Assalamu'alaikum para pembacaku tersayang. Masih dalam momen libur Idulfitri jangan lupa jaga kesehatan, semoga kalian selalu sehat dan bahagia di manapun berada. Aku datang kembali dengan cerita baru. Semoga berkenan mendapat banyak cinta dari kalian, seperti halnya aku yang menuliskannya selalu penuh cinta dalam setiap ketik eja aksara. Happy reading all 🥰.
Sebelum membaca kisah ini, disarankan membaca dulu novelku yang berjudul Istri Arjuna, supaya lebih paham dengan alur ceritanya nanti.
Bab 1. Kain Pel
Peluh bermanik di dahi Khalisa, sesekali ia menyeka peluhnya menggunakan punggung tangan disela-sela kesibukannya mencuci piring bekas makan malam keluarga.
"Khal, jangan lupa sampahnya dibuang sekalian. Kalau sampah dibiarin semaleman di dalem rumah nanti ngundang tikus!" seru Wulan ibu mertuanya dari ruang keluarga.
"Iya, Bu." Khalisa menjawab setengah berteriak supaya suaranya sampai ke ruang tengah sana.
Dion sang suami bersama ibu mertuanya juga adik iparnya Dania, tengah menonton tayangan komedi di televisi. Terdengar riuh gelak tawa, sedangkan Khalisa masih sibuk dengan piring-piring kotor juga celemek basahnya di dapur. Ia hanya menghela napas, meskipun sejujurnya ia juga ingin ikut menonton bersama.
Seberkas senyum terukir di wajah ayunya yang lelah. Menikah dengan Dion adalah kebahagiaan tak terkira, seumpama anugerah baginya. Terlebih lagi setelah hadirnya Afkar sang putra yang kini berusia tiga tahun.
Sejak menikah, Khalisa tinggal di rumah mertuanya sesuai keinginan Dion. Awalnya Khalisa ingin mereka tinggal terpisah supaya lebih mandiri, di rumah kontrakan pun tak mengapa. Namun, Dion keberatan karena ia tidak bisa jika harus membiarkan ibunya yang sudah berumur hanya tinggal bersama adik perempuannya yang masih kuliah, begitu pula dengan Wulan sang mertua yang mengatakan hal serupa, juga beralasan di rumah itu tak ada laki-laki jika Dion tinggal terpisah.
Khalisa tak pernah mengeluh, selalu berusaha melayani keluarga ini dengan sepenuh hati berusaha menjadi menantu yang baik. Walaupun pada kenyataanya para tetangga sering mencibir, bahwasanya Khalisa memang lebih pantas diperlakukan layaknya pembantu daripada menantu.
Khalisa membuka celemeknya, tersenyum lega pekerjaannya di dapur sudah selesai dan ingin segera bermain dengan si kecil Afkar sang buah hati yang sedang ikut menonton televisi. Khalisa hendak beranjak keluar dari dapur, kemudian Wulan masuk ke sana dan hampir terpeleset cipratan air di lantai yang tercecer sewaktu tadi mencuci wajan besar bekas memasak gulai.
"Ya ampun, Khal. Kamu itu kerja yang bener dong. Kalau Ibu sampai jatuh gimana? Atau kamu memang berniat membunuh mertuamu ini karena sudah bosan berbakti pada keluarga ini!" bentaknya dengan mata membeliak murka.
"M-maaf, Bu. Aku enggak sengaja. Mungkin tadi pas lagi nyuci wajan besar airnya terciprat ke lantai. Sebentar kukeringkan dulu," sahutnya cepat meski tadi sempat terperanjat kaget.
"Khalisa mengambil beberapa lembar tisu yang tersimpan di atas kulkas, kemudian berjongkok hendak mengeringkan air yang tercecer di lantai.
"Kok pakai tisu sih? Ambil kain pel sana! Pemborosan itu namanya. Jadi istri itu harus bisa berhemat!" Wulan mulai berceramah sambil berkacak pinggang. Seperti biasa, baginya setiap hari selalu saja ada hal salah yang dilakukan Khalisa yang tertangkap matanya.
"Ada apa sih, Bu?" Dion menyusul ke dapur begitu mendengar suara ribut.
