NovelToon NovelToon

Aku Bukan Istrimu

Part 01 Gadis mirip Sekar

Kematian Sekar di hari yang baru saja melakukan ijab Qobul benar-benar membuat seluruh anggota keluarga berduka. Seharusnya pesta itu berlangsung untuk membawa kebahagian bagi kedua pasangan tapi nyatanya justru berakhir dengan banjir air mata.

Terutama Angkasa Sadewa, Ialah orang yang paling terpukul disana. Sebab Ia dan Sekar sudah menjalin hubungan sekitar lima tahun lamanya. Demi fokus mengejar mimpi, baru sekarang Angkasa berani menikahinya. Itu semua dilakukan agar nantinya mereka bisa membangun keluarga yang bahagia.

Sayang, semua itu telah pupus bersama perginya Sekar untuk selama-lamanya hari itu juga. Angkasa baru tahu, Perempuan yang sudah sangat lama mengunci hatinya tengah menderita kanker darah stadium lanjut dan tidak memberitahukan kepada siapapun juga.

"Sekar, kenapa kamu pergi secepat ini? Bahkan kita belum sehari menikah, Sayang. Apa kamu tahu, aku sudah bersabar menanti selama lima tahun bersamamu, dan saat kita sudah ditakdirkan bersama kenapa kau malah pergi untuk selama-lamanya? Aku menderita, Sekar."

Angkasa memeluk jenazah yang sudah kaku diatas brankar rumah sakit masih memakai baju pengantin. Hanya air mata yang tercurah, menunjukkan betapa terpukul hatinya saat itu.

"Sudah, Angkasa. Sekar sudah bahagia disana. Ikhlaskan dia," ucap Bu Widya. Dia adalah perempuan yang melahirkan Sekar seorang diri tanpa pernah menyerah. Melewati masa panjang dan pelik Ia lalui demi kecintaannya. Bercerai dari Ayah Sekar, akibat perempuan ja_lang sudah berhasil menghancurkan hidupnya.

"Tapi Angkasa belum ridho, Bu. Pernikahan kami baru terjadi beberapa jam yang lalu, dan_ dan sekarang Sekar sudah tidak ada, Bu."

Angkasa memeluk Bu Widya, Ia tak sanggup menahan gejolak perih yang terus memusar dalam hatinya, enggan rasanya Ia melepaskan kepergian Sekar.

Apa yang bisa Ia lakukan? Menggocang-goncang tubuh Sekar pun tidak ada gunanya. Sekali pun pahit itu harus Ia telan.

...🌾🌾🌾🌾...

Beberapa waktu telah berlalu, sejak kejadian itu Angkasa kerap kali tidak bisa mengendalikan diri. Emosi yang mudah terpancing, membuat semua orang takut kepadanya.

Seperti pagi itu, dia memasuki kaffe dan meminta pesanannya segera disediakan tapi pelayan yang kerepotan membuatnya menjadi terlambat.

Brak!

Angkasa menggebrak meja.

"Hey, pelayan bod_oh, kenapa kalian lelet sekali, ha? Aku sudah sepuluh menit disini. Bisakah kalian bekerja lebih cepat lagi!"

Perbuatannya menjadi tontonan, mereka menatap aneh pada Angkasa tapi dia tidak perduli. Baginya, pembeli adalah raja yang harus dilayani dengan sopan dan cepat.

"Ma_ maaf, Mas. Pelanggan hari minggu cukup padat jadi kami sangat kelelahan," ujar salah seorang pelayan perempuan, yang ingin meredam amukan Angkasa. Ia hanya menundukkan kepala tanpa berani menatap. Seragam Kaffe dan topi berlogokan KRP melekat sempurna dalam tubuhnya.

"Emang aku peduli, kamu mau, kalian semua dipecat hari ini ya?"Sentak nya, tanpa aba-aba.

"Iya, Mas. Tadi pesan apa ya, biar aku yang ambilkan?" Gadis itu bertanya lagi, pasalnya yang melayani Angkasa beberapa menit yang lalu bukanlah dirinya.

