Seorang wanita berwajah cantik sedang tergesa menuju pintu utama setelah mendengar suara mobil suaminya yang memasuki pekarangan rumah. Senyum tersungging di bibirnya menyambut sang suami yang kini sudah berdiri di pintu. Perlahan senyum itu memudar karena sang suami tidak membalas senyum tersebut. Jangankan membalas menoleh pun tidak. Pria itu melewati tubuhnya tanpa menyapa. Wajah pria itu tidak sedikitpun menunjukkan wajah yang bersahabat.
Wanita cantik itu bernama Anggita. Wanita cantik bertubuh mungil dan mempunyai warna kulit putih yang sangat bersih dan mulus. Dia masih muda. Bulan depan usianya akan genap berumur 23 tahun. Walau kecantikannya menarik bagi pria lain. Tapi tidak dengan suaminya Evan. Suaminya itu masih saja bersikap dingin dan cuek.
Malam ini, setelah mendapat pesan pertama kalinya dari Evan yang menyuruh dirinya menunggu di rumah karena ada hal yang ingin dibicarakan. Anggita berpikir jika pesan itu sebagai pertanda jika hubungan mereka akan semakin membaik. Mereka sudah menikah selama satu tahun dan dua bulan terakhir ini hubungan mereka layaknya suami istri yang normal.
Anggita mengikuti langkah suaminya menuju kamar. Melihat suaminya yang langsung masuk ke kamar mandi. Seperti biasanya, Anggita menyiapkan baju untuk suaminya.
"Mas, kamu sudah makan malam. Jika tidak aku akan menyiapkannya," tanya Anggita dengan kencang.
Anggita menempelkan telinganya ke pintu kamar mandi untuk mendengar jawaban suaminya. Tidak ada jawaban. Anggita kembali mengulangi pertanyaannya.
"Sudah."
Jawaban singkat itu akhirnya terdengar juga. Anggita sudah menduga jawaban itu. Tapi sebagai istri yang baik, dia masih saja bertanya sebagai bentuk perhatiannya untuk sang suami. Merasa tidak ada lagi yang dikerjakan, Anggita membaringkan tubuhnya di ranjang.
Beberapa menit kemudian, Anggita bisa merasakan pergerakan di kamar itu. Evan sudah keluar dari kamar mandi. Anggita membuka matanya yang tadinya sudah terpejam. Dia melihat Evan membuka lemari kain setelah melihat pakaian yang disiapkan oleh Anggita.
Evan mengambil kaos dari lemari dan langsung mengenakannya. Kemudian berjalan ke ranjang mengambil celana karet yang disiapkan oleh Anggita sebelumnya.
Melihat hal itu, Anggita paham. Evan tidak bersedia memakai kaos yang disiapkan oleh dirinya tadi karena itu adalah pemberian dari Anggita sebagai kado ulang tahun Evan tiga bulan yang lalu.
Anggita merasakan sesak di dadanya. Apa salahnya sehingga Evan tidak bersedia memakai pemberiannya. Satu tahun menikah. Anggita menurut atas semua peraturan yang ada. Anggita merasa sudah maksimal melakukan tugas tugasnya sebagai istri. Jika Evan tidak bersedia memakan masakannya itu bukanlah salahnya. Walau begitu, Setiap hari Anggita melaksanakan kewajibannya sebagai istri.
Anggita hanya dapat memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. Tak lama kemudian, Anggita merasakan pergerakan di ranjang. Anggita yang membelakangi Evan dapat merasakan tangan suaminya yang sudah melingkar di pinggangnya. Evan memang bersikap dingin. Tapi untuk urusan ranjang, pria itu tidak melewatkannya.
"Kamu menolakku?" tanya Evan dingin sambil melepaskan tangannya dari pinggang istrinya. Anggita langsung berbalik menghadap suaminya.
