NovelToon NovelToon

"Suamiku Tidak Sesuai Ekspektasi Ku"

Seandainya suamiku tidak egois

"Andi harus tinggal serumah dengan mu, kalau memang dia masih mau melanjutkan pendidikannya", kata ayah kepadaku.

Ucapan ayah itu kusampaikan kepada adikku dan suamiku, kebetulan dia tahu latar belakang adikku, yg hampir putus sekolah sampai kelas 3 SMA.

Karena peduli dengan masa depannya, aku mengurus kepindahan sekolah dari desa ke kota.

Akibat kebandalan adikku sehingga ia di pecat dari sekolah lama. Aku mengurus supaya ia bisa sekolah lagi setidaknya dia punya ijazah SMA. Dan mungkin lebih Di utamakan yang tamat SMA daripada tamat SMP.

Setelah tamat SMA dia iseng ikut test masuk perguruan tinggi negeri syukur akhirnya ia bisa lulus masuk perguruan tinggi negeri jurusan ekonomi keguruan. Adikku dan suamiku setuju untuk tinggal 1 rumah.

Adikku juga membawa adik sepupu dari kampung, jadilah kami tinggal serumah di rumah kontrakan dengan ke 2 adikku cowok.

"Andi, Tono bangun", aku terus mengetuk pintu kamar, agar adikku bangun karena ini sudah jam 7.00 pagi, mereka harus ke kampus.

Meraka ke kampus setiap Senin-Jumat dan masuk 8.00 pagi. jam 14.00 mereka kembali ke rumah, langsung ambil piring untuk makan siang.

Setelah itu' gubrak' tutup pintu, sampai pagi lagi untuk kembali melakukan rutinitas.

Keluar kamar hanya untuk mandi, ambil nasi untuk makan. Dan makan pun di dalam kamar, kamar sekali seminggu di sapu. Kebetulan mereka punya komputer yang sekalian bisa TV.

Sebulan berlalu, tidak ada komunikasi antara adikku dan suamiku.

Suamiku protes " aku seperti tidak dianggap di rumah ini, ntah cerita, atau tanya, atau apalah sekedar basa basi gimana supaya ada komunikasi" protes suamiku kepadaku.

Akupun menyampaikan itu kepada kedua adikku, adikku diam saja.

Keesokan harinya mereka coba komunikasi dengan suamiku, tapi suamiku hanya menjawab iya, tidak, dan tetap asik ke gamenya. suamiku sangat maniak game.

Dari pagi hingga larut malam, bahkan kadang sampai jam 3 pagi baru tidur, itupun kalau kuingat kan, makan dan mandi pun kadang telat karena terlalu asik main game.

Adikku malas dan merasa di cuekin, komunikasi kaku dan membosankan, mereka tidak mau mencoba komunikasi dengan suamiku.

Ada juga sepupu dari suamiku tinggal ngekos di sebelah rumah, mereka mau datang kerumah, suamiku bisa ketawa ketiwi, dan suamiku juga mau meninggalkan kan sebentar gamenya, pokoknya nyambung banget ngomongnya.

Kalau dengan adikku suami tidak mau membuat obrolan baru, gimana caranya supaya tidak kaku. Aku merasa suamiku egois tapi aku hanya diam saja.

Komunikasi mereka hanya sebatas kalau pulang kampus jam 14.00 " tok..tok..tok bang tolong buka pintu". Krek..k pintu di buka oleh suamiku. dan memang suamiku lagi main game di ruang tamu sambil duduk menghadap komputer.

Prang...piring berisi nasi harusnya tinggal di makan di lempar berantakan di lantai, suamiku marah.

Dan memang ke marahannya hanya di lampiaskan kepadaku, adikku di kamar.

Suamiku teriak sekencang kencangnya " Aku seperti tidak dianggap di rumah ini", mereka (kedua adikku), hanya makan, tidur, menyapu rumah tidak ada, cuci piring pun tidak, di kamar terus, nonton terus, arus listrik bolak balik, kau ajari itu, jangan mentang mentang cowok tidak bisa kerja.

