“Alana …” teriak seorang wanita muda seusia Alana berlari ke arahnya.
Alana Khumaira, gadis yatim piatu yang hanya tinggal bersama sang nenek sejak berusia dua belas tahun. Kini, ia sudah berusia dua puluh tahun dan sedang duduk di taman kampus sambil menuggu sang suami menjemput.
Ya, Alana baru saja menikah dengan pria pujaannya. Suami Alana bernama Reno. Pria yang tinggal tak jauh dari rumah nenek Alana. Sejak Alana beranjak remaja, Reno memang sudah mengincarnya. Kecantikan Alana yang alami memang sudah terlihat sejal usia sepuluh tahun. Beranjak remaja, kecantikan itu pun semakin terpancar. Di tambah memasuki kepala dua, paras Alana semakin terlihat sempurna. Alis tebal yang melengkung seperti bulan sabit, hidung mancung, pipi merona seperti nama belakangnya, dan bibir sedikit tebal dengan belahan di tengah bibir bawahnya menambah kecantikan itu.
“Apa sih, Qis? Heboh banget,” jawab Alana yang melihat Bilqis, sahabatnya sejak SMA hingga satu kampus ini berlari.
“Mas Reno-mu sudah jemput.”
“Iya,” jawab Alana lagi sembari merapikan buku-buku yang baru saja ia buka untuk menghilangkan kesepian saat menunggu suaminya.
Alana dan Bilqis kuliah di sebuah akademi sekretaris. Mereka sudah tingkat dua atau semester empat. Tinggal menunggu satu tahun lagi, mereka akan lulus dengan gelar diploma tiga jurusan sekretaris. Semua biaya pendidikan Alana ditanggung oleh Reno.
Reno, pria idaman para wanita. Selain parasnya yang good looking, ia juga sangat bertanggung jawab dan pintar. Sosoknya pun sabar dan penyayang. Reno yang merupakan anak pertama dan satu-satunya, membuat dirinya tampak dewasa. Ia juga berasal dari keluarga kaya. Ayah Reno memiliki perusaan jasa travel. Hanya saja, Reno belum mengabdikan dirinya di perusahaan sang ayah. Setelah lulus kuliah, ia lebih memilih mengeksplore diri di luar. Hingga saat ini, ia masih bekerja di perusahaan ternama di Jakarta, yang berkantor di pusat kota dengan gaji dua digit setiap bulannya.
Alana sangat beruntung dicintai oleh pria seperti Reno.
Orang tua Reno menghormati nenek Alana yang bernama Aminah. Walau nenek Aminah sudah memasuki usia 58 tahun, tapi ia masih tetap terlihat sehat. Ia pun masih aktif mengikuti serangkaian kegiatan PKK di lingkungannya. Ia juga terkenal rajin senam, membuat tubuhnya selalu tampil bugar. Dahulu, nenek Aminah adalah petugas kelurahan. Ia pun tercatat sebagai pegawai negeri sipil di kantor lurah tempat tinggalnya. Ibu Reno yang bernama Asih juga memiliki profesi yang sama seperti Nenek Aminah. Mereka sama-sama aktif di PKK, sehingga saat Reno, putra Asih menyukai Alana yang merupakan cucu Nenek Aminah, Asih langsung menyetujui. Asih pun menyukai perangai Alana yang bukan hanya cantik parasnya, tapi juga akhlaknya.
“Cepetan, Al. Nanti Mas Reno-mu kelamaan nunggu, terus digodain sama genk Dinda,” ucap Bilqis.
Alana tertawa. “Dia ga akan kegoda, Qis. Mas Reno itu cinta mati banget sama aku.”
“Ya … Ya … Ya …” jawab Bilqis malas sembari memutar bola matanya.
Yang dikatakan Alana memang tidak salah. Reno, pria bertubuh proporsional dan berparas tampan itu memang tergila-gila pada Alana sejak remaja. saat itu, Alana masih duduk di bangku SMP, sedangkan Reno baru saja lulus SMA dan mulai masuk kuliah. Di saat itu juga Reno menyatakan cinta pada gadis yang baru duduk di kelas delapan SMP. Kala itu, Alana menolak pernyataan cinta Reno dan enggan berpacaran, karena ia merasa dirinya masih kecil. Namun, Reno tak pantang menyerah. Ia selalu mengantar jemput Alana sekolah dan ia juga selalu ada saat Alana butuhkan. Kemanjaan Alana tersalurkan oleh sikap dewasa Reno. Hingga Alana duduk di kelas sebelas SMA, Reno kembali menyatakan cinta dan akhirnya Alana pun menerima cinta itu, lalu mereka pacaran.
