“Hyeong, ppalli!(Kak{pengutara laki-laki kepada laki-laki}, cepat!)” teriak seorang anak laki-laki berjaket merah.
“Seung Hoon~a, jamkkanman!(Seung Hoon, tunggu sebentar!)” teriak anak laki-laki berjaket biru yang berlari mengejarnya.
“Ya, Lee Seung Woon!(Hei, Lee Seung Woon!)” bentak Seung Hoon yang di liputi rasa kesal sesudah menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang .
Aku tidak suka melakukan hal yang sentimental, sekalipun untuk dua Kakak perempuanku. Tetapi, pengecualian bagi seorang bernama 'Lee Seung Woon', yang tak lain adalah Kakak kembarku. Sosok yang selalu bisa menggerakkanku, walau itu adalah hal yang sangat kubenci. Seperti sekarang, dia berhasil buatku menuruni lagi jalan ini setibanya di puncak tanjakan…
“Pegang ini!” bentak Seung Hoon seraya mengulurkan tangan kanannya.
Dengan senyum manis, Seung Woon segera menyambut uluran tersebut dan kembali melangkah sambil bergandengan.
“Sudah,” ujar Seung Hoon sinis dan langsung menghempaskan tangannya setiba mereka di puncak.
Seung Woon yang tampak sangat terbiasa dengan sikap kasar itu hanya tersenyum penuh arti dan sedetik kemudian, dia berlari meninggalkan Seung Hoon yang sontak terkejut karenanya.
“Ya, Lee Seung Hoon, ppalli!(Hei, Lee Seung Hoon, cepat!) Hahahahahaha...” teriak Seung Woon sembari melambaikan tangan dan tertawa riang dari kejauhan.
“Ya!” teriak Seung Hoon yang lalu berlari mengejarnya.
Beberapa saat, keduanya tiba di Gedung Olahraga Pusat Kota Busan dan masuk setelah menyerahkan tiket pertandingan Taekwondo yang akan mereka saksikan siang itu.
“Kita beruntung dapat tempat duduk dengan zona nyaman. Di sini semuanya bisa terlihat jelas,” ucap Seung Woon riang dan duduk di salah satu kursi penonton.
“Hmm,” sahut Seung Hoon yang duduk di sampingnya dengan wajah datar.
Di antara keramaian itu, Seung Woon yang kini dalam posisi setengah berdiri pun mulai mencari sosok di tengah arena pertandingan, tanpa mempedulikan Seung Hoon yang masih duduk tenang dengan kedua tangan di saku jaketnya dan memandang datar ke arah yang sama.
“Aku rasa dia belum bertanding,” ujar Seung Woon yang masih memindai sekitarnya.
Dengan tatap dingin dari balik mata kecil yang sempat ikut memperhatikan setiap sudut arena, Seung Hoon tiba-tiba menarik kuat ujung jaket kembarannya yang seketika terduduk dengan sekali sentakan. Semua ia lakukan setelah beberapa saat memandangi sosok gadis berseragam Taekwondo yang baru saja memasuki tepi kanan arena bersama 6 pria berseragam olahraga.
“Waeyo?(Ada apa?)” tanya Seung Woon yang menatap heran padanya.
“Kau mencarinya?” ujar Seung Hoon sambil mengisyaratkan agar dia mengalihkan pandangan ke arah yang sama.
“Oh, Aeka? Itu Yoon Aeka!” seru Seung Woon ketika melihat jelas sosok gadis berkucir kuda tersebut.
Kening Seung Hoon berkerut tatkala gadis bernama 'Yoon Aeka' itu tanpa sengaja menatap tepat ke matanya. Hanya beberapa detik namun, tatapan datarnya mampu membuat dia terpaku tanpa sepengetahuan Seung Woon yang masih bertepuk senang di sisinya.
“Pertandingan babak pertama segera di mulai, Yoon Aeka akan melawan juara nasional 3 kali berturut-turut. Gadis super kebanggan Busan, Yang Han Ah.”
Suara komentator bergema hingga menyebabkan gemuruh sorakan dari seluruh penggemar Taekwondo. Tidak terkecuali, Seung Woon yang terlihat lebih bersemangat dan buat Sang Adik tersadar dari lamunannya.
