POV Kinay
Namaku Alkinay Claudia Emmanuela, bisa dipanggil Kinay. Aku merupakan putri tunggal dari pasangan Baharudi Emmanuell dan Fatma Waranda.
Ayahku adalah seorang atasan di salah satu kantor yang ada di jalan Pusaka. Dan ibuku adalah seorang atasan juga di salah satu butik terkenal yang ada di jalan Melati.
Meski tidak punya saudara, tapi aku bangga memiliki ayah dan ibu yang selalu menyayangiku setiap hari.
Di rumahku yang cukup besar, aku mempunyai dua pembantu. Yang pertama, namanya Bi Minah, bisa dipanggil Bimin, beliau tidak pernah lupa bersih-bersih rumah, nyiapin makanan dan lain sebagainya. Terus yang kedua namanya Mang Agus, beliau yang sering antar jemput aku ke sekolah setiap hari.
Bimin dan Mang Agus sangat menyayangiku seperti anak kandung sendiri. Dan aku tidak keberatan untuk hal itu.
Di pagi yang cerah ini, aku tergesa-gesa turun dari tangga dan berjalan menuju ruang makan. Aku melihat Ayah dan Ibu sudah stay duduk sambil menyantap sarapan pagi yang dibuat oleh Bimin.
"Selamat pagi, Mah, Pah," sapaku dan langsung mengambil selembar roti yang sudah diolesi selai cokelat.
"Selamat pagi juga putri Papah yang cantik," balas Ayah disertai senyuman.
"Duduk dong Sayang kalau makan," titah Ibu saat melihatku makan roti sambil berdiri.
"Lagi edisi buru-buru, Mah," sahutku yang masih mengunyah roti.
Kulihat Ayah dan Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung mencium tangan kedua orang tuaku secara bergantian.
"Dah, Mah. Dah, Pah."
"Dah, Sayang. Hati-hati!"
"Ayo, Mang Agus, kita berangkat," ajakku saat melihat Mang Agus tengah bersandar pada mobil sambil membaca koran.
"Oh iya, Neng geulis," balasnya dan langsung bergegas masuk ke dalam mobil.
Begitupun dengan aku yang cepat-cepat masuk ke dalam mobil.
Aku sudah sampai di sekolah. Aku melihat temanku yang paling ter-the best tengah menungguku di dekat gerbang.
Namanya Sherly Andreana, atau bisa dikenal dengan nama Lily. Orangnya baik dan juga cantik.
"Eh, Ly, kirain belum sampai. Maaf ya udah bikin lo nunggu lama di sini," ucapku merasa bersalah karena telah membuat Lily menunggu.
"Santai aja, Nay. Mendingan kita masuk aja, yuk!" ajak Lily. Aku menyetujuinya.
Lily merangkul bahuku, dan kami pun melangkah masuk ke dalam dengan perasaan riang gembira.
Langkahku dan Lily terhenti di pinggir lapangan ketika melihat anak-anak pada ngumpul di tengah lapang.
"Eh, apaan tuh yang rame-rame?" ucap Lily merasa heran.
Aku mengangkat bahuku menandakan aku tidak tahu.
"Tunggu ...." Aku menghentikan langkah salah satu murid cewek yang kebetulan melintas di depan kami.
"Ada apa?"
"Itu ada apaan, ya? Kok pagi-pagi gini udah rame?" Aku bertanya to the point.
"Masa lo gak tahu sih, itu si culun lagi dijahilin sama pacar lo," timpalnya.
"Hah? Culun? Murid baru?"
"Cowok apa cewek?"
"Bukan murid baru. Tapi dia udah lama sekolah di sini. Sekarang dia naik kelas 12, sama seperti kita-kita," jawabnya.
"Kok gue gak tahu ya?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Kenapa aku sampai tidak tahu ada murid culun di sekolahanku.
"Cowok apa cewek sih?" Lily mengulang pertanyaannya yang belum terjawab.
