NovelToon NovelToon

Belenggu Cinta Pria Bayaran

BAB 1

“Dasar lemah … kupikir suhu, nyatanya cupu.”

Pria itu menghela napas kasar, sejak satu jam setelah perkenalan menyebalkan itu dia merelakan diri untuk menemani wanita ini menghibur diri. Niat hati ingin menikmati, nyatanya dia bagai tertimpa bencana kala pemilik surai indah ini mendadak ambruk dalam pelukannya

“Bawa aku,” racaunya tak jelas sembari menenggelamkan wajahnya di dada bidang pria tampan yang ia bayar mahal secara cash 12 jam lalu.

“Kemana? Hm?” Layaknya seorang pria memperlakukan wanitanya, tangan kekar itu menahan tubuh si wanita agar tidak jatuh ke lantai dan sudah jelas dia juga akan menjadi pusat perhatian nantinya.

“Kemanapun, surga jika bisa,” pintanya dengan mata terpejam, namun masih dapat terdengar jelas oleh pria itu meski perlu sedikit usaha.

Ck, kenapa juga wanita ini manis sekali. Aromanya benar-benar candu dan dia begitu familiar. Tak perlu pikir panjang, pria tampan itu membopong wanita merepotkan namun sangat menyedihkan itu dengan santainya. Tubuh mungil yang mungkin sekali banting tulangnya akan patah, pikir pria itu menarik sudut bibir.

Hendak pulang kemana, alamat wanita ini dia tidak tahu. Sekalipun dia mengetahui, sepertinya mengantarkan wanita ini kepada keluarganya dalam keadaan mabuk berat seperti ini sama halnya dengan bunuh diri.

Kanaya Alexandra, masih terbayang jelas dalam benaknya bagaimana wanita ini tiba-tiba nekat menawarnya dengan harga 10 juta cash hanya untuk menyamar menjadi kekasihnya untuk waktu dua jam saja. Hina sekali dia sampai menjual diri, pikir pria itu menarik sudut bibir.

“Dasar boddoh,” umpatnya memacu laju kendaraan, apa yang salah dengan penampilannya tadi pagi hingga Kanaya berani menawarnya begitu mudah.

Tak ia kira jika bayaran 10 juta ternyata seberat ini, memastikan wanita ini tidur dengan baik di hotel bintang lima yang tentu saja dia yang harus membayarnya.

“Kau membayarku untuk menjadi pengasuhmu malam ini, Nona?”

Pria itu bermonolog, karena sejak tadi Kanaya hanya meracau tanpa menjawab ucapannya walau sedikitpun. Yang ia tahu saat ini hanya bersama pria bayaran yang menguras gajinya satu bulan, sungguh sial sekali.

Mendapat tekanan dari pihak keluarga lantaran terlalu fokus dengan karirnya, padahal umur Kanaya belum setua itu. Heran juga sebenarnya kenapa para keluarganya menganggap Kanaya sepuh yang sudah peyot.

“Shiit! Berat juga ternyata,” keluh pria itu menyeka keringatnya, nyatanya wanita mungil itu berat juga karena sejak dari club memang kakinya tak pernah menyentuh lantai sedikitpun.

Masuk kamar hotel di jam segini, wanita mabuk dalam pelukan dan wajahnya secantik ini jelas saja membuat nalurinya hidup sejak tadi. Belum lagi kala jemari Kanaya mendorong tubuhnya hingga membentur tembok, walau sebenarnya bisa lepas dengan mudah, namun pria itu seakan enggan menjauh dan membiarkan Kanaya melakukan apa kehendaknya.

“Kamu ….”

Aroma alkohol menyeruak indera penciumannya, wanita ini justru tak lebih baik dari penghibur yang biasa ia temui. Sengaja tak membalas, pria itu hanya menerima begitu Kanaya meraih tengkuknya.

“Boleh juga,” tutur batin pria itu menikmati setiap sentuhan yang Kanaya lakukan, tak peduli dia mabuk atau sadar. Yang jelas, dia juga merindukan sentuhan wanita seperti ini.

“Dewasa maksud mas itu yang begini kan?”

Kembali meracau tak jelas, Kanaya kini mendorong tubuh pria itu kasar hingga terjerambab ke tempat tidur. Yang dibayar dalam kerja sama ini siapa sebenarnya, pria itu menarik sudut bibir, sejenak mengusap wajahnya kasar sembari menggigit sudut bibir.