“Aku akan berikan Bunga Anggrek Langka milik Ibu kalau Aeka menang!” teriak Seung Woon ketika pandangannya teralih sesaat pada Seung Hoon.
“Kau akan dibunuh masyarakat Busan jika mereka tahu kau mendukung wilayah Seoul,” sindir Seung Hoon datar.
“Eiii, masyarakat Busan tidak sejahat itu. Kita masih tinggal di negara yang sama,” cibir Seung Woon yang lalu tersenyum riang, “Yoon Aeka, semangat!” teriaknya.
Sementara, Seung Hoon mulai sibuk dengan sebuah buku kecil yang ia keluarkan dari saku jaket dan sesekali pandangannya tertuju ke arena. Seung Woon yang sudah kembali dalam dunianya juga terus bersorak seperti penonton lain saat jagoan dari masing-masing kubu melakukan pukulan.
“Andweee…(Tidaaak...)”
Lama, sampai tiba-tiba gemuruh kecewa penonton, termasuk Seung Woon yang kemudian terduduk lemas dan membuat pandangan Seung Hoon yang sempat fokus mencatat seketika teralih.
“Waeyo?(Kenapa?)” tanyanya datar.
Tetapi, Seung Woon yang masih larut pada masalah di arena memilih untuk mengabaikannya dan kembali berdiri sembari berteriak kesal bersama para pendukung wilayah Seoul.
“Kalian tidak bisa melakukannya! Dia bahkan belum melakukan persiapan, itu curang!” teriak Seung Woon meluapkan semua kekesalannya.
Diselimuti rasa penasaran yang besar, Seung Hoon pun memutuskan untuk ikut berdiri karena beberapa penonton menghalangi pandangannya. Tatapnya tertuju pada dua gadis yang berdiri di tengah arena. Gadis berambut pendek itu terlihat menatap tajam Aeka yang tampak sangat letih dengan darah mengalir di sisi bibirnya.
“Yoon Aeka, dia kalah di babak pertama?” tanya Seung Hoon pelan.
Dengan rasa kesal masih menyelimuti, akhirnya pandangan Seung Woon pun teralih pada Sang Adik yang sudah menatap dia lebih dulu.
“Han Ah curang, dia menyerang sebelum Aeka sempat bersiap,” omelnya yang lalu fokus ke arena lagi, “hei, bisakah pertandingan ini jadi lebih adil! Itu curang!” teriaknya lebih keras.
Kemarahan Seung Woon yang selalu bisa terlihat jelas olehnya, otomatis buat dia memilih untuk diam, sebelum kemudian memandangi lagi dua petarung yang masih bertatapan penuh rasa benci dan seakan siap saling membunuh detik itu juga.
“Break! Hasil keputusan juri mutlak, Han Ah memenangkan babak pertama.”
Suara komentator menggema bersama seru kecewa para pendukung wilayah Seoul yang berangsur terduduk lemas dan tidak terkecuali, Seung Woon. Sedangkan, pandangan Seung Hoon tetap terarah pada Aeka yang tengah berjalan lunglai ke sisi arena sesudah ia kembali duduk.
“Aeka pasti sedih dengan keputusan juri,” tegur Seung Woon pelan.
Teguran tanpa peringatan itu buatnya yang sempat terdiam dalam lamunan pun tersentak dan lalu menatap lekat sorot iba Seung Woon yang begitu mengagumi sosok Yoon Aeka tersebut.
“Bagaimana bisa tertinggal sampai 15 poin?”
Pertanyaannya terlempar usai melihat papan skor di atas tengah gedung pun buat Seung Woon menghela napas dan ikut mengalihkan pandangan ke arah yang sama.
“Harusnya tidak sejauh itu. Han Ah jelas melakukan kecurangan,” ujar Seung Woon yang diliputi rasa kecewa seraya bersandar lemas pada kursinya.