"Ya, cowok lah. Makannya kalian berdua jangan kudet," cibirnya lalu pergi meninggalkan kami.
Tentu saja aku ternganga mendengar cibiran itu. "Lah, kok kita yang kudet? Harusnya cowok culun itu lah yang kudet. Biasanya yang culun-culun itu orangnya tertutup. Jadi pantes aja kita enggak tahu tentang dia," gerutuku.
"Udahlah, lebih baik kita ke sana. Cegah pacar lo untuk tidak menjahili cowok culun itu," saran Lily. Aku pun mengangguk menyetujui.
Tanpa babibu, kami berdua melangkah bersama ke tengah lapang.
Aku dan Lily berhasil menerobos masuk ke dalam kerumunan anak-anak. Benar saja, aku melihat pacarku tengah menjahili cowok culun itu dengan mengambil kacamatanya.
"Hey, kembalikan!" pinta si cowok culun yang berusaha mengambil kacamatanya dari tangan pacarku.
Sejenak aku melihat penampilannya. Rambut yang agak gondrong dan ada tompelan di pipi.
'Iya juga, sih. Tuh cowok beneran cupu'
Anyway, kalau dilihat-lihat tuh cowok kasihan juga dijahilin lama-lama sama pacarku. Ditambah anak-anak yang lain malah nertawain. Apa yang lucu coba?
Ya, karena kasihan, aku pun segera bertindak.
"Rizky," panggilku pada pacar.
Mendengar panggilanku, Rizky menghentikan aksinya. Sejenak dia memandangku dengan senyuman.
"Eh ada Kinay Sayang." Rizky beralih menghampiriku.
"Aku minta kamu kembaliin kacamata dia," ucapku sambil melipat kedua tanganku di depan dada, tanpa memandang ke arah Rizky.
Hmm, pastinya yang menandakan kalau saat ini aku sedang marah ke Rizky karena bisa-bisanya Rizky menjahili cowok yang tidak bersalah.
"Loh, kamu belain cowok culun kayak dia?" tanyanya sambil menunjuk kasar ke arah cowok culun yang tengah menundukkan kepala.
"Culun-culun juga dia punya nama kali," ucapku agak ketus.
"Eh, Nay, emangnya kamu enggak tau apa, namanya aja yang keren, tapi tampangnya malah super cupu." Salah satu teman Rizky angkat bicara.
"Emang nama dia siapa?" tanya Lily, kalau dilihat-lihat sih kayaknya dia penasaran. Begitu juga dengan aku.
"Daniel Wijaya Syahputra," jawab teman Rizky.
"Omo." Aku bergumam kaget. Pasalnya nama cowok culun itu lumayan keren, menurutku.
Bukan hanya aku, ternyata Lily juga kaget mendengar nama cowok cupu itu.
"Gile ... keren juga tuh nama si cupu," bisik Lily pada telingaku.
Aku hanya memasang wajah masam. Dan mendadak mataku bertemu dengan mata cowok culun yang ternyata namanya adalah Daniel.
Meski dari jarak yang cukup jauh, tapi aku bisa melihat mata sayunya itu tengah menatap mataku. 'Indah, mata Daniel mirip kayak Siwon'
"Mau nama Daniel kek, Bima kek, atau siapalah ... pokoknya aku pengen kamu kembaliin kacamata dia," pintaku agak menekan setiap kalimat.
"Tapi, Nay--" Aku memotong pembicaraan Rizky.
"Kalau enggak, aku bakal putusin kamu hari ini juga," ancamku. Karena aku tidak tega melihat Daniel bila terus-terusan dijahilin sama Rizky.
Aku melihat Rizky terkejut mendengar ancamanku.
"Ya ampun, Nay. Kamu ngancam hubungan kita demi cowok culun kayak dia?" Rizky kembali menunjuk kasar ke arah Daniel.