"Ini istrimu, nyuci piring dan peralatan dapur pun tak becus. Ibu hampir terpeleset karena lantainya basah," jelas Wulan dengan suara meninggi.
"A-aku nggak sengaja, Mas." Khalisa menunduk sambil memilin ujung dasternya yang juga basah tertembus air dari celemek yang dipakainya tadi.
"Lain kali lebih diperhatikan dong, Khal. Ibu itu udah berumur, kalau sampai jatuh bisa berabe urusannya!" Dion protes dengan nada meninggi sambil menatap lurus pada sang istri yang tengah menunduk dalam. "Ibu juga harus kontrol emosi, ingat tensi yang sering naik," bujuk Dion yang berdiri di ambang pintu dapur.
"I-iya. Besok-besok akan lebih kuperhatikan," sahutnya serak menahan tangis.
"Harus itu. Jangan sampai terulang lagi. Kamu itu harus banyak bersyukur masih ada putraku yang ganteng ini mau menikah sama perempuan kayak kamu yang cuma anak panti dengan sejarah miring yang semua orang pun tahu. Kamu itu cuma modal wajah cantik aja, jangan banyak bertingkah."
"Baik,Bu."
Khalisa segera ke belakang rumah untuk mengambil kain pel sembari menahan sesak di dada, sedangkan Dion membujuk ibunya yang kini merajuk menuntut ingin ditenangkan.
Bersambung.
Bab 2. Gaun Lusuh
Daster lusuh di tubuhnya yang basah di bagian tengah tertembus air dari celemek saat mencuci setumpuk piring dan peralatan masak sedang Khalisa tanggalkan. Selesai dengan urusan mengepel lantai ia bergegas membersihkan diri setelah sebelumnya memasak air panas di panci dan membawanya ke kamar mandi. Khalisa mengguyur tubuh lelahnya yang bercampur aroma masakan juga keringat. Membiarkan sapuan air hangat dan busa sabun menyapa kulitnya yang mendamba rasa segar.
Khalisa membasuh diri secepat mungkin lantaran jarum jam terus bergerak tergerus waktu. Ia tak ingin kehilangan banyak momen untuk memeluk putra semata wayangnya sebelum si bocah terlelap, juga ingin bercengkerama sembari melepas rindu dengan suami tercinta.
Ia keluar dari kamar mandi dan mendapati Dion sudah berada di atas kasur. Pria berambut lurus itu duduk bersila dengan mata fokus ke layar gawainya tanpa peduli ataupun tertarik pada Khalisa yang berlalu lalang masih berbalut handuk di dalam kamar yang tak terlampau besar itu.
Khalisa mencoba mencari gaun tidur yang masih layak pakai demi menyenangkan sang suami. Sudah tugas seorang istri untuk selalu terlihat indah di hadapan suaminya kala hendak beranjak ke peraduan. Dengan penuh semangat ia mengacak-acak seisi lemari mencari gaun yang warnanya tidak terlalu pudar. Sudah lama sekali Khalisa tak berbelanja pakaian, kalau diingat-ingat dua tahun lalu ia terakhir membeli pakaian baru.
Untuk sesaat dirinya mendesah frustrasi lantaran gaun tidurnya yang memang tidak banyak tak ada satu pun yang masih layak dipertontonkan pada Dion. Namun kemudian, sudut matanya tak sengaja mengarah ke tumpukan baju paling bawah.
Wajahnya berseri. Ia menemukan gaun tidur warna merah muda yang sebetulnya sudah sedikit pudar juga, hanya saja tidak terlalu parah seperti yang lainnya. Khalisa segera mengenakannya, menyisir rambut dan menyemprotkan kolon murah yang biasa dijual di minimarket. Ia tak peduli dengan merek dan sebagainya lantaran dana untuk kebutuhan pribadinya harus berebut dengan kantongnya yang pas-pasan, yang penting aromanya wangi.