“Apa kau sangat menyukainya?” tanya Seung Hoon datar sesudah mengalihkan pandangan padanya, “kau akan berakhir jadi pengkhianat dan tidak menyukainya lagi jika dia kalah. Apa kita harus duduk di kubu Yang Han Ah mulai sekarang?” tambahnya polos.
Sindiran itu membuat Seung Woon seketika melirik sinis, kemudian merampas buku catatan kecil Seung Hoon dan memukul keras puncak kepalanya.
“Akh!” pekik Seung Hoon seraya mengusap-usap kepalanya, “ya!” teriaknya setelah membalas tatapan Seung Woon yang lebih tajam.
“Aku hanya kecewa pada juri dan tidak pernah sekalipun ingin berkhianat pada Aeka,” omel Seung Woon sambil melototkan mata sipitnya dan lalu mengalihkan pandangan pada Aeka yang duduk di tepi arena.
Walaupun Seung Woon memiliki sorot yang lebih 'kejam' dari Seung Hoon. Namun, tatapan lembut itu terpancar jelas dari kedua matanya ketika memandang Aeka yang kini sedang menerima arahan dari Sang Pelatih.
“Sejak awal, aku sudah sangat menyukainya. Walau hanya bisa menyaksikan dari kursi penonton, aku tetap merasa bahagia,” ucap Seung Woon tulus.
“Dia bukan tipemu,” sindir Seung Hoon dengan wajah datarnya.
PLAK!
“Aargh!”
Tanpa peringatan kali ini, buku kecil yang masih di pegang Seung Woon pun kembali terhempas lebih keras dari sebelumnya dan buat dia sontak memekik sambil mengusap-usap dahinya yang memerah.
Dan karena merasa sudah di siksa tanpa ampun oleh Sang Kakak, Seung Hoon yang merasa sangat kesal pun ingin membalas dan segera melayangkan pukulan. Tapi, tanpa perlu mengalihkan pandangan dari sosok Aeka, Seung Woon yang lebih sigap langsung menangkap pergelangan tangannya.
“Jangan coba-coba memukulku kalau kau belum bisa berenang dengan baik. Apa kau ingin kulempar ke Laut Haeundae sekarang juga?” ancam Seung Woon setelah menatap tajam Adiknya.
“Y, ya!” teriak Seung Hoon yang sempat merasa takut karena tindakannya.
“Kau takut?” tanya Seung Woon sembari menahan senyum geli, “hahahaha…” tawanya pecah bersamaan dengan genggaman yang melemah dan buat Seung Hoon langsung menghempaskan tangannya.
“Babak kedua akan kita mulai, para penonton dimohon tenang dan kepada kedua petarung dipersilahkan kembali memasuki arena.”
Tawa Seung Woon seketika mereda saat terdengar gema komentator dan kali ini, Seung Hoon pun ikut menyaksikan jalannya pertandingan.
“Seung Woon?” tegur Seung Hoon tanpa mengalihkan pandangan dari tengah arena.
“Hmm?” sahut Seung Woon yang juga tidak mengalihkan pandangan.
“Kita taruhan, siapa yang bisa mendapatkan Aeka harus mentraktir daging sapi korea. Taruhannya dengan tabungan kita. Jadi, jangan sampai ketahuan Ayah, Ibu juga Kak Saran dan Kak Soul,” ujar Seung Hoon sambil menyaksikan pertandingan yang telah di mulai.
Seung Woon yang bingung, akhirnya terpaksa mengalihkan pandangan pada Adiknya.
“Taruhan? Maksudmu jadi pacar?” tanya Seung Woon dengan kening berkerut.
Senyum sinis mengembang di wajah Seung Hoon usai mendengar pertanyaan Sang Kakak, sebelum kemudian membalas tatapnya penuh arti dan mengangguk dengan sangat bersemangat.
“Siapapun yang bisa menjadi pacarnya harus mentraktir daging sapi korea,” ujarnya.
“Jadi, maksudmu kita berdua harus mendekatinya?” tanya Seung Woon lagi.
“Binggo!" seru Seung Hoon, “tapi, taruhannya akan lebih seru kalau...”
“Kalau apa?” tanya Seung Woon yang kembali mengerutkan keningnya.
