NovelToon NovelToon

Mars: Rise Of Cydonia

Dunia Baru

Mars, 245 Darian

Lamia Linkheart masih sibuk melakukan perawatan rutin bagi senjatanya. Hari masih gelap dan dinding kaca kediamannya masih menampakkan langit yang hitam legam tanpa cahaya. Meski begitu ia tetap menyelesaikan kegiatannya yang sudah setengah jalan ia lakukan.

Sebuah layar hologram muncul di depan wajahnya. Lamia terkadang mengusap hologram tersebut untuk membaca lebih lanjut artikel-artikel dari masa lalu yang tengah ia pelajari kembali: serangan virus Tetrodoksin di Bumi.

Seperti yang sudah diketahui semua orang termasuk Lamia, peradaban manusia kini tidak lagi bermukim di Bumi, melainkan di Mars. Hal itu terjadi karena meledaknya virus tetrodoksin yang dikembangkan oleh seorang ilmuan jenius bernama Profesor Clairvius, tak kurang lima ratus tahun yang lalu. Sang profesor membuat virus dengan maksud agar dapat menjadi obat yang memberikan umur panjang bagi manusia. Sayangnya, obat ciptaannya tersebut justru mengubah manusia menjadi zombie!

Keadaan semakin parah karena pada era itu, sebuah teknologi yang disebut Nano Quantum sudah dikembangkan di Bumi. Teknologi tersebut memungkinkan perpindahan partikel semua benda dari satu titik ke titik lain hanya dalam hitungan detik. Jarak bukan kendala. Teknologi itulah yang berperan penting menyebarkan virus tetrodoksin dengan cepat di bumi, karena itu artinya manusia pada saat itu bisa berteleportasi kemana pun dalam hitungan detik.

Begitulah akhirnya peradaban manusia di bumi yang disebut gaian kini punah, dan beberapa orang yang selamat melarikan diri ke planet Mars. Beruntung peradaban di Mars sudah dikembangkan sejak lama, sehingga manusia dapat mengembangkan peradaban yang kemudian disebut Martian.

Lamia kembali mengecek beberapa artikel terkait virus Tetrodoksin dan eksodus manusia selamat yang datang dari Bumi. Disebutkan bahwa orang-orang pertama yang membangun peradaban di Mars awalnya dipimpin oleh seorang ilmuan perempuan bernama Zora Hurston, asisten dari Profesor Clairvius itu sendiri.

Di saat Lamia masih tekun membaca, tiba-tiba hologramnya menampakkan sebuah notifikasi panggilan dari Distrik Utama tempatnya bekerja. Lamia menghela napas lelah. Pada waktu sedini ini kenapa sudah ada orang yang mencarinya? Meski begitu, Lamia akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

Bzzzt… Bzzzt… Bzzzt…

SPC-Base 1 transmisi masuk. 

“Selamat pagi Komandan Lamia, diharap melapor ke Pangkalan Pertama. Perintah langsung dari Komandan Utama. Saya ulangi…”

“Aku tahu,” timpal Lamia tanpa beranjak dari sofa abu minimalis di ruang tamu kediamannya.

Hologram berwujud pria muda berpendar kehijauan berdiri di hadapan Lamia. Gesturnya sopan dan sama sekali tidak menampkkan kelelahan meski saat itu bukan waktu normal baginya untuk bertugas. Gadis itu kemudian mengerling ke arah dinding kaca di belakangnya. Langit bahkan masih gelap. Bintang-bintang bertaburan di luar sana, seperti lukisan angkasa yang berkerlap-kerlip.

Lamia pikir setelah selesai membereskan berkas-berkas perekrutan prajurit baru, dia bisa bersantai sejenak sambil melakukan perawatan rutin untuk senjatanya. Ia sudah bekerja keras memilah-milah profil para kadet yang akan masuk ke Pangkalannya sejak pukul 2 dini hari. Bayangan Clare Theresa, pegawai administratif Akademi Militer Martian, menghantui mimpinya semalam.