"Tidak usah, dasar pelayan bo_doh. Tidur saja dirumah jika tidak becus bekerja!"

Sudah bersikap baik, tapi Angkasa tetap kurang ajar membuat gadis itu memanas.

"Mas, kalau tidak sabar. Masak sendiri saja dirumah, ini tempat umum. Mana bisa mau buru-buru seperti kehendakmu," balasnya balik, menodongkan tatapan pada Angkasa saat mengangkat kepalanya.

Angkasa menganga dan tercekap, lalu menumpahkan saos di jari telunjuknya untuk mencicipi kalau dia tidak sedang bermimpi.

"Sekar? Ini beneran kamu, Sayang. Kamu tahu gak? Aku kangen banget lo sama kamu," ujarnya memegang pundak gadis itu dengan lancang, mengundang bola mata gadis itu mengikuti tangan Angkasa.

Byur!

Satu gelas jus yang ada ditangannya mendarat diwajah Angkasa tanpa dosa. "Dasar, mata keranjang. Kau pikir aku cewek murahan, ha?"

Angkasa terkejut tak percaya, ketika orang yang mirip istrinya itu melakukan hal memalukan di hadapan orang banyak. Tanpa melepas pandangan kearah gadis tersebut, Angkasa menarik tissue kering untuk mengusap wajah dan jasnya.

Gadis tersebut hendak beralih, namun seperti sebelumnya Angkasa menahan lengannya. "Sekar, ku mohon jangan pergi aku merindukanmu. Sudah sebulan ini, aku merasa hidupku sudah berakhir. Tolong kembalilah, Sekar."

Angkasa berlutut sampai menciumi tangan gadis itu akan tetapi karena dia tidak mengenal Angkasa, Ia pun melangkah mundur.

"Apa kamu sudah gila, ha? Aku bukan Sekar, kamu pasti sudah tidak waras," ucapnya berulang, mencela dan marah.

"Sekar, aku suamimu. Kamu lupa ya? baru kemaren kita menikah, Sayang." Angkasa terus meyakinkan diri jika Ia ada hubungan dengan wanita itu.

"Aku bukan Sekar," pekiknya, lelah menjelaskan.

"Kau_ kau melupakan ku?" Tanya Angkasa, belum yakin.

Gadis itu menyeringai. "Aku bukan, Sekar. Berhenti mengada-ngada, Mas." Gadis itu kembali menegaskan.

Angkasa sangat kecewa saat mendapat penolakan itu. Ia sangat yakin kalau yang ada didepannya adalah seorang istri yang Ia nikahi belum lama ini.

Angkasa bangkit dari duduknya dan menatap jengah kearah gadis itu lalu menggeret taplak meja hingga vas bunga, sendok serta botol kecap dan Soas diatasnya jatuh berserakan kelantai.

Gadis itu terbelalak. "Mas, apa-apaan ini kamu mau merusak kaffe Bosku?"

"Aku tidak peduli, kau harus ikut denganku." Angkasa menarik lengan gadis itu dengan paksa.

"Ihk, lepas Mas. Kamu mau bawa aku kemana sih? Kan, aku udah bilang, jika kamu salah orang."

Tepi di ambang pintu, seorang lelaki paruh baya menghentikan sikap Angkasa. Ia berpindah mengamati wajah gadis disamping Angkasa secara menyeluruh.

"Lepaskan dia!" Ucapnya meminta.

"Ayah..!"

"Angkasa, lepaskan dia!" Sang Ayah mengulangi, hanya tatapan dingin yang terpancar.

"Tidak, Ayah. Aku sangat mencintai Sekar. Tolong jangan pisahkan lagi," tolaknya, tidak terima.

Sang Ayah menepuk pundak Angkasa. "Percayalah, Ayah hanya ingin bicara empat mata dengan istrimu."

Gadis itu terkejut dan menggeleng. "A_ apa Mak_?"

