NovelToon NovelToon

Pengganti Istri Kedua Tuan Zain

Bab 1. Sebuah Kejutan Besar

"Lo pulang bareng siapa?" tanya Rara yang berdiri memegang gelas berisi minuman berwarna merah dengan memakai gaun putih di atas lutut tanpa lengan.

"Aku pulang sendiri saja," jawab Zahwa tidak ingin merepotkan sahabatnya itu.

"Yakin lo pulang sendiri? Gue suruh Bastian untuk mengantar lo!" tegas Rara tak ingin Zahwa menolak perkataannya.

"Tapi Ra, pestanya belum selesai bahkan baru saja dimulai. Aku merasa tidak enak jika harus mengganggu waktu Bastian," tolak Zahwa dengan sopan.

"Tenang saja, Bastian dan yang lainnya pasti akan mengerti. Lo tunggu saja di pintu depan!" perintah Rara lalu pergi meninggalkan Zahwa.

Zahwa menatap kepergian Rara yang hilang di antara kerumunan orang-orang.

Jika bukan karena permintaan dan desakan dari sahabatnya, Zahwa tidak akan mau menghadiri pesta perpisahan ini. Menurutnya hanya akan membuang-buang waktu saja.

Apalagi dengan cahaya lampu kerlap-kerlip yang membuat matanya sakit dan kepalanya terasa pusing.

Sebenarnya Zahwa tidak terbiasa dengan pesta. Ia merasa tidak nyaman berada di kerumunan banyak orang, apalagi tercium bau menyengat yang entah apa itu namanya.

Dari penjelasan Rara, cairan berwarna merah tersebut adalah jus anggur. Namun Rara melarang Zahwa untuk menyentuh minuman tersebut, Rara hanya memberikan jus jeruk untuknya.

Sebuah pesta yang diadakan oleh teman-teman satu angkatannya di SMA, katanya untuk merayakan kelulusan serta perpisahan sebelum mereka akan melanjutkan pendidikan masing-masing di luar kota.

Pesta yang dirayakan di sebuah gedung, teman-temannya menyebut gedung itu 'Club' entah apalah itu, Zahwa tidak mau memikirkannya.

Zahwa mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, semua teman-temannya terlihat tertawa, bercanda, menikmati acara ini dengan wajah yang terlihat sangat bahagia.

Tidak seperti dirinya, dari awal masuk sampai sekarang hanya duduk disudut ruangan seorang diri. Sesekali Rara datang untuk menemaninya, namun tak lama dia kembali pergi berbaur dengan teman lainnya.

...*****...

Terlihat seorang gadis cantik berbalut gaun hitam di bawah lutut lengkap dengan stoking hitam di atas lutut yang menjadi ciri khasnya, dres lengan panjang dengan renda putih yang melingkar di pinggangnya.

Gadis dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai indah berdiri di depan pintu masuk sibuk menoleh ke sana-kemari mencari sesuatu.

Zahwa Zahratunnisa, gadis 18 tahun yang baru saja merayakan pesta kelulusannya berdiri seorang diri menunggu kedatangan Bastian.

10 menit berlalu, dari area parkir terlihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Jendela mobil turun perlahan dan memperlihatkan sosok pemuda dengan setelan kasual yang sangat serasi dengan wajah tampannya.

"Buruan masuk!" seru Bastian.

"I-iya." Zahwa terlihat gugup, ia tidak pernah berduaan dengan laki-laki selain ayahnya.

Meskipun saat bersama Rara pasti ada Bastian yang mengekori pacarnya, namun kali ini ia hanya berdua dengan Bastian.

"Ngapain lo?" protes Bastian ketika Zahwa akan membuka pintu belakang. "Lo kira gue sopir lo apa? cepat duduk di depan!"

Tanpa membantah, Zahwa duduk di kursi depan. Ia merasa risi mendapati Bastian yang menatap lekat tubuhnya dari atas sampai bawah tanpa berkedip.

"Ka-kamu kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh?" tanya Zahwa.

"Serah gue, mata-mata gue!" ketus Bastian membuat Zahwa terkejut.

Zahwa berpikir bahwa sikap Bastian berbeda jauh ketika ada Rara di dekatnya. Bastian akan bersikap sangat manis di depan Rara.

Selama perjalanan, hening tidak ada percakapan di antara mereka. Bastian sesekali melirik wajah Zahwa dari ujung matanya.

"Ternyata lo cantik juga ya, apalagi kalau pakaian lo sebagus ini. Pakaian yang biasa lo pakai lusuh dan ketinggalan zaman." Bastian fokus menatap ke depan.

"Entah mengapa Rara mau berteman sama lo. Coba dari dulu gue tahu kalau lo itu cantik," ucap Bastian mencoba memegang tangan Zahwa namun ditepisnya.

