NovelToon NovelToon

Ibu Sambung Untuk Anakku

Awal Pertemuan

...Manusia diciptakan tidak dengan sempurna...

...Tapi manusia diciptakan untuk saling menyempurnakan...

...Menjadi pekengkap tulang rusuk hingga menjadi pasangan...

...Entah hanya pasangan dunia atau sampai pasangan akhirat...

...Yang jelas, selalu berjalan sesuai garis edarnya...

...Tak mampu dipungkiri ataupun dihindari...

...Sama, seperti pertemuan yang menjadi awal dari sebuah takdir...

...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Jilbab adalah suatu keharusan bagi perempuan umat muslim dan tidak ada kaitannya antara jilbab dengan sikap. Kamu boleh memaki saya, tapi tidak dengan jilbab saya...

...~Elea...

***

Plak, lima jari membekas di pipi mulus seorang perempuan. Elea Anindya Dilla, perempuan cantik berkulit putih itu terhunyung saat mendapat serangan tak terduga dari seorang laki-laki. Peniti yang melekat di pashminanya terlepas, perempuan itu meringis sembari memegangi jilbabnya.

“Dasar perempuan tidak tahu malu! lo kira gue akan tertipu dengan wajah yang sok alim itu!” ia menarik anak kecil yang sedari tadi bersama Elea.

“Apa tubuh lo itu gak berfungsi sampai-sampai harus menculik anak kecil, mengandalkan kepolosan mereka lalu meminta jaminan!” tukasnya lagi. Elea mendongak, manik matanya bertemu dengan kornea mata laki-laki itu.

Semelintir angin berhembus menerpa kulit Elea, membuat pergerakan pada kain penutup kepalanya yang hampir jatuh.

Tak ada rasa kasihan bahkan menyesal diwajah laki-laki didepannya setelah mulutnya berujar kata yang menusuk bagai sembilu.

“Apa maksud kamu?” suara Elea bergetar dengan air yang merembes begitu saja dari pelupuk matanya hingga jatuh mengenai ujung flatshoes berwarna abu yang ia pakai agar senada dengan warna jilbab.

“Bunah!” panggil anak kecil yang berusaha menggapai Elea namun pergerakannya tertahan. Tubuh kecilnya disembunyikan dibelakang tubuh tegap sang ayah. Ia mengintip dari balik kaki yang menutupi pandangannya, mengamati wajah Elea yang sudah basah karena air mata.

“Berani sekali lo nyuruh anak gue untuk memanggil lo bunda, memangnya lo siapa? perempuan tidak tahu diri yang berlindung dibalik jilbab. Cuih, lo dan hijab lo itu sama-sama menjijikan!” semburat wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras, buku-buku tangannya yang sudah memutih karena kepalan yang keras.

“Jilbab adalah suatu keharusan bagi perempuan umat muslim dan tidak ada kaitannya antara jilbab dengan sikap. Kamu boleh memaki saya, tapi tidak dengan jilbab saya!”

Sakit karena tamparan fisik juga ditambah dengan tamparan batin. Perkataan laki-laki di depannya mampu menusuk qalbu.

Bukan salah jilbabnya dan bukan salah pakaiannya. Elea hanya berusaha menutup aurat dan menjalankan kewajiban sebagai seorang umat islam.

“Berani sekali lo menentang gue, HAH!” suaranya naik 3 oktaf hingga memekik telinga Elea.Ia sempat terjingkat dan mundur satu langkah.

“Pih, itu Bunah. Kenapa bunahnya dibentak?” monolog sang gadis kecil dengan isak tangis sambil menggoyang-goyangkan kaki ayahnya. Ia kembali ingin menghampiri Elea namun lagi-lagi tubuhnya dicekal sang ayah.

“Itu bukan bunda, sayang. Bunda sudah disurga.” 

Laki-laki itu berjongkook menyamaratakan tubuhnya dengan sang anak yang Elea ketahui anak tersebut bernama Cila. Interaksi keduanya tak terlepas dari pandangan Elea. Terlihat sang ayah mengusap puncuk kepala sambil sesekali mengecup kening anaknya sangat berbeda dengan sikapnya tadi kepada Elea.

