Seorang wanita berjalan sendirian di tengah rintik hujan. Melangkahkan kaki di atas genangan air dengan raut wajah yang terlihat sendu. Tak lama air matanya pun mulai terurai, mengalir selaras dengan guyuran hujan yang semakin deras.
Dinginnya air, disusul dengan desiran angin yang menerpa kulit nampak tak berpengaruh sedikitpun. Padahal ia hanya mengenakan dress selutut dengan lengan terbuka.
"Sudah sebesar ini masih saja suka bermain air hujan." Suara seseorang dari belakang tak membuatnya bergeming.
Pemilik suara itu mendekat dan berbagi payung dengannya.
"Pergilah!" ketus wanita yang akrab disapa Airin itu.
Dia tidak mau diganggu saat ini, suasana hatinya sedang buruk.
"Meneduhlah, atau kau akan sakit." Lelaki itu tidak menyerah.
"Bukan urusanmu. Lagi pula aku juga tidak mengenalmu."
"Kalau begitu mari kita berkenalan. Aku Rainand Arsenio, panggil saja Rain," ujar lelaki itu, sembari mengulurkan tangan.
"Aku tidak bertanya." Airin berpaling, tak berniat menyambut uluran tangan yang sudah mengarah padanya.
"Ambillah. Kembalikan saja jika suatu saat kita bertemu lagi," final Rain, mengalihkan paksa payung yang ia genggam ke tangan Airin, sebelum berlari membelah hujan yang sudah semakin deras.
"Hey! Aku tidak tahu siapa kau. Bahkan aku tak tahu dimana alamatmu. Bagaimana caraku mengembalikannya?! Ish!" teriak Airin kesal.
Namun teriakan itu sudah tak terdengar oleh Rain, karena kalah dengan gemericik suara hujan yang kian nyaring terdengar.
"Dasar aneh," dengus Airin menyipitkan mata, berharap lelaki asing itu masih terjangkau oleh pandangannya.
"Aku benci hujan," gumamnya sambil melangkah pergi.
Seharusnya Airin sekarang ada di tempat pernikahan sahabatnya. Namun dia enggan untuk datang. Bagaimana bisa ia datang, jika sahabatnya sendiri menikah dengan pacarnya yang hiatus satu bulan lalu?
Miris memang. Sebenarnya Airin sudah berusaha tegar dan ikhlas menerimanya. Namun kenyataan pahit yang baru ia ketahui dua minggu yang lalu, membuatnya seperti terkena sambaran petir di pagi hari yang cerah. Siapa sangka ia akan hamil anak dari mantan pacarnya yang sedang melangsungkan pernikahan itu?
Rasa sakit juga kecewa itulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk menghadiri acara pernikahan Celia, sahabatnya. Ia tak kuat, melihat lelaki yang namanya masih tersimpan di dalam relung hatinya, bersanding di pelaminan dengan wanita lain.
Apalagi dengan keadaannya yang sedang berbadan dua seperti ini. Hatinya menjadi lebih sensitif dari sebelumnya.
Sebenarnya Airin sudah ada niat untuk memberi tahu Keano, sang mantan pacar, tentang kehamilannya. Namun undangan pernikahan malah lebih dulu menghampiri.
"Sebaiknya aku pulang," lirihnya pada diri sendiri, kemudian berjalan cepat karena badannya mulai menggigil.
Benar kata pria asing tadi, dirinya bisa saja sakit jika terus bertahan di bawah guyuran hujan tanpa meneduh.
...***...
"Hatchi!!"
Airin menggosok hidungnya yang gatal. Badannya lemas, dengan kepala berdenyut dan terasa lebih berat dibanding sebelumnya. Sepertinya ia benar-benar sakit setelah insiden hujan-hujanan kemarin. Padahal biasanya air hujan adalah wilayahnya. Tapi itu dulu.
"Semua ini salahmu!" geram Airin menatap tajam perutnya sendiri.
Airin tinggal mandiri di sebuah apartemen yang dibelinya, dengan hasil jerih payah selama bekerja paruh waktu di sebuah kafe, ditambah dengan tabungannya sejak masa sekolah. Beruntungnya ia tak perlu membayar biaya kuliah, karena berhasil mendapatkan beasiswa di kampus ternama tempatnya menimba ilmu.