Kami di keluarga ku cowokpun kerja", begitulah teriak suamiku.

Aku hanya berurai air mata, nangis ter isak isak, aku sedih dan terjepit antara adikku dan suamiku.

Mungkin karena kondisi suamiku yang pengangguran hanya berada di rumah. Aku setiap pagi harus kerja pulang sore, pagi kusiapkan makan pagi hingga makan siang.

Pulang kerja aku harus menyiapkan makan malam demikian rutinitasku setiap hari.

Padahal suamiku juga tidak ada menyapu atau cuci piring, Suami hanya duduk bermain game hingga sore, bahkan lanjut lagi sampai larut malam.

Aku yang melakukan rutinitas itu setiap pagi dan kalau pulang kerja kusapu rumah dan kusiapkan makan malam. Menapa suamiku yang keberatan?, aku hanya berpikir, ya sudahlah, asal kan adikku ini bisa tamat.

Tetapi keinginan suami, adikku harus ada kerja tetap kusampaikan, mereka pun setuju, pulang kampus mereka cuci piring, mencuci piring pagi tidak sempat karena buru buru harus ke kampus.

Kegiatan mencuci piring oleh adik adikku tidak juga membuat suamiku merasa nyaman. Tetap saja suamiku tempramental, ada ada saja kesalahan adik adikku.

Terlebih kalau di hari Minggu atau hari libur, kampus tidak ada perkuliahan. Adik-adikku seharian di rumah, kegiatan mencuci piring dilakukan adikku seperti biasanya, padahal suamiku inginnya mereka mencuci piring pagi hari.

"Kerja itung- itungan, apa susahnya cuci piring. Mengapa harus menunggu piring menumpuk, dan harus dicuci sore, apa tidak bisa langsung dicuci?", begitu protes suamiku kepadaku.

Akupun hanya diam, dalam hati berpikir, kenapa suamiku tidak bisa kompromi dengan hatinya.

Padahal Uang rumah dan uang makan adikku dibayar setiap bulan oleh ayahku. Mengapa dia tidak mengganggap adikku orang yang ngekos di rumah, supaya dia tidak merasa tertekan batin.

Uang makan dari 2 orang adikku sangat membantu ekonomi keluarga karena suamiku sendiri tidak kerja hanya mengandalkan gajiku yang tidak seberapa, padahal harus menutupi uang rokoknya 1-2 bungkus/hari.

kring...kring bunyi telpon hp, panggilan telpon dari mertuaku perempuan.

"Gimana sudah isi atau belum?"tanya mertuaku kepada ku.

"belum Bu, sabarlah, mungkin Tuhan belum kasih" jawabku kepadanya

6 bulan pernikahanku, aku belum juga hamil. Aku merasa itu mungkin ada hubungannya dengan tekanan batin atas tempramentalnya suamiku kepada adik adikku.

Kalau suamiku marah, ada ada saja yang melayang, kondisi yang seperti itu kadang membuatku selalu menangis. Di tempat kerja aku juga sangat keletihan.

Aku bekerja di pabrik cat dengan profesi sebagai admin gudang, harus cek stok mana yang kurang dan perlu di tambah, cek in/out barang yang diangkut supir.

"Akupun tak tau kenapa aku belum hamil, mungkin belum waktunya saja", guman ku dalam hati.

Suamiku tidak bisa paham perasaan ku, harusnya dia peka, jangan terlalu banyak protes mengenai adikku.

Karena Bagaimanapun, aku pasti tersinggung kalau suamiku protes mengenai sifat adikku, bukan membela adikku sih.

Maksudnya kok suamiku tidak bisa lebih pengertian dan berlapang dada mau menerima kekurangan adikku.

Padahal suamiku adalah anak pertama dari 6 bersaudara, apa dia tidak mikir suatu saat pun akan tiba giliran adiknya nantinya akan tinggal dengannya.

Sekarang mungkin ini adalah giliran aku, toh adikku hanya Andi seorang. Sungguh suamiku tidak berpikiran kedepan, gimana nanti kalau adiknya yang tinggal serumah dengan kami, apa dia bisa memaksakan kehendaknya?

