Prang.
Suara piring dan gelas yang berjatuhan di atas lantai begitu memekakkan telinga, semua makanan yang tadinya tersaji dengan rapih di atas meja kini sudah tidak berbentuk berantakan di atas lantai.
"Sudah berapa kali aku katakan, aku tidak sudih menyentuh makanan yang kau buat apalagi memakannya!" teriak Abian dengan penuh amarah.
Alena terdiam, dia hanya bisa menatap kosong makanan yang tercecer di atas lantai, makanan yang dengan susah payah dibuatnya sejak pagi kini terlihat mengenaskan dan tidak berharga sama sekali di mata suaminya.
"Kau boleh marah padaku Abian, tapi setidaknya jangan membuang makanan seperti itu," lirih Alena dengan menahan tangisannya.
Sungguh kejadian ini sangat menyesakkan hatinya, walaupun setiap hari dia selalu mendapatkan perlakuan tidak baik dari Abian. Tapi kali ini suaminya sungguh keterlaluan dengan membuang makanan yang dibuatnya. Tidak taukah Abian? Tangannya bahkan harus terkena cipratan minyak goreng, bahkan ada yang mengenai wajahnya hanya untuk membuatkan pria itu sarapan pagi.
Abian hanya tersenyum sinis tanpa mau menyahut perkataan Alena, dia lebih memilih berangkat ke kantornya dari pada meladeni ucapan Alena yang akan membuat emosi nya semakin naik.
"Sampai kapan Bi?"
Abian menghentikan langkah kakinya saat mendengar suara isak tangis Alena, karena untuk pertama kalinya wanita itu menangis setelah berkali-kali ia menyakitinya, baik dengan perbuatan atau perkataan.
"Sampai kapan kau membenciku?" Alena yang berusaha tegar untuk tidak menangis, akhirnya tak sanggup untuk menahannya lagi. Air mata itu mengalir begitu saja dari kedua matanya, saat teringat semua perlakuan Abian sejak mereka menikah.
"Selamanya, selamanya aku akan membencimu."
Deg.
Alena menatap punggung Abian dengan tatapan penuh luka, sungguh hatinya hancur mengetahui Abian selamanya akan membenci dirinya.
"Tapi Bi, kita sudah menikah lebih dari tiga bulan. Apa tidak ada sedikitpun rasa untukku? Meskipun itu rasa kasihan?" Alena semakin terisak.
"Kasihan padamu?" Abian membalik badannya menatap pada Alena. "Kau sudah menjebak ku, kau sudah membuat aku terpisah dari wanita yang sangat kucintai. Dan kau masih bertanya apa ada rasa kasihan untuk mu?" sentak Abian dengan rahang yang mengeras, dan tatapan mata yang tajam.
"Aku..." Alena menundukkan kepalanya, dia tidak sanggup ditatap sedemikian tajam oleh pria yang sangat ia cintai.
"Dengar Alena Ricardo, di hatiku hanya ada rasa dendam dan amarah. Karena hanya rasa itu yang pantas untuk wanita murahan sepertimu!" setelah mengucapkan kata pedas itu Abian segera pergi dari rumahnya, dia tidak ingin lebih lama berada di dekat Alena yang hanya akan membuatnya ingin terus memaki wanita itu.
Sementara Alena hanya bisa menatap kepergian Abian, dengan suara tangis yang semakin keras.
"Kau tidak boleh menangis Alena, bukankah semua ini karena ulah mu sendiri? Bukankah ini yang kau inginkan? Hidup bersama pria yang kau cintai, meskipun pria itu tidak mencintaimu? Meskipun pria itu membencimu?" Alena mengusap air matanya dengan kasar, mulai membersikan semua pecahan dan makanan yang ada di atas lantai.
Setelah membersihkan semuanya, Alena bergegas masuk ke dalam kamarnya. Ya kamarnya, karena kamar mereka terpisah sejak mereka menikah tiga bulan yang lalu. Suaminya itu hanya akan membawanya masuk ke dalam kamar pria itu, jika Abian ingin meniduri dirinya.
Jika kalian berpikir Abian menyentuhnya karena menginginkan tubuhnya, itu semua salah. Karena pria itu menidurinya hanya untuk membuatnya terluka. Karena setelah menyentuhnya, Abian pasti akan membayar dengan uang yang dilemparkan di atas tubuhnya. Membuat Alena seperti seorang ******, yang setelah memberikan kepuasan lalu di bayar dan di usir dari dalam kamar.
