Nama ku Humaira Az-Zahra. Aku berusia 22 tahun. Sudah genap sepuluh tahun aku meninggalkan kota ini dan kini aku kembali. Aku kembali dalam misi untuk menemukan kisah ku, kisah yang telah lama ku pendam.
Kisah dimana aku telah mencintai orang itu sejak lama, aku hanya mampu memandanginya dari jauh dan menyimpan rasa ini yang entah sejak kapan sudah tertanam begitu dalam.
Aku bahagia di sampingnya dan aku yakin dia pun akan merasakan kebahagiaan yang sama. Karena kita mengenal bukan hanya setahun atau dua tahun tapi sejak kita berdua masing kanak-kanak.
Setiap mengingat sosoknya, bibir ini selalu menyunggingkan senyum dan dada ini memberikan getaran berbeda. Pertama kalinya dalam hidup ku, aku merasakan yang namanya jatuh cinta.
***
"Kakak!!" teriak Humaira menghambur memeluk seorang laki-laki tampan. Pancaran kebahagiaan tercetak jelas di wajah Humaira saat sang pria datang menjemputnya. Hanya satu kata yaitu bahagia yang bisa dia lukiskan, rasa bahagia yang membuncah di dada
"Humaira!" Sapa pria itu memberikan senyuman manis menyambut kedatangan Humaira, serta membalas pelukan Humaira tak kalah eratnya.
Dia...Muhammad Sameer Bariq pria yang selama ini mengisi relung hati seorang Humaira, pria yang Humaira kagumi bukan hanya fisiknya atau wajah rupawannya yang penuh pesona tapi juga ilmu agamanya serta kecerdasan yang dimiliki Sameer yang menjadi panutannya sekaligus motivasinya dalam belajar.
Selama sepuluh tahun kepergian Humaira, Humaira belajar untuk memantaskan diri supaya bisa bersanding disisi Sameer. Humaira sampai rela menghabiskan masa remajanya di Pondok Pesantren Baiturrahman demi menjadi calon makmum untuk Sameer, bukan hanya dari segi dunia saja tapi juga dari segi akhirat.
Dalam setiap doanya hanya nama Sameer yang selalu Humaira sebut, hanya Sameer yang dia rindukan setelah Ayahnya. Pria bertubuh tinggi tegap, berparas tampan, rahang yang tegas, hidung yang mancung dan kulit putih bersih bercahaya di tambah alis tebal khas orang timur tengah karena sebagian diri Sameer berdarah Qatar yang di warisinya dari sang Ayah Ahmed Bariq.
"Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat jalanan ini" pandangan mata Humaira menelisik sepanjang jalan menuju rumah keluarga Ahmed Bariq.
Sameer yang sedang mengemudi hanya tersenyum mendengar celotehan Humaira yang terlihat selalu ceria dan penuh energi. Humaira kecil maupun Humaira yang telah tumbuh dewasa masih tetap sama, tetap Humaira dengan pribadi yang ceria dan penuh semangat, yang membedakan hanya jilbab yang menutupi seluruh rambutnya dan cadar yang menutupi sebagian wajahnya.
****
Mobil yang Sammer kendarai berhenti disebuah rumah mewah, halaman yang luas dan taman bunga yang indah menambah kesan rumah itu tampak asri, sejuk dan sedap dipandang mata.
"Assalamualaikum" salam Humaira berlari memasuki rumah milik keluarga Ahmed
"Waalaikumsalam" jawab seorang wanita paruh baya yang masih tampak begitu cantik, walaupun keriput sudah mulai bermunculan di wajahnya.
"Humaira sayang" Umi Azizah memeluk Humaira penuh kasih sayang, melepas rindu pada sosok gadis berjilbab itu.
"Umi Iza, Humaira rindu sekali. Umi sehat kan?" Humaira bergelayut manja di lengan Umi Iza, menyenderkan kepalanya di bahu Umi Iza
"Tentu Umi sehat sayang, masya Allah kamu sekarang begitu cantik" puji Umi Iza memandangi penampilan Humaira yang sudah jauh berbeda, gamis maroon dengan hijab panjang dan tak lupa cadar dengan warna senada, membungkus tubuhnya menjadikannya seorang wanita muslimah.
Sepuluh tahun mengabdi di pondok menjadikan penampilan Humaira menjadi lebih agamis dan tentu menjaga auratnya dari pandangan yang bukan mahram.
"Umi, bisa saja. Jelas lah Humaira cantik" senyum Humaira memutar tubuhnya membuat gamisnya mengembang dengan hijab panjang yang berkibar mengikuti gerakan tubuhnya yang memutar.
"Ck...ck..." dengus Sameer yang muncul membawa koper milik Humaira.
"Kau tetap percaya diri sekali, paling wajah mu juga jelek seperti dulu makanya kau tutupi" ejek Sameer melipat tangannya di dada. Senyum smirk tidak lepas dari bibirnya
"Umi, lihat itu Kak Sameer mengejek ku. Apa dia tidak tau kalo aku ini sudah dewasa, sudah 22 tahun?" rengek Humaira masih tetap bergelayut manja di lengan Umi Iza
"Sameer kamu itu tidak boleh begitu, Maira sudah cantik begini kamu bilang jelek"
"Wah...wah...siapa ini yang baru datang rame sekali" sapa Abi Ahmed menuruni tangga menghentikan sejenak perdebatan itu.