Adikku pun merasa tidak nyaman dengan suasana di rumah, karena mereka selalu mendengar suamiku marah.

Tetapi itupun tidak lantas membuat mereka berubah, apakah karena tidak paham, atau mereka merasa benar dan biasa aja kali, pikirnya dalam hati.

Tidak ada angin tidak ada hujan, ntah apalagi yang memicu kemarahan suamiku. Tiba tiba suami datang ke kamar menghampiri adik sepupu ku dan melayang kan tangan, dengan sekuat tenaga aku mencoba melerainya.

" Tahun depan aku tidak mau lagi serumah dengan kalian, pokoknya tidak mau lagi titik", gubrak, dia berlalu keluar kamar.

Bagaimana jadinya kalau adikku tidak serumah denganku, pasti dia akan hilang kendali, dan akan putus kuliah seperti waktu SMA dulu. Mudah-mudahan dia bisa baik- baik saja, harapku dalam hati.

Setelah punya pekerjaan suamiku angkuh

##

"Mari kita angkat ini, bersama sama", printah suamiku kepada sepupunya yang ikut bantu bantu pindahan rumah kami di kontrakan baru.

Kedua adikku tidak ikut lagi bersama kami. Mereka sudah duluan pindah, tinggal lebih dekat dengan kampus supaya bisa jalan kaki. Maksud nya tanpa naik angkot supaya lebih hemat.

"Jangan dipaksa, Li ngangkatnya, hati hati, kami aja nanti yang ngangkat" tegur suamiku dengan penuh amarah.

Karena aku cerita kepada suamiku mungkin aku hamil, aku sudah telat 1 bulan tetapi belum test kehamilan. Dengan kondisi hamil muda makanya aku tidak boleh angkat yang berat berat.

Setelah memberanikan diri untuk test kehamilan dan ternyata hasilnya positif. Aku sungguh benar telah hamil.

Bukan main gembira nya aku, aku sangat bahagia dan terharu sehingga sampai meneteskan air mata, begitu tahu aku positif.

Aku mengabarkan berita sukacita ini kepada mertuaku, mereka sangat senang. Beban beratku terasa terlepas sebagian. sebelumnya aku paling takut kalau menghubungi pihak mertuaku. karena mereka selalu menanyakan "sudah isi kah?".

Adik ipar ku yang usia pernikahan kami cuma beda 5 bulan juga belum hamil, bila kuingat kata-kata mertuaku pada saat salonan di acara tunangan adik ipar ku.

"Sudah isi dek", kata tukang salon.

"Belum kak" jawab ku dengan suara pelan.

Mertuaku langsung menimpali "Adik iparnya nanti duluan hamil,

entah tak isi lagi itu", katanya sambil menyindir ku.

Karena sudah 5 bulan pernikahan ku aku belum juga hamil. Kata kata itu sungguh membuatku sangat sedih. Maka tak jarang aku selalu menangis dalam doa memohon kepada Tuhan untuk segera diberi momongan.

Sampai akupun sudah berpikir untuk terserah lah kalau memang harus diceraikan karena belum bisa kasih keturunan.

Tapi Tuhan sangat baik, Tuhan kabulkan doa hambanya yang selalu memohon kepadaNya.

Syukurlah dengan kehamilanku ini, suamiku bisa lebih perhatian dan mudah mudahan tidak egois.

Suamiku belum juga mendapatkan pekerjaan, masih aku yang jadi tulang punggung padahal pemasukan sudah berkurang.

Uang makan dari kedua adikku tidak ada lagi, karena sudah tidak tinggal satu rumah. Pemasukan hanya mengandalkan dari gajiku saja.

Padahal pengeluaran makin bertambah, uang kebutuhan rumah tangga, ditambah ongkos angkot untuk pulang pergi kerja, dan biaya rokok suamiku.