"Tidak, aku tidak menolak kamu mas. Kamu suamiku. Kamu berhak atas tubuh ini. Hanya saja aku mohon pelan pelan," jawab Anggita. Ingin rasanya dia memberitahukan tentang kehamilan yang sudah berusia satu bulan. Tapi mulutnya terkunci melihat wajah Evan yang menatapnya dengan tajam. Anggita hanya berpikir, jika dengan melayani suaminya di ranjang akan membuat hubungan mereka semakin baik, Anggita akan tetap melayani suaminya itu.
Evan memulai petualangan dengan mata tertutup. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lembut berbeda dengan sikap dingin yang selalu yang ditunjukkannya. Hanya beberapa menit, pakaian mereka tidak pada tempatnya lagi. Tidak bertanya apakah Anggita sudah siap mengarungi samudera cinta dengan dirinya. Evan menikmati tubuh istrinya dengan imajinasinya sendiri. Berkali kali, Anggita mengingatkan Evan untuk pelan pelan. Wanita itu sangat ketakutan, gerakan Evan di tubuhnya melukai janinnya yang masih kecil dan berjuang untuk tumbuh.
"Sepertinya kamu tidak sepenuh hati melayaniku."
Evan kembali bersikap dingin setelah permainan mereka selesai. Anggita ingin membuka mulut untuk berbicara tapi gerakan tangan Evan menyuruhnya untuk diam. Sebenarnya Anggita ingin menjelaskan alasan mengapa dirinya tidak mengimbangi permainan suaminya tadi. Tapi pria itu langsung berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan benda pusaka.
"Bersihkan dirimu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan."
Evan berkata setelah keluar dari kamar mandi. Anggita menurut dan masuk ke kamar mandi. Sama seperti Evan, Anggita juga berencana untuk memberitahukan tentang kehamilannya.
Di kamar mandi, Anggita membayangkan ekspresi suaminya setelah mengetahui dirinya hamil. Anggita berpikir jika kehadiran seorang anak adalah anugerah dalam setiap rumah tangga tidak terkecuali dengan rumah tangganya bersama Evan. Anggita mengembangkan senyumnya membayangkan kebahagiaan yang akan terlihat nantinya di wajah suaminya.
"Duduk," perintah Evan setelah Anggita keluar dari kamar mandi. Evan juga sudah duduk di sofa di kamar itu. Di tangannya sudah ada beberapa berkas.
"Tanda tangani ini," kata Evan sambil meletakkan berkas itu tepat di hadapan Anggita.
"Berkas apa ini?" tanya Anggita bingung.
"Matamu masih cukup bagus untuk membaca. Baca, pahami dan tanda tangani."
Anggita menatap wajah suaminya yang lebih dingin dari biasanya. Kemudian Anggita membaca berkas itu dengan seksama. Terkejut dan kecewa, itulah yang dirasakan oleh Anggita setelah membaca surat itu. Surat yang berisi tentang perceraian mereka dan semua kompensasi yang didapatkan oleh Anggita setelah perceraian tersebut.
Bagi wanita matre, melihat angka angka itu. Anggita pasti sudah membubuhkan tanda tangan di atas kertas tersebut. Tapi tidak untuk Anggita. Ada amanah yang harus dijaga. Bagi Anggita amanah itu adalah harga mati baginya.
"Selama kakek masih hidup. Aku tidak akan menandatangani surat perceraian ini," jawab Anggita berusaha tenang. Tapi tidak dengan hatinya. Bisa bisanya Evan menyuruh dirinya menandatangani surat perceraian setelah menikmati tubuhnya. Apakah dia tidak pernah berpikir jika kecebong kecebongnya akan menjadi janin seperti sekarang ini?. Anggita merasa terjatuh ke jurang yang paling dalam menghadapi kenyataan yang dihadapi sekarang ini. Anggita mengira jika Evan akan membicarakan kelangsungan hubungan rumah tangga mereka ternyata dia justru mendapat kenyataan jika hubungan rumah tangga mereka sudah diambang perceraian.
Mengingat kehamilannya, Anggita merasakan sakit yang teramat dalam di hatinya. Seharusnya hatinya saat ini tenang tanpa masalah supaya janinnya bertumbuh dengan baik. Tapi yang terjadi saat ini, Anggita harus menelan pil pahit dalam berumah tangga. Satu hal yang tidak diinginkan oleh warna di dunia ini adalah menjadi janda. Anggita merasakan matanya sudah memanas hendak menangis. Tapi Anggita menahan air matanya itu untuk tidak meluncur bebas di pipinya.