"Assalamualaikum, Abi Ahmed yang paling tampan" seru Humaira memeluk Abi Ahmed seperti memeluk ayahnya sendiri.
Sejak kecil Humaira memang sudah akrab dengan orang tua Sameer dan sudah menganggap mereka seperti orang tua sendiri.
"Sepuluh tahun tidak bertemu dengan mu, kau masih pandai menjilat. Mereka itu orang tua ku, aku berasa anak tiri" Sameer menyebik sebal memandang drama yang dibuat Humaira.
Seperti itulah Humaira selalu manja kepada kedua orang tua Sameer, dan mereka juga terlihat sangat menyayangi Humaira seperti anak perempuan mereka sendiri.
"Lihat lah Abi, Kak Sameer begitu iri dengan ku. Abi sayang kan dengan Humaira"
"Biarkan saja dia iri, dan tentu Abi sayang dengan Humaira dan sangat rindu Humaira"
Mereka tampak tersenyum melihat tingkah manja Humaira, rumah yang dulunya sepi kini terasa rame sejak kedatangan Humaira. Humaira seperti memberikan keceriaan di tengah keluarga Ahmed.
****
Suara itu...
Suara indah mengalun di sepertiga malam..
Suara yang melantunkan ayat - ayat Allah yang begitu indah dan menenangkan hati.
Seketika Sameer terpesona mendengar suara indah Humaira, senyum manis tak terelakkan dari bibirnya sesaat mendengar Humaira mengaji.
Sameer akui gadis kecil itu sudah tumbuh dewasa menjadi gadis yang cantik dan cerdas, tentu sifat manjanya yang masih kental melekat pada diri Humaira.
"Kak Sameer..." sapa Humaira menatap Sameer yang berdiri di ambang pintu kamarnya yang memang sengaja tidak Humaira tutup rapat.
"Kakak dari mana?" Tanya Humaira pada Sameer yang tiba-tiba muncul didepan kamarnya yang tampak memerhatikan ia yang baru selesai mengaji.
"Dari dapur, mengambil minum. Apa setiap jam 3 kau mengaji?" tanya Sameer memperhatikan setiap gerakan Humaira yang membereskan alat shalatnya.
"He'em...sudah menjadi kebiasaan di pondok" Senyum Humaira sembari menerawang jauh sesaat dirinya waktu masih di pondok.
Rindu..
Satu kata yang menggambarkan perasaannya saat ini. Walaupun baru seminggu yang lalu ia meninggalkan pondok tapi rasa rindu itu besar sekali ia rasakan. Kebiasaannya saat berada di pondok, serta rutinitasnya mengajar murid pondok membuatnya merindukan suasana pondok yang selalu tenang serta tenteram seperti membawa kedamaian tersendiri di hatinya.
"Kakak mau tidur dulu, suara mu sangat bagus" Sameer mengacungkan kedua jempolnya.
"Ok selamat tidur kakak" balas Humaira tersenyum ceria. Humaira memegang kedua pipinya, wajahnya memerah setelah mendengar pujian yang Sameer lontarkan, hatinya berbunga-bunga semakin membuat Humaira semangat untuk terus mengaji.
***
Suasana pagi yang penuh keceriaan terjadi di dapur tak kala Umi Iza dan Humaira saling bekerja sama membuat sarapan pagi.
Senyum dan tawa menghiasi dua wanita berbeda generasi itu. Umi Iza dengan sifat keibuannya dan Humaira yang manja. Umi Iza tampak menikmati kegiatan memasaknya bersama Humaira karena selama ini ia hanya memasak seorang diri.
"Kamu pintar masak juga sayang" ujar Umi Iza melihat Humaira cekatan menyiapkan sarapan pagi untuk Abi Ahmed dan Sameer.
"Bukan pintar Umi, tapi memang sudah kebiasaan Humaira di pondok. Semua santri perempuan wajib bisa memasak"
“Wah begitu ya, berarti yang menyiapkan menu makanan para santri ya?”
“Iya Umi, disana akan dilakukan jadwal rutin bergantian untuk santri”
"Assalamualaikum" sapa Abi Ahmed dan Sameer bergantian memasuki rumah setelah melakukan kegiatan olahraga pagi.
"Wa'alaikumsalam" balas Umi Iza dan Humaira bergantian. Umi Iza mendatangi Abi Ahmed dengan membawa segelas air minum sedangkan Sameer berjalan menuju dapur untuk melihat Humaira yang masih memasak.
"Sedang masak apa?" Tanya Sameer meneguk segelas air minum di tangannya
"Membuat rendang, apakah kakak masih suka rendang?" Tanya Humaira memastikan makanan favorit Sameer
"Selera ku tidak pernah berubah"
"Kakak mau mencoba mencicipinya?" Humaira menawarkan daging rendang olahan dari hasil tangannya.