Sudah seminggu penuh hologram Clare mondar mandir di ruang tamu Lamia. Semata-mata karena dia satu-satunya Komandan dari empat Pangkalan Antariksa Martian yang belum mengembalikan berkas perekrutan. Mau bagaimana lagi? Kadet-kadet terbaik sudah dikirim ke Pangkalan Pertama milik Aeron Kato. Ia hanya bisa menekan rasa frustasi karena tidak ada kadet yang cukup layak menurut kriterianya.

Sebaiknya Lamia tidak mengingat hal yang memicu kekesalannya. Gadis itu memutuskan untuk mulai menelaah hologram prajurit muda yang tidak sewajarnya berpendar di ruang tamunya pukul tiga dini hari. Ia kembali berdecak kesal karena melihat Jet yang masih menatapnya tanpa ekspresi.

“Huh, kenapa harus malam ini?” gerutu Lamia sambil meletakkan Orthus – pistol flintlock putih berukir sulur emas – di meja kaca oval bening. Pistol itu bernama Orthus karena kembarannya yang berwarna hitam dengan ukiran sulur perak bernama Cerberus.

Andai pistol itu bukan warisan ayahnya, sungguh Lamia ingin mengubah namanya agar sedikit lebih modern dan canggih. Hyperblast misalnya. Meski sebenarnya nama canggih tidak akan cocok untuk kedua pistol flintlocknya yang klasik. Namun kenyataannya pistol-pistol ini sangat bermanfaat untuk melumpuhkan makhluk gaian.

Gaian adalah istilah yang digunakan untuk menyebut makhluk-makhluk yang kini menguasai Bumi. Setelah terjadi wabah virus Tetrodoksin yang hampir memunahkan umat manusia, sebagian orang yang belum terinfeksi pergi ke Mars untuk menyelamatkan diri. Beruntung Pengembangan Kehidupan di Mars sudah berjalan dengan baik sebelum merebaknya wabah Tetrodoksin. Leluhur itulah yang kemudian melahirkan peradaban Martian di Mars.

Seumur hidupnya, Lamia sudah diajarkan untuk membenci makhluk gaian. Mereka serupa zombie kanibal yang memangsa manusia, meski dulunya mereka juga manusia. Fakta lain yang dibenci oleh Lamia adalah bahwa evolusi virus Tetrodoksin tidak berhenti pada tataran fisik, bahkan kecerdasan dan kemampuan intelektual makhluk gaian juga berkembang.

Mereka memiliki kesadaran untuk membangun peradaban Gaian di Bumi dan menciptakan pasukan yang kuat dan bahkan para makhluk gaian ini mulai sering melakukan invasi ke Mars. Celakanya, Lamia tidak bisa mempermasalahkan hal itu. Karena itulah yang membuatnya bisa bekerja sebagai Pasukan Antariksa.

Dan disinilah dia sekarang. Berhadapan dengan seorang anak muda menyebalkan yang mengganggu waktu istirahatnya setelah seharian bekerja keras.

“Sebenarnya ada masalah apa?” tanya Lamia kemudian setelah selesai menyarungkan kedua pistolnya.

“Komandan Aeron akan menjelaskan secara langsung kepada anda,” jawab pantulan hologram berwujud anak muda berwajah muram.

Lamia mengenalnya sebagai Prajurit Junior Pasukan Antariksa Martian Distrik Pertama. Namanya Jet.  Usianya mungkin lima atau enam tahun lebih muda dari Lamia, namun Aeron sudah mempercayakan tanggung jawab bagian transmisi padanya. Lamia sering melihat Jet secara virtual, meski belum pernah bertemu wujud fisiknya.

“Siapa saja yang dia panggil?” tanya Lamia kemudian.

“Anda akan mengetahuinya setelah berada di sana,”  jawab pantulan hologram Jet yang berpendar kehijauan.