Usia Alana dan Reno terpaut enam tahun. Saat ini, Reno berusia Dua puluh enam tahun. Di usianya yang matang ini, ia memberanikan diri untuk melamar kekasihnya dan dalam jangka waktu tiga bulan setelah lamaran, mereka pun menikah. Kini usia pernikahan Alana dan Reno masih seumr jagung. Mereka baru satu bulan tinggal satu atap. Perlakuan Reno setelah menikah pun tetap sama seperti saat mereka berpacaran dulu. Pria itu tetap romantis, perhatian, dan so sweet, begitu kata Bilqis. Teman-teman Alana merasa iri dan ingin memiliki suami yang sama seperti Alana. Alana pun bersyukur atas itu. Kehadiran Reno dan keluarganya yang baik menjadi obat dari kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil.
Alana melihat ke arah Reno yang duduk di warung mie yang berada di pinggir jalan tepat di depan kampusnya. Reno dengan sabar menunggu Alana keluar dari gedung itu. Hampir setiap hari, Reno seperti ini. Pernah satu waktu, Alana mendadak mendapat tugas dari dosen, sedangkan ia sudah meminta Reno untuk menjemput. Alhasil saat Reno datang menjemput, Alana masih sibuk dengan kegiatannya di kampus yang tidak bisa ditinggal, sehingga Reno harus menunggu di warung mie itu selama dua jam.
Namun, pria itu tetap tersenyum saat melihat Alana menghampirinya. Tidak ada kemarahan sama sekali. Sejak status mereka menjadi suami istri, Alana semakin posesif dan tingkat kemanjaannya pun semakin tinggi. Entah, Reno akan bosan atau tidak menghadapi sikap kekanak-kanakan Alana nanti. Tapi yang pasti untuk saat ini, keduanya sangat menikmati rumah tangga baru yang mereka bangun karena cinta.
Alana melambaikan tangan ke arah suaminya yang tengah duduk di atas motor besar layaknya seorang pembalap di motoGP.
Alana sedikit berlari menghampiri Reno di tepi jalan. “Maaf ya, Mas. Nunggunya lama ya?”
Reno tersenyum. “Udah biasa. Kamu kan emang lelet,” katanya sembari mengacak-acak rambut sang istri.
Alana tertawa dan merapikan rambut yang diacak-acak suaminya tadi. Lalu, Reno memasangkan helm di kepala sang istri.
Alana dan Reno memang seperti teman. Tidak ada jaim, tidak ada hal sekecil apapun yang tertutupi. Hubungan mereka mengalir apa adanya. Satu sama lain sangat tahu aktifitas masing-masing. Siapa teman dekat Reno di kantor atau teman dekat Alana di kampus? Mereka saling mengetahui. Bahkan ketika ada mahasiswa yang menyukai Alana, Reno pun tahu. Dan sebaliknya, jika ada seseorang yang mendekati Reno di kantor, Alana pun tahu. Karena satu sama lain saling bercerita dan berkomunikasi dengan baik.
Setelah memastikan helm itu terpasang sempurna, Alana pun menaiki motor besar itu. Reno mulai melajukan kendaraan itu menuju rumah milik sang ayah. Rumah minimalis yang sengaja ayah Reno sediakan untuk putranya ketika sudah menikah. Letaknya memang tidak dekat dengan rumah orang tua mereka.
“Mas hujan,” kata Alana ketika tangannya merasakan rintikan air dari atas langit.
“Iya, kita menepi dulu ya. Mas bawa jas hujan kok.”
Alana mengangguk. Namun, Reo masih menjalankan motornya di jalan sembari mencari spot yang tepat untuk berhenti.
“Mas, hujannya semakin deras,” kata Alana lagi.
“Sebentar, Sayang. Kita menepi di halte itu aja,” jawab Reno.
Reno menepikan motornya di halte. Sedangkan Alana, langsung berlari ke dalam halte untuk berteduh saat motor Reno berhenti.
Namun, Reno masih berada di motornya untuk mengambil dua jas hujan yang selalu ia bawa.
“Sayang, pakai ini!” Reno memberikan jas hujan itu pada sang istri.
“Ngga neduh aja, Mas? Hujannya deres banget loh.”
Reno menggeleng. “Hujan seperti ini tuh awet, Sayang. Nanti kita kemalaman sampai rumah.”