Ayah Angkasa meminta dia diam, dengan mengisyaratkan jari telunjuknya diatas bibir, Hanya itu, yang bisa Ia lakukan agar Angkasa tidak merasa dibohongi.

"Ayah, kau akan mengembalikan Sekar padaku 'kan?" Angkasa, ragu-ragu.

Sang Ayah mengangguk. "Tentu, Nak. Tunggulah di mobil. Ayah dan Sekar akan menyusul," jawab Sang Ayah, berjanji.

Angkasa tersenyum, Ia menyempatkan diri melirik Gadis disampingnya yang dibingungkan oleh perlakuan mereka. "Aku tunggu diluar!" Ujarnya, berpamitan.

Angkasa melangkah pergi tanpa adanya jawaban dari mulut Wanita yang dianggapnya adalah mendiang Sekar. Sedangkan Ayah Angkasa Pak Dewok tahu, jika gadis itu tidak menyukainya.

"Bisa kita bicara?" Pak Dewok mempersilakan Keluar dan Gadis itu mengalah agar mengetahui apa yang ingin Ayah Angkasa katakan padanya.

Keduanya berpindah ke tempat sepi dimana tidak ada orang lain selain mereka disana. "Kenapa melibatkan saya, Om?" tanyanya tidak mengerti.

"Hanya kamu yang bisa membantu menyembuhkan derita Angkasa, Nak," jawab Pak Dewok. "Boleh tahu namamu?" Imbuhnya melanjutkan.

"Perlukan ku beritahu, sebab aku tidak tahu tujuan kalian?" tanyanya lebih dulu.

"Saya mohon, Nak. Angkasa sangat menderita, dan aku yakin hanya kamu yang mampu mengembalikan jati dirinya."

Part 02 Tawaran

"Maaf, Om. Aku tidak mau, tidak semudah itu menyetujui keinginan orang asing seperti kalian. Siapa sih yang tau kalau Om dan pria tadi tidak punya maksud terselubung," jawab Gadis itu, cekatan. Berpikir jauh kedepan.

Pak Dewok nampak bersedih, Ia tahu semua terasa mustahil baginya memohon pada seseorang yang Ia sendiri tidak tahu asal usulnya tapi Ia lebih prihatin lagi akan kondisi Angkasa. Anak semata wayang yang selalu Ia sayangi, hampir setiap waktu mengalami depresi hebat tampa kenal tempat. Mempermalukan dirinya sendiri dihadapan orang yang bisa saja senang melihatnya terjatuh.

"Ini memang sangat tidak mungkin, Nak. Tapi percayalah, aku hanya membutuhkan bantuan mu semata," Tukas Pak Dewok, sekali lagi. Pria paruh baya tersebut menangis sambil melangkahkan kakinya dengan berat berharap orang yang dimintai tolong akan memanggilnya.

"Bulan...!" Teriak Maya, sahabat karibnya dari kejauhan. "Ada telpon dari rumah sakit katanya adikmu kejang lagi."

Mendengar panggilan itu Pak Dewok menghentikan langkahnya.

"Ya Allah, Fatan. Apa kata Dokter, May?" Tanya Bulan, gadis yang dianggap mirip Sekar barusan terlihat sangat khawatir.

"Gak tau, ngomong aja sendiri!" Ujar Maya sambil menyerahkan ponselnya ketangan Bulan.

Bulan tergesa-gesa menempelkan benda pipih tersebut ditelinganya. Entah apa yang dikatakan Dokter hingga air matanya menetes bagai hujan gerimis.

"Haruskah sekarang, Dok? Saya belum punya uangnya, hiks...."

"Iya, Dok. Saya akan usahakan secepat mungkin tolong berikan yang terbaik," Lanjutnya lagi, hanya terdengar jawaban dari mulutnya.

Setelah ponsel itu off, Bulan langsung memeluk Maya. Ia bingung harus melakukan apa demi adik kesayangannya. Selama ini Bulan Tamara hanya hidup berdua dengan adik lelakinya Fatan yang berusia sepuluh tahun. Apa pun Ia lakukan demi kepentingan sang adik untuk kebahagiaanya tapi kali ini urusannya adalah uang yang sangat banyak, dan sangat sulit mendapatkan benda tersebut dalam waktu singkat.