Kondisiku yang lagi hamil, dan betapa penatnya pulang dari kerjaan. Suamiku tidak terbuka hatinya untuk mau terlibat membantu aku yang masih harus beres beres rumah, masak dan cuci piring, dia selalu asik bermain game di depan komputer.

Dulu adikku tinggal 1 rumah denganku, dia marah marah karena adikku tidak ada komunikasi dan tidak ada kerjaan, sekarang karma telah berbalik kepadanya.

Dia lebih banyak duduk bermain game, mencuci piring pun tak bisa. Aku mencoba bertegur sapa, atau sekedar melepaskan unek unek kepadanya.

Suami hanya menjawab, iya, tidak, dan kadang tidak fokus mendengar dan menjawab pertanyaan ku. Akupun segera meninggalkan nya dan segera pergi tidur.

Jam 3 pagi kulihat suamiku masih di depan komputer, setelah kutegur baru dia mengakhiri gamenya. Begitulah rutinitas suamiku setiap hari, bahkan berbulan bulan.

"Besok aku ada panggilan interview", kata suamiku penuh semangat.

Aku pun sangat senang menanggapi nya.

"Apa nanti langsung kerja atau tidak ya", tanya suamiku kepadaku.

"Mudah mudahan langsung kerja ya", akupun terus menyemangati nya.

Mengingat jarak test dan interview sangat lama ada selang waktu 6 bulan,

Kami sama sama keluar rumah pagi itu, aku pergi kerja suamiku untuk panggilan interview. Sambil berdoa dalam hati, berharap suamiku segera kerja.

Mengandalkan gajiku yang terbilang rendah, sangat tidak cukup mengingat aku sebentar lagi mau lahiran, aku dan suami tidak ada tabungan sepersen pun.

Seperti biasa sore hari setelah pulang kerja, kulihat suami sudah di rumah dan sedang asik melakukan rutinitas yakni bermain game di depan komputer.

Aku pun langsung duduk di sampingnya dan menanyakan, "Bagaimana hasil interview nya hari ini?".

"Tunggu panggilan selanjutnya", sela suamiku dengan suara rendah,

Aku sangat kecewa, sesungguhnya aku sangat berharap setidaknya bulan depan sudah masuk kerja, tetapi kenyataannya tidak.

Aku tidak boleh menunjukkan sikap tidak senang ku di hadapan suami. Aku pun tetap menyemangati nya.

Setidaknya masih bersyukur ada panggilan interview. Sekarang hanya berharap dan berdoa mudah-mudahan akan ada panggilan selanjutnya.

Akupun menyemangati suami dengan mengatakan, "Iyalah, kita tunggu aja panggilan selanjutnya".

Acara tujuh bulanan kehamilan ku berjalan dengan lancar, hanya dihadiri oleh keluarga terdekat kedua belah pihak, yaitu pihak dari aku dan pihak dari suamiku.

Semua biaya makan bersama ditanggung oleh mertuaku, pihak dari aku pun bawa serahan ikan mas juga biaya dari pihak ku, kami tidak ada pengeluaran sama sekali.

Doa doa dipanjatkan, supaya proses lahiran lancar, harapan anak yang akan dilahirkan juga sehat. Beberapa hari kemudian semua keluarga pulang, situasi rumah kembali seperti biasa hanya aku dan suami ku.

Kondisi sekarang sudah lebih tenang, karena kedua adikku tidak tinggal lagi serumah denganku.

Tidak ada lagi orang yang mau dimarahi oleh suamiku. Pernah kutanya kabar adikku kepada ibu, adikku sering pulang kampung.

"kok bisa, apa tidak ada mata kuliah kah?", pikir ku dalam hati.

Padahal lagi tidak libur kampus, tetangga juga ada mahasiswa, mereka tidak libur. Aku tidak tanya panjang lebar lagi, takut ibu kepikiran.

Aku sedih, seandainya suamiku bisa lebih bersabar menanggapi sifat adikku, padahal Andi adalah adikku yang paling bungsu. Sudahlah tidak gunanya menyimpan dendam dalam hati, jadi penyakit jadinya.