Niat hati tak ingin mengganggu momen orang tua dengan anak, “Tunggu, jangan pergi! lo pikir gue akan melepaskan lo begitu aja setelah lo hampir menculik anak gue.” Ia menarik kasar tangan Elea yang sudah beberapa langkah menjauh.

“Awww, sakit!” rintihan Elea tidak dihiraukan, laki-laki itu justru menarik secara brutal hingga jilbab yang dikenakan Elea terlepas dari kepalanya.

Sementara Cila terus merengek mengikuti langkah ayahnya sembari meminta untuk melepaskan perempuan yang ia panggil bunda.

“Jilbab saya!” Elea hendak berbalik memungut jilbabnya namun cekalan dilengannya terlalu kuat jika dibandingkan dengan tenaganya.

“Saya mohon, biarkan saya mengambil jilbab saya!” Elea memelas, namun laki-laki itu terus menyeretnya. Untung posisi mereka sedang berada di parkiran jadi tak banyak orang yang melihat.

Elea terus diseret hingga melewati beberapa mobil yang terparkir.

Bugh, tubuh Elea didorong masuk ke dalam mobil dengan kasar, hingga rok yang ia pakai tersingkap sampai area paha. Belum sempat berkata, pintu mobil sudah tertutup dengan keras.

Elea hanya menatap nanar dari balik pintu mobil yang sudah terkunci, laki-laki diluar sana terlihat sedang mengotak-atik layar handphone. Elea masih melihat dengan jelas guratan disekitar pelipisnya yang masih mengeras.

“Ada apa ini, Nak?” tanya wanita paruh baya setelah hampir 10 menit Elea memasuki mobil. Posisinya memang diluar tapi Elea dapat menangkap dengan jelas ucapan perempuan itu.

Elea tak lagi menghiraukan pembicaraan mereka. Yang ada dibenaknya sekarang hanya bagaimana caranya ia kabur dari situasi ini. Dijelaskan pun kejadian yang sebenarnya pasti laki-laki itu tak akan mempercayainya. Ingin meminta bantuan pun juga percuma dengan handphone yang tidak memiliki daya.

Tak lama pintu mobil diketuk, Elea tak sadar entah berapa lama ia melamun.

Deg

Polisi, aliran ditubuhnya seakan terhenti. Panas dingin, dengan keringat yang mulai membasahi bercampur air mata yang belum kering di pipi. Tangannya gemetar, bahkan kerongkongan seakan tercekat. Elea ditarik dan dipaksa keluar dari kendaraan beroda empat tersebut.

“Kami akan segera menindaklanjuti, tapi kami masih perlu bukti yang kuat karena video rekaman yang bapa kirim masih belum bisa kami jadikan acuan. Untuk sementara kami akan menahannya, hukuman akan dijatuhkan sampai kami menemukan bukti yang kuat.” ucap seorang polisi dengan nametag Supriyanto. 

Rupanya sebelum menampar Elea, laki-laki tadi terlebih dahulu merekam lewat ponsel, sehingga terlihat jelas bagaimana pergerakan Elea saat bersama dengan Cila. Bagaimana perempuan itu menggandeng dengan erat tangan Cila seakan tak ingin melepaskan bocah tersebut.

“Baik, pa! segera beri saya kabar!” 

“Ayo ikut saya!”

“Tapi saya tidak bersalah, Pak! Saya mohon jangan bawa saya.”

Elea sejenak menoleh ke arah laki-laki yang telah melaporkannya dengan tatapan memelas, namun tak ada rasa belas kasihan dimata laki-laki itu, ia justru enggan untuk bersitatap dengan Elea.

“Bunah, tangan pelgi!” Cila merengek dan memberontak minta diturunkan dari gendongan yang Elea duga adalah neneknya.

 

“Pak saya mohon, cabut tuntutan bapak. Saya tidak bersalah, Pak. Saya hanya membantu anak bapak.”

Elea berlutut memegang kaki laki-laki itu sambil terisak. Ia seka, dengan pergelangan tangan yang memerah, lalu pandangannya mendongak saat ada tangan yang memintanya berdiri.

Bukan laki-laki itu, melainkan seorang polisi yang memegang lengannya dan mulai menyeret masuk ke dalam mobil polisi dengan warna merah putih.