"Daniel," ucapku memperingatkan Rizky kalau cowok cupu itu juga punya nama.
"Iya Daniel. Kamu ngancam hubungan kita demi Daniel?" Rizky mengulang pertanyaan yang sama.
Aku tak menjawab. Aku memilih untuk pergi dari sana. Membiarkan Rizky membuat keputusan antara mengembalikan kacamata Daniel atau putus denganku hari ini.
Aku sudah sampai di kelas. Membaca kembali buku-buku yang telah aku keluarkan dari dalam tas. Sebelumnya pikiranku sempat stres karena masalah jahilan Rizky ke Daniel.
"Kinay!"
Aku mendengar suara panggilan memanggil namaku. Setelah aku lihat, ternyata Lily.
Lily duduk di sampingku sambil nyengar-nyengir gak jelas.
"Lo kenapa, sih?" tanyaku pada Lily.
"Gue dapat kabar baik nih, Nay. Si Rizky udah ngembaliin kacamatanya Daniel. Barusan gue lihat dengan mata gue sendiri," jawab Lily.
"Ya bagus kalau gitu," ucapku. Tak penting juga bila dibahas lebih lanjut.
"Apa lo tahu, ternyata Daniel itu sekelas sama pacar lo," ujar Lily.
Alhasil aku menghentikan aktivitas membaca. "Lo tau dari mana?"
"Dari temennya Rizky," timpalnya.
"Ohh ...."
Tak lama, bel masuk berbunyi. Guru yang mengajar di kelasku telah hadir dan tentunya aku harus siap menerima ilmu dari beliau.
Teng ... Teng ... Teng ....
Lonceng istirahat berbunyi. Kulihat teman-teman sekelasku pada berhamburan keluar dari kelas. Sementara aku, mulai sibuk bermain handphone.
"Nay, kantin yuk!" Lily mengajakku.
"Enggak ah, lo duluan aja deh," tolakku. Karena di jam istirahat ini aku pengen mencari sesuatu di Mbah Google.
"Yahh, kok lo gitu sih. Padahal gue kan pengen makan sama lo di Kantin," lirihnya.
Aku memilih untuk tidak menjawab, dan tetap fokus pada layar handphone.
"Lo lagi nyari apa sih di google?" tanya Lily. Mungkin dia sempat melirik layar handphone.
"Lagi nyari fotonya Zayn Malik," jawabku.
"Hah? Yang bener lo? Katanya lo gak suka yang berbau barat gitu. Tapi kok ini lo malah nyari fotonya Zayn. Kesambet apaan lo?" Lagi-lagi Lily malah nanya, membuatku kesal tingkat menengah.
"Gue mulai suka barat," timpalku.
"Sejak kapan?"
"Sejak gue lihat matanya Daniel untuk yang pertama kali," jawabku agak cepat.
Dan bersamaan itu aku sudah menemukan foto Zayn. Lalu aku save dalam galery.
• Bersambung •
Sejenak aku tersenyum memandangi layar ponsel. Entah mengapa setelah menyimpan foto Zayn, aku juga seperti merasa menyimpan foto Daniel. Ya, meskipun Daniel adalah cowok culun, tapi matanya itu berhasil membuatku suka akan hal berbau barat.
"Eh, malah sunyam-senyum. Jadi ke kantin gak nih?" Lily bertanya kembali.
Ok, kali ini aku tidak akan menolak. Lagi pula aku sudah menyimpan fotonya Zayn. Jadi sekarang aku harus mengisi perutku yang kosong.
"Ya udah, ayo," sahutku.
Kami pun melangkah keluar kelas sambil saling merangkul bahu satu sama lain.
Di Kantin, aku memilih tempat duduk di sebelah pojok. Kenapa tidak di depan? Karena di depan suasananya berisik sekali.
"Nay, lo mau makan apa? Ntar gue pesenin." Lily menawari.
"Terserah lo aja deh," timpalku.