Lamia menatap Jet sambil melipat tangan. Sekeras apapun berusaha, Lamia tidak bisa menyukai anak itu. Jet tidak pernah memberi jawaban yang memuaskan, dan itu membuatnya kesal. Diam-diam Lamia berencana untuk mensterilkan area tempat tinggalnya dari segala macam alat transmisi hologram. Ia benar-benar muak berurusan dengan hologram-hologram sepekan terakhir.

Ia berharap bisa menolak panggilan misi kali ini. Ia sudah sangat lelah karena berbagai hal. Namun yang memanggil Lamia tidak lain tidak bukan, ialah Aeron Kato, sang Komandan Pertama, atasannya. Sebenarnya Lamia bukannya sungkan untuk menolak. Hanya saja Aeron adalah sahabatnya. Mereka tumbuh bersama sejak kecil, dan bahkan Lamia dibesarkan oleh keluarga Aeron. Alasan terpenting lainnya adalah karena Lamia sangat menyukai Aeron.

“Harap memberi tanggapan, Komandan. Apakah anda akan segera…”

“Aye aye.. aku berangkat sekarang.” tukas Lamia mengancingkan seragam overall polyester hitam Pasukan Antariksa yang sudah sempurna ia kenakan. Lengkap dengan lencana bintang berbentuk huruf “M” merah besar tersemat di dada. Lamia mengenakan seragam semata-mata untuk merangsang konsentrasinya dalam memilah berkas perekrutan. Ah, ingatan menyebalkan lagi.

Panggilan Misi

“Terimakasih Komandan. Selamat bertugas.” jawab Jet dengan pendar kehijauan yang mulai memudar lalu menghilang sepenuhnya

SPC-Base 1 transmisi terputus.

“Hh.. Menyenangkan ya mengganggu waktu istirahat orang lain,” gerutu Lamia.  

Padahal ia pikir masih punya cukup waktu untuk melakukan perawatan rutin bagi Orthus dan Cerberus. Senjata-senjata tua memang perlu perlakuan khusus atau mereka akan ngadat dan berhenti berfungsi. Lamia tentu saja sangat menyayangi Orthus dan Cerberus karena keduanya merupakan benda peninggalan keluarga yang tidak pernah dilihatnya. Satu senjata andalannya yang lain adalah Steno, submachinegun keluaran terbaru yang canggih dan tidak perlu perawatan merepotkan.

Setelah sibuk selama beberapa menit Lamia pun bersiap memenuhi panggilan tugas. Tak lupa gadis itu mengikat tinggi rambut merah jambu yang sudah tergerai amburadul hingga ke punggung. Ia tidak pernah berniat memotong pendek rambutnya seperti yang dilakukan oleh prajurit wanita lainnya. Dan karena kemampuannya yang menonjol sejak di Akademi – atau karena kedekatannya dengan keluarga Komandan Utama – Lamia diizinkan memiliki rambut panjang. Benar-benar hal yang patut disyukuri.

Private Quantum Hall di ruangan Lamia sudah bersiap mengantarnya ke Pusat Komando, tempat dimana Aeron bermarkas.  Pangkalan Antariksa Martian adalah sebuah pangkalan militer terbesar, termegah dan tercanggih di Planet Mars. Pangakalan itu dibangun menyerupai cincin yang mengelilingi Planet Mars. Seluruh anggota Pasukan Antariksa Martian yang terbagi dalam empat distrik hidup dan tinggal di pangkalan itu. Sebagai akses transportasi antar distrik digunakan Private Quantum Hall yang hanya dimiliki oleh petinggi-petinggi militer atau kerjaan.

Sejak bencana yang menghancurkan bumi, kini teknologi Nano Quantum telah dibatasi mengingat kemampuannya yang mengerikan dalam menyebarkan wabah. Karena itu hanya sebagian orang yang mendapat hak untuk bisa menggunakan teknologi Nano Quantum. Lamia salah satunya. Dengan begitu ia hanya perlu memproses data transmisi dan detik berikutnya ia sudah berada di kediaman Aeron.