“Bunah, tangan tinggalin Cila!” suara teriak anak perempuan itu dengan isak tangis, ia masih berada digendongan neneknya. Terus meronta meminta Elea untuk tidak pergi.

Namun sayang, tubuh perempuan yang ia panggil dengan sebutan bunda itu terus menjauh hingga tak menyisakan walau hanya bayangan.

“Apa benar, perempuan itu penculik, Ar?” tanya Mama Nira, ibu dari Ardhana Kavin, biasa dipanggil Ardha. Mereka sudah beranjak pulang dan sekarang berada dalam mobil.

“Mama punya pirasat kalau dia perempuan baik-baik. Buktinya Cila kelihatan nyaman sama dia, bahkan tidak pernah mama lihat Cila sampai menangis seperti tadi.” 

Mama Nira memandang cucunya yang sudah terlelap dipangkuan Mia, baby sitternya. Pada saat kejadian ia sedang berada di toilet, Mia membereskan peralatan Cila yang tertinggal di meja caffe, sedangkan Ardha, lelaki itu sedang membayar kasir. Awalnya Cila bersama Ardha, tapi sosok Elea mempunyai daya tarik bagi Cila.

“Mama jangan terlena sama luarnya, kita tidak tahu bagaimana dalamnya. Bisa jadi dia komplotan penjahat, kasian kalau dibiarkan banyak memakan korban.”

“Apa sebaiknya kita dengar dulu penjelasan perempuan tadi.”

“Sudah jelas kalau dia penculik, Ma, dari gelagatnya saja sudah keliatan dan Ardha yakin itu.”

“Tapi, Ar, kita tidak bisa melihat hanya disatu sisi. Bagaimana kalau perempuan tadi memang orang baik.”

“Ardha malas debat Ma, capek!” ketus Ardha, ia memilih untuk fokus mengemudi. Sedangkan Nira hanya menghelas napas. Dijelaskan dan diberitahu pun percuma, ia tahu anak satu-satunya itu memang keras kepala.

Mereka telah sampai diperumahan elite dengan lantai dua disertai gerbang yang tinggi menjulang, yang sengaja dibuat untuk privasi. 

Rumah dengan gaya ala Eropa, pijakan terbuat dari marmer yang langsung dipesan dari Thailand semakin memberi kesan mewah.

Ada garasi disisi kiri dan taman disisi kanan rumah. Bukan taman seperti kebanyakan yang penuh dengan bunga, dipekarangan tersebut justru penuh dengan alat bermain anak-anak dengan dilengkapi beberapa gazebo untuk berteduh.

“Biar Cila hari ini tidur sama mama, kamu pasti capek.” Ardha mengangguk, ia benar-benar merasa lelah hari ini.

Sepulang dari Syuting, ia harus memenuhi permintaan Cila yang ingin makan bersama diluar sebagai hadiah karena anak itu telah bisa mengikat tali sepatu sendiri. Dan diakhiri dengan kasus penculikan.

Ardha melangkah naik ke lantai atas sedangkan Nira ke arah kamar tamu diikuti dengan Mia yang sedang menggendong Cila.

Nira memandang Cila yang sudah terlelap di atas kasur, lalu mengusap pelan puncuk kepala cucunya. Kasihan, karena cucunya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. 

Berkali-kali Nira mengenalkan Ardha dengan anak temannya namun respon anaknya selalu membuatnya kesal. Tak ada satupun wanita yang membuatnya tertarik dan selalu membuat alasan bahwa Cila tak ingin mama baru.

Sudah hampir 15 menit memejamkan mata, namun kantuk tak kunjung datang. berulang kali Ardha mengambil posisi ternyaman, tetap saja bayang-bayang perempuan itu mampu meyapu seluruh isi pikirannya. Ditambah dengan ucapan mamanya, mampu membuat Ardha bimbang. 

Bagaimana jika perempuan itu memang orang baik? Raga yang lelah bisa membuatnya tak mampu berpikir jernih dan langsung menyimpulkan apa yang ia lihat.

Seharusnya ia sadar fungsi diciptakannya telinga. Untuk apa diciptakannya indera tersebut jika hanya mata yang diberi kesempatan.

Ardha tiba-tiba mengambil posisi duduk dan segera mencari handphonenya. Cctv, bagaimana bisa ia lupa, caffe itu pasti punya cctv. Ia menekan nomor asistennya untuk mengecek cctv di caffe tersebut.