“Come on baby, liar sekali.”

Gadis … ah tidak kalimat gadis rasanya terlalu muda untuk Kanaya. Pria itu menarik sudut bibir kala wanita itu mendekatinya. Rambut sudah kemana-mana, padahal belum apa-apa, pikir pria itu merasa sedikit heran yang membuat wanita itu lelah apa sebenarnya.

Kecantikan dengan kadar hampir sempurna dan seakan mengacaukan dunia pria itu. Mata Kanaya tak terbuka dengan sempurna, sama persis sepertinya bibirnya yang sejak tadi meracau tak karuan seakan menuntut prianya mengambil tindakan.

“Baiklah, sepertinya duniamu kacau sekali ya … akan kubawa ke surga yang kau minta.”

Dengan sekali gerakan tangan, posisi mereka sudah berubah dengan Kanaya yang berada dalam kungkungan pria itu. Sempat tak tega dan tak ingin melakukan lebih dalam lagi, akan tetapi nalurinya sebagai laki-laki mana bisa menolak hal semanis ini.

Hal tergila yang sama sekali tak ia duga, Ibrahim Mergantara sama sekali tak berpikir setelah sekian lama tak merasakan kehangatan setulus ini dia merasakan kembali.

-

.

.

.

Pria dewasa yang juga rindu akan belaian dipertemukan dengan wanita yang nampaknya menuntut belaian pula. Pas sekali, bagai kucing disuguhi ikan asin, mana mungkin Ibra menolak, belum lagi untuk melakukan semua ini dia dibayar cash tanpa proses tawar lebih dahulu.

Dalam keadaan yang tak sadar 100 persen, Kanaya terbawa buaian Ibra yang selembut memperlakukannya. Perasaan aneh yang sama sekali belum pernah dia rasakan sebelumnya, andai saja Kanaya dalam keadaan sadar, tentu dia akan sibuk memikirkan biaya tambahan atas apa yang ia dapat dari pria bayarannya.

“Ibra stop!! Ini bukan ranahmu,” teriak batin Ibra sesaat setelah menyadari wanita dalam pelukannya kini sudah sepolos bayi yang baru lahir.

Ibra susah payah mengatur napas, tidak!! Miliknya sudah sesak dan mangsa di hadapannya terlalu manis untuk dilepaskan begitu saja. Bukankah dirinya sesulit itu mencari wanita yang seperti ini? Lagipula, bukankah wanita ini yang meminta dia melakukannya, pikir Ibra menatap kagum tubuh polos Kanaya.

“Sialan! Kenapa harus meliuk-liuk setaan!!”

Mau gila rasanya, Ibra semakin panas saja. Wajahnya seakan memerah dan ubun-ubunnya seakan hendak meledak. Tapi bagaimana mungkin Ibra melawan prinsip yang biasa dia terapkan, melakukan hubungan dalam keadaan sadar, sama-sama mau dan pihak wanita yang memohon. Dan kini, bisa-bisanya prinsip itu seakan hilang dari dalam diri Ibra.

“Eeeuuunnngg,” lenguh Kanaya dan terdengar merdu di telinga Ibra, kenapa juga kau harus mabuk!! Ibra kesal bukan main.

“Tapi … bukankah kita sudah terlalu jauh untuk berhenti? Ada baiknya kita teruskan saja bagaimana?” Ibra berbisik dan menepis semua pikiran yang berusaha melawan gejolak batinnya, persetan dengan prinsip atau apapun itu, jika tidak dia lakukan mungkin pusingnya sampai lusa, pikir Ibra.

“Ehm, aku membayarmu mahal … tugasmu masih satu jam lagi wooey!!” teriak Kanaya dengan sisa suaranya, hampir tak mampu namun bagi Ibra ini adalah candu.

“Satu jam, benar katamu, aku harus melakukan tugas setelah kau membayarku bukan?” Ibra tersenyum miring dan kini kembali menenggelamkan wajahnya di sana.

“Naya,” panggil Ibra dengan suara serak yang kian berat sembari melempar kemejanya yang sejak tadi sudah terbuka.

Tbc

Hai selamat datang di karya baru❣️

BAB 2

Pakaiannya sudah melayang entah kemana, persis bayi baru lahir. Lenguhan Kanaya hanya karena sentuhan semata membuat Ibra curiga sebelumnya.