Kulihat Lily mulai bergegas menghampiri Bibi kantin untuk memesan makanan. Sementara aku iseng-iseng memandang figuran tidak penting di sekitarku.
Tiba-tiba, aku melihat Daniel duduk seorang diri di meja kantin yang kedua. Apalagi kalau bukan makan.
"Woy, Nay!" teriak Lily, yang ternyata sudah ada di sampingku.
"Lo lagi ngeliatin apa sih?" tanya Lily merasa heran.
Aku tak menjawab. Aku malah mengeluarkan handphone dan memberikannya pada Lily.
"Ly, lo harus potret wajah Daniel sekarang juga!" titahku.
"Hah? Buat apaan?" tanya Lily.
"Udah, jangan banyak cincong. Mending sekarang lo buruan potret wajah Daniel. Gue mau ngebandingin dia sama Zayn," jawabku.
"Zayn? Ah, yang bener lo?"
Lagi dan lagi Lily malah bertanya. Membuatku terpaksa harus mendorong pelan tubuh Lily agar mau bangkit.
"Cepetan, Ly."
"Iya, ini juga mau," ucap Lily, yang akhirnya dia mau menuruti keinginanku.
"Dari jarak deket apa jauh potretnya?" tanya Lily.
"Intinya gak terlalu deket. Biar jelas lo zoom aja kameranya. Inget, bukan tompelan di pipinya yang lo potret," peringatku. Dikhawatirkan Lily malah salah potret.
"Iya, okey."
Kulihat Lily berjalan mendekati meja kantin yang tengah diduduki oleh Daniel. Terang-terangan dia memotret wajah Daniel. Hingga Daniel sendiri tersadar apa yang dilakukan oleh Lily.
"Ngapain kamu? Kamu mau jelek-jelekin aku?" Terdengar sayup-sayup pertanyaan Daniel yang dilontarkan ke Lily agak kurang suka.
"Ahh, bukan. Ini ... Apa ...."
Kulihat Lily bingung mau jawab apa.
"Aduh ... Harusnya si Lily motret wajah Daniel itu secara diam-diam. Jadinya kan ketahuan sama Daniel," kesalku.
Akhirnya aku akan bertindak dengan menghampiri Lily yang tampak masih kebingungan.
"Aku akui aku ini culun. Tapi gak seharusnya kamu potret aku sembarangan," tegur Daniel.
"Hmm, Daniel. Sebenarnya--"
Ucapanku terpotong oleh Lily.
"Sebenarnya Kinay lah yang nyuruh gue buat motret lo. Katanya dia mau ngebandingin lo sama Za ...."
Cepat-cepat aku membungkam mulut Lily. Jangan sampai dia keceplosan menyebut nama Zayn.
"Maksudnya?" tanya Daniel.
"Ah, bukan apa-apa," jawabku sambil nyengir gak jelas.
Aku melihat dengan jelas dari balik kacamata Daniel, dia menatapku agak tajam.
'Mampus aku, tatapan Daniel kayak ngebunuh'
Biasanya tatapan Daniel yang kulihat sebelumnya adalah tatapan sayu. Tapi kali ini tidak. Entah apa yang terjadi pada cowok cupu itu. Apa mungkin dia marah karena aku menyuruh Lily untuk memotret wajahnya secara diam-diam.
"Hmm, begini Daniel ... maksud gue nyuruh Lily buat motret lo karena hari ini gue harus dokumentasikan ke Bu Sinta," jelasku ngeles, diakhiri nyengir kuda supaya Daniel percaya.
"Iya, dokumentasi ke Bu Sinta," sahut Lily, yang ternyata dia mengikuti ucapanku.
"Hah? Dokumentasi?" Daniel tampak bingung.
"Iya. Lo tau kan Bu Sinta. Beliau itu suka banget kalau ada murid yang tertib saat makan di Kantin. Biasanya kan anak-anak yang lain pada berisik kalau makan. Nah kalau lo beda. Makannya gue nyuruh Lily buat motret lo," ucapku.