Kalah Telak Tapi Menarik

...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Dan sesungguhnya jika allah mencintai suatu kaum, dia akan menguji mereka. Jika mereka ridha, maka allah ridha kepadanya. Jika mereka benci, allah membencinya. ...

...– HR At- Tarmidzi...

***

Rasa takut bercampur malu, Elea duduk sambil memeluk lutut menyembunyikan wajahnya dari orang sekitar. Ikat rambut yang ia pakai terlepas bersamaan jilbabnya, hingga rambut panjang dan hitam itu terurai menjuntai sampai menyentuh lantai. 

Isak tangis begitu pilu bagi yang mendengar, namun tak seorang pun berniat untuk menenangkan.

Tangisnya terhenti saat benda menyentuh punggung. Elea mengangkat kepala, tampak pegawai sipir wanita disampingnya sedang mengulurkan sebuah selimut tipis dengan motif garis-garis. Berwana putih biru.

“Biar hangat, udara disini sangat dingin.” ucapnya sembari membalutkan selimut yang tak terlalu lebar, hanya muat untuk satu orang ke punggung Elea.

“Terima kasih.” 

Perempuan itu mengangguk dan mengunci sel dengan gembok meninggalkan Elea. Karena status Elea sekarang belum menjadi tahanan, jadi ia ditempatkan disel khusus.

“Ya allah, ampunilah kesalahan hamba dalam segala urusan dan ampuni segala dosa hamba yang engkau lebih mengetahui daripada hamba. Berikan hamba kekuatan untuk menjalani segala ujianmu, karena sesungguhnya ujian adalah sebagai bentuk penggugur dosa. Dan hamba yakin, engkau memberi ujian sebab engkau menyanyangi hamba.” 

Doa seusai sholat subuh, beruntung Elea punya jam yang melingkar di tangan kiri sehingga ia tahu kapan ia harus melaksanakan kewajiban. Dengan bertayamum dan berbekal selimut yang ia jadikan sebagai penutup kepala.

Elea mengusap tangan yang sedari tadi ia tadahkan bersama bulir yang ikut mengalir di pipinya.  

Dan sesungguhnya jika allah mencintai suatu kaum, dia akan menguji mereka. Jika mereka ridha, maka allah ridha kepadanya. Jika mereka benci, allah membencinya. – HR At- Tarmidzi

Kalimat yang terlontar dari seorang ustadzah dipengajian yang Elea ikuti. Ia tanamkan dalam hati, agar seraya tak mengeluh.

Mentari sudah naik keperaduan, begitu cerah diiringi dengan kicauan burung yang mengalun. Namun sayang tak dapat dilihat dan didengar oleh Elea. Sekelilingnya gelap, tak ada cahaya matahari yang membias. 

Beberapa polisi dan pegawai sipir terlihat berlaluan,punggungnya sakit, karena ia tidur dengan posisi duduk.

Sepiring nasi dengan teman tempe tersuguh dihadapan Elea. Ia menyisihkan tempe ke sisi piring dan hanya makan nasi tanpa pendamping.

Bukan tanpa alasan, ia memiliki riwayat alergi kacang-kacangan. Tubuhnya akan timbul bintik-bintik jika benda tersebut masuk ke dalam tubuh.

Jam menunjukkan pukul sepuluh, yang menandakan pintu jeruji besi bisa dibuka. Tahanan diberi waktu sampai pukul tiga sore untuk keluar dari sel. Sekedar jalan-jalan atau menemui kerabat tertentu hingga batas wilayah yang ditentukan.

“Sendirian, Neng!” ucap ibu-ibu bertubuh gemuk dengan rambut yang dicepol. Ia duduk disamping Elea yang sedang duduk ditaman sembari menikmati pemandangan sekitar.

“Iya bu,” Elea menoleh, kasihan pikirnya. Seharusnya masa tua dihabiskan bersama anak dan cucu dirumah bukan mendekam dipenjara.

“Anak baru?” tanyanya, awalnya Elea tak mengerti. Setelah perempuan disebelahnya bertanya kembali, Elea tersadardan menjawab dengan anggukan.

“Pantas saya baru lihat kamu, kasus apa?”