Jika perceraian itu harus terjadi. Setidaknya Anggita akan berusaha membuat Evan luluh semasa hidup sang kakek. Jika tidak. Anggita akan menerimanya sebagai takdir. Bukankah sebelum menikah mereka sudah menandatangani surat perjanjian. Pernikahan mereka hanya untuk menyenangkan hati sang kakek yang menjodohkan mereka. Jika dua bulan ini hubungan mereka layaknya seperti suami istri yang normal itu karena melenceng dari perjanjian. Walau tidak dapat dipungkiri jika Anggita sudah berharap banyak akan waktu berharga yang mereka habiskan selama dua bulan ini. Tapi tidak dengan Evan. Perjanjian tetaplah perjanjian.
"Kakek sudah divonis dokter hanya hidup tidak lebih dari tiga puluh hari lagi. Aku harap kamu menandatangani surat perceraian ini sekarang."
"Kalau begitu, aku menandatanganinya setelah kakek meninggal. Aku hanya ingin menepati janjiku kepada kakek." Anggita bersikeras untuk tidak menandatangani surat perceraian itu. Dia ingin berjuang untuk rumah tangga dan juga janinnya.
"Setelah pemakaman kakek nantinya. Semuanya sudah berakhir." Sang kakek masih hidup tapi Evan sudah membicarakan tentang pemakaman. Anggita hanya menganggukkan kepalanya pertanda setuju dengan apa yang dikatakan oleh Evan.
Anggita merasakan hatinya sangat hancur berkeping-keping. Selain perceraian itu sudah di depan mata juga karena kesehatan kakek yang semakin memburuk. Mengingat sang kakek, air mata yang sudah ditahan tidak terbendung lagi. Banyak kebaikan yang dia terima dari kakek yang bernama kakek Martin itu. Kebaikan yang tidak bisa dibalas selain bersedia menjadi istri dari seorang Evan.
"Kakek, maafkan aku," gumam Anggita di sela tangisnya.
Berbeda dengan Anggita yang merasakan kesedihan, Evan justru bersikap tenang. Pria itu mengambil kertas dari atas meja dan memasukkan ke dalam laci. Kemudian pria itu berjalan menuju ranjang. Membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata.
"Mas Evan. Sebenarnya aku...."
Anggita tidak meneruskan perkataannya lagi melihat Evan yang sibuk mencari ponselnya yang berdering.
Pria itu berjalan keluar dari kamar sambil menjawab panggilan di ponselnya. Anggita terus memandangi punggung suaminya hingga tidak terlihat lagi. Tangannya tidak berhenti mengelus perutnya yang masih rata. Menyadari dirinya terus tidak berhasil untuk mengungkapkan kehamilannya. Anggita merasa jika saat ini belum waktu yang tepat bagi Evan untuk mengetahui kehamilannya.
Anggita membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sebagai wanita, Anggita juga makhluk yang lemah. Anggita menarik selimutnya hingga menutup kepalanya. Di balik selimut itu. Anggita menangis sesenggukan. Anggita berusaha menghentikan tangisannya setelah mendengar suara pintu kamar yang berderit.
Anggita merasakan hidungnya tersumbat karena menahan tangisnya. Semakin ditahan semakin sesak hidungnya bernafas. Anggita menyingkapkan selimutnya dan langsung duduk. Melalui ekor matanya dia dapat melihat Evan sudah tertidur pulas. Anggita beranjak dari duduknya. Dia membuka kamar dan menuju kamar tamu. Di kamar itu, Anggita bebas mengeluarkan tangisannya. Dia sangat yakin jika Evan tidak akan mendengarnya.
Sinar matahari yang masuk ke dalam kamar lewat celah jendela tidak membuat Anggita terbangun. Menangis semalaman memikirkan nasib pernikahannya membuat Anggita tertidur setelah larut malam. Anggita masih betah dalam tidurnya yang sedang bermimpi.