“Taruhannya akan lebih seru kalau dia tidak tahu tentang kita. Dengan kata lain, kita adakan undian untuk menentukan siapa yang lebih dulu menemuinya. Dan karena aku ingin permainan ini juga adil untukmu yang sangat menyukainya jadi, kita gunakan saja namamu. Bagaimana?” jelas Seung Hoon dengan wajah semringah yang belum sekalipun ia tunjukkan selama mereka bersama hari itu.
“Aku pikir bukan ide buruk, setidaknya itu akan membantuku agar bisa dekat dengannya,” ujar Seung Woon setelah terdiam sejenak untuk mencerna semua penjelasan Sang Adik yang kini mengangguk-angguk pelan bersama perasaan senang menyelimuti, “tapi, bagaimana kita memutuskan pemenangnya jika yang menemui dia hanya 'Lee Seung Woon'?” tanyanya yang lagi-lagi diliputi kebingungan dan buat Seung Hoon menjentikkan jarinya penuh semangat.
“Gunakan karakter masing-masing dan cukup jadi dirimu sendiri.”
“Apa…dia tidak curiga?” tanya Seung Woon yang sekarang merasa ragu.
“Kau cerdas, Lee Seung Woon. Aku yakin, tidak terlalu sulit menangani gadis sepertinya,” ujar Seung Hoon berusaha meyakinkan.
Seung Woon yang masih ragu pun kembali terdiam beberapa saat sampai Seung Hoon menepuk bahunya dan buat dia menatap lekat sosok yang tersenyum renyah padanya.
“Eiii, aku yakin dia akan memilihmu jadi, untuk apa kau khawatirkan hal yang sudah pasti. Kita hanya ingin membuat ini jadi lebih seru sebelum masing-masing mendapatkan hadiah besar,” bujuk Seung Hoon seraya merangkulnya.
Seung Woon terdiam untuk kesekian kalinya selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia tersenyum sipu ketika kembali memandangi Aeka yang masih bertanding di tengah arena. Dia lalu mengangguk pelan dan melakukan hi five bersama Seung Hoon.
TAP! TAP! TAP!
Terdengar langkah kaki berlari menuruni tanjakan jalan di salah satu komplek pinggiran Kota Busan.
"Lee Seung Woon, kau tidak mampir? Bibi sudah siapkan Tonik Jahe dan Ginseng untuk kalian!” tegur seorang wanita paruh baya ketika seorang anak laki-laki melintas di depan warungnya.
"Aku Lee Seung Hoon, Bi! Nanti aku ambil!” teriak Seung Hoon yang sempat berlari mundur dan kembali berbalik sembari melambai sesaat.
"Oh! Aku pikir Seung Woon. Tidak biasanya Seung Hoon seceria itu,” ujar wanita tersebut dengan kening berkerut sambil memandangi punggungnya yang sudah berlari cukup jauh.
Sementara, di halaman belakang gedung asrama atlet, seorang gadis yang tak lain adalah Yoon Aeka, terlihat mendorong pelan ayunan yang ia duduki dan memandang kosong pasir yang sedikit mengotori sepatunya.
Bersamaan dengan Seung Hoon yang baru tiba di sisi lain gedung tampak berusaha menghentikan laju larinya dan langsung berpegangan pada salah satu tiang bangunan karena hampir jatuh di lantai keramik yang licin.
"Hah! Hah! Hah! Kenapa tadi aku keluarkan kertas kalau sudah tahu Seung Woon tidak bisa 'menekuk jari' dengan baik? Dia menggumpal semua jarinya jadi batu sempurna dan buatku harus menemuinya lebih dulu,” omel Seung Hoon di sela napasnya yang tersengal.
Seung Hoon terlihat jelas memaksakan diri untuk pulih dengan tangan kanan memegangi dada yang berdebar sangat kencang pun, akhirnya menyerah dan merosot ke lantai. Dia bersandar di tiang bangunan dan memejam juga menjulurkan lidah sebab panas yang baru ia rasakan mulai menjalari seluruh tubuhnya setelah berlari cukup lama.