Entah masuk akal atau tidak, aku berharap Daniel mempercayai ucapanku.
"Oh gitu. Ya sudah gak papa kalo kamu pengen foto wajah aku yang tampan kayak Justin Bieber," ucap Daniel dengan pede-nya.
Membuatku rasa-rasanya ingin muntah mendengarnya. Sedangkan Lily, kulihat dia nyengir paksa.
Bisa-bisanya Daniel si cowok cupu membanding-bandingkan wajahnya dengan Justin Bieber. Padahal aslinya beda jauh.
"Kalau gitu, gue sama Kinay cabut dulu," pamit Lily pada Daniel.
Lily merangkul bahuku, dan mengajakku pergi. Tapi tiba-tiba Daniel malah mencegah kepergian kami dengan suaranya yang cempreng.
"Eh, tunggu dulu ...."
Aku dan Lily membalikan badan. Terlihat Daniel menghampiri kami.
"Ada apa?" tanyaku agak jutek.
"Sebenarnya aku ingin ngucapin makasih ke kamu karena tadi pagi kamu udah belain aku," jawab Daniel dengan senyum simpulnya.
"Gak perlu ucapin makasih lah. Gue ikhlas kok belain elo. Lagi pula ngejahilin orang itu sama saja nginjak yang bawah," sahutku. Lumayan bijaksana juga sih.
"Kalau boleh jujur, kamu itu gadis pertama yang datang belain di saat aku lagi disakiti sama orang-orang," ucap Daniel.
OMG! Kalimatnya itu loh yang mendadak menusuk jantungku. Rasanya jantungku dari dalam hampir ingin copot. Untungnya aku bisa mengontrolnya.
"Ekhem!" Terdengar Lily mendehem, ditambah sunyam-senyum gak jelas. Apa dia sedang meledekku?
"Sebagai tanda terimakasih, aku pengen ngasih coklat ini untuk kamu," ucap Daniel seraya menyodorkan sebatang coklat padaku.
'Emangnya ini hari valentine?'
"Hah? Gak usah repot-repot kali. Gue ikhlas, kok. Mending lo simpen aja deh coklatnya," saranku.
"Ya ampun, Kinay. Yang namanya rezeki gak boleh ditolak," ucap Lily, lalu mengambil sebatang coklat dari tangan Daniel.
"Tapi, Ly--"
Ucapanku terpotong oleh Lily.
"Kalau lo enggak mau, ya udah buat gue aja," girang Lily sambil memeluk coklat pemberian dari Daniel yang seharusnya untukku.
Cepat-cepat aku merebutnya dari Lily. Secara kan coklat itu Daniel berikan buat aku.
"Makasih ya, Niel," ucapku. Daniel hanya mengangguk.
Aku pun melangkah pergi meninggalkan Daniel yang diam mematung dan temanku Lily yang tengah ternganga.
Mungkin Lily ternganga karena dia sempat kaget kenapa aku malah merebut coklat pemberian dari Daniel.
Aku berdiam diri di kelas. Memandangi sebatang coklat pemberian dari Daniel. Sejenak aku berpikir, pasti harganya mahal. Tapi yang namanya pemberian orang dengan hati yang ikhlas, harus kuterima.
"Cie ... yang dapat coklat nih dari Abang Zayn," kejut Lily, yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
Cepat-cepat aku memasang wajah datar.
"Hah? Zayn? Heh, Ly, mata Daniel doang yang mirip kayak Zayn. Kalau wajahnya sih enggak," ujarku jutek.
"Yeyy, siapa tahu aja wajah Daniel mirip kayak Zayn," sahut Lily.
Aku tak menggubris. Memilih melipat kedua tanganku di depan dada. Lagi-lagi Lily malah membandingkan wajah Daniel dengan Zayn. Jelas-jelas wajah mereka beda. Cuma mata doangnya sih yang sama.