...***...

Ruangan bernuansa biru itu –mulai dari tirai hingga kabinet, benar-benar sesuai dengan Aeron -  menyambut Lamia dengan suasana menegangkan. Seingat Lamia belum ada 6 jam yang lalu sejak Lamia berada di sana untuk melakukan uji strategi, dan kini dia sudah harus kembali menemui sang pemilik ruangan yang tampak sepucat gaian.

“Semuanya sudah datang, Aeron. Apa lagi yang kau tunggu?” kata gadis berambut merah jambu itu, sambil menatap Aeron dengan bola matanya yang sewarna darah.

Akhirnya Aeron mengalihkan tatapannya dari pemandangan angkasa yang gelap di luar sana, dan berbalik melihat orang-orang yang menunggunya sedari tadi. Ia menarik nafas pelan sembari mengerling gadis-merah-jambu yang tengah menatapnya tajam.

“Ada tugas untuk kita pagi ini,” kata Aeron memulai pembicaraan. Ia memperhatikan setiap wajah di depannya. Semuanya tampak jemu dan lelah, kecuali Lamia yang tetap menatapnya dengan tegas dan siap.

“Aku dan Komandan Kedua, Lamia,” katanya sambil mengangguk pada Lamia. “akan memimpin tugas ini,” lanjutnya. Ia menghela nafas lagi. Sangat berat baginya untuk menjelaskan tugas yang harus mereka lakukan setelah ini.

“Apa pastinya tugas kita?” tanya Lamia. Aeron menatap gadis itu kelu. Sejujurnya ia tidak ingin menugaskan prajuritnya untuk melaksanakan tugas ini.

“Komandan Pertama Aeron Kato, kami harus tahu, aku harus tahu tentang misi kita, sebelum memutuskan untuk bersedia memimpinnya,” kata Lamia menekankan dengan sangat jelas.

“Aku tahu, Lamia. Aku tahu. Hanya saja...” kata Aeron sedih.

“Kenapa kau begitu ragu? Tidak biasanya kau seperti ini. Percayalah, seberat apapun misinya, pasti kami lakukan,” kata Lamia tegas.

“Kali ini… hanya kali ini, aku tidak bisa percaya pada kata-katamu, Lamia,” jawab Aeron pelan.

“Komandan Aeron, percayalah pada kami. Kami berada di sini untuk melindungi Martian. Tak ada satu misi pun yang akan kami tolak,” kata salah seorang prajurit berbaju hitam yang langsung disetujui oleh teman-temannya.

Aeron tersenyum simpul.

“Baiklah akan ku katakan,” kata Aeron. “Misi kita adalah... menjemput Pangeran Balder ke Bumi,” lanjut Aeron sedikit ragu.

Lamia tersentak kaget dan langsung berdiri dari kursinya, sambil memandang Aeron tak percaya. Para prajurit yang lain pun terbelalak kaget dan tampak bingung setelahnya.

“Apa maksudmu? Pangeran Balder? Di Bumi? Bagaimana bisa?” tanya Lamia tak sabar.

“Sekitar satu jam yang lalu, Pangeran Balder meninggalkan Mars seorang diri, tanpa pengawalan. Sempat ada hubungan komunikasi dengan Ratu, namun segera terputus sebelum mendapatkan koordinat pasti keberadaan pangeran. Hanya saja, dalam hubungan singkat itu pangeran berkata dia sedang menuju Bumi,” jelas Aeron, berusaha setenang mungkin.

Lamia mencoba berbicara, tapi suaranya sama sekali tidak keluar. Ia kemudian kembali duduk terkulai dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Setelah beberapa detik berpikir, ia pun berhasil mencerna dengan tepat informasi dari Aeron.

“Kenapa kebodohan semacam itu...” kata Lamia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan marah bercampur heran. “... bisa terjadi?” hanya kata itu yang bisa ia temukan untuk menyelesaikan kalimatnya.