"Maya, aku harus bagaimana? Aku tidak sanggup jika harus kehilangan Fatan sekarang, dia adalah satu-satunya keluarga yang menjadi sumber kekuatanku," Laranya, tengah terisak-isak.

Maya hanya bisa mengusap punggung Bulan, sebagai sahabat Ia juga Iba tapi kondisi tak memungkinkannya untuk membantu Bulan. "Sabar, Lan. Aku yakin akan ada jalan keluar untuk adikmu, kamu yang tenang ya. Coba aku telpon Pamanku dulu, siapa tau dia bersedia meminjami mu lagi."

Bulan mengangguk. "Makasih, May. Kamu selalu ada saat aku kesulitan."

"Sama-sama." Maya mengurai pelukan, dan segera menghubungi Pamannya.

"Halo, Om!"

"Halo, May. Kenapa, Sayang?" Jawab dari dalam layar.

"Paman, Maya bisa mintak tolong?"

"Soal apa?

"I_ ini, Paman. Sahabat Maya, Bulan. Mau pinjam uang lagi buat operasi Fatan."

"Apa? Gak bisa, jangan aneh-aneh ya May. Paman sudah sangat baik dengan dia. Uang 5 JT yang kemaren saja belum lunas mau pinjam lagi kau pikir Paman Bank."

"Tolonglah, Paman. Fatan sedang sekarat."

"Tidak, katakan padanya Paman tidak punya uang."

Tut! Tut! Tut!

Sambungan ponsel terputus, Maya menoleh kearah Bulan yang belum juga berhenti menangis. "Maaf, Lan." Satu kata itu.

"Gak papa, May. Aku mengerti, Paman takut jika nanti aku tak sanggup membayarnya." Bulan hendak pergi.

"Tunggu...!" Cegah Pak Dewok, Ia berlari mendekat.

"Ada apa lagi si Om? Aku harus pergi," Tanya Bulan sedikit ketus. Kekalutannya melupakan norma kesopanan.

"Aku cuma mau menawarkan sesuatu dan terserah kamu mau menerima atau tidak, Nak," kata Pak Dewok tetiba.

Bulan mengernyit. "Soal apa?"

"Jika kamu bersedia menjadi istri pura-pura Angkasa, aku akan membiayai pengobatan adikmu sampai tuntas dan menjamin kehidupan kalian," Jawabnya, berterus terang hingga membuat Bulan membisu.

"Wah, keajaiban. Ini pasti rezeki Fatan, Lan," Sahut Maya antusias dan merespon positif penawaran Pak Dewok. Padahal Ia sendiri baru melihatnya.

Beberapa saat kemudian Bulan menggeleng. "Tidak, Om. Saya bukan cewek murahan," Tandasnya tanpa berpikir ulang. "Om tahukan status seorang istri?" tanyanya balik dan mampu membungkam ucapan Pak Dewok.

"Aku mengerti, Nak. Tapi Om tidak memaksa, ini hanya bentuk penawaran Om untuk dirimu dan Om akan berusaha agar Angkasa tidak pernah menyentuhmu."

Pak Dewok mengambil kartu nama dari dompetnya lalu memberikannya pada Bulan. "Pikirkan baik-baik demi adikmu. Disitu ada nomor telponku yang kapan saja bisa kau hubungi jika pikiran mu berubah."

Pak Dewok pergi meninggalkan Bulan dan Maya yang terpaku menatap punggungnya menghilang dibalik puluhan mobil di restaurant itu.

Setelah yakin sudah menjauh, Maya memukul lengan Bulan.

Plak!

"Maya, apa-apain sih?" Bulan mendelik memandang sahabat nya.