"Boleh, aku penasaran gadis manja seperti mu seenak apa masakannya"
"Ck...kak bisa tidak untuk tidak mengejek ku, aku ini koki terbaik di pondok"
Humaira membusungkan dadanya membanggakan diri kalau ia salah satu koki terbaik di pondok. Walaupun ia manja tapi tidak membuatnya malas untuk memasak apalagi itu sudah menjadi kegemarannya.
Sepasang suami istri tampak saksama memerhatikan mereka yang bercengkerama di dapur, canda dan tawa terdengar dari bibir keduanya. Sameer tak hentinya menggoda Humaira membuat pipi Humaira merah seperti tomat.
Ekehmmm....
"Sepertinya kalian senang sekali" sapa Abi Ahmed menghentikan tawa keduanya
"Abi coba cicipi masakan ku, katanya rasanya tidak enak"
Humaira menyendokkan sepotong kecil daging rendang untuk Abi Ahmed. Abi Ahmed menyuapkan daging itu kemulutnya. Daging terasa empuk dengan racikan bumbu yang pas, persis seperti asli buatan orang Padang.
"Apa Abi perlu memotong lidah Sameer supaya tidak bisa merasakan masakan mu yang enak ini?" goda Abi Ahmed menatap Sameer dan Humaira bergantian. Humaira mengangguk antusias menyambut candaan Abi Ahmed, tawa kecil terdengar dari bibirnya.
"Hey...kenapa kau selalu mengadu ke Abi. Dasar anak kecil!!" Sameer mencebik sebal. Mengadu pada Abi Ahmed atau Umi Iza seperti mendapatkan kesenangan tersendiri untuk Humaira, karena itu ia bisa melihat wajah sebal Sameer. Wajah sebal yang menurutnya bisa membuat kadar ketampanan pada diri Sameer bertambah.
"Wajah kakak lucu kalau sebal, dan kakak bertambah tampan. walaupun sedikit" balas Humaira menggoda Sameer. Tawa ringan mengiringi suasana pagi itu di dapur.
***
"Sameer, Abi dan Umi ingin berbicara" ujar Abi sesaat menyelesaikan sarapan pagi mereka.
"Ingin bicara apa Bi?" Tanya Sameer penasaran, Sameer merasa ada pembahasaan yang cukup serius yang ingin Abi Ahmed sampaikan apalagi melibatkan Umi Iza di dalamnya. Biasanya kalau masalah perusahaan Abi Ahmed hanya akan bicara berdua dengannya di ruang kerja sang Abi.
"Sameer..sekarang kau sudah dewasa usia mu sudah cukup untuk membina sebuah rumah tangga" kata Abi Ahmed menatap Sameer.
Sameer mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Abi Ahmed, tidak biasanya Abi Ahmed membahas tentang usianya dan juga tentang rumah tangga. Sameer begitu tau kedua orang tuanya tidak pernah memaksakan kehendak apapun padanya, sekali pun Sameer harapan satu-satunya bagi mereka.
"Maksud Abi apa?" Sameer mengernyitkan dahinya menatap Abi Ahmed
"Sameer..Umi dan Abi sudah semakin tua, Umi sudah ingin menimang cucu. Maka menikahlah, Nak!"
Raut wajahnya nampak terkejut, ini untuk pertama kalinya bagi Sameer mendengar permintaan kedua orang tuanya.
Pemintaan yang sungguh membuat Sameer bingung. Bingung bukan karena tidak memiliki pujaan hati, tapi bingung dengan sang kekasih yang hampir dua tahun ini menghilang.
Menghilang tanpa kabar dan jejak, bahkan ia sudah mengerahkan segala upaya untuk menemukan gadis pujaannya.
Seorang gadis lemah lembut dan senyum yang indah, yang mampu menggetarkan hatinya 4 tahun lalu. Gadis yang mandiri dan cerdas dengan caranya sendiri. Seorang gadis yang bagi Sameer begitu sempurna.
"Apa kau masih menunggu Elena?" Tanya sang Umi hati-hati, tidak ingin menyinggung perasaan putra satu-satunya. Bagi Sameer pembahasan tentang Elena cukup membuatnya begitu sensitif.
Sameer mengembuskan napas panjang sembari mengusap wajahnya kasar.
****
Jangan lupa dukung terus karya ku yaa!!!
• LIKE
• KOMEN
• RATE 🌟🌟🌟🌟🌟
• VOTE seikhlasnya
Dukungan kalian sangat berarti untuk ku
Terima kasih readers
"Umi..Abi..aku tidak ingin menikah" Ucap Sameer menundukkan kepalanya dalam.
Ia tidak ingin menikah untuk saat ini. Ia masih berusaha untuk menemukan Elena, ia tidak akan tenang sebelum bertemu Elena dan meminta penjelasan pada wanitanya. Hatinya sudah terpaut pada sosok Elena.
"Tapi Sameer, ini sudah satu tahun kepergian Elena. Bahkan dia tidak menjawab khitbah mu"
Sang Umi melayangkan tatapan sendunya pada sang putra. Umi Iza begitu prihatin, kisah asmara putranya yang cukup menyedihkan bahkan sebelum menghilangnya Elena, Sameer telah meminang gadis itu.