Airin terbiasa menabung sejak kecil. Ia sadar jika hidupnya tidak bisa bergantung pada siapapun.
Kedua orang tuanya sudah meninggal saat ia masih kecil, karena insiden kecelakaan. Lalu kepengasuhan atas dirinya berpindah kepada sang bibi.
Namun bibinya, Maya, tidak memperlakukannya dengan baik, malah cenderung hanya memanfaatkan harta kedua orang tuanya, yang ditinggalkan untuk kelangsungan hidup Airin.
Dan disinilah Airin sekarang. Ia lebih tenang jika hidup mandiri, daripada diperlukan tidak pantas di rumahnya sendiri.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Airin mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Harus kuapakan makhluk ini?" lirihnya menatap sendu sambil membelai perutnya.
"Apa aku harus merawatnya? Atau aku lenyapkan saja? Pumpung dia masih kecil. Orang-orang tidak akan tahu."
"Ah, tidak-tidak, itu terdengar kejam."
Airin terus berdialog dengan diri sendiri, sampai-sampai ia merasa seperti orang yang sudah kehilangan akal.
Benar, akal sehatnya sudah hilang tatkala bertemu dengan Keano.
Hingga dengan mudah ia menyerahkan dirinya pada lelaki brengsek itu. Nyatanya setelah segala yang sudah ia berikan, lelaki itu tetap pergi meninggalkan luka yang cukup dalam.
Tidak-tidak, semua yang telah terjadi adalah salah Keano. Airin hanya gagal mempertahankan diri saat itu.
Antara suka dan tidak suka. Sadar dan tidak sadar. Cinta benar-benar membutakan segalanya. Dan apartemen ini adalah saksi bisu atas segala hal yang pernah terjadi diantara dirinya dan Keano.
Ting Tong
Lamunan Airin buyar saat mendengar bel dari arah pintu. Dengan langkah berat ia menghampiri ruang depan, untuk melihat siapa tamu yang datang pagi-pagi begini.
Ceklek
Mata Airin langsung membola dengan sempurna saat tahu siapa orang yang ada di depannya sekarang.
"Keano?" lirih Airin dengan suara yang hampir tak terdengar.
Keano terhenyak melihat penampilan Airin yang tidak seperti biasanya. Wanita itu tampak kacau.
Wajah pucat, rambut acak-acakan dan mata panda yang terlihat menghitam. Ia tampak seperti hantu perempuan yang khas dengan tawanya yang melengking.
Seterpuruk itukah Airin ketika mendengar kabar pernikahannya? Hingga wanita itu kini berubah wujud menjadi sosok lain yang tak dikenali Keano.
Kalau saja hubungan mereka masih seperti dulu, tentu Keano akan segera memeluk Airin dengan erat dan tak akan pergi dari sisinya lagi.
Meski sebenarnya ada sedikit rasa bahagia saat lelaki itu masih mau mengunjunginya, namun sebisa mungkin Airin mengontrol diri ketika teringat segala perbuatan Keano yang tak dapat dimaafkan.
"Enyahlah! Aku tidak menerima tamu laki-laki brengsek sepertimu!" usir Airin sambil mendorong pintu.
"Tunggu, Rin. Aku bisa menjelaskan semuanya," balas Keano, langsung menahan pintu agar tidak tertutup.
'Sial, tenagaku kalah kuat darinya,' gerutu Airin dalam hati.
Melihat wajah Keano, membuat ingatan Airin melalang buana. Saat ia gagal mempertahankan diri, dan malah menikmati perbuatan lelaki begajulan itu.
Siapa yang pantas disalahkan sekarang?
"Tolong jangan temui aku lagi. Kau sudah menjadi suami orang. Tidak baik jika menemui perempuan lain tanpa sepengetahuan istrimu, apalagi perempuan itu adalah bagian dari masa lalu." Airin berusaha mempertahankan akal sehatnya.
Ia tak boleh lagi lemah dengan tatapan sok polos dari buaya kelas kadal macam Keano.
"Please, Rin. Dengarkan aku dulu." Keano memelas sambil tetap memaksa masuk.