"Dasar bodoh, ngapain nolak sih, Lan? Kamu tidak kasihan melihat kondisi Fatan. Dia butuh pengobatan sekarang bukan nanti. Aku mohon turunkan ego mu soal melindungi harga diri jika kamu ingin melihat Fatan sembuh seperti sedia kala, Lan. Pikirkan itu baik-baik, Allah juga tahu kita sedang berjuang melakukan hal yang benar."

Usai mengingatkan Bulan, Maya yang kesal meninggalkannya seorang diri. Gadis itu duduk lemas di pinggir teras dan menangis sesenggukan.

"Hik... Hik... Hik... Fatan, bertahan ya, Dek. Kakak sayang sama kamu!"

Bulan mengacak-acak rambutnya, Ia tidak tahu mana jalan yang harus ditempuhnya. menurut sakit bertahan apa lagi. Sejenak dalam tangis, Bulan menyeka air matanya lalu mengamati kartu nama yang tertera di telapak tangan peninggalan Pak Dewok barusan.

Haruskah ku lakukan ini? Tapi sampai kapan? Bagaimana kalau aku tidak mampu? Apa semirip itu wajahku dengan, Sekar? Pemuda tadi terlihat begitu mencintai wanita itu. Emangnya Sekar kemana? Sampai-sampai dia salah mengenali wajah orang?

Bulan disibukan dengan sejuta prasangka, tapi benar kata Maya. Bagaimana kalau Fatan tidak tertolong gara-gara dia banyak pertimbangan.

Bulan segera bangkit dari rasa terpuruk dan mencari keberadaan Pak Dewok di lahan parkir namun sepertinya baik Pak Dewok maupun Angkasa sudah tidak ada disana lagi.

Sedangkan didalam mobil, Angkasa mengamuk. Ia memaksa ingin turun dan kembali mencari Sekar ke Kaffe KRP.

"Ayah, tolong turunkan aku. Angkasa ingin pulang sama Sekar, Ayah! Kenapa Ayah begitu jahat. Tidak sayangkah Ayah sama Angkasa yang sangat menderita merindukan istri? Bagaimana jika situasi ini Ayah yang alami? Apa Ayah akan sekuat ucapan Ayah?" Angkasa menodong Pak Dewok dengan banyak pertanyaan dan terus memekik tanpa henti.

"Angkasa...!" Pak Dewok naik pitam.

"Move-on, Nak. Se_ Sekar sudah tidak ada, dia sudah meninggal," ujarnya sedikit pelan, karena Angkasa tidak akan terima bila mendengar ucapan yang mengatakan Sekar sudah pergi dari dunia.

Angkasa langsung mengulum bibir. Ia agak linglung merespon perkataan Ayahnya. Semua yang dilewatinya menurut Angkasa sendiri hanya mimpi semata. Sekar masih hidup dan hanya menghilang sesaat saja. Paktanya Ia telah menemukan Sekar di kaffe tadi sedang menjadi seorang pelayan.

Part 03 Tidak Ada Pilihan

Mengalami hal yang belum siap lahir dan batin, Angkasa akhirnya menumpahkan semua rasa yang membelenggu hatinya dengan cara menangis sejadi-jadinya

"Hwa... Ini hanya mimpi, Ayah. Aku sangat yakin kalau Sekar masih ada dan tadi aku melihatnya. Huhuhu... Ayah pasti sengaja kan ingin memisahkan aku dengannya. Iya kan, Ayah? Jujur saja sama Angkasa?" Pemuda berusia 24 tahun itu memonyongkan bibir bisa dibayangkan betapa lucunya wajah yang tidak ada bedanya dengan anak kecil itu. Meski ditepis oleh perasaaan yang menyayat gati Pak Dewok.

Lelaki paruh baya itu memeluk Angkasa dan menepuk-nepuk punggungnya, sengaja Ia perlakukan bagaikan bayi agar putranya tidak merasa sendirian. "Sabar, Nak. Kalian tidak berjodoh, makannya Allah memisahkan kalian dengan cara Nya."