Elea tersenyum getir, bingung apakah pantas jika ia menceritakan masalahnya pada orang yang baru saja ia kenal.

Namun, lagi-lagi perempuan tersebut bertanya dengan halus dan berucap, “Kadang kita perlu pundak untuk bersandar, berbagi kisah saat hati tak kuat lagi untuk menanggung beban.” ucapnya setelah tak mendapati kembali jawaban dari Elea.

 “Sesuatu yang kita anggap bisa membantu, kadang malah berujung salah dimata manusia ”

“Kenapa tidak coba menjelaskan!”

“Percuma bu, kalau dalam kondisi marah ego memang lebih tinggi, tak menghiraukan ucapan lawannya bahkan tak perduli jika ia salah, yang ia ingin hanya bagaimana cara melampiaskan tanpa memahami keadaan.”

Biasa, sifat manusia merasa paling benar diatas yang paling benar. Sebagian dari mereka kadang tidak sadar atau pura-pura tidak sadar bahwa di atas langit masih ada langit.

“Orang kaya?” tebaknya seraya melemparkan senyum tipis tanpa memperlihatkan deretan gigi sedangkan Elea hanya diam.

Pandangan Elea terfokus pada segerombol semut yang sedang membawa remah biskuit dengan ukuran 2 kali lipat jika diukur dengan tubuh mereka. Allah maha adil, bahkan kehidupan hewan sekecil semut pun sudah ia atur.

“Saya juga seperti kamu,” Elea menoleh dan menunggu jawaban “Kalah oleh harta dan kekuasaan, dicaci bahkan dimaki tanpa mendengar penjelasan.”

“Maksud ibu?”

“Hidup dijaman sekarang sulit, Neng. Tak punya kuasa, kita kalah. Tak punya uang kita tak dipandang.”Elea membenarkan, sekarang yang punya kuasa dihargai dan masyarakat miskin semakin dicaci. Yang punya kuasa diagung-agungkan bahkan kesalahan mereka cenderung ditutupi. Dimana keadilan untuk orang-orang yang lemah dan tertindas?

Memasuki waktu sholat zuhur, Elea melangkah masuk ke dalam jeruji besi. Setelah berwudhu dan meminjam sebuah mukena, ia menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim seraya berdoa dengan tak henti meminta ampunan pada sang pencipta.

“Saudari Elea Anindya Dilla!” Elea baru saja selesai berdoa. Ia memalingkan badan, Pintu jeruji besi telah terbuka nampak seorang perempuan tengah berdiri sambil menatapnya. Elea mendekat dengan mukena yang masih melekat ditubuhnya.

“Ada apa, Bu?”

“Anda bebas, karena dinyatakan tidak bersalah. Kami sudah menemukan bukti yang kuat dan anda hari ini bisa bebas,” 

“Benar, bu” binar mata Elea tampak manyala, ia menatap lekat-lekat perempuan di depannya. Senyum merekah begitu saja dibibir tipisnya.

“Iya, anda bebas hari ini,” monolognya kembali sambil mengangguk dan membalas dengan senyuman yang tak kalah manisnya.

“Alhamdulillah, terima kasih ya allah,”

Memang benar, jika kita ikhlas dalam menjalani segala ujiannya, maka niscaya allah akan memudahkan jalannya.

“Ada yang ingin bertemu dengan anda dan sudah menunggu di gazebo depan.”

“Siapa?” Elea menyerngit, pasalnya tak ada kerabat yang ia punya. Sheryl, pegawainya di toko pun tak mengetahui bahwa ia ditahan.

“Laki-laki, masih muda, pakai kaos oblong warna hitam dan celana jeans robek-robek,” jelasnya semakin membuat Elea bingung. Apa mungkin?

Elea menyeret kakinya ke tempat yang telah disebutkan sipir perempuan tadi. Cukup sulit karena gazebo tidak hanya satu disana, dan jangan lupakan narapidana yang masih berkeliaran karena waktu masih menunjukkan pukul dua.

Elea menyisir, hingga pandangannya jatuh pada ciri-ciri persis yang dikatakan sipir tadi dengan posisi duduk membelakanginya. 

Elea berjalan mendekat “Anda mencari saya?”