Menempatkan posisi dengan sebaik-baiknya, akan tidak lucu jika Ibra gagal melakukannya. Mana mau dia citra sebagai pria perkasa itu gagal dalam percintaan satu malam dengan wanita yang baru saja dikenalnya.

“Aku akan melakukannya, Naya,” ucapnya dengan suara serak tertahan yang dapat menjelaskan napsunya sudah berada dipuncak dan tidak menerima penguluran waktu lagi.

Sebenarnya tanpa izinpun akan dia lakukan, karena hendak berhenti ini sudah terlalu dalam dan Ibra tentu tidak akan mau. Malam ini dingin, sangat-sangat dingin lantaran diluar sana tengah hujan sebegitu derasnya. Hanya hujan, tanpa petir yang menakutkan.

Namun tidak dengan kedua insan ini, kedua insan yang baru saling mengenal nama sejak beberapa jam lalu justru tengah di situasi paling hangat dalam hidupnya. Berupaya menyerang inti Kanaya namun nyatanya tak semudah seperti yang biasa ia lakukan, semakin curiga namun gaiirah dalam jiwanya tak memiliki waktu untuk memikirkan hal itu lagi.

“Aaaarrrgghh,” jerit Kanaya tertahan, jemarinya menggenggam erat sprei sebagai pelarian rasa sakitnya, dalam pengaruh minuman dia tentu lupa mana daratan mana lautan.

Hingga, Ibra merasakan jika memang ada yang berbeda dengan Kanaya kala dirinya berhasil menerobos pertahanan Kanaya yang sejak tadi tidak dia pertahankan sebenarnya. Ibra menelan salivanya, terdiam sebentar baru kemudian memastikannya sesaat.

“Tunggu … dia perawan?” Ibra mengerutkan dahi, sesaat kemudian kembali melanjutkan lantaran rintihan Kanaya lagi-lagi terdengar halus ditelinganya.

Tidak salah lagi, Ibra merusak anak gadis orang. Ini bukan dirinya dan sejak dahulu Ibra memang sengaja menghindari melakukan hubungan dengan wanita polos yang belum terjamah seperti ini. Polos dari mana? Sejak tadi Kanaya yang justru memulainya, pikir Ibra tau mau berada di posisi salah.

“Dasar boddoh, kau memberikannya padaku cuma-cuma anak kecil,” umpat Ibra namun memberikan kecupan hangat demi memberikan ketenangan untuk Kanaya, walau sama sekali wanita itu tidak memberontak ataupun penolakan, akan tetapi dia cukup memahami sebagai pria.

Nasi sudah menjadi bubur, toh juga sudah terlanjur rusak dan mahkota yang seharusnya dijaga dengan sebaik-baiknya sudah Kanaya serahkan begitu saja. Dia yang meminta bahkan sengaja memancing Ibra untuk membuat dirinya terjebak dalam situasi ini.

“Aku menyakitimu?” tanya Ibra lembut menatap khawatir bola mata Kanaya yang kini tampak berkaca-kaca, bohong sekali jika Kanaya bilang tidak.

Kanaya menggeleng, entah kenapa semua yang Ibra berikan hanya membuat batinnya kian tenang. Seakan jiwanya menemukan tempat pulang, tanpa ia sadari bahwa sebenarnya tenang yang ia maksud kini adalah sementara belaka.

Kembali menguasai permainan, tak butuh waktu lama dan tak butuh waktu lama bagi Ibra untuk merenungi status Kanaya yang nyatanya belum terjamah. Baginya saat kini keduanya saling membutuhkan, Ibra butuh pelampiasan sementara Kanaya butuh ketenangan.

Sempat terhenti sesaat, hanya sesaat bahkan tak sampai lima menit. Kini, Ibra seakan baik-baik saja dan tak berpikir bagaimana dirinya setelah ini.

Lenguhan keduanya bersahutan berpadu dengan indahnya gemericik hujan di luar sana. Lantai 20 kamar 202, tempat keramat yang dipilih Ibra sebagai peristirahatan wanita yang menyewanya justru menjadi saksinya bercinta.

Pertemuan yang mereka jalani terlanjur dalam dan bahkan kelewatan. Bagaimana murkanya kedua orangtua dan kakak-kakaknya jika mereka mengetahui tingkah Kanaya. Wanita keras kepala yang selalu menganggap dirinya mampu berdiri di kaki sendiri tanpa butuh sandaran laki-laki setelah percintaannya kandas hanya perkara enggan bersentuhan.