Dalam mimpi itu, Anggita sedang menikmati keindahan alam dengan beberapa anak kecil. Anggita dan anak anak itu saling berpegangan tangan membentuk lingkaran di sebuah taman. Dari mulut mereka terdengar suara nyanyian yang indah. Ketika mereka hampir menyelesaikan nyanyian itu seorang dari anak kecil itu melepaskan tangannya dari tangan Anggita dan berlari menjauhi Anggita dan yang lainnya.
Anggita melepaskan tangannya dari anak yang memegang tangan kirinya. Anggita berlari mengejar dan berteriak meminta anak itu untuk berhenti. Anggita merasakan kelelahan dan akhirnya terjatuh.
Saat itulah Anggita terbangun. Dia terkejut melihat hari sudah terang.
"Bodoh. Bodoh," gumam Anggita sambil memukul kepalanya.
Anggita menyadari jika dirinya bangun terlambat seperti ini membuat dirinya merasa lalai dalam menjalankan kewajiban sebagai istri. Tadi malam dia sudah menolak bercerai. Tapi pagi ini dirinya sudah menunjukkan kelalaiannya.
Anggita berjalan cepat keluar dari kamar untuk memastikan jika suaminya sudah berangkat ke kantor. Dia menaikkan tangga menuju kamar mereka dengan mengabaikan rasa mual dari mulutnya.
Dirinya menarik nafas panjang ketika melihat di kamar itu tidak ada lagi mahkluk yang dia sebut sebagai suami. Dengan lesu, Anggita kembali menuruni tangga. Dia menuju ruang makan untuk mengambil air putih hangat sebagai pertolongan pertama untuk mengatasi rasa mual yang semakin menjadi jadi itu.
"Dasar cengeng."
Anggita hampir menjatuhkan gelas di tangannya mendengar suara bernada ejekan itu. Dia melayangkan pandangannya ke arah suara dan benar saja di ujung makan Evan dengan santai sedang memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya. Terlalu fokus dengan tujuannya untuk mengambil air putih hangat membuat Anggita tidak menyadari keberadaan suaminya itu di meja makan.
Anggita tidak dapat menutupi keterkejutan di wajahnya. Biasanya jam seperti ini suaminya itu sudah berada di kantor. Tapi hari ini seakan hari libur. Pria tampan itu terlihat sangat santai walau sudah mengenakan setelan kerja. Pikiran pikiran buruk menghantui Anggita. Dia takut jika, Evan kembali menyuruhnya untuk menandatangani surat perceraian.
"Jangan tunjukkan muka sembab mu itu di hadapanku. Sekalipun kamu menangis tujuh hari tujuh malam. Seperti perkataan aku tadi malam, setelah pemakaman kakek semuanya sudah berakhir."
Anggita meraba matanya yang bengkak. Perkataan suaminya kembali menyakiti hatinya sangat dalam.
"Aku mengerti mas. Hari Minggu, kakek menyuruh kita ke rumahnya," kata Anggita setelah bersusah payah menyembunyikan rasa mual itu. Selagi suaminya mengucapkan kata kakek. Anggita mengingatkan tentang permintaan sang kakek.
"Pergilah sendiri."
"Apakah aku harus mengatakan alasan yang sama jika kakek bertanya mengapa kamu tidak ikut?.
"Terserah."
Anggita menarik nafas panjang. Entah sampai kapan Evan terus bersikap memusuhi kepada kakeknya. Sejak mereka menikah. Evan tidak pernah lagi bersedia bertemu dengan kakek Martin.
"Aku mohon mas. Temui kakek Martin. Dia kakek kandungmu. Dan tidak berumur lama lagi."
Suara Anggita melemah di ujung kalimatnya. Dia tidak tega untuk mengucapkan kalimat terakhir itu apalagi membayangkan kakek Martin meninggal.
Anggita menundukkan kepalanya melihat tatapan tajam suaminya. Kata katanya untuk menyadarkan Evan tapi perkataan itu seperti suatu kesalahan besar yang akan mendapatkan hukuman.