Laki-laki tersebut tiba-tiba berdiri dan menatap ponsel mencocokkan foto yang ia dapat dengan perempuan di depannya. 

“Perkenalkan saya Fatih, asisten dari Ardhana Kavin, pemain film Terlambat Jatuh Cinta,” ucapnya sambil menyodorkan tangan.

Elea berusaha mengingat siapa itu Ardhana Kavin, dan pemain Terlambat Jatuh Cinta. Ia tak pernah mengenal sosok tersebut dan ia juga jarang menonton televisi.

Ehemmm, fatih berdehem karena tak ada respon dari perempuan didepannya.

“Eh, saya Elea,” Elea tersadar dan segera menangkup tangannya di depan dada yang dibalas canggung oleh fatih. Salam darinya ditolak, tak seperti perempuan lain.

Banyak yang mengantri untuk sekedar bersalam sapa dengannya meski masih kalah banyak dengan fans Ardha tapi dirinya juga cukup populer.

“Saya tidak mau berbasa-basi,” harga diri Fatih seakan jatuh, ia pura-pura membersihkan tangan dengan menepuk-nepuk dengan tangan disebelahnya.

“Saya sebagai asisten dari Ardhana Kavin, meminta maaf atas namanya karena kesalahan kemarin malam. Berapa pun ganti rugi yang anda minta akan kami penuhi, asal anda tidak membeberkan hal ini ke depan publik dan bisa menjaga citra artis saya,”

“Saya tidak perlu uang anda!” tutur Elea dengan tegas.

“Jadi anda mau apa? Tas, baju, perhiasan?” perempuan di depannya terlalu jual mahal, pikir fatih.

Elea menggeleng “Tak semuanya bisa diselesaikan dengan uang, lagipula saya tidak tertarik dengan tawaran anda. Untuk apa tas, baju, perhiasan atau hal-hal yang berbau mewah jika tidak bisa membawa saya ke jannahnya sang pencipta,”

“Jangan sok jual mahal, saya tidak akan memberikan tawaran yang kedua kalinya.”

“Jangan menilai sesuatu hanya dengan uang, karena kita tak pernah tahu, bahkan pengemis yang hidup gelandangan dijalan pun bisa memiliki banyak uang!”Fatih terdiam, tiba-tiba mulutnya terasa kaku, biasanya jika sedang berada di depan wartawan mulutnya bisa berucap dengan lancar.

“Terima kasih atas tawarannya, tapi sekali lagi saya tekankan, saya tidak tertarik.” ucapan Elea lagi-lagi membuat Fatih semakin tak berkutik.

Elea berpaling menjauh melangkahkan kakinya ke depan gerbang yang menjulang. Tangannya dengan erat memegang kain tipis untuk menutup kepala yang diberi sipir perempuan tadi sebelum ia pergi. Sedangkan Fatih hanya terdiam sembari memegangi jantungnya yang tiba-tiba berdegup dengan kencang.

“Perempuan yang menarik” tukasnya dengan senyum tipis yang merekah diwajahnya.

Lagi?

...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji pula. Sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. ...

...QS. An-Nur Ayat 26....

***

“Mba El, Mba darimana aja? hampir seharian ga ada kabar. Tadi pagi aku ke rumah Mba juga ga ada orang, sepi banget. Mba dari mana aja?”

Elea baru saja sampai di toko bunga miliknya. Pakaiannya sudah rapi dan wajahnya terlihat lebih segar.

Tas berwarna hitam ia letakkan di sebuah kursi kayu terbuat dari rotan yang berada disudut ruangan. Elea melangkah menuju area bunga yang masih tertanam sedangkan Sheryl hanya mengikuti dari belakang.

“Ada urusan mendadak, ga sempat liat handphone juga. Kamu yang buka toko?”

“Maaf aku lancang Mba, aku ngambil kunci toko di laci meja rias Mba El soalnya hari ini banyak orderan yang harus di antar. Kalau ga diantar nanti kita bisa rugi Mba.”

Ada untungnya Sheryl mengetahui bahwa Elea selalu meletakkan kunci rumah dibawah pot bunga, sehingga ia bisa menghandel jika ada urusan mendesak seperti ini.