Akhir bulan Desember suamiku dapat pangilan setelah 3 bulan dari selang waktu pada tahap panggilan interview, dia disuruh datang ke kantor.

"Akhirnya aku dapat kerja, aku disuruh masuk bulan Januari awal. Kata suamiku dengan penuh semangat.

Akupun menjawab, "Syukur kepada Tuhan, akhirnya kamu mendapatkan pekerjaan".

Sebulan sebelum lahiran aku resign dari tempat kerjaan, aku sangat kelelahan dengan kondisi hamil tua dan pekerjaan ku sangat berat.

Kadang harus angkat cat yang lumayan berat, karena aku kerja di pabrik cat.

Ibuku datang menemani aku,

aku sangat senang. Ibu banyak beli kebutuhan rumah tangga, mulai dari perlengkapan mandi, hingga untuk dapur.

Ibu juga ada beli perlengkapan bayi, akupun tau ibu agak sedih karena adikku tidak tinggal dengan ku lagi, tapi ibu tidak bisa bilang apa apa.

Aku senang ada ibu menemaniku, ada juga adik ipar ku perempuan, dia kerja di mall, di hanya seperti teman untuk tidur saja, pergi pagi pulang malam jam 9, seminggu kemudian pergi tengah hari pulang jam 11 malam, begitu silih berganti.

Ibu yang mencuci pakaian, aku bilang tidak usah, ada adik ipar, tapi ibu orang nya tidak sabaran, tetap aja di cuci. Tibalah saatnya aku lahiran aku pinjam uang ibu, aku bilang "nanti kalau ibu pulang kampung aku yang kasih ongkos ibu", ibuku setuju. Mertuaku juga datang.

Setelah seminggu aku lahiran ibuku permisi untuk pulang, aku minta uang untuk ongkos ibu. Entah dia lupa atau tidak tahu apa yang telah ibu berikan pada kami, dia cerita kepada ibunya, bahwa ibuku minta ongkos pulang kampung.

Aku benci suamiku yang tidak menganggap pengorbanan ibuku, memang ibu tidak terlalu banyak bicara, kalau ada mertua ibu banyak pergi ke dapur, sesekali aja mau ikut gabung.

Aku malas berdebat dengan suamiku, dia selalu tempramental. Pernah juga aku berdebat dengan suamiku adik ipar tidak usah lagi menemaniku, aku sudah bisa mandiri karena aku sudah 1 bulan lahiran, kasihan dia pulang pulang tengah malam, lagian toh aku yang kerjain urusan rumah.

Suamiku langsung pikiran negatif, aku di tendang, "tidak tau terimakasih, kau tidak perduli sama adikku ya", aku menangis suamiku salah paham, padahal bukan itu maksudku, dia sensitif menanggapi nya. Itulah kalau sudah ada sangkut paut dengan pihak kita, sakit rasanya.

Bagaimana perasaan ku mengenai adikku yang selalu di marah marahin padahal hanya urusan sepele, padahal adik ipar ku yang tidak sempat kadang mengerjain urusan rumah, aku tidak pernah protes atau ngomong ke suami aku. Adik ipar ku tidak bayar uang makan. Apakah dia tidak mau tahu perasaan ku?, aku tidak tahu apa dia menyesal telah zolim kepada adikku, hanya Tuhan lah yang tahu jalan pikirannya.

Mengertilah sedikit saja perasaan ku

###

Setelah punya momongan ada pahit manisnya, pahitnya ya ketika tengah malam disaat mata ini lagi ngantuk-ngantuknya si kecil merengek, minta minumlah, lagi ngompol lah, lagi gerah atau lagi kurang nyaman, sebagai ibu harus jeli dan cekatan untuk putar otak. Suami mana peduli boro boro bantuin, sikecil merengek terus malah kita yang di marahin, situasi yang seperti ini justru malah buat kita makin panik dan jadi gaduh, gimana tidak gaduh, bentakan suami justru buat si anak makin nangis, kita makin tidak bisa ngontrol anak. Bagusnya ya mendingan di biarin aja, kalau si ayah juga tidak ada kesabaran. Kalau si ayah punya kesabaran si anak dengan sendirinya akan tenang, ada hubungan batin. Itulah yang tidak kudapatkan dari suamiku.