"Aku tau Umi tapi kini hanya Elena yang masih menguasai hati Sameer. Sameer tidak mampu menggantikan cinta Elena dengan yang lain"
Sameer tetap pada pendiriannya yang hanya akan menikahi Elena. Hanya Elena yang bisa mendampingi seumur hidupnya, dan Sameer hanya menginginkan itu.
"Abi sudah putuskan kamu akan menikah dengan Humaira" tegas Abi Ahmed sembari menatap dalam putranya.
Seketika mata Sameer membulat sempurna, rasa terkejut tampak jelas di wajahnya mendengar keputusan Abi Ahmed.
Ia tidak menyangka Abi Ahmed akan mengambil keputusan menikahkannya dengan Humaira, bahkan dalam pikiran dan hatinya tidak pernah membayangkan akan menjadikan Humaira seorang istri.
Bagi Sameer, Humaira itu sudah seperti adiknya. Dulu ia yang menimang Humaira dan mengendong gadis itu sejak kecil tapi kini ia harus di hadapkan pada sebuah pernikahan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
"Abi jangan bercanda" Sameer tersenyum paksa. Permintaan sang Abi terdengar konyol bagi Sameer.
"Aku tidak mungkin menikah dengan Humaira, Humaira sudah seperti adik bagi ku Bi. Aku menyayangi Humaira sebagai adik, bukan sebagai orang yang aku cintai" tolak Sameer.
Rahang tegas itu tampak menegang menahan emosinya untuk tidak bertengkar dengan sang Abi.
Sameer menentang keputusan Abi Ahmed, dia tidak terima dengan keputusan itu.
Umi Iza sendiri tidak menyangka suaminya akan mengambil keputusan menikahkan Sameer dan Humaira, meski pun jauh dari lubuk hati Umi Iza sangat setuju dengan ide sang suami. Namun seperti yang Umi Iza lihat, respon Sameer tidak begitu baik.
"Sameer tetap tidak setuju Bi, dan TIDAK AKAN PERNAH SETUJU" Sameer menekankan penolakannya atas keputusan sang Abi.
"Abi tidak menerima penolakan" tegas Abi Ahmed tetap pada keputusannya untuk menikahkan mereka dan tidak menerima bentuk penolakan apapun yang Sameer layangkan.
"Abi egois..!" bentak Sameer frustrasi.
Pecah sudah kemarahan Sameer yang sedari tadi di tahannya demi menjaga hormat dan baktinya pada kedua orang tua.
Sameer sangat tau sifat Abi yang keras kepala dan sifat yang tidak bisa di bantah itu. Tapi menikah dengan Humaira tidak pernah ada di dalam daftar hidupnya.
Selama 30 tahun ia hidup bersama Abi dan Umi, baru kali ini Sameer melihat sifat keras kepala sang Abi terhadapnya.
"Sameer...!!!" Bentak Umi Iza
"Kamu tidak sopan membentak Abi mu seperti itu" lanjut Umi Iza tak kalah emosi.
Umi Iza tampak sangat emosi melihat sikap putra semata wayangnya yang berani membentak ayahnya sendiri. Sameer menggelengkan kepalanya seraya menatap sendu sang Umi. Ia benar-benar tidak bisa menikah dengan Humaira.
"Kami tidak pernah meminta apapun pada mu, bahkan kau berhubungan dengan gadis itupun Abi tidak pernah melarang mu. Yakinlah Humaira pilihan terbaik untuk hidup mu di masa depan, bukan gadis itu" Kata Abi Ahmed lembut menekan intonasi suaranya.
"Elena lah yang paling tepat untuk Sameer, Bi. Bukan Humaira. Sameer lebih mengenal Elena"
"Elena tidak pantas untuk mu Sameer, kami memilihkan jodoh yang tepat untuk mu" ujar Umi Iza menggenggam tangan sang putra.
"Sameer yang lebih tau Umi, jangan pernah menjelekkan Elena"
“Tidak ada yang menjelekkan Elena disini Sameer, kami hanya memberikan pilihan terbaik untuk mu” suara lembut Umi Iza mengalun, memecah ketegangan yang terjadi.
“Tapi Sameer yang lebih tau perasaan Sameer seperti apa” tegasnya sekali lagi.
Sameer bangkit dari tempat duduknya dan memilih berlalu dari hadapan mereka. Sameer memilih meninggalkan mereka daripada harus tetap duduk yang ada hanya akan menambah panas perdebatan di antara mereka.
Bllaammm.....!!
Sameer membanting keras pintu rumahnya. Humaira terperanjat mendengar suara pintu terbanting keras sampai mampu membuat fokusnya teralihkan dari laptop miliknya.
"Apa yang terjadi?" gumam Humaira. Humaira memasang wajah bingungnya seraya menerka apa yang terjadi dengan keluarga Abi Ahmed, tidak biasanya keluarga itu membuat keributan di pagi hari.
Sameer sungguh tidak bisa menahan emosinya, saat kalimat penegasan dari sang Abi tentang pernikahannya dan Humaira. Baginya sungguh mustahil menikahi Humaira.
Abi Ahmed dan Umi Iza menghela napas panjang mendapati sikap putra mereka. Mereka pikir Sameer akan dengan mudah menerima Humaira menjadi istrinya, tapi ternyata mereka salah.
