuan Dimas mengajak Inah jalan-jalan, karena dia masih ingin menghabiskan waktu berduaan dengan Inah. Semakin hari Dimas semakin tidak bisa jauh dari Inah.

"Kak Dimas!" seseorang memanggil nama Dimas.

Inah dan Dimas menoleh kebelakang dan dilihatnya Yuki yang sudah melambaikan tangannya kearah mereka berdua. Yuki berjalan menghampiri mereka berdua dan melingkarkan tangannya ke lengan Dimas dengan mesra. Seketika Dimas menarik tangannya, karena tidak mau melihat Inah cemburu.

"Kalian kok pergi berduaan?" tanya Yuki dengan heran.

"Iya, karena Inah calon istriku," jawab Dimas sambil menggandeng tangan Inah.

"Gak mungkin! Kalian becanda kan? Lagipula kalian tidak cocok kok, cocoknya Kak Dimas tuh sama aku," Yuki tersenyum manja.

Karena Yuki tidak percaya, Dimas dan Inah pun langsung menunjukkan jari-jari mereka yang terpasang dua cincin yang sama. Tetapi tetap saja, Yuki tidak peduli. Dia malah semakin mendekatkan badannya dengan Dimas dan melingkarkan tangannya di lengan Dimas lagi. Hal itu membuat Inah kesal dan cemburu jadi satu.

"Mas, aku mau pulang saja!" Inah ingin pulang karena kesal.

"Kita makan malam dulu ya, setelah itu baru kita pulang! " sahut Dimas yang masih ingin berduaan dengan Inah.

"Aku makan di rumahsaja, lagian sekarang aku belum begitu lapar," tolak Inah.

Tetapi, Yuki terus merengek mengajak Inah untuk makan malam bersamanya. Karena merasa risih dengan rengekan Yuki, Inah pun terpaksa bersedia makan malam terlebih dahulu sebelum pulang. Dimas menyadari dengan raut wajah Inah yang tidak ceria seperti sebelumnya.

Rencana ingin berduaan pun gagal, karena kedatangannya Yuki. Dimas yang juga kesal pun mengurungkan niatnya untuk makan malam dengan Inah dan mengajak Inah pulang.

"Ya sudah, kalau kamu belum lapar, kita pulang saja," ajak Dimas yang kesal atas kehadirannya Yuki.

"Gak apa-apa, kita makan dulu. Kasihan Yuki, nanti dia makan sendirian," sahut Inah mencoba untuk menyembunyikan kekesalannya.

Mereka bertiga pun akhirnya makan malam bersama disebuah restoran yang berada didalam mall. Dimas sesekali melirik kearah Inah, ia benar-benar khawatir jika Inah marah padanya. Tetapi, ketika ia memandang ke arah Inah dan ia tersenyum kepadanya, hal itu membuat Dimas sedikit lega.

"Bukankah kamu sedang kuliah di Jepang?" tanya Inah kepada Yuki.

"Baru saja aku sampai Jakarta tadi pagi, aku juga belum sempat kerumah Dinda," jawab Yuki.

"Tadi aku sama orangtuaku beli sesuatu, tetapi karena aku lihat kalian, jadi aku nyamperin kalian dan aku menyuruh orangtuaku untuk pulang duluan," imbuh Yuki sambil tersenyum memandangi Dimas.

Sepertinya Yuki tidak peduli dengan hubungan Inah dan Dimas. Dia tetap saja curi-curi pandang dan menggoda Dimas di depan Inah. Tidak mau melihat Inah cemburu, Dimas pun memberitahu Yuki kalau beberapa hari lagi dia akan menikahi Inah. Dan Dimas dengan tegas melarang Yuki untuk tidak menggodanya lagi.

Sesudah mereka selesai makan, Dimas mengajak Inah pulang. Tetapi, karena orangtuanya Yuki sudah pulang, ia pun meminta Dimas untuk mengantarkannya pulang. Lagi-lagi Dimas melirik kearah Inah, memastikan jika Inah tidak marah.

"Papa sama Mama sudah pulang Kak. Kak Dimas antar aku pulang dulu ya!" rengek Yuki sambil menarik tangannya Dimas.

"Aku pesankan kamu taksi Online saja ya, soalnya aku sama Inah masih mau ambil baju di butik," kata Dimas yang semakin kesal dengan sikap Yuki.

"Gak apa-apa, antar dia pulang dulu Mas. Kasian sudah malam kan," suruh Inah.

Beruntung rumahnya Yuki satu arah dengan arah butik, jadi Dimas bisa menurunkannya lebih dulu dan kemudian mengambil baju di butik yang sebelumnya mereka sudah pesan. Baju untuk acara ijab Kabul, sederhana tetapi cukup elegan. Karena Inah ingin mengenakan Hijab ketika Ijab Kabul.