Kanaya tengah sibuk mengecap surga dunia yang Ibra berikan malam ini, sudah kesekian kali mencapai puncak dan sepertinya dirinya bukan mabuk minuman lagi, melainkan mabuk Ibra.

Tak pernah berpikir dia akan bertindak sejauh ini, Kanaya yang biasanya dicolek saja auto jungkir balik kini justru dibuat diam tak berkutik begitu Ibra membelenggunya dalam percintaan dadakan. Matanya sudah tak mampu lagi membalas tatapan lekat Ibra padanya, sejak tadi semua yang Ibra lakukan Kanaya benar-benar tak kuasa menolaknya.

Deru napas kian menggebu, pria itu kian menggila sesaat sebelum akhirnya tubuh tegapnya ambruk.

Dengan napas yang masih belum sebaik itu, Ibra berpindah di sisi Kanaya dan menarik selimut hingga dada wanita itu, untuk apa sebenarnya dia menyelimuti wanita itu, toh sejak tadi tersaji tanpa penutup sama sekali.

“Kau baik-baik saja?”

Ibra bertanya setelah sepersekian detik fokus menatap langit, penyesalan itu tiba-tiba saja hadir walau sejak tadi yang ia lakukan hanya berperang prihal rasa. Pria itu menoleh dan beralih menatap bidadari bodoh di sebelahnya, dan yang dia dapati hanya dengkuran Kanaya yang seakan baik-baik saja padahal dunianya hancur beberapa saat yang lalu.

“Dia masih suci ternyata.”

Ibra tertawa sumbang, pria itu menyeka keringat Kanaya yang membasah hingga membuat anak rambutnya menempel di keningnya. Kanaya terlalu cantik untuk dikatakan nakal, dan apa yang dia lakukan sebelumnya seakan pembalasan dendam demi menunjukkan jika dirinya memang sudah dewasa.

Suci? Suci apanya, mungkin bagian sananya saja yang suci. Itupun dulu, beberapa jam lalu sebelum Ibra merenggutnya. Pria itu tidak tahu bagaimana sintingnya otak Kanaya walau dirinya anti terhadap hubungan yang seperti ini sebelumnya.

Beberapa kali menjalani hubungan, selalu berakhir kandas manakala pasangannya justru meminta hal yang berhubungan dengan ke arah sana. Jangankan adegan ranjang, perihal sentuhan saja Kanaya rela jika harus putus demi mempertahankan diri untuk suaminya kelak.

Berbagi tempat tidur, di bawah atap dan bahkan selimut yang sama. Dia yang begini sepertinya memang karena tengah teler, andai kata kesadarannya pulih dan kekuatannya kembali, mungkin Kanaya akan lari terbirit-birit dan mengutuk Ibra dengan sejuta cacian menyakitkan.

“Cari uang dengan cara seperti ini melelahkan ternyata,” tutur Ibra lagi-lagi mengulas senyum, rasanya seperti mimpi dia kembali tidur dengan memeluk soerang wanita di sisinya.

Tenggelam dalam balutan malam yang tenang, mata Ibra perlahan terpejam meski dengan bibir yang masih senyam-senyum seakan baru saja menang undian. Kecupan keberapa kini ia berikan. Tak khawatirkah Ibra jika nanti justru dirinya yang harus mencari Kanaya setelah kejadian ini.

Persetan dengan esok pagi, yang jelas malam ini mereka adalah pasangan paling menikmati yang tengah lupa diri. Sebenarnya Ibra sadar, tapi lawan mainnya setengah sadar hingga dia memutuskan menolak sadar.

Dia hanya pria dewasa yang juga rindu akan perlakuan tulus seorang wanita, dan kali ini dia mendapatkannya dengan mudah, apa tidak berdosa jika Ibra menganggap ini berkah? Sialan, singkirkan otak udangmu itu Ibra.

❣️

BAB 3

“Sssshhh, ah kepalaku.”

Pagi-pagi sudah merintih, Kanaya membuka matanya pelan-pelan. Berusaha mengenali dimana dirinya kini berada. Tubuhnya kenapa selemas ini, rasanya tulang Kanaya tercabut semua. Belum menguasai keadaan, Kanaya terdiam sejenak begitu sadar ini bukan kamarnya. Melainkan …

“Hotel? Tunggu … kenap-“

“Sudah bangun?”