Mereka tidak tahu lagi, sampai kapan Sameer akan hidup dalam bayang-bayang Elena yang bahkan tidak pernah menampakkan diri.
Elena yang menghilang begitu saja, membuat seorang Sameer yang lembut dan penuh senyuman menjadi Sameer yang dingin tidak tersentuh.
Entah sudah berapa wanita yang Sameer tolak. Bagi Sameer tidak ada wanita yang menarik selain Elena. Wanita pemilik hatinya.
***
"Abi.." teriak Umi Iza mendapati Abi Ahmed pingsan sembari memegang dadanya.
Humaira yang sedang mendengarkan kajian dari laptopnya segera berlari menghampiri Umi Iza di taman belakang. Keterkejutan serta raut wajah khawatir tampak jelas di wajah Humaira saat menyaksikan Abi Ahmed pingsan.
"Abi kenapa Umi?"
"Sayang, ayo kita bawa kerumah sakit. Abi ada masalah dengan jantungnya" Ujar Umi Iza dengan derai air mata yang terus mengalir.
Tanpa menunggu lama lagi mereka segera menuju ke rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepada Abi Ahmed. Umi Iza tampak begitu sedih, air mata tak mampu lagi di bendungnya.
Humaira pun tak kalah khawatirnya melihat kondisi Abi Ahmed, apalagi saat ia menghubungi Sameer. Sameer tidak mengangkat telponnya, hanya pesan singkat yang Humaira kirim pada Sameer untuk memberitahukan tentang kondisi Abi Ahmed.
"Umi, tenanglah. Kita harus berdoa untuk Abi, kita yakin Abi akan sehat"
Humaira merangkul pundak Umi Iza memeluk wanita paruh baya itu, Humaira sedih mendapati wanita yang sudah di anggapnya sebagai Ibunya sendiri menangis sedih meratapi kondisi sang suami yang masih dalam penanganan dokter.
"Sayang terima kasih ya" Umi Iza menggenggam erat tangan Humaira.
"Umi tidak perlu berterima kasih, Umi itu sudah seperti Ibu Humaira sendiri" Umi Iza mengangguk bahagia. Senyuman pun terbit dari bibir Umi Iza.
Tak selang berapa lama dokter keluar dari ruangan Abi Ahmed bertepatan dengan kedatangan Sameer, wajah Sameer terlihat cemas dan ia berjalan terburu-buru menghampiri mereka.
"Bagaimana keadaan suami saya dok?" tanya Umi Iza tidak sabaran.
"Jantungnya cukup lemah Bu, saya harap Pak Ahmed jangan sampai stres atau pun tertekan karena nantinya akan mengganggu kondisi Jantungnya dan perhatikan juga lagi pola makan Pak Ahmed"
"Apa Abi saya bisa di jenguk dok?" tanya Sameer khawatir sekaligus merasa bersalah dengan keadaan yang menimpa sang Abi.
"Silakan..! tapi jangan terlalu lama ya biarkan istirahat dan pastikan Pak Ahmed jangan terlalu banyak pikiran" Mereka bertiga serempak menganggukan kepala mendengar saran dokter.
"Terima kasih dok"
"Terima kasih kembali Pak Sameer" Dokter itu berlalu pergi setelah memeriksa Abi Ahmed.
Mereka segera masuk untuk melihat keadaan Abi Ahmed. Sameer sungguh tak menyangka sang Abi akan memiliki jantung lemah, selama ini Sameer tidak pernah melihat Abi Ahmed mengeluh tentang jantungnya.
Rasa bersalah menghinggapi hatinya, sedikit banyak kondisi drop Abi Ahmed di sebabkan karenanya. Dia yang tadi pagi membentak sang Ayah dan menolak permintaan sang Ayah yang menginginkannya menikah.
"Abi.." ucap Umi Iza menggenggam tangan sang suami sembari menciumnya.
"Ah istri ku.." balas Abi Ahmed mengelus kepala Umi Iza lembut.
Sentuhan lembut Abi Ahmed usapkan ke puncak kepala Umi Iza untuk menenangkan sang istri tercinta bahwa ia baik-baik saja.
"Abi membuat Umi khawatir" rajuk Umi Iza manja.
Abi Ahmed terkekeh pelan mendengar rajukan bernada khawatir dari sang istri. Meskipun sudah berusia lanjut tapi keromantisan dari keduanya masih tampak terlihat.
Humaira merasa terharu melihat ke harmonisan pasangan suami istri itu, suatu saat nanti Humaira juga ingin merasakan hidup rumah tangga seperti rumah tangga Abi Ahmed dan Umi Iza. Penuh ke romantisan dan ke harmonisan. Sungguh rumah tangga idaman.
"Kenapa Abi tertawa? Umi sangat cemas dengan keadaan Abi, Abi membuat Umi takut"
Umi menyandarkan kepalanya di lengan sang Suami. Tangan Abi Ahmed masih mengelus puncak kepala Umi Iza memberikan penenangan.
"Abi baik-baik saja selama Umi di samping Abi, lihat..Abi sudah sehat kan. Itu hanya masalah kecil" Abi mencium kening Umi penuh rasa sayang.