"Hah, hah. Baru aku tahu, untuk bernapas saja bisa sesulit ini. Glek! Hah, hah, hah,” kembali Seung Hoon berucap dengan napas yang semakin terdengar lelah, “aku bahkan belum memulainya dan Tuhan sudah menghukumku. Hah, hah, hah. Glek!” lagi, ia meneguk ludah kuat setelah berhasil mengomel untuk kesekian kali, “hah, hah. Aku hanya anak SMP berumur 12 tahun yang ingin makan daging sapi korea. Tuhan, berbaik hatilah padaku sedikit,” tambahnya memelas.
"Kau sedang apa?”
Teguran itu sontak buat dia membuka mata dan berdiri. Ia hanya bisa terpaku tatkala sosok pria tinggi berbadan atletis tersebut menatapnya curiga.
"A, aku, penggema...oh! Teman. Iya, aku teman Yoon Aeka,” sahut Seung Hoon ketika hampir mengucapkan kalimat yang salah.
"Kau benar temannya?” tanya Sang Pria dengan tatap yang semakin dipenuhi kecurigaan.
"I, iya, aku temannya,” ujar Seung Hoon setengah berteriak karena rasa gugupnya.
Si Pria yang sempat memicingkan kedua matanya itu lalu berbalik dan melangkah pergi.
"Ikut aku!” perintahnya sebelum melangkah lebih jauh.
Tidak perlu dua kali untuk Seung Hoon memahami maksud Sang Pria yang akan menuntunnya pada Yoon Aeka. Hanya butuh beberapa menit dan mereka bisa melihat Aeka yang masih tertunduk lesu di ayunan. Keduanya melangkah dalam diam menghampiri dia yang kemudian menyusuri sosok Sang Pemilik Sepatu.
"Joon Shin Won, ada apa?”
Dia bertanya datar sesudah mengetahui pria yang sekarang berdiri di hadapannya.
"Akh!”
Kini, dia memekik setelah pria bernama 'Joon Shin Won' tersebut menjentik dahinya pelan.
"Kau mau mati?” omel Shin Won sembari melototkan mata penuh arti.
"Aku sedang benci padamu hari in…akh!” lagi, ia memekik ketika Shin Won menjentik dahinya lebih keras.
"Ada 'teman' yang ingin menemuimu,” ujar Shin Won tanpa peduli pada Aeka sempat meliriknya sinis.
Seung Hoon yang sempat berdiri di belakang Shin Won pun bergeser dan menampakkan diri. Dengan ragu ia tersenyum sambil melambai pada Aeka yang hanya memandangnya datar.
"Kalau bukan, aku akan jauhkan dia darimu sekarang,” tawar Shin Won sesudah Aeka kembali melihatnya.
Seolah sangat mengerti arti dari tatapan Aeka, dia langsung menggenggam erat pergelangan tangan Seung Hoon yang seketika merasa sangat ketakutan.
"A, aku...”
"Tinggalkan aku bersamanya,” perintah Aeka usai memperhatikan mereka sesaat.
"Tapi, bagaimana bisa dapat teman, jika kau hanya seminggu di sini setelah pertandingan berakh...”
"Dia teman sepupuku,” sahut Aeka yang sekarang memandangi sebuah pohon besar di seberang jalan sambil mendorong pelan ayunannya.
"Baik. Katakan padaku kalau anak ini macam-macam padamu. Jadi, langsung bi...”
"Aku petarung kelas berat yang memegang sabuk hitam dan tahu pasti harus seperti apa,” Aeka lagi-lagi menyahut datar dan seolah tidak ingin memberi kesempatan pada Shin Won yang memang selalu memberikan perhatian lebih untuknya.
Reaksi Aeka yang terlihat sangat tidak acuh hari ini pun buatnya mengalah dan melepaskan genggamannya. Dia tersenyum lembut seraya menepuk pelan pundak kiri Aeka.
"Ini belum berakhir, kau tetap pemenang. Jadi, jangan terlalu memikirkan pertandingan kemarin,” ucapnya tulus dan lalu memandang Seung Hoon, “aku akan patahkan tulangmu kalau berani menyentuh ujung rambutnya,” ancamnya kemudian.