"Pergi! Aku tak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Aku juga sudah muak melihatmu, Ke—Huek ... Mphh!" Airin segera menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Entah mengapa, menyebut nama lelaki itu saja sudah membuatnya ingin muntah.
"Airin? Kau—" Keano mengerutkan dahinya, terlihat khawatir.
"Pergi!!" bentak Airin cepat, sambil mendorong Keano agar menjauh dari pintu.
Dengan luapan emosi, dan kekuatan yang entah datang dari mana–atau Keano yang sengaja mengalah–dorongan Airin mampu menyingkirkan lelaki itu dari hadapannya, hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Lalu segera membanting pintu dengan lumayan keras sebelum menguncinya rapat-rapat.
Tak terasa air mata sudah mengantri di pelupuk mata. Tanpa bisa ia tahan lagi, mereka mulai berjatuhan membentuk aliran sungai di pipi. Semakin diseka malah semakin deras.
"Sial. Kenapa? Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak menangisinya?" lirih Airin sambil menyenderkan punggungnya di daun pintu.
Airin benar-benar melupakan janjinya untuk tidak menangisi lelaki yang sudah tega menanamkan benih, lalu absen tanpa keterangan begitu saja.
Airin menangis sesenggukan hingga tubuhnya merosot, terduduk di atas lantai.
Seharusnya lelaki itu sadar akan kesalahan yang sudah diperbuat. Malah sekarang dia dengan seenak jidat muncul di hadapannya, bahkan tanpa ada kata maaf yang terucap dari mulut.
Lelaki macam apa dia? Hatinya terbuat dari batu, kah? Apa kata maaf serendah itu? Sampai mengucapkannya pun terasa sulit baginya.
Gengsi, hah?! Harusnya dia tahu tata cara meletakkan rasa itu. Sangat tidak tepat menaruh gengsi saat kesalahan yang diperbuat sudah benar-benar fatal.
Airin berdiri dengan sisa tenaga yang dimiliki. Benar, ia tak boleh lemah atau pun goyah. Jangan dibodohi dengan cinta lagi. Sudah cukup kesalahan berulang yang terus dimaafkan oleh dirinya.
Tok Tok
"Airin?"
Keano terus berusaha membujuk, berharap wanita di dalam mau membukakan pintu untuknya.
Tapi percuma, Airin tak ada secuil pun niatan untuk menanggapi pria itu. Ia terlampau kecewa. Bisa saja Airin memberitahukan pada Keano jika ia sedang mengandung buah cinta mereka.
Itu mudah saja dilakukan jika berniat ingin menghancurkan pernikahan sahabatnya, dengan menjadikan janin itu sebagai senjata.
Senyum miring terukir di wajah sembab Airin, tangannya mengepal di samping tubuh. Namun dengan cepat kepalan itu mulai melemah.
Tidak. Itu salah.
Airin tak sampai hati melakukan hal selicik itu. Secara tidak langsung perbuatan itu malah akan mencemarkan nama baiknya sendiri, karena hamil diluar pernikahan.
Tapi itulah kenyataannya.
Rasa sakit hati yang mendarah daging, membuat Airin mantap untuk tidak berurusan lagi dengan Keano. Ya, sudah cukup. Setidaknya untuk saat ini.
Tok Tok
"Airin? Please ... "
'Ya ampun, dia masih belum menyerah juga?!'
Airin merutuk dalam hati. Dengan mendengus kesal, ia menutup telinganya sambil berjalan menuju kamar. Benar-benar malas meladeninya. Menahan agar tidak muntah tepat di wajah lelaki berhati batu itu.
Biarlah dia mengetuk pintu sampai karatan. Airin sudah tidak peduli. Merebahkan diri di atas kasur sambil menutup telinga dengan bantal adalah pilihan terakhir Airin, sebelum akhirnya ia terlelap kembali.
Melupakan bayang-bayang Keano yang masih menghantuinya. Ya, lelaki itu hanyalah hantu masa lalu.
Lelaki yang dicintai dengan tulus, hingga membuatnya tergila-gila malah meninggalkan luka yang cukup dalam. Sangat dalam hingga membuat masa depannya hancur seperti ini.