"Jangan terlalu ikut campur dengan diriku."
Perkataan itu penuh penekanan dengan wajah yang memerah karena marah. Lewat ekor matanya. Anggita dapat melihat Evan beranjak dari duduknya tetapi kemudian menghentakkan bangku dengan kasar.
Pria itu berlalu dari ruang tamu tanpa pamit sebagai mana suami istri pada umumnya. Tapi itu sudah merupakan hal biasa bagi diri Anggita.
Setelah Evan pergi dari rumah. Anggita juga bersiap siap untuk berangkat ke kafenya.
"Gita, apa yang terjadi. Kamu ada masalah?" tanya Nia sahabat Anggita yang menjadi orang kepercayaannya di kafe itu. Siapapun bisa melihat mata Anggita yang bengkak walau sudah dipoles.
"Apa aku terlihat seperti orang yang dalam masalah?" tanya Anggita balik dengan wajah yang sudah tersenyum. Senyum yang menutupi luka hatinya.
"Iya, aku sudah memperhatikan kamu sejak turun dari mobil. Wajahmu mendung seperti langit yang akan menumpahkan air hujan."
"Tapi sayangnya kamu salah friend. Mendung tidak selamanya mendatangkan hujan."
"Jangan berbohong Gita. Kamu pasti menangis semalaman makanya matamu bengkak kan?.
"Bukan. Mataku bengkak karena kebanyakan menonton video di ponsel."
"Mulutmu bisa berbohong Gita tapi tidak dengan matamu. Jika kamu butuhkan teman curhat. Aku selalu ada untuk kamu," kata Nia akhirnya. Dia bisa melihat kesedihan sahabatnya. Tapi Nia tidak ingin memaksa Anggita untuk bercerita.
"Terima kasih Nia. Aku ke ruangan dulu," kata Anggita dengan senyum yang masih dipaksakan.
"Masuklah ke kamar pribadimu. Jika kamu kurang tidur tadi malam. Sebaiknya kamu beristirahat. Tentang kafe kamu tidak perlu khawatir."
Anggita hanya menepuk lengan sahabatnya. Sebenarnya dia terharu dengan perhatian sahabatnya. Tapi untuk menghilangkannya kesedihan, Anggita berpikir dirinya harus sibuk dengan pekerjaan.
Satu harian Anggita benar benar memusatkan perhatiannya terhadap hal hal tentang pelayanan dan kualitas kafenya. Tapi di sore hari setelah jam kerja usai, Anggita justru berpikir untuk menginap saja di Kafe. Mengingat nama suaminya saja membuat hatinya sakit apalagi melihat wajahnya. Itulah sebabnya Anggita untuk menghindar sementara waktu dari Evan.
Tapi apa yang ada di pikirannya tidak sejalan dengan kenyataan. Ketika Anggita keluar dari kafe hendak berbelanja ke supermarket, mobil suaminya tiba tiba berhenti di hadapannya.
"Masuk." Suara dari pria dingin itu terdengar setelah kaca mobil terbuka.
"Apa mas sengaja menjemput aku?" tanya Anggita senang. Rasa sakit yang ditorehkan oleh Evan selama itu terlupa dengan keberadaan Evan yang menjemputnya untuk pertama kalinya setelah mereka menikah.
"Buka pintunya dan masuk." Evan berkata dengan tatapan lurus tapi bukan kepada Anggita.
Dengan wajah yang berseri, Anggita membuka pintu mobil dan masuk. Dia melupakan niatnya yang akan menginap di Kafe.
"Terima kasih mas," kata Anggita senang setelah duduk di dalam mobil.
"Jangan senang dulu. Aku hanya kebetulan lewat. Aku hanya berpikir. Orang lain saja dikasih tumpangan apalagi dengan wanita yang melemparkan tubuhnya ke atas ranjang aku."
"Serendah itu kamu menilai aku mas?. Aku istrimu bukan wanita murahan."
Anggita tidak jadi memasang sabuk pengaman yang sudah dia pegang. Dadanya sangat sesak mengetahui jika Evan menilai dirinya serendah itu. Bukan hanya kembali sakit hati, Anggita juga merasa malu karena terlampau senang.
