NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Duda Tampan

Bab 1. Penggebrekan di kamar hotel

"Kamu yakin ini kamarnya?" tanya Yudha pada sang asisten, ia memastikan tidak salah sasaran. 

Sebuah kamar hotel mewah yang ada di depannya akan membuktikan semuanya. Menentukan pernikahannya yang sudah berjalan lima tahun. 

Yudha Anggara, pria yang berumur tiga puluh tiga tahun itu adalah putra semata wayang dari pasangan dari Indri dan Radit. Sudah hampir satu bulan Yudha mencurigai sang istri yang bersikap aneh. Ia mempercayai Andreas untuk mengawasinya. 

"Saya yakin, Pak,"  jawab Andreas dengan yakin.

Beberapa petugas hotel pun langsung menjalankan tugasnya atas perintah Yudha. Tiga kali tendangan, akhirnya mampu merusak pintu yang terbuat dari kayu tersebut. 

Gubrakkkk

Suara pintu terbuka paksa membuat mata wanita yang ada di atas ranjang membulat sempurna. Seluruh tubuhnya bergetar bak kedatangan malaikat pencabut nyawa. Menutup bagian dadanya yang masih  terekspos. Suaranya tercekat di tenggorokan dan membisu. Antara malu dan takut hingga tak bisa bergerak. Dia adalah Natalie Gareta salah satu model cantik dan istri dari Yudha Anggara, CEO PT Anggara group. 

"Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?" tanya Yudha menahan amarah. Berjalan pelan dan berdiri di samping ranjang. Tatapannya tajam bagaikan hunusan pedang yang siap menggores. 

Pria yang ada di samping Natalie meraih bajunya yang teronggok di lantai. Namun, dengan sigap Yudha merebutnya lalu menyibak selimut yang dipakai kedua manusia biadab itu. 

"Bukankah kalian belum selesai? Kenapa bajunya dipakai lagi," sindir Yudha menatap sinis ke arah wajah istrinya yang nampak memerah.

Beberapa orang yang membantu penggerebekan itu mengintip di balik pintu. Mereka hanya bisa diam dan menjadi saksi atas apa yang dilakukan istri sang CEO tersebut. Bahkan beberapa orang ada yang mengambil gambar secara diam-diam. 

"Mas, ini tidak seperti yang kamu lihat?" ucap Nathalie terputus-putus, mengelak atas apa yang sudah terlihat nyata. 

"Memangnya apa yang aku lihat?"

Yudha tertawa. Mengikuti permainan sang istri yang sudah berkhianat di belakangnya. Meskipun ia sudah yakin dengan bukti yang ada, setidaknya ingin mengetahui seberapa liciknya wanita yang ia nikahi selama ini. 

Natalie memakai bajunya dengan asal dan beranjak lalu mendekati Yudha. 

"Mas__" 

"Jangan sentuh aku!" teriak Yudha sembari mundur menghindari tangan Nathalie yang hampir memegang tangannya.

Menahan dadanya yang hampir meledak, andaikan Natalie bukan wanita yang sudah memberikannya seorang putra, Yudha sudah menghancurkan wajah wanita itu hingga tak berbentuk. 

"Lima tahun aku meninggalkan keluargaku demi kamu. Lima tahun aku mengabaikan mama demi menuruti keinginan kamu. Tapi apa yang kamu perbuat, hah?" 

Mata Yudha berkaca. Penyesalan mulai menyeruak memenuhi dadanya hingga terasa sempit dan tak bisa bernapas. Cintanya masih sangat besar, namun penghianatan itu sudah tak bisa dimaafkan lagi. 

"Mas, aku hanya __" 

"Cukup!" Lagi-lagi Yudha memotong ucapan Natalie, perutnya mual mendengar ocehan istrinya. Membayangkan apa saja yang sering mereka lakukan di belakangnya. 

Natalie terisak dan berlutut di depan Yudha. 

"Mas, aku minta maaf. Aku tahu ini salah, aku khilaf." Pada akhirnya Natalie menyerah, karena percuma saja mengelak terus-menerus, Yudha  bukan orang bodoh yang gampang ditipu. 

Ya Tuhan, apa ini karma karena aku sudah durhaka pada mama. Apa yang harus aku katakan pada dia. Bagaimana nasib Lion. Jika aku menceraikan Natalie, pasti anakku akan kehilangan kasih sayang mamanya, tapi aku tidak ingin bersamanya lagi. 