Seung Hoon hanya bisa meneguk ludah dan terpaku ketika Shin Won menepuk keras pundak kanannya.
"Kau teman atau bukan, cobalah menghiburnya. Dia sangat terpukul usai pertandingan kemarin.”
Kemudian, ia tersenyum ramah sebelum akhirnya melangkah pergi.
"Kau siapa? Mau apa?” tegur Aeka datar tanpa ada niatan untuk mengalihkan pandangan.
Seung Hoon tersenyum dan bergegas mengulurkan tangan kanannya.
"Aku Lee Seung Woon, murid SMP Haeundae tingkat pertama dan sudah empat kali menonton pertandinganmu. Kau sangat hebat, tidak semua gadis bisa sepertimu. Aku pendukung setiamu dan berharap kau mau jadi te...”
Acara pengenalan diri Seung Hoon yang sangat bersemangat itu harus terhenti saat Aeka melihat tangannya dan lalu memandang tepat ke wajahnya.
"Jangan pernah salah kira, aku hanya menatap dahimu. Aku benci menatap mata orang lain karena akan terlihat seperti pembohong,” ucap Aeka datar.
Seung Hoon mengerjap seraya menarik uluran tangan setelah memahami tatap datar Aeka yang memerintah untuk duduk di sampingnya. Selama beberapa saat, Aeka diam dan tidak sedikitpun peduli padanya yang hanya bisa tertunduk dengan gelisah.
"Seung Woon, kenapa kau sangat bodoh dalam permainan kertas, gunting, batu?” bisiknya kesal.
"Apa yang kau inginkan?” tegur Aeka tiba-tiba.
Jantung Seung Hoon sontak berdebar kencang dan buat pandangannya langsung teralih pada Aeka yang sudah kembali memandangi pohon besar di seberang jalan.
"A, aku hanya ingin menjadi temanmu,” sahut Seung Hoon gugup.
Dengan tatapan yang tidak berubah, Aeka lagi-lagi diam usai mendengar jawaban Seung Hoon yang mulai memperhatikan dirinya.
"Jangan melihat seperti itu. Kalau hanya ingin merendahkanku, kau bisa pergi sekarang.”
Sebab tatapan dalam selama beberapa detik itu di sadari oleh Aeka. Otomatis, teguran dinginnya kembali membuat jantung Seung Hoon berdebar, bahkan lebih kencang.
"Ti, tidak ada. Oh! Tunggu sebentar,” sahut Seung Hoon yang bergegas mengeluarkan sebuah mp3 kecil dari saku jaketnya.
Ia segera memasangkan earphone di telinga Aeka setelah turun dari ayunan dan berjongkok di depannya.
"Mp3 ini hadiah ulang tahun dari Pamanku dua tahun lalu. Di dalamnya ada karangan lagu yang kunyanyikan. Semoga kau suka,” jelas Seung Hoon dan tampak sangat bersemangat.
Aeka memilih untuk tetap bungkam dan biarkan dia melakukan apapun sesuka hati sampai lagu dari mp3 tersebut mulai terdengar di telinganya. Sementara, senyum terukir di wajah Seung Hoon sesudah meletakkan mp3-nya di pangkuan Aeka yang perlahan memejamkan mata, sebelum kemudian ia beranjak dan kembali duduk.
"Musim panasnya sebentar lagi berakhir,” ujar Seung Hoon sambil mendorong pelan ayunannya dan memandangi langit yang tampak sedikit berkabut.
Aku janji akan bertemu lagi di Kafe Baca dekat pemberhentian terakhir bus antar jemput sekolah kita…
Seorang anak laki-laki berseragam SMP yang sangat rapi bergegas turun setelah bus yang ia tumpangi berhenti dan sosok anak laki-laki lain berseragam sama terlihat melangkah turun dengan santai sambil memperhatikannya hingga menghilang di ujung jalan.
“Seung Woon, semoga harimu menyenangkan. Titip salamku pada Seung Hoon, dia kelihatan terburu-buru,” tegur Sang Sopir pada siswa SMP tersebut.