"Kak Sameer ayo kita pulang saja, disini kita tidak dianggap" Rajuk Humaira yang tidak tahan melihat keromantisan pasangan lanjut usia itu.
"Sepertinya kita menjadi obat nyamuk" goda Sameer mendengus sebal diiringi senyuman. Sameer lega melihat kondisi sang Abi yang baik-baik saja, tidak sampai berakibat fatal pada kondisi jantungnya.
"Kalian ini mengganggu saja" gerutu Abi Ahmed tertawa kecil.
"Abi ini.." Umi Iza menepuk pelan lengan sang suami.
Ketegangan yang sedari pagi terjadi diantara mereka kini menguar begitu saja mengembalikan senyum kebahagiaan.
"Abi.." panggil Sameer pelan menghentikan tawa mereka. Wajah Sameer berubah serius. Jantung Sameer mendadak berdegup kencang, bulir keringat mulai nampak di wajah tampannya. Gugup lebih mendominasi ekspresi wajahnya saat ini. Sameer mencoba meredam rasa gugup itu, Sameer ingin menyampaikan keputusannya akan permintaan Sang Abi dan Sang Umi.
"Setelah Sameer memikirkan secara matang, Sameer bersedia menikah dengan Humaira" kata Sameer hati-hati sembari menatap wajah mereka bergantian. Sameer menghembuskan nafas kasarnya, mengusir ketegangan yang sempat menyelimuti hatinya.
"Maksud kakak apa? Pernikahan apa?" Humaira terkejut sekaligus linglung, sesaat sebuah pernyataan terlontar dari bibir Sameer mengenai pernikahan.
"Nak, mau kah kau menikah dengan Sameer?" tanya Abi Ahmed.
Humaira terdiam...
Mencerna setiap perkataan yang terlontar dari mereka.
Pernikahan? Dia dan Sameer menikah?
Humaira tidak dapat berpikir kenapa Abi dan Umi memintanya menikah dengan Sameer, sedangkan Humaira mengerti siapa yang ada di hati Sameer.
****
Flashback..
Humaira yang baru selesai membuat sarapan di dapur, di minta Umi Iza memanggil Sameer dikamarnya karena pagi ini Sameer ada meeting penting dikantor.
Sesampainya Humaira didepan pintu kamar Sameer, samar-samar Humaira mendengar pembicaraan Sameer ditelpon dengan seseorang yang entah siapa ia tidak tahu. Yang jelas dari suara itu terdengar kalau yang sedang berkomunikasi dengan Sameer adalah seorang laki-laki.
"Bagaimana? Apa kau sudah menemukan Elena?"tanya Sameer penuh harap. Berharap akan mendapatkan berita bahagia dari si penelepon diujung sana.
"Belum Tuan, saya belum mendapatkan informasi apapun mengenai nona Elena"
"Apa kau bilang? belum menemukannya? Ini sudah dua tahun tapi kau masih belum bisa menemukannya. Kau ini tidak becus bekerja ya" bentak Sameer di seberang telpon. Rahangnya menegang menahan gejolak emosi yang mulai menguasai hatinya.
"Maafkan saya Tuan, saya akan lebih bekerja keras lagi untuk menemukan nona Elena"
"Kalau sampai kau belum menemukan Elena atau belum mendapatkan kabar tentang Elena, bersiap kau angkat kaki dari perusahaan dan jangan pernah muncul lagi di hadapan ku. Aku tidak butuh pegawai tidak becus seperti mu" ancam Sameer. Sameer menutup telponnya kasar sembari membanting ponselnya begitu saja.
Selama dua tahun ini Sameer mencari keberadaan gadisnya. Gadis pemilik hatinya.
Sameer memandang bingkai foto berisi wajah Elena, gadis cantik berambut hitam panjang senyum yang merekah. Gadis berkulit sawo matang khas orang Indonesia. Sameer begitu memuja gadis itu, memuja akan kesempurnaan yang dimiliki gadis itu.
"Sayang..kamu dimana? Aku sudah mencari mu sangat lama tapi kau menghilang tanpa kabar" Sameer memandangi wajah Elena yang tersenyum di foto itu.
"Aku merindukan mu Elena, sangat merindukan mu. Selamanya aku akan menunggu mu. Menunggu mu datang kembali kepada ku, karena sesungguhnya hanya diri mu yang ada di hati ku" Sameer mencium foto Elena penuh cinta.
Cintanya sungguh besar kepada wanita itu. Wanita yang sudah menemaninya selama 4 tahun dan menghilang dua tahun lalu sesaat ia selesai meminang gadisnya.
Humaira yang mendengar semua perkataan Sameer merasakan sakit di dadanya, air matanya tiba-tiba mengalir. Humaira tidak menyangka pria yang selama ini selalu ia sertakan di setiap doanya telah memiliki pujaan hati. Bahkan seluruh hati Sameer telah di kuasai gadis bernama Elena.
Humaira dapat melihat kalau cinta Sameer begitu besar untuk Elena, dan Humaira pikir Elena juga punya rasa cinta yang sama besarnya pada Sameer.