Suara berat itu menyapa, Kanaya menatap ke arah suara dan wanita itu menelan salivanya pahit kala menyadari pria dengan kemeja putih itu menghampirinya dari arah kamar mandi. Makin panik Kanaya kala pemilik senyum manis itu justru duduk di tepian ranjang. Secepat mungkin Kanaya bersingut hingga ujung ranjang dan menarik selimut hingga leher.

“Menggemaskan sekali, kau bisa menatapku begitu setelah membuatku lelah tadi malam?” tanyanya sembari tertawa sumbang dengan gelagat yang bisa dipastikan pria cabul, pikir Kanaya.

“M-maksudmu apa? Kenapa bi-bisa kau masih di sini? Bukankah seharusnya tadi malam tugasmu sudah selesai?” tanya Kanaya bingung, jujur saja kepalanya masih terasa sedikit sakit, dan pria ini mengatakan hal konyol yang justru membuat Kanaya mual seketika.

“Ah nampaknya kau benar-benar mabuk rupanya, sayang sekali … ternyata hanya aku yang akan mengingatnya.” Sumpah, senyum tipis setipis kumisnya itu kenapa membuat Kanaya bergidik ngeri, dia benar-benar Ibra yang kemarin bukan? batin Kanaya heran.

“APA MAKSUDMU?!!” sentak Kanaya panik, menyadari tubuhnya persis bayi baru lahir saja dia sudah sepanik itu, belum lagi senyum tipis Ibra yang kini membuatnya takut.

“Aww seram,” ejeknya memasang wajah takut namun itu tidak lucu sama sekali bagi Kanaya, wanita itu sebal bukan main begitu bayangan hal-hal yang terjadi tadi malam mulai menghantui pikirannya.

“T-tunggu … k-kita hanya tidur kan? Kau tidak melakukan apapun terhadapku … iya, Kan?” Kanaya memastikan walau sejak tadi jantungnya seakan runtuh berhamburan.

“Hm menurutmu? Penampilanmu begitu … lehermu, dadamu dan-“

“STOP!! Berhenti membuatku semakin gila,” titah Kanaya berusaha tegar padahal jiwanya luar biasa hancur.

Bagaimana nantinya, bisa jadi dia jadi bulan-bulanan kakaknya jika sampai hal sehina ini sampai ke telinga mereka. Sejuta kali, Kanaya kembali menyesali keputusannya untuk menyewa seorang pria hanya demi menutup mulut pihak keluarganya sementara.

Ibra tak berkutik, dia menatap datar Kanaya yang sedang berusaha menguasai dirinya. Tak bisa dipungkiri Kanaya sesedih itu karena pada kenyataannya, wanita itu tak bisa menutupi air matanya di depan Ibra. Dia menangis, namun sepertinya berusaha sekuat mungkin untuk tak terlihat kacau.

“Kanaya, aku akan ….”

“STOP, IBRA!!! AKU TIDAK MEMINTAMU UNTUK BICARA,” teriaknya cukup membuat gendang telinga Ibra bergetar, kenapa mulut wanita ini lebih besar dari pada toa masjid, pikir Ibra berusaha menahan kesal.

Baru kali ini ada seseorang berani membentaknya, dan lebih menyebalkan lagi yang membentaknya adalah wanita.

“Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa … toh kita cuma melakukannya sekali bukan?” Sorot tajam menatap getir Ibra yang sudah duduk manis di tepi ranjang.

Nampaknya dia mulai sedikit tenang, Kanaya merapikan rambut tebal yang tadi malam begitu indah di mata Ibra.

“Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini adalah bagian dari pekerjaanku … tapi perlu kau ingat, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku.” Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting ini bukan masalah.

Kanaya tak menjawab setelah itu, dia memalingkan muka dan berusaha turun dari ranjang sialan itu dengan selimut untuk melindungi tubuhnya dari tatapan Ibra. Pria itu hanya berdecih menatap remeh Kanaya yang kini memunguti pakaiannya. Tadi malam dia bahkan sampai melihat sampai ke inti-intinya, bahkan tanda lahir Kanaya Ibra sudah mengetahuinya.

“Ya Tuhan,” keluh Kanaya menatap sendu noda merah di sprei tempatnya tidur, memilukan sekali bukan? Bertahun-tahun ia jaga, bahkan bersepeda saja dia enggan namun kini justru hancur oleh pria yang dia hanya kenal namanya saja.