"Berapa lama kamu berhubungan dengan dia?" Yudha menunjuk pria yang masih ada di atas ranjang. 

Hening, Natalie sibuk dengan tangisnya, namun ia juga tak bisa berbohong lagi pada Yudha. 

"Baru tiga bulan, Mas. Kita hanya berteman," Menjawab dalam isakannya  yang masih menggebu. 

Yudha berjongkok. Pria tampan nan gagah itu nampak redup dengan fakta yang menimpanya. Mengangkat dagu Natalie dengan satu jarinya hingga matanya saling bertatapan. 

"Berteman kamu bilang?" Yudha memelankan suaranya. Takut  penghuni hotel lainnya terganggu.

"Berteman tapi tidur di kamar hotel berdua dan telanjang. Maaf, Nat. Sepertinya rumah tangga kita cukup sampai disini. Aku talak kamu. Sampai jumpa di pengadilan agama."  

Duaaar 

Bak tersambar petir, tubuh Natalie lemas dan ambruk. Terus menggeleng dan merangkul lutut Yudha. 

"Mas, aku minta maaf, aku janji tidak akan mengulanginya lagi," rengek Natalie mengiba. 

Yudha mengusap air matanya yang sempat lolos membasahi pipinya. Sangat di sayangkan, cintanya yang dirajut bertahun-tahun itu mulai memudar. Pintu hatinya sudah tertutup dengan kenyataan yang menyakitkan. 

"Terima kasih karena kamu sudah melahirkan Lion untukku, aku akan memberikan rumah dan restoran untuk kamu." 

Kali ini Andreas yang terbelalak mendengar aset besar yang akan diberikan untuk Natalie. 

"Apa bapak yakin akan memberikan semua itu?" Andreas mengingatkan dengan suara pelan. 

"Yakin, aku ikhlaskan Rumah dan restoran yang ada di luar kota. Tapi aku akan bawa Lion pergi."

Yudha yang sudah berada di ambang pintu membalikkan tubuhnya menatap Natalie yang masih bersimpuh dengan deraian air mata. 

"Kamu sudah bebas, silahkan nikmati harta yang aku berikan dengan pacar kamu. Jangan pernah temui Lion lagi tanpa seizinku."

Yudha melewati pintu depan, merapikan jas dan rambutnya. Berhenti sejenak untuk menenangkan dadanya yang masih terasa meletup. 

"Apa yang akan Anda lakukan, Pak?" tanya Andreas mengikuti langkah Yudha menuju lobi. 

"Aku akan membawa Lion pergi. Untuk sementara waktu aku akan ajak dia tinggal di apartemen. Tidak mungkin aku pulang ke rumah mama." 

Andreas membukakan pintu mobil untuk Yudha. 

"Maafkan aku, Ma." Suara lirih itu terdengar di telinga Andreas hingga pria itu terenyuh.

Akhirnya bapak sadar juga. Pulanglah! Pasti Nyonya tidak akan marah. Menatap Yudha dari pantulan spion yang menggantung. 

Di kamar hotel

Natalie pun memakai bajunya, ia tak peduli dengan pria yang beberapa kali membuatnya terbang melayang. Rumah tangganya kali ini harus dipertahankan demi menjaga popularitas yang sudah berada di pucuk. 

"Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya pria yang bernama Heri itu. 

"Bukan urusan kamu!" bentak Natalie, melempar beberapa lembar uang di wajah pria itu.

"Mulai hari ini jangan temui aku lagi, kita putus," ucap Nathalie berlari keluar meninggalkan kamar terkutuk itu. 

Berjalan terseyok-seyok menuju lantai dasar, meskipun banyak yang menghujatnya, ia tak peduli dan menganggap itu hanya bisikan angin yang berhembus. 

Natalie masuk ke mobil. Merogoh ponsel dari dalam tas lalu menempelkan benda pipihnya di telinga. 

"Angkat, Mas! Aku mohon," ucap Natalie penuh harap. Wajahnya kacau dan tak bisa berpikir jernih, yang ada di dalam otaknya saat ini  hanya mencari cara untuk membuat Yudha luluh dan memaafkannya. Mencabut semua gugatan yang baru saja dilayangkan. 

Aaarrrgghhh

Natalie melempar ponselnya di jok belakang setelah beberapa kali Yudha menolak panggilan darinya. Menjambak rambutnya untuk mengurai kekesalan. 