Evan tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Anggita. Pria itu hanya tertawa sinis.
"Maaf mas, aku tidak jadi ikut mobil kamu Sebenarnya tadi aku berencana menginap di kafe karena ada pekerjaan yang belum siap aku kerjakan. Mohon ijin kamu."
"Keluarlah."
"Mohon ijin kamu mas."
"Menginap lah selama yang kamu mau. Jika perlu tidak perlu kembali ke rumah."
Evan kembali menancapkan pisau di hati Anggita. Anggita yang juga terpancing emosi akhirnya membuka pintu itu dan menutupnya dengan kasar.
Setelah pintu mobil tertutup. Mobil itu melesat dengan kencang. Bahkan Anggita dapat melihat mobil itu menyalib beberapa kendaraan lainnya.
"Jika itu keinginan kamu mas. Maka lihat saja. Aku tidak akan menjatuhkan harga diriku lagi untuk mempertahankan rumah tangga ini," kata Anggita pelan dengan tangan yang terkepal. Rasa sakit hatinya sudah bercampur dengan amarah. Seakan air matanya sudah habis, mata Anggita memerah karena marah.
Menjelang siang hari, suasana Kafe milik Anggita sangat ramai. Kafe yang dinamakan Kafe pelangi itu sangat disukai para kaum muda. Lokasi yang dekat dengan salah satu kampus swasta terkenal dan juga dengan juga beberapa gedung perkantoran. Membuat kafe itu hampir tidak pernah sepi pengunjung.
Selain itu, pelayanan dan kualitas yang bisa diacungi jempol membuat kafe itu seperti mempunyai langganan tetap. Harga yang ditawarkan sangat bersahabat untuk kantong para mahasiswa dan juga para karyawan.
Tapi hal itu tidak membuat, pengunjungnya hanya dari kalangan mahasiswa dan karyawan kantoran. Tidak jarang juga pengunjungnya para bos bos yang terkadang mengadakan pertemuan dengan klien mereka. Dan di hari libur, pengunjung kafe itu akan semakin membludak.
Berusaha maksimal untuk memberikan pelayanan dan kualitas terbaik ternyata tidak selamanya bisa menghindari suatu masalah. Seperti hari ini, Anggita harus menghadapi komplain salah satu pelanggannya.
"Maaf pak, dari makanan ini, apa yang kurang?" tanya Anggita kepada seorang bapak yang sudah berhadapan dengan dirinya di ruangan. Anggita masih merasa beruntung, karena pria itu tidak mempermalukan di hadapan para pengunjung.
"Sebelumnya minta maaf Bu. Saya hanya orang suruhan. Tadi bos saya menemukan rambut di makanan ini."
Anggita langsung mengamati makanan itu dengan seksama. Rambut yang dikatakan oleh bapak tersebut ternyata tidak ada.
"Kalau begitu, saya akan menyuruh rekan saya untuk mengganti makanannya ya pak," kata Anggita yang tidak ingin memperpanjang masalah.
"Tidak perlu Bu. Bos saya menitipkan surat ini."
Anggita mengulurkan tangannya mengambil sebuah kertas dari tangan bapak itu. Dia membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.
"Saya hampir menelan sehelai rambut panjang karena keteledoran pihak kafe pelangi. Jika tidak ingin, masalah ini diperpanjang maka kamu harus segera pergi dari kota ini."
Anggita memucat membaca surat teror itu. Wajahnya yang sudah seperti tidak dialiri darah menatap bapak itu tidak percaya. Bagaimana mungkin hanya karena rambut panjang yang terdapat di makanan dan belum tentu akan kebenarannya harus dibayar mahal dengan meninggalkan kota ini.
"Beritahu saya, siapa bos Anda pak. Saya akan langsung meminta maaf pada beliau. Walau kesalahan kami tidak mempunyai bukti."
Wajahnya memang terlihat ketakutan dengan ancaman itu. Tapi tidak dengan hatinya. Dia penasaran dengan peneror yang kejam itu. Otaknya juga sudah berpikir jika Evan sang suami lah pelakunya. Anggita tidak pernah merasa punya musuh.