“Sudah kukatakan, aku Seung Hoon,” omel Seung Hoon ketika menoleh dengan raut kesal pada Sang Sopir Bus, “baca ini, Lee-Seung-Hoon,” tambahnya seraya berbalik dan menunjukkan pin nama di seragamnya.
“Hahahaha, maaf, aku masih belum bisa membedakan kalian. Karena terkadang kau terlihat seperti Seung Woon dan dia terlihat sepertimu. Hati-hati, titip salam pada semua orang di rumah,” ujar Sang Sopir dengan tawa renyah sebelum menutup pintu bus.
Seung Hoon hanya mengangguk pelan kemudian melambai dengan tatap datarnya yang sangat khas sesaat dan kembali diam memperhatikan sekitarnya.
“Nan(aku)...” bisiknya, “...geunyang(hanya)...” tambahnya sembari memejam dan merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang.
Nan geunyang hanguk soegogi sipeoyo. Lee Seung Hoon, neo geunyang...(Aku hanya ingin daging sapi korea. Lee Seung Hoon, kau hanya...)
Batinnya terhenti dan buat ia membuka mata ketika tersadar akan sesuatu, lalu berlari ke arah berlawanan dari jalan pulang.
“Maaf, aku terlambat. Tadi ada sedikit pelajaran tambahan.”
Yoon Aeka yang tengah bersantai di salah satu meja dalam Kafe Baca tersebut pun segera menurunkan komik yang menghalangi pandangannya dan mulai memindai siswa SMP di depannya.
“Lee Seung Woon?” tegur Aeka saat matanya tertuju pada pin di jas sekolah Seung Woon.
Sontak ia merasa sangat gugup ketika pandangan Aeka mengarah tepat ke wajahnya.
“Sudah kukatakan sejak kemarin, jangan lihat mataku. Aku hanya melihat dahimu,” tegur Aeka pelan dan datar.
“Oh! Maaf, aku lupa,” sahut Seung Woon cepat.
Aeka segera memberi isyarat padanya untuk duduk sebelum ia kembali membaca.
“Aku lupa kalau Seung Hoon belum mengatakan tentang hal itu,” bisik Seung Woon yang terdengar sedikit kesal sesudah menduduki kursi di hadapan Aeka.
“Kau bicara sesuatu?” tanya Aeka dari balik komiknya.
Ia tersentak dan memejam lalu mengatur napas sejenak. Aeka yang merasa penasaran karena tidak kunjung di jawab pun menurunkan komiknya dan memperhatikan Seung Woon yang sekarang terlihat sangat tenang.
“Hei, kau yang mengajakku bertemu di sini. Tapi, kenapa kau…”
“Aku ingin mentraktirmu es krim kenari yang enak,” ujarnya sambil tersenyum ramah dan memutus omelan Aeka yang seketika terdiam, “di sini ada es krim berbagai rasa. Kau suka apa? Melon, Stroberi, Anggur, Jeruk, Moka, Pepermi…”
“Cokelat,” sahut Aeka datar dan berusaha untuk tidak peduli dengan segala sikap Seung Woon yang di anggapnya aneh.
“Tunggu sebentar, aku pesankan,” ucap Seung Woon seraya beranjak dan melangkah ke meja pesanan yang tak jauh dari tempat mereka.
Hening dan Aeka mulai memandanginya. Lama, bahkan cukup lama, ia memperhatikan setiap gerakan dari sosok tersebut. Hingga tanpa sadar dia mengangguk ketika Seung Woon memberi isyarat untuk mencari buku sebelum kembali duduk. Hal itu pun buatnya tersentak dan mengerjap beberapa kali.
Tidak boleh suka orang asing.
Batinnya sambil menggeleng cepat dan seakan ingin benar-benar menyadarkan diri dari lamunannya.
“Maaf, ini es krim kenari rasa cokelat dan vanilla.”
“Letakkan saja di sana, Bi. Terima kasih,” sahut Seung Woon ramah.
Lagi, dia tersentak karena suara pelayan kafe yang mengantar pesanan mereka, sebelum akhirnya tertunduk dengan wajah bersemu tatkala mengetahui Seung Woon telah berdiri di sisinya sambil menenteng sebuah buku. Seung Woon tersenyum lembut dan mendekatkan gelas es krim kenari cokelat milik Aeka setelah dia duduk.