"Aku harus pulang, Mas Yudha tidak boleh menceraikanku."

Menyalakan mesin dan melajukan mobilnya membelah kegelapan malam yang berkabut musibah. 

Bab 2. Pulang ke rumah orang tua

Yudha mendekap tubuh mungil Lion dengan erat. Menyalurkan kasih sayang yang tak akan pernah tergantikan. Banyak ketakutan yang menampar jika membiarkan bocah itu tinggal bersama mama nya. Takut memiliki papa baru yang tak bisa menyayangi seperti dirinya.

"Bapak yakin kita akan ke apartemen?" tanya Andreas sekali lagi sebelum melajukan mobilnya. 

Sebagai asisten yang baik, Andreas memastikan jika Yudha mendapatkan tempat terbaik untuk melepas semuanya. 

Mbak Mimah, sang baby sitter yang duduk di samping Andreas hanya diam, meskipun ia tidak tahu sepenuhnya, namun paham dengan apa yang terjadi saat ini. 

Tak ada jawaban, Yudha masih bingung ke mana akan menyandarkan hidupnya lagi. Di satu sisi hubungannya dengan kedua orang tuanya kurang baik, disisi lain Ia memikirkan nasib Lion yang membutuhkan kasih sayang dari orang terdekat dan juga menjauhkan dari Nathalie. 

"Iya, untuk sementara aku akan tinggal di apartemen," jawab Yudha dengan nada berat. 

Baru saja menyalakan mesin mobil, sebuah mobil dengan sorot lampu tajam berhenti di depan mobil Andreas. 

"Andre, jangan buka pintunya!" titah Yudha saat melihat Natalie turun dari mobil tersebut. Rasa sakit yang mengendap seakan membunuh cinta dan belas kasih yang sudah lama tumbuh. 

"Mas, buka pintunya!" teriak Natalie sembari menggedor-gedor kaca mobil Yudha. 

Suaranya yang terdengar remang membuat Lion yang ada di pangkuan Yudha terbangun.

"Andreas jalan!" pinta Yudha segera, takut Lion melihat kondisi mamanya yang nampak kacau. 

Andreas membelokkan setirnya. Melintasi mobil Nathalie yang ada di depan gerbang. Tak mengindahkan Nathalie yang terus berlari mengejarnya dari belakang.

"Papa, kita mau ke mana?" tanya Lion setelah sepenuhnya sadar jika dirinya ada di dalam mobil yang berjalan. 

Apa yang harus aku katakan, tidak mungkin aku menjelaskan apa yang terjadi.

Yudha mendaratkan kecupan bertubi-tubi di kening Lion. Menahan air matanya yang menumpuk di pelupuk. Ia harus kuat, tidak boleh lemah saat di depan putranya. 

"Lion dan papa akan tinggal di rumah baru." Andreas yang menjawab dengan lantang. 

Lion beranjak, menyembulkan kepalanya di tengah jok depan. Ia baru sadar jika ada Andreas yang sibuk dengan setirnya. 

"Tapi kok mama nggak ada? Apa dia sibuk bekerja di luar kota?" ucapnya dengan polos, seperti yang sering didengar dari mbak Mimah saat di rumah. 

Mbak Mimah tersenyum, membawa Lion ke pangkuannya. 

"Mama nggak ikut, Sayang. Mbak akan menemani Lion saat bermain, mulai sekarang jangan cari mama lagi," pinta Mimah dengan lembut. 

Lion mengangguk mengerti dan kembali tidur di pelukan Mimah. 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menerobos kegelapan malam yang semakin larut. 

Beberapa kali ponsel Yudha berdering, namun tak dihiraukannya. Andreas yang merasa risih terpaksa menghentikan mobilnya di tepi jalan. 

"Kenapa Bapak tidak mengangkat teleponnya?" tanya Andreas tanpa menoleh. 

"Pasti Natalie," jawabnya pelan dengan mata terpejam. 

"Kalau bapak tidak mau mengangkat teleponnya, matikan saja!" Andreas sedikit membentak. 

Terpaksa Yudha meraih ponselnya dan menatap layar yang berkelip. Betapa terkejutnya saat melihat nama yang yang muncul di layar. 

"Mama!" memekik kaget. 

Andreas tersenyum kecil. Sebab, dibalik telepon yang tersambung adalah ulah dirinya. 