Aeron menatap Lamia memohon pengertian.

“Aku tidak habis pikir,” kata Lamia. “Pangeran bisa sebodoh itu untuk jalan-jalan malam sendirian. Ke BUMI! Dipikirnya itu piknik?” kata Lamia gusar.

“Aku tidak menyalahkan kalian bila menolak misi ini,” kata Aeron kalem.

“Kita harus mengorbankan duabelas prajurit terbaik Martian hanya untuk menyelamatkan pangeran yang sudah jelas bodoh dan tidak pantas disebut pangeran?!” seru Lamia lagi, yang segera disetujui para prajurit.

“Kita tidak mungkin pergi ke Bumi hanya dengan satu regu pasukan dan berharap bisa kembali dengan utuh,” kata salah seorang prajurit.

“Benar. Dan kenapa kita hanya pergi dengan tim sekecil ini?” tanya yang lainnya.

“Karena ini misi penyelundupan. Sebisa mungkin kedatangan kita tidak terdeteksi. Tapi aku tidak memaksa kalian untuk ikut. Aku hanya berpikir apakah kalian bersedia, karena seperti yang dikatakan Lamia, kalianlah prajurit terbaik Martian,” jawab Aeron. “Misi ini bukan keharusan, mengingat konsekuensinya memang besar. Dan kalau kalian semua memilih mundur, aku akan pergi sendiri,” lanjut Aeron tanpa ekspresi.

“Gila! Kau benar-benar gila, Aeron! Ini misi bunuh diri! Meski kita semua ikut, kemungkinan satu dari kita kembali itu NOL! Dan kau akan pergi sendirian? Kau sama idiotnya dengan Pangeran!” seru Lamia tajam.

“Tak ada pilihan lain. Yang Mulia benar-benar sedih kehilangan adiknya,” jawab Aeron mengabaikan seruan protes Lamia.

“Bella? Dia lebih mempedulikan keselamatan adiknya yang bodoh itudibandingkan keselamatan kita, sahabatnya sediri, komandan dan ahli strategi kerajaan terbaik, serta sepuluh orang prajurit yang juga paling baik?” tanya Lamia tak percaya. Mata merahnya menjadi semakin merah karena kemarahan.

“Lamia, mengertilah. Pangeran adalah adik satu-satunya. Hanya Pangeran yang tersisa dari keluarganya. Aku cuma berharap kau memahami keadaan ini,” kata Aeron setengah memohon.

“Aku bahkan tidak punya satu orang pun yang bisa kusebut keluarga,” jawab Lamia ketus.

Asklepius

Aeron menghela nafas lelah. Ia mengerti, Lamia begitu keras kepala dan tidak akan mudah dibujuk. Selain itu juga ia tidak bisa lebih mengharapkan bantuan para prajurit. Ia mengerti dengan sangat jelas, bahwa kemungkinan keberhasilan misi ini sangat kecil, dan bukan salah mereka untuk menolak. Tapi ia tidak mungkin mengelak. Perasaannyalah yang memaksa dia untuk bersedia melakukan misi invasi ke Bumi dan menyelamatkan Pangeran Balder.

“Perasaan khususmu pada Bella-lah yang membuatmu menjadi begini tumpul untuk menilai persoalan ini, Aeron. Dan sekarang kau sudah melibatkan aku,” kata Lamia datar.

Aeron tersenyum simpul menatap Lamia. Kalimat inilah yang ditunggunya dari tadi.

“Terimakasih, Lamia. Kita berangkat lima menit lagi,” jawab Aeron sedikit lega. Meskipun keras kepala, namun Lamia adalah satu-satunya orang yang bisa dia andalkan.

“Kalau kau berharap aku ikut, lebih baik sesuaikan estimasi waktumu denganku. Aku akan siap setengah jam lagi. Jadi, lebih baik menungguku,” kata Lamia santai, lalu berjalan keluar.