"Gimana perasaan lo setelah dikasih kalimat cukup romantis sama Daniel?" tanya Lily, yang seolah-olah ingin menggodaku.
"Biasa aja," jawabku dingin.
Tiba-tiba saja, Rizky datang ke kelasku. Lalu ia berdiri tepat di samping bangkuku.
"Rizky, tumbenan banget lo ke sini," ucap Lily.
Aku terkejut ketika Rizky berlutut di hadapanku. Kemudian dia menggenggam tanganku sangat erat.
"Nay, plisss ya, lo jangan putusin gue. Gue udah kembaliin kacamata si cupu kok. Eh ... maksudnya Daniel," pinta Rizky, menatap mataku sayu.
Aku bingung harus menjawab apa, karena sebelumnya Rizky telah menjahili Daniel yang tidak bersalah. Hal itulah yang membuatku kesal.
Di saat aku tengah mencari jawaban, mataku tak sengaja bertemu dari balik kaca kelas, sosok Daniel tengah melintasi kelasku.
Kala itu Daniel menatapku juga. Namun, setelah dilihat-lihat lebih teliti, tatapan Daniel sulit diartikan. Apa mungkin dia cemburu?
"Hmm, gue ...."
Aku menggantung ucapanku, dan mataku masih tertuju pada Daniel yang masih berdiri di dekat kaca kelas. Tapi pada detik berikutnya, dia pergi.
"Jawaban kamu apa, Nay?" tanya Rizky, yang tengah menunggu jawaban dariku.
"Ya udah, gue akan kasih lo kesempatan. Tapi inget lo jangan pernah jahilin anak-anak yang gak bersalah di sekolah ini. Baik itu kepada Daniel ataupun siapapun," peringatku.
"Okey, Nay. Aku janji," girang Rizky.
"Bagus kalau gitu," ucapku.
"Kalau gitu aku masuk kelas dulu ya, Nay. Nanti sepulang sekolah, aku antar kamu pulang," ujar Rizky. Sementara aku hanya merespon dengan anggukan.
Setelah Rizky pergi, aku kembali memandangi kaca kelas yang sebelumnya sempat disinggahi Daniel.
"Lagi ngeliatin apa sih, Nay?" tanya Lily, membuatku tersadar.
Cepat-cepat aku menggeleng. "gak ada kok."
• Bersambung •
Tring ....
Bel pulang berbunyi, menandakan semua pelajaran telah selesai. Sesuai janji, hari ini aku diantar pulang oleh Rizky.
Ya, lumayan sih dapat tumpangan dari pacar. Jadi, aku gak perlu repot-repot minta Mang Agus buat nganter aku.
Aku sudah sampai di rumah. Agak lelah juga sih, padahal naik motor bareng Rizky. Oh ya, sebelumnya Rizky sudah aku tawari buat masuk ke dalam, tapi dia malah menolak.
Tapi sih, EGP ... terserah dia mau masuk dulu ke rumah atau enggak.
Seketika aku menghentikan langkah di ruang tamu. Aku melihat Ibuku tengah membaca majalah di sofa yang empuk.
"Assalamualaikum, Mah. Kinay udah pulang," ucapku, lalu duduk di samping Ibu. Aku juga tidak lupa mencium tangan Ibu.
"Waalaikumsalam, Sayang. Eh, putri Mamah udah pulang," sahut Ibuku sambil membelai rambutku.
"Gimana tadi di sekolah? Lancar kan belajarnya?" tanya Ibu.
"Alhamdulillah lancar, Mah," jawabku sambil tersenyum.
"Oya, besok kamu pulang cepet ya, nanti Mang Agus yang akan jemput kamu di sekolah. Soalnya Mamah sama Papah mau aja kamu ke Cafe," ujar Ibu.
"Tumbenan banget, Mah. Mau ngapain?" tanyaku penasaran.