Humaira percaya kepergian Elena yang mendadak bukan tanpa sebab, justru mungkin ada penyebab lain yang tidak bisa di ungkapkan Elena kepada Sameer dan orang tua Sameer. Humaira yakin itu.
Flashback end
****
Humaira masih diam membisu mendengar permintaan Abi dan Umi. Humaira merasa ragu, kalau dia menerima Sameer. Apa Sameer bisa mencintainya?. Apa Sameer akan menjaga dan melindunginya sebagai seorang istri bukan sebagai seorang adik. Humaira bingung keputusan apa yang akan ia ambil.
"Nak..." Abi Ahmed menggenggam lembut tangan Humaira menyadarkan Humaira dari lamunannya.
"Humaira Az-zahra maukah kau menjadi istri ku dan melengkapi ibadah ku" ujar Sameer menatap Humaira penuh pengharapan.
Humaira menundukkan kepalanya semakin dalam, air mata mulai mengenang di pelupuk matanya. Ada rasa haru, bahagia, ragu sekaligus tidak percaya kalau Sameer akan menghitbahnya.
"Humaira tidak...." Humaira mengambil napas dalam-dalam.
****
"Humaira tidak..."
Humaira menarik napas dalam, mengembuskan secara perlahan mencoba menetralkan denyut jantungnya yang tidak beraturan.
Semua orang harap cemas menanti jawaban Humaira. Sameer pun pasrah kalau seandainya Humaira tidak menerima khitbahnya.
Sameer dapat memahami kalau gadis itu pasti ragu dan butuh pertimbangan lebih untuk meyakinkan hatinya akan sebuah pilihan yang tentu berdampak pada masa depannya nanti. Karena pernikahan bukan sebuah permainan. Pernikahan hanya akan terjadi seumur hidup.
"Humaira tidak bisa memutuskan sekarang Abi. Bagi Humaira ini bukan perkara mudah, Humaira ingin memantapkan hati atas jawaban dan pilihan Humaira. Karena semua ini akan berpengaruh pada masa depan Humaira nantinya" jawab Humaira begitu tenang walaupun jantungnya tengah berdetak tidak beraturan.
Sesaat Sameer memandang Humaira penuh rasa kagum. Sameer kagum akan kebijaksanaan Humaira. Humaira tidak dengan mudahnya menerima khitbahnya, justru gadis itu meminta waktu untuk memantapkan pilihannya. Sameer sungguh kagum dibuatnya. Gadis kecilnya yang manja punya pemikiran yang bijaksana.
Kalau wanita lain yang ia khitbah, mungkin akan langsung mengatakan ‘iya’ untuk menjadi pendamping hidupnya, karena Sameer termasuk kategori suami sekaligus mantu idaman.
Bagaimana tidak idaman. Sameer di karuniai wajah yang tampan, pekerjaan yang mapan sebagai direktur utama perusahaan properti sekaligus laki-laki yang taat beragama. Tentu itu menjadikan nilai plus pada sosok Sameer.
"Baiklah kalau itu keputusan mu, kakak akan menuruti keinginan mu" kata Sameer memberikan waktu kepada Humaira untuk mempertimbangkan Khitbahnya.
Mungkin dengan menjadikan Humaira istrinya akan membuat orang tuanya bahagia. Sameer juga berpikir tidak ada salahnya menuruti keinginan orang tuanya, toh selama ini orang tuanya tidak pernah menuntut apapun dari dia. Ini akan dijadikan Sameer bukti kalau ia mampu memenuhi keinginan orang tuanya, walaupun harus mengorbankan perasaannya yang selama ini masih di miliki oleh Elena.
****
Mukena putih membungkus seluruh tubuh Humaira, dengan khusyuknya ia menghadap sang pencipta mencurahkan segala keluh kesah yang mengganjal dihatinya.
Baru dua bulan kepulangannya dari pondok, dia harus dihadapkan pada persoalan pernikahan yang selama ini belum terbersit dalam benaknya. Dia belum berniat untuk menikah, bahkan ia memiliki impian untuk kuliah Di Turki dan mengejar segala impiannya.
Meskipun ada cinta di hati Humaira untuk Sameer, tapi justru Humaira menemukan sebuah keraguan. Keraguan akan dibawa ke mana hubungan pernikahannya. Disisi lain Humaira tau Sameer tidak pernah mencintainya. Humaira hanya sesosok seorang adik bagi Sameer.
"Ya Rabb kalau memang engkau menjodohkan ku dengan Sameer, buatlah hati ini tenang dan penuh keyakinan. Berilah jalan terbaik untuk kami, tunjukkan kalau memang dia akan menjadi pendamping hidup hamba sampai ke Jannah nanti"
Humaira memohon kepada Sang Maha Kuasa untuk memberinya sebuah petunjuk, sebuah petunjuk yang nantinya akan ia gunakan untuk memberikan jawaban kepada Sameer. Humaira tidak ingin memutuskannya sendiri, Humaira ingin Allah yang memutuskan siapa jodohnya. Sejatinya, Tuhan Nya lah pemilik jiwa dan raganya.
****
Satu bulan berlalu...
Selama satu bulan itu Humaira terus berikhtiar kepada sang pencipta untuk memberikannya petunjuk dan untuk memantapkan jawaban serta pilihannya.