Bersambung....

Acara Pernikahan

"Sah!"

"Sah!"

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah!"

Inah dan Dimas sah menjadi sepasang suami istri. Senyum mengembang di wajah mereka berdua. Para tamu undangan pun satu persatu mulai berpamitan untuk pulang. Kini waktunya Inah diboyong oleh Dimas pulang kerumahnya.

"Mbok, Inah pulang kerumah Mas Dimas ya! Maafkan Inah yang belum bisa bahagiain Simbok," pamit Inah sambil mencium kaki sang ibu.

"Iya nduk, jadilah istri yang berbakti pada suami dan juga mertua mu. Jangan pernah membantah atau menyakiti mereka. Bersabarlah jika ada masalah datang pada hidupmu. Jangan pernah putus asa dan tetaplah bersabar. Melihatmu menikah, Simbok sudah sangat bahagia," kata simbok menasehati Inah.

Suara tangisan pun pecah, Inah memeluk simbok dengan erat. Hatinya terenyuh mendengar perkataan sang ibu. Ingin sekali Inah memboyong sang ibu, tetapi apalah daya, sekarang dia sudah menjadi seorang istri dan dia tidak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan lagi. Semua harus dibicarakan dengan sang suami terlebih dahulu.

"Dimas, jaga anak ibu. Dia gadis yang hebat, pandai memasak dan tak pernah mengeluh. Dia juga gadis yang manis, patuh dan sopan. Jangan pernah sakiti dia, buatlah dia bahagia. Jika dia melakukan kesalahan, nasehati dan jangan memarahinya, karena ibu tidak pernah memarahinya. Hanya dengan menasehatinya, Inah sudah mengerti," kata simbok memberitahu Dimas.

"Inah tumbuh dewasa tanpa peran seorang Ayah, jadilah suami dan sekaligus ayah untuknya. Yang selalu menjaga dan melindunginya. Ini pesan Simbok, jangan pernah lupakan pesan ini," imbuh simbok meneteskan air matanya.

Semua orang yang mendengar perkataan simbok pun ikut menangis. Bahkan Sarita, ibunya Dimas yang tidak menyukai Inah pun menangis. Dinda memeluk Inah dengan erat, mendoakannya semoga pernikahannya dengan Dimas langgeng sampai akhirat.

Inah membawa beberapa bajunya didalam koper. Air matanya terus mengalir, tak tega meninggalkan sang ibu yang saat itu masih belum sehat. Dinda meminta Inah untuk tidak menghawatirkan sang ibu, karena dia berjanji akan menjaga simbok seperti ia menjaga neneknya.

"Inah, kamu jangan khawatir. Aku sama Kak Anton akan menjaga Simbok, seperti kita menjaga Nenek. Mulai besok juga ada dua asisten yang datang. Satu bantu menjaga Simbok dan yang satunya bersih-bersih rumah," kata Dinda memberitahu.

"Terima kasih banyak ya Non, Semoga Allah membalas semua kebaikannya Non Dinda dan Den Dimas," sahut Inah mendoakan.

"Tuh kan! Dibilangin jangan panggil Non lagi kok bandel!" protes Dinda.

Dimas menggandeng tangan Inah dan masuk kedalam mobil. Lalu Inah melambaikan tangannya kepada sang ibu, ketika mobil mulai melaju. Air matanya tak berhenti mengalir, melihat simbok yang rentan membuatnya benar-benar tidak tega.

Ketika mobil sudah menjauh dari rumah, Inah pun menenggelamkan wajahnya ke dada Dimas. Ia menangis sesenggukan dan Dimas pun memeluknya dan mencoba menenangkan Inah agar tidak menangis lagi.

"Sayang, nangisnya sudah ya! Rumah kita sama rumah Anton kan gak terlalu jauh, kamu bisa jenguk Simbok kapan saja, ketika kamu merindukannya," kata Dimas sambil mengelus rambut Inah.

"Jadi, aku boleh menjenguk Simbok setiap hari?" tanya Inah mendongakkan kepalanya.

"Boleh, tapi harus sama aku, gak boleh sendirian!" sahut Dimas tersenyum dan mengecup kening Inah.

Tak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah. Inah turun dari mobil dan memandangi rumah besar dan mewah milik Dimas. Ia tersenyum, tak menyangka bahwa dirinya adalah bagian dari penghuni rumah mewah tersebut.

Dimas menggandeng tangan Inah masuk kedalam rumah, asisten rumah tangga pun menyambut mereka dengan senyuman. Tetapi, ketika mereka berdua memasuki ruang tamu, rumah yang begitu luas nampak sepi, seperti tanpa penghuni.

"Mas, Mama sama Papa kemana?" tanya Inah yang masih canggung.