Tiba-tiba, mata Airin terbuka lebar. Pikiran mulai berpusat pada janin yang tumbuh di rahim. Mau membiarkan saja, rasanya itu tidak mungkin. Perutnya akan semakin membesar.
Tidak.
Hidupnya belum hancur.
Ya, belum hancur selama tidak ada yang menyadari tentang kehamilannya.
"Awh!"
Perasaan tidak enak mulai muncul di perut Airin. Terduduk sembari menahan perutnya yang terasa semakin sakit.
"Astaga, perutku kenapa sesakit ini? Aku tidak kuat lagi. Akh!"
Tertatih-tatih ia menyeret kaki menuju kamar mandi dengan berpegangan apapun yang dapat diraih. Jika Keano ada di dekatnya mungkin ia sudah menjambak rambut lelaki itu kuat-kuat.
Setelah sampai di kamar mandi dengan terengah-engah, ia segera mendudukkan diri di atas kloset sambil menarik nafas dalam-dalam.
Barulah ia menyadari, jika baru saja mendapat panggilan alam. Guyuran air disertai hembusan nafas lega mengakhiri rasa sakit di perut.
Itu dia.
Seperti bohlam lampu yang baru saja mendapat aliran listrik, akhirnya Airin mendapat solusi yang tercetus tiba-tiba.
The power of kloset memang tidak pernah mengecewakan.
Tekat Airin sudah bulat, dirinya harus meninggalkan kota ini untuk memulai hidup baru. Lingkungan baru tanpa ada orang yang mengenalnya. Banyak kenangan manis dan pahit di sini. Tapi itu tidak penting.
Yang terpenting ia harus jauh dari bayang-bayang hantu masa lalu macam Keano.
Sosok lelaki yang sangat ia benci sekarang ini. Termasuk istri dari lelaki jelmaan buaya itu, yang tega menggadaikan persahabatan demi cinta.
"Oh, jadi itu alasan Keano pergi bagai hilang dari peradaban bumi. Selingkuh dengan sahabat sendiri. Oke, fine. Aku pergi bukan karena kalah. Lebih memilih menyelamatkan akal sehat daripada terus berperang dengan masa lalu," Airin berargumen.
Dan setelah bergumul dengan diri sendiri, akhirnya Airin memutuskan untuk menjual apartemen hasil jerih payahnya dan pindah ke tempat yang jauh dari kota ini.
Meski sayang, namun kesehatan mentalnya lebih penting. Apalagi ada kehidupan lain di dalam rahimnya.
Pergi adalah keputusan yang tepat untuk saat ini. Airin terus meyakinkan diri agar tetap kuat apapun yang terjadi, teguh dengan pendiriannya. Berdiri kokoh dengan kaki sendiri. Keputusan yang ia ambil pun sudah benar.
Kota itu terlalu banyak menyimpan kenangan pahit yang terpatri di hati Airin. Mulai dari menyaksikan kepergian kedua orang tuanya. Perlakuan keluarga bibinya. Dan tentu saja luka yang ditorehkan ayah dari janin yang sedang berkembang di perutnya.
Goodbye, kota J ...
Kamu tahu kenapa kita mengenang banyak hal saat hujan turun?
Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang kita tidak bisa menghentikannya.
Enam tahun kemudian ....
Kini Airin sudah berdiri di depan bangunan sekolah SMA-nya yang sudah banyak berubah. Langkah kaki menggiringnya menuju sebuah ruangan di mana kenangan lama kembali terlintas di benaknya ....
Flashback ....
Dari kecil Airin menyukai hujan. Bermain atau menari di tengah hujan adalah kegiatan yang sangat ia nikmati. Rasanya bahagia, seperti tidak ada beban. Seolah beban ikut luruh bersama air yang jatuh melewati tubuh.
Kegemarannya terbawa bahkan saat ketika ia sudah memasuki masa SMA. Bila ada kesempatan di jam kosong dan kebetulan sedang hujan, Airin akan pergi ke halaman belakang untuk menari di bawah derai air hujan.
Sampai-sampai wali kelas akan memarahinya jika ia masuk ke dalam kelas dengan keadaan basah kuyup.