Alana pun mengangguk setuju. Ia menerima jas hujan yang diberikan sang suami. Namun, sepertinya Alana kesusahan memakai jas hujan itu, sehingga Reno mengambil alih dan memakaikannya. Dengan telaten, Reno memakaikan jas hujan itu dari mulai celana hingga atasan. Alana seperti anak kecil yang dipakaikan baju oleh ayahnya.
“Hmm … so sweet banget sih,” ujar salah satu orang yang melihat aksi romantis Reno.
“Ya ampun, pengen banget punya suami kaya gitu,” kata salah satu orang lagi yang ikut berteduh di sana.
Alana hanya tersenyum. Ia pun tersenyum ke arah sang suami yang sedang meresleting pakaian atas jas hujan itu.
“Sudah,” ucap Reno yang baru mengenakan celana jas hujan dan belum mengenakan atasannya, karena lebih mendahului kepentingan sang istri.
“Terima kasih,” ucap Alana pada suaminya dengan senyum yang manis.
“Sama-sama.” Reno membalas senyum itu dan memakai atasan jas hujan itu pada dirinya sendiri.
Satu tahun berlalu, Alana dan Reno begitu menikmati rumah tangga ini. Setiap pagi, Reno selalu disuguhkan oleh senyum manis sang istri. Senyum yang membuatnya kembali mengutarakan cinta, walau semula Alana menolak dengan alasan masih kecil. Namun terkadang, saat Reno membuka mata, Alana sudah tidak ada di sampingnya. Pemilik senyum manis yang membuatnya terpesona sejak pandangan pertama itu pasti sedang berada di dapur.
Alana bukan hanya pintar di ranjang, tapi juga di dapur. Reno merasa selalu terpuaskan dalam dua hal itu.
Reno bangkit dari ranjang untuk mencari keberadaan istrinya. Ia tersenyum melihat punggung yang sedang berkutat dengan alat masak. Kemudian, Reno mendekat dan memeluk tubuh itu dari belakang. Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Alana dan menaruh dagunya di atas bahu itu. Hampir setiap terbangun, Reno melakukam hal yang sama.
Alana tersenyum dan mengelus rambut sang suami. “Ngga langsung mandi? Air hangatnya sudah aku siapkan.”
Reno menggeleng. “Mau peluk kamu dulu.”
Alana tertawa. “Semalam bukannya sudah dipeluk terus.”
Reno pun ikut tertawa. Pasalnya semalam, Reno bukan hanya memeluk tubuh itu saja, melainkan menggunakannya dengan durasi yang panjang dan sangat memuaskan.
Alana mematikan tungku, lalu membalikkan tubuhnya hingga berhadapan dengan Reno tanpa jarak.
“Mas, aku kan sudah lulus. Boleh ga aku kerja?” tanya Alana hati-hati.
“Memang uang yang Mas kasih kurang?” Reno balik bertanya.
Alana menggeleng. “Tidak. Bukan begitu.”
“Lalu?” Reno menatap kedua bola mata indah itu.
“Kalau Mas kerja, aku di rumah kesepian.”
“Katanya ingin cepat dapat momongan. Kalau kamu kerja, nanti malah kecapean dan semakin lama keinginan itu terwujud.”
Alana diam. Ia berpikir dan mencerna perkataan sang suami.
Reno melihat ekspresi murung sang istri. Sebenarnya, ia juga bukan pria yang posesif dan mengekang istrinya. Hanya saja, ia terlalu mencintai sang istri dan tidak ingin istrinya kelelahan.
Reno kembali memeluk sang istri. “Aku tidak ingin mengekangmu, Sayang. Tapi, istirahatlah dulu. Kemarin-kemarin kamu sudah disibukkan dengan tugas akhir. Katamu itu sangat melelahkan.”
Alana mengangguk. “Iya, sih.”
“Ya sudah. Istirahat saja dulu di rumah.”
Alana tersenyum dan mengangguk. Lalu, ia kembali berkata, “tapi nanti tidak apa ya kalau aku sering nelepon kamu buat ngilangin kebosanan dan rasa takut aku.”
Reno tersenyum dan mengangguk. “Iya, Sayang.” Ia tahu betul bahwa istrinya dalah seorang yang penakut.
Alana nyengir. “Ya udah sana mandi.”
“Iya,” ucap Reno hendak kembali menuju kamar dan menggunakan kamar mandi yang ada di dalam kamar itu.