“Makasih ya,” ucap Elea sambil mengusap kepala Sheryl. Baginya Sheryl bukan hanya sekedar pegawai melainkan seorang adik, hanya Sheryl yang bisa ia andalkan saat ia tak punya orang lagi untuk bersandar.

Beberapa tahun yang lalu Elea menginjakkan kaki dikota Malang, seorang diri tanpa ada satupun sosok yang ia kenal dikota itu. Mencoba berbagai pekerjaan. Hampir setahun, ia berhasil mengumpulkan uang untuk modal membuka usaha toko bunga kecil-kecilan. 

Pertemuan dengan Sheryl tak sedramatis kisah-kisah dinovel. Perempuan mungil itu tiba-tiba datang dan meminta pekerjaan kepada Elea yang juga kebetulan memerlukan tenaga tambahan. 

1 tahun telah berlalu, sekarang Elea mempunyai 4 pegawai ditokonya. 3 pegawai perempuan dan 1 pegawai laki-laki. 3 pegawai perempuan khusus dibagian perangkaian, 1 pegawai laki-laki dibagian pengiriman. Sedangkan untuk perawatan Bunga, Elea sendiri yang merawatnya.

Waktu siang hari ia bagi dengan menjaga toko bunga, sedangkan malam ia jadwalkan untuk mengikuti pengajian. Setiap malam senin, kamis dan jumat dengan pengajian yang berbeda-beda. 

Berusaha mendekatkan dan memantaskan diri, bukankah perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji pula. Sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. QS. An-Nur Ayat 26.

**

“Iya Bi, bentar lagi Syuttingnya kelar. Bilang ke Cila kalau aku bentar lagi pulang.” Ardha menutup panggilan setelah terdengar sahutan diseberang sana.

Mia, menelphone bahwa Cila tidak mau makan dan terus merengek minta bunda. Padahal Ardha lihat Cila pagi tadi baik-baik saja.

Sekarang Ardha sedang dalam perjalanan pulang, Fatih asistennya itu terus saja mengecoh selama perjalanan. Menceritakan pertemuannya tadi dengan Elea. Dia ini, dia itu, dia begini, dia begitu, entah sudah berapa kali telinga Ardha menangkap kalimat yang sama.

“Bisa diam ga sih lo, atau gue gorok tu tenggorokan.” ucap Ardha yang sudah bosan dengan topik pembicaraan. Ia sedang melihat beberapa naskah yang akan ia peragakan esok.

Sedangkan Fatih langsung terdiam dan memfokuskan perhatiannya untuk mengemudi. Lebih baik diam daripada harus membangunkan singa yang mulai lapar. 

Tak ada rasa penyesalan setelah kejadian kemarin malam, walaupun ia tahu bahwa itu adalah kesalahpahaman yang ia sebabkan. 

“Papih…..Tila mau bunah!” rengek Cila saat mobil Ardha baru saja memasuki garasi. 

Gadis kecil itu berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Seragam Tk masih melekat ditubuhnya, tapi sudah dengan keadaan kusut bahkan rambut bergelombang yang tadi pagi diikat kuda sudah luruh dan hanya terkuncir satu.

Kenapa tiba-tiba? Biasanya Cila tak pernah merengek minta mama baru. 

“Tila mau bunah, papih!” gadis kecil itu kembali merengek digendongan Ardha. Wajah bulatnya sudah basah karena air mata disertai dengan hidung yang sudah merah.

Ardha memijat pelipisnya sambil melirik ke atas tempat tidur. Cila sudah berbaring di atas kasur dengan mata terpejam sambil memeluk boneka panda setelah Ardha mengiyakan baru anak tersebut mau makan dan ganti baju.

“Tadi ada acara main games sama orang tua, Pak di sekolah. Biasanya non Cila main sama bibi, biasa aja. tapi entah kenapa pagi tadi non Cila malah nangis pas liat temennya main sama orang tua mereka dan langsung minta pulang ke rumah. Pas tiba di rumah malah merengek minta bunda.”

 “Mungkin non Cila ingat sama perempuan yang kemarin, Pak.”

Ardha dan Fatih yang mendengarkan cerita bi Mia langsung berpandangan. Ardha terdiam, tak ada niatan lagi untuknya memulai suatu hubungan. 