Seperti saat itu, Airin harus terpaksa berdiam diri di UKS sembari menunggu baju seragamnya kering. Sebenarnya bisa saja pihak sekolah meminjaminya baju olahraga atau seragam lain.
Tapi hal itu hanya akan membuat Airin mengulangi kesalahan yang sama. Mungkin kali ini wali kelas ingin membuatnya jera.
"Hey, kamu Airin Kaila Nanda, kan?"
Airin terkejut dengan suara yang tiba-tiba tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa ia ketahui, ternyata seorang siswa sedang duduk di atas brankar UKS sambil memperhatikannya.
"I-iya." Airin terbata karena terkejut.
Mereka bahkan baru pertama kali berbincang, namun lelaki itu malah sudah tau nama lengkapnya. Walau sebenarnya Airin sudah sering melihat siswa yang tengah menatapnya itu.
"Aku Keano," ujar siswa itu lagi.
Entah mengapa hati Airin terasa hangat saat mendengar suara siswa bernama Keano itu. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Jika ditelisik lagi, mungkin iya.
Airin sebenarnya sudah mengenal Keano jauh sebelum mereka mengobrol seperti sekarang.
Sejak awal masuk SMA, Airin sudah menaruh hati pada lelaki jangkung pemilik senyuman manis itu. Apalagi senyuman tulus yang dilayangkan padanya sekarang seperti mampu mengalihkan dunianya.
Itulah alasan Airin suka bermain hujan-hujanan di halaman belakang sekolah. Secara tidak langsung ia dapat melihat aktivitas Keano di dalam kelas. Yang mana Keano duduk di sebelah jendela yang menghadap ke halaman belakang.
Awalnya Airin hanya merasa kagum dengan sosok Keano yang tergolong murid cemerlang dengan segudang prestasi. Dan mulai memperhatikannya dari jarak aman tanpa berani mendekat. Ia merasa hanya seperti remahan peyek jika dibandingkan dengan Keano.
"Kamu yang suka hujan-hujanan di halaman belakang, kan?" Lagi-lagi tebakan Keano benar.
'Astaga! Apakah Keano tau jika aku suka memperhatikannya dari halaman ketika hujan? ' batin Airin panik sekaligus malu, hingga pipinya mulai merona.
Hal itu tak lepas dari pandangan Keano. Membuat senyum gemas terukir dari bibirnya.
Menurutnya Airin terlihat imut. Dengan rambut basah acak-acakan. Wajah polos tanpa sapuan make up, namun tetap terlihat cantik natural. Dan baju seragam basah kuyup yang menampakkan ...
Keano melebarkan matanya ketika baru menyadari jika baju seragam Airin terlihat transparan. Keano yang sedang pura-pura sakit pun beranjak mendekati Airin. Lalu melepas baju seragamnya untuk menutupi badan Airin yang menggoda iman.
"Kapan-kapan ajak aku kalau kamu mau main hujan-hujanan, oke?"
Mendengar ucapan Keano disertai senyuman khas itu, mau tidak mau membuat Airin ikut tersenyum ....
Flashback off ....
Saat itu juga, ketika kilasan kenangan di masa lalu berakhir, seperti ada perasaan gejolak yang kuat di hati. Hingga mampu membuat mata Airin berkaca-kaca.
"Airin?"
"Airin?!"
Tiba-tiba lamunan Airin buyar karena panggilan seseorang.
Dengan cepat Airin menghapus air mata yang hendak mendesak keluar.
Tentu saja hal itu tak luput dari pengelihatan orang yang baru saja memanggilnya.
"Kamu keinget dia lagi, ya? " tanya Risa, teman sebangku Airin selama tiga tahun mengenyam pendidikan menengah atas.
Risa Adara Herlina adalah teman sebangku sekaligus salah satu sahabatnya. Airin dulu sering berbagi cerita apapun kepada kedua sahabatnya, Risa dan Celia. Begitu pula sebaliknya. Termasuk bercerita tentang Keano, sosok lelaki yang mampu membuat dunia Airin penuh warna, kemudian menjatuhkannya ke dalam jurang yang begitu kelam.
"Kita ke aula, yuk?" ajak Risa setelah beberapa saat tak mendapat tanggapan dari Airin.