Namun sebelum berlalu, Reno mengecup kening Alana. Sikap Reno memang tidak pernah berubah. Alana selalu diperlakukan bak ratu. Sejak pacaran, hingga setelah menikah pun sikapnya tetap sama. Pria itu selalu mendahulukan kepentingan istrinya. Bahkan ia di cap sebagai ISTI (Ikatan Pria Takut Istri). Di kantor, Reno sering menjadi bully-an teman-temannya karena cap itu. Saat ini, Reno memang tidak pernah mempermasalahkan hal itu dan ia menganggap ledekan itu sebagai angin lalu. Namun seiring berjalan waktu, entah akan mempengaruhi dirinya atau tidak?
****
Dret … Dret … Dret …
Alana yang bosan dan takut berada di rumah sendirian pun, menelepon sang suami. Sehari, Alana bisa menelepon suaminya sebanyak tiga kali atau lebih.
“Halo.”
“Mas, kok lama banget sih angkat teleponnya,” rengek Alana.
“Mas lagi meeting, Sayang.”
“Ciye …” sorak teman-teman Reno sejawatnya yang mendengar Reno tengah bertelepon dengan istrinya.
“Itu teman-temanmu, Mas?” tanya Alan yang juga mendengar suara riuh itu.
“Iya. Mas lagi ada di ruang rapat bersama mereka.”
“Ya udah deh. Maaf aku ganggu. Mas, lanjut lagi kerjanya. Semangat ya!” kata Alana.
“Iya, Sayang.”
Reno menutup panggilan telepon itu dan kembali melanjutkan rapat bersama teman-teman satu timnya di kantor. Saat ini, Reno ditugaskan menjadi koordinator tim di salah satu project besar yang abru saja dimenangkan perusahaannya. Alana pun mengenal teman-teman kantor Reno. Sejak masih berstatus pacaran, Alana pernah beberapa kali di ajak ke kantor Reno dan berkenalan dengan beberapa teman timnya di sana.
****
“Ren, Mbak Sisil cantik banget ya,” ucap Jefri, teman kantor Reno yang paling dekat sekaligus teman yang biasa diajak untuk bernegosiasai dengan klien.
Kini, Reno dan Jefri tengah menikmati makan siang di kantin.
“Cantikan juga istriku,” jawab Reno sembari mengaduk makanan di depannya.
“Iya, sih. Istri lu emang cantik. Tapi, Mbak Sisil bohay banget. Ren. Konon menurut kabar beredar, doi juga baru bercerai. Janda, Bro.”
Reno tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. “Dasar biang gosip.”
Jefri pun tertawa. “Ah, lu terlalu lurus, Ren. Susah diajak beloknya.”
“Itu pujian atau penghinaan?” tanyanya sembari menatap teman dekatnya itu. Teman satu perjuangan ketika sama-sama memulai karir di kantor ini.
“Dua-duanya maybe,” jawab Jefri sembari mengangkat bahunya.
“Si*l.” Reno melempar kepalan tisu ke arah Jefri dan Jefri pun tertawa.
Reno pun ikut tertawa. Tidak pernah terbesit di otaknya untuk menduakan Alana. Alana adalah wanita sempurna yang sudah ia miliki. Dan, Reno pun cukup dengan itu. Hanya saja memang godaan di kantor sering kali menerpa. Mengingat, Reno memiliki ketampanan dan kecerdasan yang membuat kaum hawa mengaguminya. Di tambah, sikapnya yang lurus dan bersahaja, membuat para wanita semakin ingin memiliki suami idaman seperti itu.
Hingga satu tahun kemudian, Reno kembali memegang project besar. Namun, kali ini ia bukan lagi menjadi koordinator tim, melainkan langsung sebagai manager operasional.
Reno diberi keleluasaan kekuasaan dan berhak memiliki asisten. Namun, ia masih menolak itu dengan alasan mampu menghandel semua pekerjaannya sendiri.
“Ren, lu tuh butuh asisten. Semua manager punya asisten kok,” ucap Jefri yang kini menjadi koordinator tim sebagai pengganti Reno.
“Ya, tapi asisten ajuan si bos ga ada yang laki-laki.”
Jefri tertawa. “Lu takut sama Alana?”
“Bukan gitu. Alana sih orangnya ga cemburuan. Cuma aku emang jaga jarak aja sama lawan jenis.”