Untung saja mamanya sudah pulang tadi pagi, jika sampai mama Nira mengetahui hal ini, jelas wanita itu akan semakin gencar mencari perempuan untuknya.

Sedangkan Fatih mencari jawaban lewat raut wajah Ardha. Berharap penolakan yang keluar dari mulut laki-laki tersebut.

“Gue balik, jangan lupa besok lanjut Syutting. Gue jemput jam 8!” Fatih pamit sambil meminum segelas kopi yang masih megepulkan asap. 

“Ga kebakar mulut lo?”

“Udah biasa sama yang panas-panas,”

**

Seminggu sudah berlalu dan Cila terus saja merengek minta mama baru. Ardha sampai bosan menjawab pertanyaan puterinya. Ia hanya mengangguk dan mengiyakan tanpa ada niatan mengabulkan.

Diusia yang masih muda, Ardha terlalu minim pengalaman merawat anak bahkan dari kecil Cila sudah diasuh oleh bi Mia.

Cut, teriakan dari sutradara. Ia merasa kurang puas dengan acting Ardha hari ini.

Beberapa kali adegan yang biasanya bisa dilakukan dengan hanya sekali take, hari ini sudah beberapa kali mereka mengambil adegan yang sama hanya karena Ardha yang kurang fokus.

“Kamu kenapa sih, Ar? ga kaya biasanya, ada masalah?” tanya Sovia yang baru saja duduk disamping Ardha. Perempuan lawan main film dengan Ardha.

“Ga ada sih, Cuma capek.”

“Yaudah kamu istirahat dulu, masih ada waktu 15 menit. Kamu mau aku ambilin makan?”

“Ga perlu, kalau lapar gue minta ambilin sama Fatih,”

“Biar aku ambilin sekalian, mumpung aku mau ambil juga, mau?” tanya Sovia lagi. Tak ada jawaban, Ardha justru menelungkupkan tangan menutup wajahnya. 

Sovia menghela napas, sudah beberapa bulan ini ia melakukan pendekatan. Tapi laki-laki disampingnya ini terus melakukan penolakan halus. Sovia pergi dengan wajah cemberut sambil menggerutu.

“Nih, kalau lapar ya lapar aja kali. Ga usah jual mahal, gayanya gamau diambilin padahal aslinya mau.” Fatih datang dengan membawa sekotak makanan.

Baru saja Sheryl pergi beberapa langkah, Ardha langsung meminta Fatih untuk mengambil makan.

“Apa gunanya lo jadi asisten gue,” pernyataan menohok bagi Fatih.

“Ba-cot lo,” 

Ardha tertawa mengejek sembari memakan hidangan makan siang. Mengisi tenaga walaupun ia tahu fokusnya lagi-lagi teralihkan.

“Lo ada masalah apa sih, sampai ga konsen kaya tadi?”

“Emang gitu?”

“Terlihat sangat jelas.” Fatih mengambil kue yang terletak diatas meja dan memakannya sampai habis sembari menunggu jawaban dari Ardha.

“Cila lagi-lagi mau minta bunda.”

Tangan Fatih yang tadinya ingin kembali mengambil kue terhenti. Ia merasa daksanya tiba-tiba berhenti. Entah mengapa ia merasa takut.

**

“Ini alamatnya?” Elea memegang sebuah kertas bertuliskan sebuah alamat, tempat kemana ia akan mengirim orderan bunga.

Sheryl memastikan kembali sambil mencocokkan kertas dengan layar handphonenya. “Benar,” ucapnya lalu mengangguk.

Elea mengehmbuskan napas kasar, cuaca sedang panas-panasnya dan ia harus mengirim sendiri orderan bunga karena pegawai laki-laki ditokonya sedang izin. 

Dan disini sekarang Elea berada. Perumahan elite dengan pagar yang menjulang. Ia tak dapat mengetahui aktivitas orang didalam pada posisinya sekarang.

Ting nong, satu kali bel Elea tekan tak ada pergerakan dari dalam.

Ting nong, untuk yang kedua kalinya tetap tak ada sumber kehidupan.

Ting nong, yang ketiga kali akhirnya pagar bergeser dan menampakkan satpam laki-laki dengan kumis yang tebal, Elea dipersilahkan masuk.

“Bunah!” seru gadis kecil saat Elea baru saja berada di depan pintu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!