“Tapi itu akan memakan waktu. Balder bisa terbunuh bila kita datang terlalu lama,” kata Aeron lagi.

“Tidak akan ada bedanya. Toh dia sudah berangkat hampir satu jam yang lalu, dan dengan Horizon, dia hanya perlu waktu setidaknya setengah jam untuk mencapai lini pertama pertahanan pasukan Gaia. Kurasa dia sudah hancur dari tadi,” jawab Lamia tenang. Ia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan Aeron dan prajurit lainnya. Mereka menatap kepergian Lamia hingga rambut merah jambunya yang diikat tinggi itu ikut menghilang.

“Kalian bagaimana?” tanya Aeron kemudian pada para prajurit.

Mereka tampak bercakap-cakap dan saling berdiskusi.

“Karena Komandan Lamia turut serta, kami juga memutuskan untuk ikut,” kata salah satu perwakilan dari mereka.

“Terimakasih,” balas Aeron tersenyum tipis.

...***...

Lamia sudah sampai ke Area Distrik Dua. Tapi alih-alih kembali ke tempat tinggalnya, dia meluncur ke Stasiun Antariksa. Dengan perasaan kacau Lamia menghampiri subbers yang terparkir di ruang khusus kendaraan pribadi. Subbers adalah pesawat hipersonik berbentuk seperti ujung anak panah yang khusus digunakan sebagai alat transportasi dari pangkalan antariksa menuju dataran Mars dan sebaliknya. Bukan kendaraan favorit Lamia memang, mengingat gadis itu tidak terlalu berminat untuk jalan-jalan ke kota.

Setelah perjalanan hipersonik selama beberapa menit, Lamia pun berhasil menembus atmosfer Mars. Sesuai koordinat yang telah ditentukan, Scubers melesat menuju kota metropolis Terra Sabaea, ibu Kota Martian. Terra Sabaea adalah distrik terpadat dan dipenuhi rumah jamur beraneka ukuran. Bangunan di Mars berbentuk oval besar dengan pilar penyangga di bawahnya. Dibangun seperti itu karena sumber energi di Mars dipancarkan melalui Generator. Sinyal energi ditangkap menggunakan Hubble, semacam parabola penangkap sinyal. Selain alasan itu juga karena moda transportasi utama di Mars adalah melalui udara. Oleh karena itu setiap rumah memiliki landasan di atap rumah jamur mereka.

Suasana pagi masih sepi dan udara tidak dipadati oleh kendaraan terbang sehingga Lamia dapat segera menemukan rutenya. Setelah berputar-putar selama beberapa waktu, ia pun mendarat di sebuah rumah jamur dengan landasan bertuliskan ASKLEPIUS. Setelah selesai memarkirkan Subbersnya, Lamia meluncur turun ke dalam bangunan. Sebuah bar remang-remang dengan aroma manis yang menenangkan menyambut kedatangan Lamia. Hanya ada beberapa kursi yang terisi. Tanpa basa-basi Lamia segera menuju meja bar.

“Lamia?!” seru seorang pemuda tampan berambut putih keperakan dari balik meja bar. Pemuda inilah yang memang ingin ditemui Lamia, Mick Klorin. Mick adalah sahabat karibnya semenjak kecil dan sudah seperti seorang kakak bagi Lamia. Hanya pada Mick-lah Lamia selalu bisa mendapatkan jalan keluar bagi masalahnya.

“Mick, aku mau segelas bir,” kata Lamia kemudian.

“Astaga! Betapa rindunya aku padamu. Kemarilah! Aku ingin memelukmu,” kata Mick ceria. Ia kemudian mencondongkan badannya berusaha meraih Lamia.

“Berhentilah bercanda, Mick.” kata Lamia pelan.

Mick tertawa kecil dan menyodorkan segelas bir pada Lamia yang tengah depresi mengingat keberangkatannya ke Bumi.