Berlalu dengan langkah sama sekali tak sopan, Kanaya menuju kamar mandi dan sama sekali dia tak punya pikiran untuk mandi. Secepat mungkin dia harus pergi, kalaupun bukan pulang ke rumah, Kanaya akan pergi ke hotel lain demi menyelamatkan diri dari pria gila yang sudah ia bayar mahal namun justru menghancurkannya dalam satu kali waktu.

-

.

.

.

“Gimana bisa sebanyak ini?”

Kanaya menatap leher dan dadanya putus asa, gaun yang ia kenakan nyatanya tak berhasil menutup tanda kemerahan yang Ibra hadiahkan. Menutup apa adanya, Kanaya mengurai rambutnya agar bercak kemerahan itu dapat terselematakan dengan rambutnya, namun sialnya tak tertolong juga.

“Lama sekali, apa yang kau lakukan di dalam sana?”

Baru saja keluar tapi Ibra sudah menuntutnya dengan pertanyaan sedemikian rupa, dan dia sengaja berdiri di pintu menanti Kanaya keluar dari sana. Sepertinya benar kekhawatiran Lorenza perihal pria yang Kanaya pilih kemarin, nyatanya pria bayarannya selancang ini.

“Bukan urusanmu, pergilah … aku tidak membutuhkanmu lagi,” tutur Kanaya melewati Ibra begitu saja, meraih sepatu yang tinggal sebelah dan sebelahnya tentu saja di mobil Ibra atau bahkan di club malam tempatnya mengawali lingkaran setan tadi malam.

“Tapi kita belum selesai, Naya.”

“Naya? Kau mengenalku sedekat apa sampai berani memanggilku Naya?” sergah Kanaya menatap tajam Ibra yang kini menatapnya datar tanpa ekspresi, berbeda dengan sebelumnya yang selalu senyam senyum tak jelas, kini Ibra justru menunjukkan sisi lain dalam dirinya.

“Sedekat apa? Calon anakku ada di rahimmu, kau masih bertanya?”

Idih, percaya diri sekali dia. Baru juga beberapa jam lalu, mana mungkin sudah berwujud, pikir Kanaya menganggap Ibra pria pembual sejati.

“Berhenti membahas hal itu, sudah kukatakan lupakan … aku membayarmu hanya untuk jadi kekasihku tadi malam, bukan ….” Sialan, Kanaya hampir saja tak bisa mengontrol mulutnya, hampir saja membahas hal kotor yang nantinya justru membuat dirinya terjebak dalam kalimat yang Kanaya buat sendiri.

“Bukan apa? Kau yang merayuku tadi malam … bahkan bisa dikatakan kau memaksaku, perlu aku perlihatkan bagaimana ganasnya dirimu, Naya?” tanya Ibra terdengar seperti ancaman, belum lagi kala dia merogoh saku celananya. Ponsel itu memang tak memperlihatkan apapun, akan tetapi Kanaya memilih untuk tak terpancing dengan kalimat Ibra.

“Terserah.” Kanaya berlalu keluar, secepat mungkin Ibra larang karena batinnya justru tak rela Kanaya meninggalkannya saat ini.

“Tunggu, kau terlihat kacau … setidaknya tutupi tanda kepemilikanku ini.” Memberikan jasnya untuk menutupi semua aib dalam tubuh Kanaya, wanita itu terdiam sejenak begitu mendapat perlakuan manis Ibra.

Jas yang membuat tubuhnya kini tenggelam, namun setidaknya Kanaya dalam menyembunyikan apa yang tak layak dilihat banyak orang dalam dirinya. Pria itu menatap sendu Kanaya yang mulai menjauh, semakin jauh dan batinnya semakin rapuh.

“Kan … Kanaya,” lirihnya memukul angin, menyesal sekali rasanya tak mampu menahan wanita itu pergi dari sisinya.

Rahang Ibra mengeras, gigi-giginya bergemelutuk dan tangannya mengepal sembari menatap tajam tanpa arah. Siapapun yang melihatnya saat ini tentu saja ciut bukan main. Kekecewaan, sedih dan amarah menjadi satu menguasai Ibra saat ini.

“Kau mau pergi kemana lagi, Naya.”

Matanya kian memerah, sesaat setelah itu kembali masuk ke kamar hotel dan dia bermaksud untuk membawa pergi sprei yang menjadi saksi kesucian Kanaya yang ia renggut tanpa diduga. Terdengar gila, namun terserah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!