Yudha menghela nafas panjang. Rasa bersalah kembali menyeruak mengingat sikapnya selama ini. Ia pikir dengan cinta akan hidup bahagia selamanya, faktanya tanpa restu sang ibu, pernikahannya kandas juga. 

"Siapa, Pak?" tanya Andreas pura-pura. 

"Mama, bagaimana kalau dia __"

"Angkat saja!" 

Yudha menggeser lencana hijau tanda menerima. Siap menerima apapun yang akan dihadapinya nanti. 

"Halo, Ma," sapa Yudha dengan suara lirih. 

"Pintu rumah selalu terbuka untuk kamu dan Lion, bawa cucu mama pulang. Sudah cukup pengorbanan kamu selama ini, jangan sia-siakan hidup kamu lagi. Kalian berhak bahagia."

Ponsel yang ada di tangan Yudha jatuh seketika. ia tak sanggup lagi membendung air mata yang menumpuk. Tak menyangka mamanya masih peduli disaat dirinya rapuh. Ucapan itu sudah mencangkup semuanya, kembali adalah jalan yang terbaik, terutama untuk menyembuhkan lukanya. 

"Kita ke rumah mama," ucap Yudha pada Andreas. 

Hampir satu jam perjalanan, akhirnya Andreas menghentikan mobilnya di halaman rumah yang dituju. 

Mimah menggendong Lion yang terlelap. Yudha mengikutinya dari belakang. Andreas mengambil barang-barang milik sang majikan, dibantu beberapa pembantu Bu Indri. 

Wanita paruh baya berdiri di depan pintu, kedua tangannya merentang siap menyambut kedatangan putra dan cucunya. 

Tangis Yudha pecah. Sisi kerapuhan yang ia miliki terbongkar sempurna, entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini, hanya Yudha dan Allah yang tahu. 

Yudha berhamburan memeluk mamanya, menumpahkan sisa air mata yang masih tertinggal. Mengurai kehancuran yang kini menyelimutinya. 

"Maafkan aku, Ma. Maafkan aku," ucap Yudha masih diiringi deraian air mata. 

"Mama sudah memaafkan kamu dari dulu. Tinggallah di sini bersama Lion. Tenang kan diri kamu." 

Bu Indri menepuk punggung lebar Yudha yang masih bergetar. 

Setelah melepas pelukannya, Bu Indri menghampiri Mimah, mengusap kepala Lion dengan lembut, lalu mencium pipi gembul bocah itu. 

"Mimah, kamu tetap urus Lion. Bagaimanapun caranya, buat dia melupakan Nathalie." 

"Baik, Bu. Saya akan melakukan yang terbaik untuk Lion. Dia akan baik-baik saja tanpa bu Natalie," Jawab Mimah meyakinkan. 

Yudha melepas jas yang masih membalut tubuhnya, mengendurkan dasi yang seharian penuh mencekik lehernya. Pulang dari kantor ingin istirahat melepas lelah, justru ia mendapatkan hadiah yang menguras emosi. 

Andreas menghampiri Yudha setelah meletakkan barang-barang di kamar. Pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya lalu menatap Yudha. 

"Pak, saya harus pulang, sudah malam." 

Yudha mengangguk dan mengucapkan terima kasih. 

"Kamu mau ke mana, Ndre?" tanya Bu Indri membawa dua cangkir kopi di tangannya. 

"Pulang, Nyonya."

"Menginap saja di sini, masih ada kamar banyak, ini sudah terlalu malam, pasti kamu juga sudah ngantuk," tawar Bu Indri yang membuat Andreas mengangguk. Pasalnya, tubuhnya pun sudah terlalu lelah, matanya berat untuk kembali membelah jalanan. 

Setelah menghabiskan secangkir kopi buatan bu Indri, Andreas langsung ke kamar tamu, sedangkan Yudha masih berada di sofa ruang keluarga. 

"Sekarang kamu istirahat, jangan sampai masalah ini membuat kamu terpuruk. Nathalie tidak pantas mendapatkan cinta kamu. Lion akan tetap bahagia tanpa mama nya."

Yudha mencerna semua yang diucapkan mamanya. Selama ini ia sudah di butakan cinta yang membuat dirinya tenggelam dan lupa akan daratan yang indah. 

"Papa ke mana, Ma?" tanya Yudha yang dari tadi tidak melihat Pak Radit. 