Tok..tok..tokk, kuintip dari kaca. Ada ayah nya anakku. Krek....k pintu di buka.

"Dinar..", suamiku terus memanggil manggil, anaknya masih terus melotot dengan ekspresi datar. Diusia Dinar yang masih 3 bulan ayah nya selalu menyempatkan diri untuk mau menggendong sepulang kerja, hanya beberapa menit. Segera cuci muka, ganti baju, terus duduk depan komputer bermain game. Aku sibuk di dapur menyiapkan kan makan malam, tadi siang Dinar agak rewel, aku tidak bisa beres beres rumah, cucian numpuk, pakaian Dinar hampir habis (kotor semua), dipikiran cuma bisa berpikir mudah mudahan Dinar tidak rewel, jadi aku bisa cuci pakaian.

" U.eek.uuekkk", Dinar menangis. "tengok ini", dengan penuh kemarahan. "bentar, gendong aja dulu, aku lagi repot", 'dikit lagi', kata ku sambil ngaduk ngaduk masakan ku.

di pegang bentar, Dinar masih tetap menangis

"Tidak mau diam dia. Gendong ini, tinggalkan aja itu. Kemarin ada adik ipar sok sok an kamu suruh balik, sekarang kerepotan sendiri, tahan kan" suamiku membentak ku, mengungkit masa lalu. Padahal dia tidak tahu, mungkin pun adiknya merasa senang balik ketempat kosan karena tidak harus repot repot lagi, lagian mana cukup gajinya untuk nambah 1 orang untuk biaya makan, secara suamiku masih tahap training kerja, gajinya belum naik, belum lagi suami langsung kredit hp, karena hp lama di curi maling, hp sangat penting, untuk komunikasi di tempat kerja suamiku.

Suami yang masih saja mengungkit masa lalu membuat aku jadi sedih, dan menangis dalam hati. Segitu negatif nya dia menilai aku. Segera ku tinggalkan masakan ku dan langsung ku gendong Dinar, ku susui dan ku ayun ayun, bermaksud agar dia cepat tidur. Supaya aku bisa melanjutkan masakan ku. Akhirnya selesai juga kerjaan ku. Kusuruh suamiku makan, " ya, duluan aja". katanya. Kami tidak pernah makan bersama karena dia terlalu asik bermain game, hingga tengah malam jam 3 subuh, aku tidak tahu dia makan malam jam berapa lama, segera ku tinggalkan dia setelah aku selesai makan, kucoba komunikasi dengannya tanya gimana di tempat kerja an, di jawab dengan se adanya" ya, tidak, kurang Taulah" begitu dia menjawab ku. Lagi fokus pikirku dalam hati, dan segera ku tinggalkan, aku masuk ke kamar ku bawa Dinar. Akupun segera pulas tertidur sesekali terbangun karena rengekan Dinar.

Adik ipar ku yang pernah tinggal serumah dengan ku, akan menikah, Dinar berusia 7bulan tepatnya, aku sudah isi anak ke 2. Aku memang tidak atur jarak (mungkin karena tidak ngerti, tidak ada yang ajari, baik mertua atau ibuku. Karena memang 1 tahun aku kosong tidak langsung isi setelah menikah, dengan pengalaman itu aku tidak Suntik KB). Untung lah kehamilan ke 2 ini tidak banyak keluhan seperti anak pertama kemarin, bawaan lemas, tidak suka cium bau bawang, tidak semua makanan bisa di makan. Hamil anak ke 2 ini, tidak ada mual, atau muntah, semua di makan, bebas bergerak pokoknya. Walaupun begitu tetap saja aku kerepotan secara Dinar belum bisa berjalan, kemana mana harus di gendong.