"Tolong dilihat video ini Bu."
Bapak itu memutar video itu dari ponselnya. Di video itu jelas terlihat jika ada sepotong rambut yang panjang yang ikut bercampur di adonan donat kentang itu. Video itu seperti benar benar nyata karena waktu dan tempat video itu adalah kafenya sendiri dan belum lama.
"Percuma ibu ke meja itu. Bos saya sudah keluar dari Kafe ini," kata bapak itu sambil mencekal tangan Anggita yang hendak menemui sang peneror. Anggita menghempaskan tangan itu.
"Siapa nama bos kamu?" tanya Anggita berani
"Itu tidak penting. Yang pasti jika Ibu tidak menuruti kemauan bos saya maka bersiaplah untuk hancur."
"Katakan kepada bos kamu. Aku tidak takut dengan ancaman apapun. Saya bisa membuktikan jika makanan dan minuman yang ada di Kafe ini dibuat dengan higienis. Tidak hanya pengelolaannya tapi juga dengan kualitas bahan baku."
"Jangan menganggap sepele masalah ini Bu. Bos saya bukanlah orang sembarang."
Anggita menatap bapak itu yang sudah melangkah ke arah pintu. Mulutnya seakan tidak bisa berbicara lagi setelah mendapatkan ancaman itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Nia yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.
Anggita menunjukkan kotak donat itu dan menceritakan tentang apa yang baru saja terjadi.
"Aku tidak yakin jika donat ini adalah donat buatan kita. Dari segi kemasan dan rasa memang persis seperti donat kita. Lagi pula, kurang kerjaan tuh orang. Hanya gara gara masalah rambut ini langsung menyuruh kamu pergi dari kota ini."
Nia menggelengkan kepalanya pertanda bingung dengan teror itu.
"Atau jangan-jangan kamu pernah menyakiti seseorang dan seseorang itu berniat balas dendam," kata Nia lagi.
"Aku merasa tidak pernah punya musuh. Tapi siapapun peneror itu akan aku hadapi."
"Bagaimana kalau kita melapor ke polisi?"
"Untuk saat ini jangan dulu. Kita lihat perkembangan selanjutnya."
"Aku rasa dalam situasi seperti ini. Kamu bisa meminta bantuan suamimu Gita. Bukankah dia seseorang yang berpengaruh di negeri ini?.
Anggita hanya menatap sahabatnya tanpa menjawab. Bagaimana dia meminta bantuan yang dia curigai sebagai peneror. Memang benar jika suami adalah pengusaha yang diperhitungkan di negeri ini. Sayangnya, dia bukan wanita yang beruntung walau menjadi istri dari Evan. Justru pria itulah yang menginginkan dirinya cepat mengakhiri rumah tangga mereka.
"Bagaimana, otakku encer kan memberi solusi?" kata Nia sok pintar. Anggita hanya menganggukkan kepalanya.
"Jadi apa lagi yang kamu takuti. Ayo, kita bekerja lagi."
Nia merasa jika masalah teror itu sudah selesai dan tidak ada hal yang perlu ditakutkan. Anggita kembali menganggukkan kepalanya. Tidak ada niatnya sedikit pun untuk menceritakan masalah rumah tangganya kepada Nia. Selain tidak ingin membongkar aib rumah tangganya. Anggita tidak ingin membebani sahabatnya itu dengan masalahnya Nia sudah mempunyai banyak beban. Wanita periang itu, diusianya yang masih muda sudah menjadi tulang punggung untuk ke tiga adik adiknya yang masih duduk di bangku sekolah. Ayahnya sudah lama meninggal karena kecelakaan. Sedangkan ibunya baru meninggal dua tahun yang lalu.
Setelah Nia meninggalkan ruangan Anggita. Wanita itu terlihat gusar. Tidak bisa dipungkiri jika teror itu bisa membebani hatinya.
"Sangat keterlaluan jika kamu pelakunya mas," gumam Anggita dengan tangan terkepal. ?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!