"Papa kamu keluar kota, katanya malam ini pulang, tapi mama tidak tahu jam berapa, mendingan kamu istirahat saja, temui papa besok."

Yudha meraih jas nya dan berlalu meninggalkan bu Indri. 

Bab 3. Awal pertemuan

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.  Gadis cantik yang sudah memakai baju khas karyawan itu mengambil sepiring nasi beserta lauk dan segelas air putih. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk sang ibu. Sebelum berangkat ke kantor ia harus membantu ibunya mandi dan menyiapkan sarapan serta kebutuhan lainnya. 

Dia adalah Lintang Anastasya, gadis yang berumur dua puluh tiga tahun itu sangat sederhana dan mandiri. Menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya pergi dari rumah. Kejadian lima tahun yang lalu ternyata meninggalkan jejak yang memilukan, Lintang kehilangkan keluarga hangat, dan kini harus berjuang mencari nafkah untuk dirinya dan ibunya. 

Rumah sederhana itu menjadi saksi bisu, betapa hancurnya Lintang saat melihat ibunya harus menerima penghinaan dari seseorang yang pernah  di tolong kakeknya. Meskipun sudah berlalu, Lintang tidak akan pernah melupakan semua itu. 

Sakit tak berujung, luka yang tak bertepi, entah sampai kapan ia hidup dalam bayang-bayang rasa benci. Setiap kali melihat wajah ibunya, disaat itu pula Lintang akan selalu mengingat seseorang yang membuat hatinya sekeras batu.

Seakan maaf itu tidak akan pernah hadir seandainya takdir mempertemukan mereka kembali. 

Lintang tersenyum dan duduk di kursi tepi ranjang. Mengusap wajah ibunya dan mencium pipinya sebagai sambutan pagi. Berapa malang nasib wanita itu, jiwanya terguncang setelah mendapat musibah yang berlipat ganda. 

"Ibu sarapan dulu, aku mau kerja." Lintang menyodorkan sesendok makanan di depan mulut ibunya yang bernama Bu Fatimah. Namun, wanita itu menepisnya hingga sendok yang ada di tangan Lintang terjatuh di atas lantai. Ini bukan pertama kali Bu Fatimah menolak makan, akan tetapi sudah biasa hingga membuat Lintang sering terlambat.

Pagi ini Lintang tidak dapat mentolerir sikap ibunya, karena banyak pekerjaan di kantor. Terpaksa Lintang meletakkan makanan itu diatas meja kecil yang ada di samping lemari. 

"Maafkan Lintang karena tidak bisa menemani Ibu setiap hari," pamitnya sembari mencium punggung tangan Bu Fatimah dengan lembut. 

Gajinya sebagai pekerja bawahan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Lintang dan ibunya setiap hari. Sehingga ia tak sanggup untuk membawa sang ibu berobat seperti yang dianjurkan dokter. 

Meninggalkan ibunya bukan keinginan Lintang, namun itu terpaksa ia lakukan demi bertahan hidup. 

Lintang berjalan pelan menghampiri Mbak Luna yang sedang menyapu halaman. Sebenarnya ia tak enak hati karena sudah merepotkan wanita itu. Namun, Lintang tak punya pilihan lain selain itu. Mengesampingkan rasa malu saat meminta bantuan padanya. 

"Kamu mau berangkat ke kantor?" tanya Luna, tangannya menengadah ke arah Lintang. 

He he he

Lintang tertawa pelan. 

"Maaf ya, Mbak. Ngerepotin terus." 

Menyerahkan kunci rumahnya pada Luna, wanita yang dianggapnya saudara. Selalu membantu Lintang mengurus ibunya saat ditinggal pergi. 

"Nggak papa, cepetan berangkat, nanti kamu terlambat," suruh Luna. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Lintang memarkirkan motornya di tempat biasa. Segera melepas helm, meraih tasnya dan berlari masuk. Setibanya di depan lift, Lintang mengelus dadanya yang bergemuruh.

Semoga saja tidak ada yang tahu kalau terlambat.

"Pagi, Lin. Baru sampai?" tanya Gita, salah satu teman se profesi dengannya.  

Lintang mendaratkan jari telunjuknya di bibir.

"Iya, tadi aku telat bangun, belum lagi ibu nggak mau makan, jadi aku terlambat," bisiknya. 