"Ta_ tapi Yah, hidupku hampa tanpanya." Angkasa memukul punggung sang Ayah cukup keras, ajaibnya Pak Dewok hanya meringis dan tidak bersuara sama sekali.

"Oke, Iya, iya, kita pulang ya, nanti kita nyebur kekolam renang terus main bola, mau?" Pertanyaan sang Ayah mendapat anggukan Angkasa. Pemuda yang dulu sangat lah cool dan tegas kini berubah menjadi sedikit manja dan lembek.

Pak Dewok melanjutkan perjalanan, menuju rumah mereka. Disana, mereka turun dari mobil. Bak anak kecil yang tidak sabaran, Angkasa langsung berlari kearah kolam renang dan nyebur.

Byiuuur!

Air kolam tersebut bergejolak bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh.

"Ayah, ayo kemari!" teriaknya, melambaikan tangan kearah Pak Dewok. Ia tersenyum dan mengangguk lalu mau menyusul tapi Arumi sang Istri menahannya sejenak.

"Yah, tolong jangan perlakukan Angkasa layaknya anak kecil. Dia sudah dewasa, Yah. Biarkan dia belajar mengikhlaskan kepergian mendiang istrinya."

Pak Dewok menghela nafas. Tidak tau caranya mengalihkan pemikiran Angkasa memang sangatlah berlebihan dan tidak memikirkan kalau kepribadian sang anak benar-benar berubah.

"Apa yang bisa ku lakukan, Bu. Aku hanya ingin membahagiakan dan menghiburnya. Jika tidak, dia akan merusak semua benda yang ada dirumah ini tanpa sisa. Apa Ibu mau?" Pak Dewok dan Arumi menatap kearah Angkasa sedang asyik berbicara sendiri. Memainkan air, dengan cara melambungkannya keatas.

Angkasa menoleh kesana-kesini mencari sesuatu, Ia menemukan ember sabun busa diujung kolam. Sabun yang sengaja diperuntukkan untuk dirinya.

Angkasa segera mengambilnya lalu menggosokkan benda itu ketangan nya, setelah itu Ia meniupnya hingga berupa bola-bola kecil yang beterbangan.

"Hore, Ayah. Angkasa bisa buat kan, bagus gak Ayah?" tanyanya, menginginkan pujian.

Pak Dewok dan Arumi terpaksa mengembangkan senyum. Hati mereka sangat terpukul melihat kondisi Angkasa.Pemuda tampan yang seharusnya berwibawa kini terlihat gemulai dan haus cinta kasih sayang.

"Ibu lihat sendirikan, kepergian Sekar telah menghancurkan hidupnya. Kita tidak tahu seberapa dalam Cintanya pada wanita itu hingga kehilangan Sekar merampas sebagian hidupnya," ucap Pak Dewok, gamang.

"Iya, Yah. Jika kita Carikan Istri baru bagaimana, Yah?Siapa tahu Ia bisa melupakan Sekar." Bu Arumi menyarankan, segala sesuatunya bisa saja terjadi.

Pak Dewok mengerutkan dahi, mencerna ucapan sang istri dalam otak kecilnya. Mengingatkan dirinya tentang perempuan yang mirip Sekar di kaffe tadi.

Seandainya gadis itu setuju. Aku yakin Angkasa bisa kembali normal secepatnya...

"Ayah, ayo kemari! katanya mau main bareng!" Angkasa menagih janji, menyadarkan pikiran kusut Ayahnya.

"Oh, iya Nak. Ayah nyusul ni," jawabnya setengah berteriak. "Bu, tolong siapkan handuk ya!" titahnya pada sang istri dan diangguki Arumi.

Byur!

Hentakan air kembali bergelombang. Keduanya tenggelam dalam permainan gelembung udara. Sulitnya meladeni Angkasa, sang Ayah yang sudah tidak sekuat dulu rela berkorban demi anaknya begitu juga dengan Bulan yang terus berjuang untuk keselamatan adik satu-satunya Fatan.

Ia masuk dan mencari Maya yang ternyata sedang menerima telpon serupa dari rumah sakit.