"Kita kasih kado apa nanti sama Nosta?, kata suamiku kepadaku. "Terserah", jawabku. Sebagai Kakak dari 6 bersaudara, suamiku juga harus menunjukkan tanggung jawab nya, walaupun belum mampu secara ekonomi memang yah, harus di paksakan. " Kasih HP aja, kredit lagi lah, karena untuk beli cash atau beli kado lainpun dengan uang cash mana ada", kataku kepada suamiku. Secara adat pesta dari pihak perempuan harus kasih Ulos, beras minimal 5kg, 2 item ini ajapun menurut ku sudah lumayan belum lagi cicilan Hp nantinya tiap bulan. Bukan tidak ikhlas begitu lah suamiku kalau hal memberi dengan keluarga, kalau memberi kepada pihak keluarga ku , di tunjukkan kesusahannya (tidak pernah bisa) dan memang sampai sekarang pun, belum pernah sepersen pun suamiku ada memberi ke pihak ku (dengan alasan kamu pihak perempuan, perempuan yang sudah menikah seutuhnya jadi urusan suaminya), bahkan sebelum lahiran kemarin aku minta uang untuk beli tempat tidur kepada Ayah, dengan alasan supaya setelah lahiran bisa buat terapi arang, agar si ibu cepat sembuh begitu printah orangtua. Suamiku tahu aku minta uang itu kepada Ayah.

Tibalah hari yang ditunggu tunggu pernikahan Nosta adik iparku, segala sesuatu sudah disiapkan mertua datang begitu juga ibuku. Ibuku kujemput ke loket bis, aku senang. Ibu tahu kesusahan ku, ibu datang bawa beras dari kampung, bisa kugunakan untuk serahanku di pesta jadi aku tidak usah beli, lumayan menghemat pengeluaran, aku juga harus riasan seperti pengantin, karena posisi suamiku sebagai anak pertama juga penting di prosesi adat itu. Kami semua berangkat ke rumah pihak Laki laki termasuk ibuku, mertua ku berangkat langsung dari kampung dengan semua rombongan pihak keluarga mereka berangkat malam sebelum hari pesta.

"Kamu jangan jauh jauh, dekat dekat aku aja, Dinar titip dulu sama Asti, Friska, atau sama ibumu", begitu printah suamiku. " Tidak mau dia", jawabku. Suamiku melotot marah. Jelas aja Dinar tidak mau sama Asti, Friska atau ibuku, karena ya memang mereka jarang dilihat Dinar bahkan baru pertama ini. Suamiku benar benar tidak mengerti Tapi sok yang paling tahu, malah marah marah pulak.

Dia tidak tahu sudah dari tadi pagi hingga tengah hari aku menggendong Dinar, bahu rasanya lecet, punggung lelah banget, belum lagi hamil 2 bulan untuk ke kamar mandi aja susah, kan masih 7 bulan di titip ke orang nangis, diterpaksain nangis karena sudah kebelet banget memang harus di keluarkan, makan pun buru buru, belum lagi aku harus sapa sapa tamu keluarga tanya udah makan, bilang terima kasih, urusin ibuku udah makan atau belum, karena posisi ibu jauh dari aku tidak 1 tempat. Ingin nangis rasanya. Waktu pacaran dulu, suamiku adalah tempat curhat ku aku enak dan plok menyampaikan segala keluh kesah ku, kami berpacaran selama 7 tahun.

Sekarang beban ini seperti kutanggung sendiri, suami juga menjatah keuangan ku, mau belanja ikan sayur, ya dikasih untuk beberapa hari, tidak di beri untuk 1 bulan, padahal untuk rokok dia wajib ada, bahkan di stok di rumah, karena ada yang beri kredit rokok di tempat kerjaannya, bayar nya habis gajian. Bukan masalah kurangnya uang belanja atau keadaan ekonomi yang belum mapan sebenarnya yang jadi permasalahan ku, tapi ke egoisan dan kurang pengertian suamikulah yang membuat aku sangat sedih. Seandainya suamiku sedikit mengerti dan welcome dengan keluarga ku, tidak perhitungan. Apa yang bisa kuperbuat aku hanya bisa pasrah, biarlah mengalir seiring waktu berjalan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!