Dan bukan hanya itu saja yang membuatnya terluka, karena sebelum keluar dari kamar Abian. Pria itu pasti mencekokinya dengan pil kontrasepsi pencegah kehamilan, dan berkata dengan kasar bahwa dia tidak ingin mempunyai keturunan dari wanita murahan sepertinya.
"Mom.. aku merindukanmu," Alena kembali menangis. Menatap foto keluarganya dimana ada Mom Daisy, Dad Antoni dan ketiga saudara kembarnya.
Alena menatap foto keluarganya dengan kerinduan yang teramat dalam, karena sudah tiga bulan ini dia tidak bisa bertemu dengan mereka. Jangankan untuk bertemu, bahkan untuk sekedar berbicara lewat telepon pun Alena tidak berani. Karena sejak kejadian tiga bulan yang lalu, dirinya dibuang dari keluarga besarnya. Kini tidak ada lagi nama Ricardo di belakang namanya, yang ada hanya nama Alena. Bahkan suaminya pun tidak sudih memberikan nama belakang keluarga untuknya.
"Al, apa kau masih membenciku?" Alena mengusap foto saudara kembarnya, saudara yang sudah ia patahkan hatinya karena sudah merebut pria yang sangat di cintai kakaknya itu.
Lama Alena menangis hingga tak sadar tertidur dengan air mata yang masih membasahi kedua pipinya.
Sementara itu Abian yang berada di dalam mobil, terus mengumpat sambil memukul setir kemudi.
"Aku membencimu Alena, sangat membencimu!" Abian yang begitu marah, memutar kemudi mobilnya kesebuah tempat di mana hatinya bisa merasa damai. Di mana lagi kalau bukan rumah sakit tempat Alana bekerja, karena hanya wanita itu yang bisa membuatnya tenang di saat emosi melingkupi hatinya.
Setelah sampai di rumah sakit tersebut, Abian berjalan menuju ruangan yang ada di dekat ruang kerja Alana. Dia tahu wanitanya belum sampai di rumah sakit, karena Abian mengetahuinya jadwal Alana. Bagaimana bisa dirinya tahu, karena Abian menyuruh orang kepercayaannya untuk mengikuti wanita itu sehingga Abian mengetahui apa saja yang dilakukan Alana setiap harinya.
"Aku bahagia walau hanya bisa melihatmu dari jauh Al," Abian menatap kedatangan wanita yang sangat dia cintai dari kejauhan. Dia sengaja bersembunyi, karena tidak mau Alana mengetahui keberadaan dirinya. Karena yang sudah-sudah Alana pasti marah bahkan bersembunyi jauh darinya. Belum lagi jika Alana mengadu kembali pada sepupunya, bisa habis Abian ditangan para pria dari keluarga Arbeto dan Mateo. "Kenapa kita terpisah seperti ini? Kenapa aku harus terjebak dengan Adikmu?" Abian menyesali apa yang sudah terjadi tiga bulan yang lalu. Namun meskipun dia sangat menyesalinya, semuanya tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi. Alana nya tidak akan mau kembali padanya.
"Alena!" Abian mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Hatinya yang sudah mulai tenang saat melihat Alana, kini kembali terbakar emosi saat mengingat Alena. Mengingat wanita murahan yang sudah membuatnya terpisah dari Alana, dari wanita yang sangat ia cintai. "Aku harus memberikan pelajaran lagi untuknya!" dengan segera Abian berjalan keluar dari rumah sakit. Tujuannya untuk pergi ke kantor, ia urungkan karena ingin melampiaskan rasa amarahnya.
"Abian?" Alana yang hendak masuk ke dalam ruangan, menatap pada punggung seorang pria yang menjauh dari tempatnya. "Apa benar itu Abian?" Alana yang penasaran ingin mengikuti pria itu, namun langkahnya terhenti saat seorang suster memangil namanya. "Sepertinya bukan, karena Abian tidak akan berani muncul lagi dihadapanku." Gumam Alana dalam hati.
*
*
"Alena...!" teriak Abian setelah sampai di rumahnya yang berlantai dua, rumah yang ia beli di sebuah pemukiman elite dengan bangunan yang satu dengan bangunan rumah yang lainnya berjarak cukup jauh. Abian sengaja membelinya di tempat tersebut, agar leluasa menyiksa Alena, tanpa takut ada siapapun yang melihatnya. "Alena...!" teriaknya lagi, saat tidak melihat keberadaan wanita itu.