"Tolong berikan pengobatan terbaik, Dok. Kakaknya sedang mengusahakan uang itu. Tolong, Dok."

"Baiklah terima kasih, Dok."

Maya mengusap dada, rasa iba seakan menghantui dirinya. Tapi Ia hanya bisa mendoakan karena ekonominya juga tidak terlalu baik. "Kasihan, Bulan. Maafkan aku ya?"

Bulan menundukkan kepala, membiarkan air matanya kembali berderai. Sedari kecil mereka hidup terlantar dan sampai saat ini tidak punya arah dan tujuan yang jelas untuk menggantungkan hidup mereka berdua.

Sekuat hati, Bulan mau mengatakan jika Ia akan menyetujui tawaran Pak Dewok demi adik kesayangannya. Baginya nyawa Fatan sangatlah berharga dibanding dirinya sendiri.

"May, boleh pinjam Handphone?"

"Untuk apa? Aku malas meminjami mu jika kau keras kepala, Lan," ketus Maya. Ia kesal dengan keputusan tergesa-gesa yang Bulan ambil.

"Aku mau bicara dengan Pak Dewok, untuk membicarakan masalah ini," jawabnya penuh keterpaksaan.

Maya langsung melebarkan mulutnya. "Ha? itu artinya kau akan melakukan permintaan Pak Dewok, Lan?"

Bulan mengangguk. "Tidak ada cara lain, May. Rupanya mempertahankan harga diri tidak sebanding dengan nyawa seseorang.

"Tu, kamu tahu. Fatan adalah adikmu maka kau harus berkorban untuk hidupnya." Maya memberikan ponsel tersebut, dan Bulan langsung mengetik nomer yang tertera.

Ponsel Pak Dewok yang masih sibuk main air dengan Angkasa menggema ditepi kolam. "Tunggu, Nak. Siapa tau penting?"

Pak Dewok berenang menepi dan menerima nomer tanpa nama tersebut. "Halo, ada yang bisa saya bantu?"

Bulan mendadak gugup. "I_ ini benar dengan Pak Dewok?"

"Benar, dengan siapa ya?"

"Sa_ saya Bulan, Om. A_ apakah penawaran Om tadi masih berlaku?" Tanya nya meragu.

Pak Dewok nampak sangat gembira. "Kau mau menerima tawaran itu?"

"I_ iya, Om Dewok. Bisa kita bertemu dirumah sakit sekarang juga. Karena adikku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

Pak Dewok mengangguk. "Bisa-bisa, saya akan segera kesana. Tolong Share lokasinya ya!"

Bulan dan Maya langsung melepas senyum. Harapan mereka untuk Fatan agar segera terealisasi. "Baik, Om. Makasih sudah mau membantu."

Selepas ponsel terputus, kedua gadis itu saling berpelukan.

"Kamu benar, May. Aku harus berkorban untuk adikku. Rasanya beban ini sedikit berkurang, kalau begitu aku pergi dulu ya!" Bulan berlari meninggalkan Maya yang termangu dengan senyum puas saat wajah sahabatnya terlihat begitu ceria.

"Alhamdulilah, akhirnya Fatan mendapat pengobatan juga."

Tiga puluh menit dalam perjalanan, Bulan yang naik angkutan Umum segera turun dan membayar ongkosnya. Ia berlari menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan sederhana dimana Fatan dirawat. Pasalnya Ia tidak mampu menyewa ruangan VIP untuk sang adik.

Rupanya Pak Dewok sudah menunggunya di depan ruangan Fatan beberapa menit lebih dulu darinya.

"Om Dewok, ayo katakan sekarang apa yang harus saya lakukan supaya Fatan segera dioperasi, Om," ucapnya tersengal-sengal. Tidak sempat mengatur nafas lebih dulu.

Pak Dewok memegang pundak Bulan. "Tenanglah, Nak. Adikmu sudah tidak didalam, dia tengah ada diruangan Operasi, jadi berdoalah agar semuanya berjalan lancar."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!