Dengan senyum mengembang ia bergegas ke kamar sang anak terlebih dulu yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya. Untuk sekadar mengecup dan mengucapkan selamat tidur pada si buah hati yang sudah terlanjur terlelap. Bagi Khalisa, Afkar adalah segalanya, permata hatinya, poros hidupnya. Saat sang putra lahir, dunianya yang terkadang masih berselimut kelabu lenyaplah sudah, berganti dengan benderang sukacita dari si buah hati pengobat jiwa.
Khalisa menutup pintu. Mendekati ranjang di mana suaminya duduk bersandar masih asyik bermain game online. Khalisa membuka kimono luar yang melapisi gaun tidur tanpa lengan yang dipakainya. Ia mengusap lengannya sendiri gugup kemudian ikut duduk di sebelah Dion.
“Ehm, Mas,” cicit Khalisa pelan.
“Hmm.” Dion hanya menjawab dengan gumaman, dia terus fokus pada game online yang sedang dimainkannya.
“Mas, nggak ngantuk?” tanya Khalisa berbasa-basi.
“Belum. Kamu tidur duluan aja. Aku lagi tanggung,” sahutnya datar tanpa mempedulikan Khalisa yang menatapnya penuh harap. Sedang mendamba ingin saling mencurahkan kasih sayang dalam upaya pemenuhan nafkah batin.
Mendesah pasrah, Khalisa mati kutu. Sepertinya suaminya tidak berselera padanya bahkan menoleh pun enggan. Padahal ia sudah mengerahkan segala kebolehannya mempercantik diri dengan modal seadanya. Berharap malam ini bisa memadu kasih untuk melepas rindu setelah beberapa bulan terakhir Dion lebih banyak disibukkan dengan pekerjaan. Sangat sering pulang larut malam.
“Ya sudah, Mas. Aku tidur duluan.” Khalisa berkata lesu. Mengembuskan napas kecewa sembari menarik selimut.
Bersambung.
Bab 3. Jurang Kasta
"Khal, siang nanti aku mau antar ibu dan Dania ke rumah kerabat. Mau ada acara keluarga."
"Kerabat ibu?" Khalisa yang sedang menata baju-baju ke dalam lemari hasil menyetrika dini hari tadi, menghentikan kegiatannya dan melontarkan kata tanya pada Dion yang sedang merapikan rambut di depan cermin selepas mandi pagi. "Memangnya ada acara apa lagi? Kenapa akhir-akhir ini sering banget kerabat ibu mengadakan acara penting?"
"Entahlah. Aku juga tak tahu pastinya ada acara apa. Ibu baru kasih tahu aku tadi malam. Tapi sebaiknya kamu tunggu di rumah saja sama Afkar seperti biasa. Kasihan Afkar kalau harus dibawa-bawa. Tahu sendiri anak itu selalu saja dilanda mabuk perjalanan. Tapi karena jauh, aku berencana ikut menginap. Sekitar tiga hari. Nanggung kalau aku bolak-balik."
"Kenapa mendadak sekali?" Nada kecewa terdengar amat kentara terlontar dari bibir mungil Khalisa. "Memangnya acaranya di mana sampai harus menginap segala?"
"Di Cilacap. Di rumah adik sepupu Ibu. Dulu kita pernah ke sana waktu kamu ngidam Afkar. Masih ingat kan? Perjalanan ke sana memakan waktu tiga sampai empat jam. Kalau aku bolak-balik buat anter dan jemput ibu, pasti capek banget. Makanya aku mau ikut menginap," jelas Dion masih tetap di depan cermin sembari menata rambut menggunakan gel.
Membuang napas kasar, Khalisa menutup lemari pakaian dan menghampiri suaminya yang sejak tadi betah bercermin sembari bercakap-cakap dengannya.
"Padahal libur tanggal merah disambung akhir pekan ini tadinya aku ingin mengajak Afkar ke kebun binatang bareng kamu, Mas. Sudah lama kita enggak pergi bareng mengasuh Afkar untuk sekadar jalan-jalan," keluh Khalisa lirih. Ia sudah lama menanti momen ini, tetapi sepertinya angan-angannya harus kandas lagi.