“Ada apa Mia? Kenapa wajahmu tampak begitu muram?” tanya Mick sambil mengusap-usap kepala Lamia.

“Berhenti mengusap kepalaku. Aku bukan anak kecil. Lagipula kita seumuran!” seru Lamia menyingkirkan tangan pemuda itu.

“Kalau begitu ceritakan masalahmu, Komandan Kedua Pasukan Antariksa Martian, Lamia Linkheart,” bujuk Mick tersenyum jahil.

“Mungkin aku akan segera mati,” kata Lamia pelan.

“Sejak kapan kau jadi melankolis dan meramalkan kematianmu sendiri begitu?” tanya Mick sarkastik.

“Aku tidak sedang meramal, dan aku tidak jadi melankolis!” seru Lamia cemberut. “Pagi ini aku dan Aeron akan pergi ke Bumi mencari Balder,” jawab Lamia.

 “Aku tahu, kau tidak pernah suka pergi ke Bumi,” komentar Mick.

“Tentu saja! Mustahil kita bisa melawan para gaian itu di planet mereka sendiri. Kita bahkan tidak tahu dimana sumber virus itu berada, dan Bumi kan luas sekali! Hanya orang bodoh yang selalu memberikan perintah invasi ke bumi setiap waktu. Itu sama saja mengirimkan makanan gratis untuk para gaian.” sembur Lamia berapi-api.

“Jangan pergi, Mia.” Bujuk Mick kemudian.

Sedih, Lamia menatap Mick yang balas menatapnya dengan khawatir, tanpa mampu menjawab bujukan Mick.

“Apa Aeron yang memintamu pergi?” lanjut Mick bertanya. Lamia tertunduk, lalu mengangguk pelan menanggapi.

“Sampai kapan kau akan terus menuruti Aeron tanpa mempedulikan dirimu sendiri? Kau sudah cukup bekerja keras, Mia. Berhentilah menuruti orang lain dan hiduplah untuk dirimu sendiri.” Lanjut Mick kesal.

“Sudah tugasku menjalankan misi apapun yang diberikan kepadaku,” jawab Lamia muram.

“Memangnya kau benar-benar ingin menjalankan misi ini? Atau kau terpaksa melakukannya karena Aeron yang memintamu?”

Lamia kembali terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaan Mick. Gadis itu semakin tertunduk lesu karena Mick menangkap basah kebodohannya setiap berhadapan dengan Aeron.

“Berhenti bersikap bodoh dan katakan pada Aeron kalau kau tidak akan pergi. Misi ini terlalu mencurigakan, Mia. Seperti ada seseorang yang sengaja menempatkanmu dalam bahaya.”

“Aku… tidak bisa melakukannya. Kau tahu itu, Mick,” singkat, Lamia menolak bujukan Mick. “Aku kesini hanya untuk berpamitan, siapa tahu kita tidak bisa bertemu lagi. Mick, kau adalah salah satu dari sedikit orang yang penting untukku, karena itu aku menemuimu.”

“Kalau kau memang menganggapku penting, setidaknya kau mendengarkan kata-kataku, Mia.” Mick menarik napas panjang berusaha menenangkan diri.

“Maafkan aku, Mick,” ucap Lamia sungguh-sungguh.

“Jangan pergi, Mia,” sekali lagi Mick mencoba membujuk Lamia.

Lamia menggeleng pelan.”Aku tidak mungkin membiarkan Aeron pergi sendirian,” jawab Lamia lemah.

“Mia, sadarlah! Aeron bahkan tidak punya perasaan padamu. Satu-satunya orang yang dia pedulikan hanya Bella. Sampai kapan kau akan seperti ini?!” Mick sudah benar-benar kesal. Ia sungguh mempedulikan Lamia, namun sahabatnya itu sangat keras kepala terutama bila menyangkut Aeron.