Diraihnya tangan Airin, lalu membimbingnya menuju aula sekolah dimana acara hari ini diadakan. Reuni setelah delapan tahun kelulusan SMA.
Saat menuju aula, pandangan Airin tak sengaja menangkap sosok yang bahkan tidak terbesit dibenaknya akan hadir di tempat ini.
Ya, walaupun ini acara reuni sekolah yang mana 'dia' juga alumni sekolah ini. Tapi menurut Airin orang itu sudah hilang dari muka bumi, enam tahun belakangan.
Keano Kaivan Narendra, melihat kehadirannya seperti membuka luka lama yang sudah berusaha Airin sembuhkan dengan seiring berjalannya waktu.
Airin segera mengalihkan pandangan sebelum Keano menyadari sedang diintai oleh sepasang manik coklatnya. Ia lebih memilih memandangi setiap bangunan sekolah yang sudah banyak berubah. Namun tidak dengan hatinya. Bahkan setelah segala hal yang sudah terjadi diantara mereka.
Nyatanya hati Airin tetap merasa berdebar sedemikian hebatnya saat menatap wajah tampan Keano yang tak banyak berubah sejak terakhir mereka berjumpa, hanya tampak sedikit lebih tegas. Tubuh jangkungnya kini lebih tegap dan atletis. Serta senyumannya sama sekali tidak berubah, yang akan diikuti oleh sepasang mata yang seperti ikut tersenyum.
Oh, tidak. Sadarlah, Airin, dia hanya masa lalu dan akan tetap seperti itu. Sialnya hujan yang tiba-tiba turun terus mengingatkannya akan kenangan bersama Keano. Airin membenci hujan.
Kalian tidak salah kira. Dia memang Airin yang dahulu menyukai hujan. Tapi itu dulu.
Sekarang dia bukan Airin yang polos dan suka menari di tengah hujan lagi. Ia sudah menjelma menjadi wanita kuat dan mandiri yang tidak menyukai hujan.
Sepasang netra tegas nan tajam bagai elang dengan monolid eyes khas orang Asia milik Keano, menangkap sosok wanita dengan balutan dress selutut berwarna biru langit yang sedikit menampilkan lekuk tubuhnya, tengah mengobrol dengan memegang segelas minuman di tangan.
"Eh, Bro. Itu Airin, kan?" pertanyaan itu membuat fokus gerombolan lelaki di sekitar Keano menoleh.
Siulan nakal dan bisikan-bisikan setan mulai terdengar.
"Airin?! Uwih, gila! Bodinya, Bro. Sejak kapan dadanya jadi remasable gitu?" celetuk Rendi yang berdiri di dekat Keano.
Namun mereka segera mengalihkan pandangan saat mendapat tatapan horor dari Keano. Mungkin kalau dulu, ia akan langsung melayangkan bogem mentah pada mereka yang memandang Airin dengan tatapan kurang ajarnya. Tapi sekarang dia bukan siapa-siapa.
"Eh, sorry, Ke. Lupa kalau dia di luar jangkauan," salah satu teman berujar.
"Bukanya kalian sudah putus? Dan kamu sudah menikah dengan Celia, kan?" tanya Rendi yang membuat Keano mendelik.
"Kalo iya kenapa?! Aku sudah cerai dengan Celia. Jadi jangan bahas dia lagi," ketus Keano yang dibalas tatapan terkejut oleh teman-temannya.
"Cerai?! Eh, Ke. Mau kemana?" pertanyaan Rendi diabaikan oleh Keano yang sudah lebih dulu melangkah ke arah gerombolan para wanita di depannya.
Kedatangan Keano membuat para wanita saling berbisik sambil sesekali melirik Airin yang berdiri menyamping itu.
Mereka yang tadinya asyik bergosip seketika bungkam. Seperti mempersilahkan ruang untuk bernostalgia bagi kedua insan yang dulu pernah menjalin kasih.
"Airin."
Suara yang sangat dikenali Airin itu ternyata masih mampu membuat debaran di hatinya berulah kembali. Dan seketika tubuhnya menegang. Ia benci perasaan ini. Perasaan yang harusnya menghilang sejak ia memilih untuk pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!