"Ya mau bagaimana lagi, Khal. Acara penting kerabat ibu enggak tiap waktu. Sedangkan kalau jalan-jalan masih bisa di lain hari. Tahu sendiri, ibu tak mau bepergian jauh dengan orang lain, harus aku yang mengantar. Kamu pasti sudah hafal betul tentang hal ini," tuturnya ringan, berpura-pura tak melihat raut wajah Khalisa yang penuh harap agar dirinya tetap tinggal.
Obrolan mereka terhenti begitu ketukan ribut menginterupsi di balik pintu. Khalisa berderap cepat menyambar gagang pintu saat telinganya mendengar suara ibu mertuanya memanggil.
"Iya, Bu. Ada apa?"
"Khal, coba kamu lihat jam dinding, ini sudah jam berapa?" ketus Wulan dengan ekspresi tak sedap dipandang. "Kenapa kamu belum siapkan sarapan?"
"Oh, itu. Karena ini tanggal merah dan hari libur, Bu," jawab Khalisa pelan. Tetap menjaga sopan santun terhadap orang tua meski Wulan sangat jarang berbicara dengan intonasi manis padanya.
"Jadi maksud kamu, kalau hari libur kita juga libur sarapan begitu?" debat wanita paruh baya itu sengit.
"Bukan begitu, Bu. Tapi bukannya Dania yang bertugas membuat sarapan di setiap hari libur? Seperti yang sudah pernah kita bicarakan sebelumnya, yang ibu dan Mas Dion setujui juga dalam rangka melatih Dania supaya lebih mandiri, " jelas Khalisa apa adanya. Kendati tak jarang di tengah-tengah Dania membuat sarapan, tetap Khalisa yang harus menyelesaikannya.
"Ya tapi tetap harus tahu situasi. Masa kamu tidak tahu Dania sebentar lagi ujian akhir semester. Ipar macam apa kamu ini? Kamu bilang Dania itu adik kamu juga setelah kamu menikah dengan Dion!" cerocosnya dengan nada meninggi.
"Kenapa lagi, Bu?" Dion ikut menimpali, beranjak menuju ambang pintu.
"Istrimu ini selalu saja kurang peka. Dania itu lagi sibuk belajar, seharusnya lebih pengertian pada adik ipar sendiri yang sedang serius mempersiapkan ujian walaupun istrimu ini tidak pernah kuliah!" kesal Wulan tak terima dibantah oleh Khalisa.
"Benar kata Ibu, Khal. Kamu seharusnya peka situasi dan kondisi. Jangan samakan ujian kuliah dengan ulangan semester semasa SMA. Dania pasti sangat sibuk sekarang. Sebagai seseorang yang lebih dewasa dari Dania, tolonglah kamu harus belajar lebih pengertian." Kendati tanpa intonasi tinggi, lagi-lagi Dion membela ibu dan adiknya.
Meluaskan sabar dalam dada hanya itu yang bisa dilakukan Khalisa saat ini, disusul anggukan tipis. Dalam setiap kesempatan sudah menjadi langganan selalu dirinya yang salah. Juga strata pendidikannya yang tidak mengenyam bangku kuliah seolah menjadi kesenjangan tersendiri di rumah ini, bak jurang kasta pemisah.
Di hati kecilnya, Khalisa ingin Dion sesekali membelanya dan tentu saja itu hanya angan yang meletus di udara. Setiap kali Khalisa mengeluh, alasan berbakti pada orang tua juga alasan penyakit tua Wulan yang Dion lemparkan padanya selalu berhasil memukul mundur keinginan menyuarakan pendapat, membuatnya kalah. Baginya yang tumbuh di panti serba kekurangan tanpa pernah memiliki orang tua, sangat menghargai sosok Wulan sebagai orang tua Dion kendati bak menelan bara dalam sekam.
"Maaf, Bu. Aku salah. Kalau begitu, Ibu mau sarapan apa? Aku siapkan," tawar Khalisa tetap dengan senyuman meski sembari menahan sebah dalam dada.
"Kalau memasak pasti lama. Beli saja sarapannya. Ibu lagi kepingin makan ketupat sayur Bu Marsih yang dijual di ujung jalan. Cepat ya, jangan lelet," titah Wulan seenaknya seraya melenggang pergi. Tak peduli dengan air muka Khalisa yang kian tertekan mendengar nama Bu Marsih.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!