“Neo aphayo?(Apa kau sakit?)” tanya Seung Woon usai menyadari keanehan Aeka yang tidak kunjung menyentuh gelasnya.
Tanpa jawaban, Aeka bergegas meraih sendok dan memakan es krimnya. Seung Woon yang hanya bisa tersenyum dibuatnya, kemudian menarik selembar tisu dan membersihkan puncak hidung Aeka dari noda es krim.
“Cheoncheonhi meogeoyo(Makan pelan-pelan),” ucap Seung Woon lembut saat berhasil membuat Aeka memandangnya.
Aeka kembali menikmati es krimnya setelah terpaku karena menyaksikan sikap Seung Woon yang terlihat begitu dewasa untuk beberapa saat. Sementara, Seung Woon sudah mulai membaca sambil memegang sendok es krim di tangan kanannya.
Satu jam berlalu dalam keheningan, gelas es krim Aeka pun hampir mengering. Dia yang merasa di abaikan, akhirnya menghembuskan napas dengan keras dan buat Seung Woon mengalihkan pandangan dari bukunya.
“Ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Seung Woon heran.
“Kau mengajakku bertemu hanya untuk menemanimu membaca buku fashion. Kenapa kau tidak ke kebun binatang saja? Setidaknya, di sana tidak akan ada yang mengerti bahasamu,” ujar Aeka yang jelas terdengar kesal.
Seung Woon yang sangat paham maksud dari semua ucapan Aeka pun tersenyum dan segera menutup buku yang kemudian dia letakkan di sisinya.
“Es krimmu sudah mencair,” tegur Aeka sinis ketika Seung Woon akan menyendok es krimnya.
Lagi-lagi Seung Woon tersenyum, lalu meletakkan sendok yang awalnya akan ia pakai di atas selembar tisu dan langsung meneguk habis es krimnya.
“Cara ini lebih praktis daripada harus menyendok beberapa kali dan mengotori wajahmu,” ujar Seung Woon seraya tersenyum geli.
Aeka yang masih kesal memilih untuk diam dan tidak mempedulikan candaannya.
“Kuantar kau ke asrama sekarang?” tanya Seung Woon setelah melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 5.00 sore.
Aeka tetap bungkam dan segera beranjak meninggalkan Seung Woon yang tersenyum tenang mengikuti langkahnya keluar dari kafe.
“Maaf, itu tempat favoritku dan aku sangat suka berada di sana,” bujuk Seung Woon sambil membayai langkahnya, “lain kali kita ke Pasar Raya. Aku akan pancingkan boneka kucing untukmu,” kembali ia membujuk.
“Kau berucap seakan sudah mengenalku ratusan tahun,” sindir Aeka usai menghentikan langkahnya.
“Mmm…aku rasa kita suami istri di kehidupan sebelumnya. Hahahaha,” sahut Seung Woon yang kemudian tertawa dan buat Aeka hanya bisa mengulum senyum, “bagaimana? Kau suka kucing?” tanyanya riang.
“Asal tidak ada buku lagi,” ujar Aeka datar.
“Aku janji,” sahut Seung Woon tulus.
“Kalau begitu gendong aku sampai asrama,” perintah Aeka dan sontak membuat Seung Woon terbelalak, “kau tidak mau?” tanyanya ketus.
“A, aku mau. Tapi, dengan badan sekurus ini, aku mungkin baru bisa menggendongmu tiga tahun lagi,” jelas Seung Woon dengan wajah memelas.
“Jadi, maksudmu aku gendut?!” bentak Aeka dan berlalu pergi meninggalkannya yang kini terlihat panik.
“Ae, Aeka, aku tidak mengataimu seperti itu,” kata Seung Woon yang berusaha mengejarnya, “hei!” teriaknya saat Aeka tiba-tiba berlari sangat kencang.
Kita melangkah bersama namun, jarak yang telah tergambar hari ini begitu samar kulihat ketika senyum bahagia itu tidak bisa kau sembunyikan…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!