"Mau bertemu seseorang," jawab Ibu.
Aku setengah kaget mendengarnya. "Hah? Bertemu seseorang? Siapa? Client Mamah sama Papah?"
"Ada aja. Ini surprise buat kamu, nanti kamu juga akan tahu kok, Sayang," ucap Ibuku.
Aku terdiam. Sebenarnya siapa sih orang yang akan kutemui besok di Cafe? 'Sumpah, aku penasaran pakek banget'.
Malam telah datang. Aku memilih untuk bersantai di dalam kamar. Menikmati segelas susu hangat buatan Bimin. Tapi dipikir-pikir, boring juga lama-lama kalau terus mengurung diri. Serasa enggak ada hiburan buat menyenangkan diri.
Akhirnya aku memutuskan untuk membaca novel bergenre romantis. Ketika tengah asyik-asyik membaca, tiba-tiba ada yang nelpon ke handphone-ku.
Ternyata dari Rizky. Aku langsung mengangkatnya.
[Malam, Kinay.]
[Malam juga, Ky. Ada apa malam-malam gini nelpon?]
[Enggak ada apa-apa, sih. Aku cuma pengen ngajakin kamu ke Cafe besok setelah pulang sekolah.]
Uhukkk ....
Aku tersedak saat minum susu karena kaget mendengar ajakan mendadak dari Rizky.
[Kenapa, Nay? Kamu baik-baik aja, kan?]
[Iya, aku baik aja-aja kok. Aduh, Ky, gimana ya. Bukannya aku nolak, tapi aku udah ada janji duluan sama Mamah Papah besok setelah pulang sekolah.]
[Oh gitu. Ya sudah gak apa-apa. Tapi besok kita ketemuan kan di sekolah.]
[Pastinya dong. Oya, Ky, aku tutup dulu telponnya. Aku mau ke kamar mandi, mau cuci muka.]
[Okey. Selamat malam, Sayang.]
[Selamat malam juga, Ky.]
Tuttt ...
Sambungan panggilan terputus. Aku melempar handpone-ku ke kasur, lalu beranjak menuju kamar mandi.
Tapi belum beberapa langkah, aku mendengar sudah ada yang nelpon lagi. Firasatku, pasti itu Rizky.
Dengan kesal, aku mengambil handpone-ku. Lalu mengangkat telpon tanpa memandang layar ponsel.
[Ada apa lagi sih, Rizky?]
[Rizky? Ini bukan Rizky. Tapi ini Daniel.]
Mataku membulat sempurna. Daniel? Cowok cupu itu. Tumben-tumbenan dia menelponku.
[Tunggu ... Daniel? Lo tahu dari mana nomor gue? Jangan-jangan lo nyolong ya dari anak-anak yang lain?]
[Aku enggak nyolong, kok.]
[Terus ngapain lo nelpon gue malam-malam begini, hah?]
[Aku hanya ingin mastiin kamu baik-baik saja di malam yang kelabu ini.]
[Lebay lo. Udah ah, gue mau cuci muka dulu. Bye!]
Aku langsung mematikan sambungan telpon dengan Daniel. Bisa-bisanya dia menggangguku malam-malam begini.
Tau ah ... sebaiknya aku cepat-cepat cuci muka dan pergi tidur.
Pagi harinya, aku sudah siap-siap memakai seragam sekolah. Setelah itu, aku langsung turun menemui Ayah dan Ibu di ruang makan.
"Pagi, Pah ... pagi, Mah," sapaku.
"Pagi juga, Sayang," balas Ayah. Sedangkan Ibu hanya tersenyum.
Aku hanya meminum segelas susu. Setelahnya, aku pamitan pada Ayah dan Ibu dengan mencium tangan mereka.
"Aku pamit dulu, Mah, Pah."
"Loh, kamu kan belum sarapan?" ucap Ibu.
"Entaran aja deh, Mah, di sekolah."