Jefri kembali menggeleng. Sudah lebih dari empat tahun, ia berteman dekat dengan Reno. Bahkan sejak Reno masih berstatus lajang. Dan, tidak pernah sekalipun ia melihat Reno macam-macam. Sejak kecil, Reno memang tidak pernah dekat dengan lawan jenis kecuali Alana. Namun, ia pernah mengagumi temannya saat SMA, tepatnya saat Alana menolak cintanya kala itu. Wanita yang Reno kagumi justru berbanding terbalik dengan Alana. Wajahnya biasa, tidak secantik Alana, tapi wanita itu pintar dan dewasa. Berbicara dengan wanita itu pasti akan terhipnotis dengan kata-kata bijaknya.
“Hasil test kalian bagus,” ucap pria berambut putih yang juga memakai jaket putih dengan stateskop yang menggantung di lehernya.
Reno dan Alana duduk tepat di depan dokter itu dengan keja kerja yang menjadi pembatas mereka.
“Alhamdulillah,” jawah Reno dan Alana bersamaan.
Reno terlihat mengusap sekilas wajahnya. Alana pun tersenyum ke arah suaminya yang disambut dengan senyum juga oleh Reno. Saat ini, mereka tengah berada di rumah sakit. Beberapa minggu terakhir, mereka memang sengaja memeriksakan kesuburan mereka di tempat ini. Mengingat, usia pernikahan mereka kini sudah genap dua tahun. Konon kata orang, jika usia pernikahan sudah menginjak lebih dari satu tahun dan belum mendapatkan keturunan, periksakan segera agar mendapat penanganan medis sebagai bentuk ikhtiar. Reno dan Alana pun mengikuti saran itu, saran yang juga diberikan oleh orang tua mereka.
“Jadi kami sehat, Dok?” tanya Reno lagi.
“Menurut hasil serangkaian tes yang sudah kita lakukan menunjukkan bahwa kalian subur. Kalian berdua sehat. Hanya saja, Tuhan belum memberikan.”
Reno mengangguk.
“Apa ada obat atau vitamin yang bisa saya konsumsi untuk meningkatkan kesuburan, Dok?” tanya Alana.
“Oh, tentu. Saya akan resepkan nanti.” Pria paruh baya itu pun menuliskan sesuatu di atas kertas kecil yang ada dihadapannya.
“Untuk Pak Reno, kalau bisa jangan stres karena hal itu sangat mempengaruhi kwalitas sp*rm* bapak.”
Reno hanya mengangguk mendengar saran dari dokter itu, pasalnya setelah ia menjadi manajer memang tingkat kestresan dan kesibukannya semakin bertambah. Dan, hal itu pun mengganggu kualitas serta rutinitasnya dalam bercinta.
Setelah panjang lebar berbincang dengan dokter itu, Reno membawa istrinya keluar dari ruangan.
“Alhamdulillah, Mas. Ternyata kita baik-baik aja. Aku tuh udah khawatir banget dan ga henti-hentinya berdoa,” kata Alana senang.
Mereka berbincang sembari menuju ke kasir.
Reno menoleh ke arah istrinya dan tersenyum. Ia mengelus kepala Alana. Walau usia Alana tergolong masih sangat muda untuk menjadi seorang ibu, tapi antusiasnya untuk menyambut kehadiran buah hati cukup besar. Mungkin karena ia terlahir sebagai anak tunggal dan merasakan kesepian, sehingga ia begitu menyukai anak-anak.
Lalu, Reno menyuruh Alana duduk di kursi tunggu. “Kamu tunggu di sini ya, Yank. Aku ke kasir dulu.”
Alana mengangguk.
Tak lama kemudian, Reno kembali menghampiri Alana setelah menyelesaikan administrasi, lalu mereka beranjak menuju bagian farmasi untuk mengambil obat yang sudah diresepkan dokter tadi.
Reno sengaja mengambil cuti hari ini untuk memenuhi permintaan sang istri. Sebenarnya, ia yakin bahwa ia dan Alana baik-baik saja dan sehat. Hanya saja, Alana selalu merengek untuk melakukan pemeriksaan ini dengan dalih melaksanakan petuah orang tua. Reno yang selalu mengalah dan menuruti keinginan sang istri pun mengiyakan permintaan itu. Dan ternyata, saat melakukan serangkaian pemeriksaan pun justru Reno yang lebih antusias untuk mengetahui hasilnya.
“Sayang,” panggil Reno pada Alana saat mereka sudah berada di dalam mobil menuju rumah minimalis hadiah dari ayah Reno.
“Hmm …” Alana menoleh ke arah suaminya.
Reno mengambil tangan Alana dan mengecupnya. “Maaf ya, Mas akhir-akhir ini sibuk sekali.”