Mick menghela napas kesal. Ia merasa dirinya sedang bicara dengan dinding. Apapun yang dia katakan, Lamia hanya akan terus menuruti Aeron. Akhirnya, dengan berat hati, Mick berbalik memunggungi Lamia dan membuka salah satu laci lemari kayu tempat menyimpan botol-botol minuman.

“Bawalah ini bersamamu,” kata Mick sembari mengulurkan sebotol cairan berwarna ungu cerah setelah mengambilnya dari salah satu laci meja bar-nya.

“Apa ini?” tanya Lamia sambil mengamati cairan yang sudah dipegangnya itu.

“Antidoksin, penangkal virus tetrodoksin. Hanya untuk berjaga-jaga. Kalau kau berhasil dilukai para gaiandan mulai berubah menjadi seperti mereka, segera minum cairan itu. Dan sebisa mungkin ramuan ini membekukan racun yang akan mengubahmu menjadi gaian. Tapi ini belum stabil dan hanya membekukan virusnya, bukan menyembuhkan,” jelas Mick panjang lebar.

Lamia mengangkat alis sambil menatap cairan itu dan Mick bergantian.

“Kau memberiku vaksin yang membuatmu dipecat?”

Mick berdecak tak sabar menaggapi. “Aku tidak dipecat karena vaksin itu gagal,” sanggahnya. “Aku ini Mick Klorin. Biar begini aku pernah menjadi Kepala Alkemis Martian. Tidak ada ramuan yang gagal kubuat.”

Tentu saja dia mempercayai Mick lebih dari apapun. Meski terlihat urakan, Mick adalah orang yang berdedikasi. Keterampilannya sebagai Alkemis juga tidak main-main. Dan tentu saja Mick tidak mungkin mencelakakannya.

“Tenanglah Mia, apapun yang kulakukan dan kuberikan untukmu pasti adalah hasil dari usaha terbaikku,” kata Mick dengan senyuman yang selalu bisa membuat Lamia merasa tenang. Untuk alasan inilah Lamia selalu bergantung pada Mick setiap kali merasa tidak berdaya.

“Aku seratus persen yakin pada kemampuanmu. Tapi apakah benda ini aman? Kau menghasilkan cukup banyak hal berbahaya,” komentar Lamia serius.

“Kita akan tahu setelah kau mencobanya,” jawab Mick tak kalah serius.

“Mick…”

 “Yah, berdoa saja kau tidak tergigit oleh mereka,” kata Mick ringan.

Lamia tersenyum kecil lalu berbalik pergi meninggalkan Mick sambil melambaikan tangan. Rasanya dia sudah lebih siap untuk petualangan mautnya ke Bumi.

 “Mia, sebelum kau pergi, sebenarnya ada satu hal yang perlu kau ketahui,” tiba-tiba Mick merendahkan suaranya lantas memasang ekspresi ragu-ragu.

“Ada apa, Mick?” tanya Lamia kebingungan. Tidak biasanya sahabatnya ini terlihat ragu.

“Sebelum itu berjanjilah untuk mengontrol emosimu. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya sekarang, tapi karena kau harus menghadapi misi yang mungkin berbahaya, aku ingin kau tahu tentang hal ini dulu,” ucap Mick memperingati.

“Jangan bicara berputar-putar, Mick. Katakan saja apa yang ingin kau katakan!” seru Lamia tak sabar.

Mick tampak menghela napas panjang. “Ini tentang identitasmu yang sebenarnya. Kau sebenarnya adalah keturunan enchanter terkuat dari Cydonia. Ayahmu adalah pimpinan pemberontakan 14 tahun lalu.”

Lamia menautkan kedua alisnya, sama sekali tidak yakin akan perkataan Mick. “Apa maksudmu, Mick?”

“Aku akan menjelaskan secara lebih lengkap tentang hal itu setelah kau kembali. Karena itu, kuharap kau kembali dengan selamat. Dan untuk fakta tentang identitasmu tersebut, sebaiknya kau menyembunyikannya lebih dulu untuk saat ini,” terang Mick panjang lebar. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!