Setelah melewati lift selama beberapa menit, Lintang langsung keluar. Ia berlari menuju ruangannya, namun langkahnya berhenti saat merasakan sesuatu menghantam punggungnya dari belakang. Lintang terhuyung dan jatuh, kakinya menabrak sudut meja hingga membuat lututnya memar. 

Beberapa karyawan yang melintas menghampiri Lintang yang duduk sambil mengelus lututnya. 

"Ya ampun Lin, ini berdarah harus segera diobati."

Lintang meringis saat Samsul tak sengaja menyentuh lukanya. Ia menatap bola voli yang ada di samping meja lalu beralih menatap anak kecil yang duduk di belakang orang-orang yang mengerumuninya. 

Anak siapa itu, apa dia yang melempar bola. 

Gita datang dan membantu Lintang memberikan obat anti nyeri. 

"Kamu nggak papa?" tanya Gita antusias, dilihat dari darah yang terus menetes, pasti Lintang merasakan sakit yang hebat. 

"Ini tidak sakit, kok. Lagipula aku yang kurang hati-hati." Lintang mengucapkan dengan suara keras saat melihat ketakutan di wajah bocah itu. 

Lintang berdiri dengan bantuan Gita, meminta tolong pada gadis itu untuk membawakan tas ke ruangannya. Berjalan tertatih-tatih menghampiri bocah yang masih mematung di sudut ruangan. 

"Apa tadi kamu yang melempar bola?"

Bocah itu mengangguk lalu menundukkan kepala. Menautkan sepuluh jari-jarinya. Melirik ke arah luka di lutut Lintang  yang tertutup perban. 

"Jangan takut, tante yang salah," ucap Lintang dengan lembut, mengelus pucuk kepala bocah itu. 

Sontak, bocah laki-laki tampan itu mendongak, senyum melebar memamerkan gigi putihnya. 

"Tante jangan bilang papa, nanti aku di marahin."

Jadi dia ke sini bersama papanya. 

Lintang celingukan mencari seseorang yang ada di sekitar. Namun, ia tak mendapati siapapun selain rekan kerjanya yang berlalu lalang. 

"Nama kamu siapa?" Lintang mengulurkan tangannya di depan bocah ysng sudah kembali ceria. 

"Lion, Tante." Menerima uluran tangan Lintang dan menciumnya. 

"Tante ke ruangan dulu ya, kalau main hati-hati, jangan sampai jatuh." 

Lintang membalikkan tubuhnya meninggalkan Lion. Seperti tak rela, Lion menatap punggung Lintang dengan tatapan nanar. 

Lion berlari mengejar Lintang yang sudah menghilang di balik pintu. Langkah kecilnya membawa ia bertemu dengan wanita yang baru saja menenangkannya. 

Lintang terkejut melihat Lion yang berdiri di ambang pintu. 

"Lion mau ngapain di sini? Nanti kalau papanya nyari gimana?" tanya Lintang yang sudah duduk di kursi kerjanya. 

Lion berjalan pelan. Berdiri di samping Lintang. Matanya terus tertuju pada wajah cantik wanita itu. 

"Aku mau main di sini. Boleh ya, Tante?" 

Melihat Lion mengiba membuat Lintang tersentuh dan akhirnya mengizinkan bocah itu bermain di ruangannya dengan syarat tidak mengganggunya. 

Di gedung Anggara corp lantai lima belas

Pertengkaran Yudha dan Natalie tak membuat pria itu terpuruk. Ia malah lebih semangat untuk bekerja, mengingat kini ada Lion yang membutuhkan dirinya. 

Hampir dua jam Yudha baru menyadari jika jagoan kecil Lion  tidak ada di ruangan. Panik setengah mati hingga membuat seluruh organ tubuhnya tak berfungsi. 

Tidak mungkin Natalie mengambil Lion, pasti dia masih ada di sini.

Yudha membuka pintu ruangannya dan memanggil Andreas yang sibuk dengan laptop. 

"Kamu lihat Lion?" tanya Yudha dengan mata yang menyusuri lorong. 

Andreas tersenyum. "Dia turun di lantai sepuluh bersama Hilya, katanya Lion mau main di sana dan tidak mau ke sini lagi." 

Yudha menyandarkan punggungnya di dinding, menghirup udara dalam-dalam setelah beberapa saat dadanya terasa sesak. 

"Baiklah, pastikan semua aman, dan Natalie tidak bisa masuk."

"Baik, Pak," jawab Andreas singkat. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!