Abian terus mencari keberadaan Alena, hingga masuk ke dalam kamar wanita itu. "Sial! Bisa-bisanya dia tidur dengan nyaman, di saat hatiku sedih dan marah," Abian yang tersulut emosi melangkah mendekati Alena, dan tanpa banyak kata menyeret wanita itu sampai terjatuh dari atas tempat tidur.
"Aw..," teriak Alena saat tubuhnya terjatuh. Kepalanya terasa pusing dan pandangan matanya belum begitu jelas karena efek terbangun dari tidur secara tiba-tiba. "A.. Abian, apa yang kau.. ah..." Alena kembali berteriak saat tangannya di tarik paksa keluar dari kamar.
"Jadi pekerjaanmu setiap hari itu tidur, di saat aku bekerja, Ha!" Abian dengan kasar menyeret Alena keluar dari rumah, dia menulikan pendengarannya pada teriakan kesakitan wanita itu. Bahkan Abian berpura-pura tidak melihat lutut Alena yang lecet, dan terlihat berdarah karena terkena kerikil yang ada di depan halaman rumahnya.
"Sekarang apalagi kesalahan ku?" tanya Alena dengan tajam, saat Abian berhenti menyeretnya seperti binatang. Dia berusaha berdiri meskipun lututnya terasa sakit, tidak ada lagi air mata yang menetes seperti saat tadi, karena bagi Alena itu air mata yang pertama dan terakhir yang ia keluarkan dihadapan Abian.
"Bagus, sekarang kau menunjukkan asli mu. Wanita murahan yang begitu Arrogant dan mampu melakukan apapun untuk mencapai keinginannya," Abian berkata dengan sinis. Tadinya ia sempat merasa sedikit kasihan saat mendengar teriakan kesakitan Alena, tapi sekarang rasa kasihan itu lenyap saat melihat kembali sosok Alena yang sesungguhnya. "Mulai detik ini kau berdiri di sini! Jangan pernah beranjak sedikitpun sebelum aku pulang kerja! Kau mengerti?"
"Aku tidak mau," Alena hendak masuk kedalam rumah, namun langkahnya terhenti saat tangannya kembali ditarik dengan kasar hingga membuatnya kembali tersungkur.
"Kau tuli? Aku bilang berdiri di tempat ini!" Abian membungkuk kearah Alena lalu mencengkram rahang wanita itu dengan kasar.
"Aku tidak mau, karena aku tidak melakukan kesalahan apapun," ucap Alena dengan terbata. Karena rahangnya di cengkram dengan kasar, hingga membuatnya kesusahan untuk berbicara.
"Kau bilang tidak melakukan kesalahan apapun? Kau lupa sudah melakukan kesalahan terbesar di hidupku, dengan memisahkan aku dengan orang yang kucintai!" sentaknya dengan kasar, membuat Alena terdiam dan menundukkan kepalanya. "Ingat, jangan pernah beranjak sedikitpun dari tempat ini! Aku akan memantau mu melalui kamera CCTV!" Abian menunjuk kearah kamera yang ada di sudut rumahnya.
Setelah memberikan hukuman pada Alena, Abian kembali masuk kedalam mobil. Ia menjalankan kembali kendaraannya menuju tempat kerja, dimana dia sebagai CEO di perusahaan milik keluarganya sendiri. Perusahaan yang bergerak di bidang ekspedisi yang cukup terkenal di negaranya.
Sementara itu Alena yang masih berdiri di tempatnya, menatap dengan sendu mobil milik Abian yang pergi begitu saja setelah memberikan hukuman untuknya.
"Ya Tuhan, sampai kapan aku sanggup menahan semua ini." Alena ingin sekali menangis, namun ia tahan karena tidak mau Abian melihatnya meski dari kamera CCTV sekalipun.
Dan tanpa Alena sadari, sejak tadi ada seseorang yang melihat dan mendengar semua kejadian tersebut dengan air mata, dan tangan yang terkepal dengan erat. Seseorang itu bersembunyi di balik pohon yang berada di depan rumah, dengan wajah penuh kesedihan dia pergi begitu saja karena tidak tega melihat Alena yang terlihat tersiksa seperti itu.
"Maafkan aku," hanya itu yang bisa dia ucapkan dalam hati, sebelum beranjak dari tempat tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!