Alana mengangguk. “Aku mengerti.” Ia menampilkan senyum manis yang Reno sukai.
Reno pun tersenyum. “Mas belum dapat asisten, jadi kerjaan Mas handle semua sendiri.”
“Memang Mas ga minta?”
“Udah sih, tapi belum ketemu yang sreg. Kamu tahu kan Mas itu ga mudah dekat dengan orang. Mas takut kalau ada orang lain, bukan membantu malah bikin ribet.”
Alana tertawa dan mengangguk. Ya, Reno memang tidak mudah dekat dengan orang lain, apalagi lawan jenis. Hal itu pula yang membuat Alana hampir tidak pernah cemburu, karena Reno memang tidak pernah dekat dengan wanita manapun.
Semua hal yang membutuhkan passcode pasti menggunakan tanggal lahir Alana. Begitu pun dengan ponsel Reno. Walau ponsel itu berpassword, tapi passwordnya menggunakan tanggal lahir Alana, sehingga Alana dengan mudah bisa mengecek kapan pun itu. Dan, memang tidak ada yang dirahasiakan di sana. Isi chat Rno di ponsel itu, semua mengenai pekerjaan. Kalau pun ada nomor dengan nama wanita, tapi isi percakapan itu tetap hanya berupa pekerjaan.
“Kita mampir ke rumah Mami dan papi dulu ya!”
Alana mengangguk. “Aku juga ingin mampir ke rumah nenek.”
“Ya.” Reno setuju.
Sebelum sampai di rumah kedua orang tua Reno, Alana meminta suaminya untuk mampir ke toko kue sebagai buah tangan saat datang. Reno pun setuju. Setelah membeli beberapa kue kesukaan Asih dan nenek Alana, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
“Assalamualaiku,” ucap Reno dan Alana bersamaa saat sampai di rumah yang cukup besar itu.
Wanita paruh baya yang sedang duduk di depan televisi itu langsung bangkit dan memanggil anak beserta menantunya. “Alana, Reno.”
Asih langsung membentangkan kedua tangannya dan Alana pun langsung menghampiri wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Asih begitu baik pada Alana. Memiliki Asih dan Rahardiawan, serasa memiliki orang tua sendiri untuk Alana. Dan, Alana sangat bersyukur.
Alana langsung mencium punggung tangan Asih, setelah mendapat pelukan hangat dari ibu mertuanya itu. Reno pun melakukan hal yang sama.
“Kalian dari rumah sakit?” tanya Asih.
Reno dan Alana mengangguk.
“Bagaimana hasilnya?”
“Bagus, Bu. Kami sehat. Alhmadulillah,” jawab Alana senang.
“Alhamdulillah.” Asih pun terlihat senang dengan berita ini. “Mungkin kamu terlalu kecapean, Ren.”
Reno mengangguk. “Ya, kata dokter seperti itu.”
Reno berjalan menuju meja makan. Ia membuka tudung saji di sana dan mengambil beberapa gorengan yang masih tersedia. Alana dan Asih pun mengikuti. Kedua wanita beda generasi itu ikut duduk bersama Reno di sana.
“Lagian, kenapa sih kamu tidak kerja di travel papi kamu aja? Heran deh, punya perusahaan sendiri malah kerja sama orang lain,” kesal Asih yang melihat putranya begitu keras kepala.
“Belum saatnya, Mam. Nanti juga Reno akan mengabdikan diri Reno di perusahaan Papi. Tapi kali ini biarkan Reno mengeksplore diri Reno dulu di luar.”
“Ah, selalu saja itu jawabanmu,” sahut Asih yang kemudian matanya mengarah pada Alana. “Al, coba bujuk suamimu.”
Alana tersenyum. “Sudah, Mam. Tapi ngga bisa.”
“Reno janji akan gabung ke perusahaan Papi, kalau Alana melahirkan,” jawab Reno.
“Mengapa begitu?” tanya Asih.
“Karena kalau kerja di perusahaan Papi kan, bisa datang dan pulang semaunya.” Reno tertawa.
“Dasar kamu!” ucap Asih. Sedangkan Alana hanya tersenyum.
Reno memang sudah memplaning semuanya. Saat ini ia ingin bekerja keras dan mengasah kemampuan diri. Dan, saat Alana hamil, ia ingin lebih banyak waktu untuk istrinya. Ingin menjadi suami siaga, lalu ketika anaknya lahir, ia juga ingin banyak waktu dengan anaknya. Oleh karena itu, ia mengatakan demikian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!