"Kebiasaan deh putri Papah kalau udah sarapannya di sekolah," ucap Ayah.
"Hehe. Assalamualaikum, Pah ... Mah," ucapku. Lalu berlari kecil keluar rumah.
"Waalaikumsalam, Sayang. Hati-hati!"
Aku sudah sampai di sekolah, yang pastinya diantar sama Mang Agus pakai mobil. Aku berjalan menuju kelasku, dan aku melihat Lily tengah main handphone di pinggir kelas.
'Pas banget ada Lily'
"Hey, Ly," sapaku berjalan menuju Lily.
"Eh, Nay. Lo udah nyampe ternyata. Baru aja gue mau whatsapp elo," ujar Lily.
"Ahh, itu enggak penting buat dibahas. Sekarang lo harus antar gue ke kelasnya cupu. Ehh ... maksud gue Zayn. Oh ya ampun, maksud gue Daniel," ucapku.
Entah kenapa aku malah bisa salah nyebut nama Daniel.
"Mau ngapain?" tanya Lily heran.
"Udah, ikut aja," jawabku, yang langsung menarik pergelangan tangan Lily menuju kelas Daniel--si cowok cupu.
Setibanya di kelas Daniel, aku melihat cowok cupu itu tengah membaca buku di bangku paling depan. Tanpa basa-basi lagi, aku dan Lily berjalan menghampiri Daniel.
"Heh, Daniel. Lo tahu dari mana nomor gue?" tanyaku agak ngegas, dan langsung merebut buku yang sedang dibaca oleh Daniel.
Kulihat Daniel mengernyitkan dahi.
"Maksudnya?" tanyanya polos.
Tentu saja aku kesal mendengar pertanyaan itu.
"Maksudnya ... maksudnya ... gak usah pura-pura gak tau deh lo. Lo kan yang nelpon gue semalam?" pekikku, sesekali memukul bangku Daniel cukup keras.
Daniel malah diam, dan pekikanku barusan malah mendapat sorakan dari.
"Cieee ... lagi pdkt-an nih ye sama cowok cupu."
Mataku membulat. Aku baru tersadar kalau tidak seharusnya aku berkata agak ngegas ke Daniel, jadinya kedengeran sama anak-anak yang lain.
Huft, untung saja Rizky belum datang. Jika saja dia ada, entah apa yang akan terjadi.
"Diam lo semua. Awas aja kalau kalian ngaduin hal ini ke Rizky," ucapku memperingatkan kepada penghuni kelas fisika.
"Iya deh iya."
"Nay, emang beneran Daniel nelpon lo semalam?" tanya Lily dengan berbisik.
"Iya beneran, Ly," jawabku.
Lalu pandanganku beralih kepada Daniel yang malah menatapku dengan santai.
"Malah natap gue lagi, sekarang juga lo kasih hp lo ke gue," pintaku sambil mengulurkan tanganku di hadapan Daniel.
"Mau ngapain?"
"Ya gue mau hapus nomor gue lah," timpalku.
"Enggak ... enggak mau," tolak Daniel sembari memeluk tasnya itu. Udah aku tebak pasti hp-nya ada di dalam tas.
"Ya ampun Daniel, Kinay cuma minjem doang sebentar. Lagian di hp lo gak ada apa-apanya kan, paling cuma foto lo doang yang lagi alay," ujar Lily, yang memandang illfeel wajah kurang oke alias cupu milik Daniel.
"Enggak mau," tolak Daniel mempererat pelukannya pada tas.
Sejenak aku memandang raut wajah Daniel yang menegang. Entah mengapa dia bisa setegang itu, padahal aku cuma minjem handphone-nya saja.
'Pasti ada apa-apanya di hp Daniel. Gue yakin itu'
"Pokoknya gue pinjem dulu hp lo," ucapku kekeh.
Lagi-lagi Daniel menolak, membuat geram ingin menjambak rambutnya yang agak gondrong.
• Bersambung •
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!