"Mereka paling dikamar! Tadi kan mereka pulang duluan," jawab Dimas membantu Inah membawakan tasnya.

Tidak ada sambutan atau hal semacamnya. Ada sedikit rasa kecewa di hati Inah, ia merasa dirinya sama sekali tidak berarti untuk keluarganya Dimas. Tapi, rasa kecewa itu segera pudar ketika melihat wajah Dimas yang super tampan sedang memandanginya.

Dengan segera Dimas mengajak Inah pergi ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Hati Inah terasa mau keluar dari tempatnya, ketika Dimas membuka pintu kamarnya. Pikirannya melayang jauh kearah sana, hingga membuat Inah merasa tegang.

"Inah, kamu kenapa takut seperti itu?" tanya Dimas tersenyum membelai rambut Inah.

"A-aku ha-hanya belum ter-biasa saja," jawab Inah gugup.

Ketika pintu ditutup dan Dimas mengunci pintunya, Inah terkejut dan ketakutan melihat Dimas jalan menghampirinya. Inah berjalan mundur, saat Dimas hampir meraihnya. Hal itu membuat Dimas tertawa gemas melihat tingkah Inah yang sangat lucu.

"Sayang, kamu takut sama suamimu sendiri?" Dimas tertawa kecil sambil meraih tangan Inah.

"Enggak, gak gitu Mas! Tapi, tapi aku hanya merasa gugup saja," jawab Inah dengan tangan yang gemetar.

"Jangan gugup, aku sudah sah menjadi suamimu dan tidak ada dosa bagi kita jika kita melakukan hal yang lebih dari ini," kata Dimas memeluk Inah.

Memang dasarnya Dimas mantan Playboy, jadi ia pun sudah pandai dalam rayu merayu. Inah pun mendorong tubuh Dimas, ketika Dimas memberinya ciuman di lehernya. Ia benar-benar belum siap untuk melakukan hubungan suami-istri. Bukan berarti dia menolak, tetapi Inah butuh waktu.

Bersyukur Dimas sangat mengerti Inah yang sangat polos. Ia pun membiarkan Inah untuk istirahat terlebih dahulu, kemudian Dimas pergi mandi. Inah pun bisa bernafas lega ketika Dimas masuk kedalam kamar mandi.

"Sayang, ambilkan handuk di lemari! Stok handuk disini habis," teriak Dimas memanggil Inah.

"Iya sebentar, aku cari dulu di lemari," sahut Inah yang langsung beranjak dari ranjang.

Inah berlarian menuju ke kamar mandi untuk memberi Dimas handuk. Ia menjulurkan tangannya dai sela-sela pintu. Tetapi hal tak terduga terjadi, Dimas menarik tangannya hingga Inah masuk kedalam kamar mandi.

Ternyata tubuh Dimas sudah terlilit oleh handuk. Dimas hanya mencari alasan, agar Inah mendekat kepadanya. Seketika Dimas mencium bibir Inah dengan agresif, hingga membuat Inah susah bernafas. Dengan sekuat tenaga Inah mendorong tubuh Dimas agar melepaskan ciumannya.

"Maaf sayang, aku membohongi mu," kata Dimas melepaskan ciumannya.

"Ih... Mas Dimas nakal banget sih!" protes Inah yang langsung keluar dari kamar mandi.

Dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya, Dimas keluar dari kamar mandi. Dia mengambil baju rumah dengan kaos dan celana pendek. Inah dari balik selimut memandangi tubuh Dimas yang begitu atletis, bahkan diperut Dimas ada roti sobeknya.

Karena merasa lelah, Dimas pun langsung merebahkan badannya di atas ranjang tanpa menyentuh Inah. Kemudian Inah mengambil pakaian gantinya dan masuk kedalam kamar mandi. Sepertinya Inah juga ingin mandi.

"Mas, baju kotornya taruh dimana?" tanya Inah.

"Kamu masukkan ke lubang dekat toilet, nanti langsung ketempat laundry," jawab Dimas sambil memainkan ponselnya.

Melihat Dimas yang sedikit cuek kepadanya, Inah pun mengira kalau Dimas marah padanya. Tiba-tiba ia teringat perkataan sang ibu, jika tidak boleh menolak suami walau dalam keadaan apapun. Inah yang merasa bersalah pun berjalan menghampiri Dimas.

Membuang rasa malunya, Inah merebahkan badannya di samping Dimas. Tetapi Dimas malah merubah posisinya dengan membelakangi Inah sambil bermain ponselnya.

"Mas Dimas marah sama Inah?" tanya Inah sambil memeluk Dimas dari belakang.

Mendapat pelukan dari Inah, Dimas pun menaruh ponselnya di atas nakas. Ia membalikkan badannya dan memandangi wajah Inah dengan seksama.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!