Selama satu bulan itu Humaira selalu menerima jawaban yang sama, menerima jawaban untuk menjadikan Sameer pendamping hidup. Setiap menyelesaikan sholat Tahajud dan Sholat Istikharahnya selalu wajah Sameer yang muncul, Humaira semakin yakin kalau jodohnya adalah Muhammad Sameer Bariq.
Pria yang selalu ia sertakan dalam setiap doa dan sujudnya, pria yang diam-diam ia sebut di sepertiga malamnya setiap kali ia bermunajat kepada sang khalik. Laki-laki yang ia kagumi dalam diam.
***
Batas waktu yang di minta Humaira telah habis, kini waktunya Humaira memberikan jawaban memberikan jawaban khitbahnya Sameer. Seluruh Keluarga Abi Ahmed pun telah berkumpul diruang keluarga rumah Papa Ibram (Ayah Humaira) untuk mendengarkan jawaban Humaira.
Deg...deg...deg...
Sameer merasakan jantungnya berdetak sangat cepat, tangannya mulai terasa berkeringat. Sameer tidak mengerti mengapa ia merasakan perasaan seperti ini. Bahkan dulu saat menghitbah Elena dia tidak segugup ini.
Apa kini sebagian hatinya telah dimiliki Humaira? Ataukah hanya rasa gugup menanti jawaban yang sudah satu bulan ini ia dan keluarganya tunggu?
Sameer tidak menyangka kalau akan butuh waktu satu bulan bagi Humaira untuk memberikan jawaban atas khitbahnya.
Bahkan selama satu bulan itu, Humaira memilih tidak tinggal dirumah keluarga Sameer. Tapi gadis itu memilih untuk pergi ke Yogja berkumpul bersama keluarganya. Bagi Humaira rumahnya sendiri adalah tempat yang tepat untuk menenangkan hati dan pikiran, untuk bisa menentukan pilihan hidupnya kelak. Apalagi ada kedua orang tuanya disisinya.
****
Flashback
"Abi..Umi..Humaira akan kembali ke Yogja untuk sementara waktu" izin Humaira sembari menatap kedua orang tua Sameer bergantian.
"Mengapa harus kembali ke Yogja sayang?" tanya Umi Iza menatapnya teduh sembari menggenggam tangan Humaira hangat.
"Humaira ingin berikhtiar kepada Allah, untuk menentukan pilihan hati Humaira dan Humaira rasa Yogja adalah pilihan terbaik bagi Humaira" kata Humaira hati-hati.
Abi menghela napas pelan.
Abi Ahmed tau kalau khitbah dan permintaan yang dilayangkannya pada Humaira bukanlah hal yang mudah untuk gadis itu putuskan.
Humaira gadis yang taat beragama dan tau syariat islam yang dijalaninya, tentu ia tidak ingin mengambil keputusan secara gegabah apalagi ini menyangkut masa depannya dan masa dimana ia akan berbakti kepada imamnya kelak.
"Baiklah Nak, kalau itu menjadi keputusan mu. Biarkan nanti Sameer mengantar mu ke bandara" ujar Abi Ahmed memutuskan untuk memenuhi permintaan Humaira.
"Ndak usah Abi, Humaira akan berangkat sendiri. Karena disana nanti Humaira akan bertemu Mama dan Papa, beliau akan langsung menuju ke Yogja" Kata Humaira menjelaskan.
Humaira memang sudah menghubungi kedua orang tuanya tentang khitbah yang disampaikan Sameer, dan ternyata Sameer sendiri telah meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk meminangnya dan semua itu tanpa sepengetahuannya.
Sungguh itu seperti kejutan bagi Humaira, Humaira tidak menyangka kalau Sameer akan melangkah cepat untuk meminangnya.
"Kenapa gak mau diantar Sameer? Sameer pasti tidak akan keberatan sayang" Umi Iza merasa aneh Humaira tidak mau diantar Sameer, karena Umi Iza tau seberapa dekat Humaira dengan Sameer.
"Humaira ndak mau bertemu dengan kak Sameer dulu Umi, Humaira akan bertemu dengan kak Sameer nanti setelah Humaira memantapkan hati" terang Humaira.
"Baiklah nak, Abi dan Umi merestui kepergian mu untuk kembali ke Yogja"
"Terima kasih Abi..Terima kasih Umi" Humaira tersenyum cerah sembari mencium tangan mereka berdua secara bergantian.
Humaira harap, setelah kepergiannya ini ia bisa lebih memantapkan hatinya lagi untuk mengambil keputusan. Apalagi nanti akan ada Mama dan Papa yang akan membantunya memberikan jawaban atas keresahan hatinya ini.
Humaira berangkat ke bandara diantar oleh Mang Asep tanpa di temani Abi dan Umi. Abi masih membutuhkan waktu istirahat yang cukup untuk menjaga kesehatannya.
Sedangkan Sameer, pria itu sudah sejak pagi pergi ke kantor untuk mengurus beberapa meeting penting yang berkaitan dengan perusahaan. Bahkan Sameer tidak tahu dengan rencana kepergian Humaira ke Yogja.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!