"Ka-kamu mau a-apa?" Zahwa merasa ketakutan, apalagi mereka berada di dalam mobil.

"Jangan takut! Gue nggak akan kasar kok!" Bastian meletakkan tangan kanannya di atas paha Zahwa dan tangan kirinya masih memegang kemudi.

Zahwa berjengit karena terkejut. Ia kembali menepis tangan Bastian, keringat dingin mulai menetes membasahi pelipisnya.

"Ka-kamu jangan macam-macam ya! Atau aku akan teriak!" seru Zahwa.

"Teriak saja! Nggak akan ada yang mendengar." Bastian tersenyum miring.

"Stop! Turunkan aku di Hotel A di depan sana!"

Bastian tampak kegirangan. "Wow, lo mau lanjut di Hotel? Nggak gue sangka, ternyata lo liar juga ya."

"Jangan sembarangan ya kalau ngomong! Aku mau menghadiri acara pernikahan kakakku!" tegas Zahwa meskipun suaranya masih sedikit bergetar.

"Jujur saja, nggak perlu malu sama gue, lo mau melayani om-om, kan?"

Tangan Bastian hendak menyentuh pipi Zahwa, namun kalah cepat dengan Zahwa yang mengayunkan tasnya dengan sangat kuat dan tepat mengenai sebelah mata Bastian.

Bastian menginjak rem mendadak. "Akh! Sialan lo!" umpat Bastian dan memegangi matanya yang terasa sakit.

Hal itu dimanfaatkan Zahwa untuk kabur, Zahwa keluar dari mobil dan berlari ke tengah jalan menuju Hotel A yang berada di seberang jalan.

Zahwa tetap berlari tanpa menghiraukan mobil yang melintas dan banyak pengemudi mengucapkan kata-kata umpatan yang ditujukan kepadanya.

Bastian keluar dari mobil berniat untuk mengejar Zahwa, namun ia urungkan karena suara-suara klakson mobil yang berjejer di belakang mobilnya.

Bastian memilih masuk kembali ke dalam mobil dan bergegas pergi dari sana sebelum orang-orang menghakiminya dan menyeretnya ke pihak berwajib karena ulahnya yang membuat keributan dan menyebabkan kemacetan.

Zahwa terus berlari hingga dia sampai di depan hotel, ia berhenti sejenak dan mengatur napasnya yang tersendat-sendat.

Zahwa masuk ke dalam hotel dengan menunjukkan kartu undangan yang diberikan ibunya tadi sore.

Petugas hotel mengarahkan Zahwa untuk masuk ke dalam lift khusus dan mengantarkan Zahwa menuju sebuah kamar yang berada di lantai paling atas.

"Silakan masuk Nona, ini kamar yang dipersiapkan untuk Anda." Petugas tersebut menyerahkan sebuah cardlock kepadanya.

Zahwa menerima cardlock tersebut dengan wajah bingung. "Emh, apa tidak salah kamar ini untuk saya?"

"Benar Nona, silakan Anda segera masuk! Semua orang sudah menunggu kedatangan Anda."

"Terima kasih," ucap Zahwa ragu.

Petugas tersebut pergi setelah memastikan bahwa nonanya itu sudah masuk ke dalam kamar.

Tit. Tit.

Suara pintu terbuka dan tertutup itu mengalihkan perhatian orang yang berada di dalamnya.

"Apa?" tanya Lhatifa bingung melihat ayah, ibu dan dua orang yang tidak dikenalnya menatap lekat padanya.

"Syukurlah, Sayang. Akhirnya kamu datang juga." Suara berat Tn. Harun terdengar aneh di telinga Zahwa.

"Kenapa baru datang? Lihat sekarang jam berapa? Aku memberimu izin ke pesta teman-temanmu itu, tapi sebelum pukul 20.30 kamu harus sudah standby di sini Wa!" seru seorang wanita setengah baya namun terlihat masih muda, karena tertutup oleh make up dan pakaian yang dikenakannya.

"Acaranya pukul 21.00 kan, Ma. Jadi masih ada waktu 10 menit sebelum acara dimulai," elak Zahwa.

"Kamu itu, ya! Kalau orang tua bicara itu jangan membantah!" ujar ibunya yang bernama Tasya dengan wajah memerah menahan emosi.

"Sudahlah Ma, jangan dipermasalahkan!" ucap Tn. Harun melerai istrinya agar tidak terbawa emosi.

"Jangan sering-sering membela Zahwa, Pa."

"Sudahlah, papa tunggu di luar. Kalau sudah selesai panggil papa."

Setelah kepergian papanya, Zahwa ditarik untuk duduk di depan meja rias. Dua orang yang sedari tadi hanya berdiri di ruangan tersebut adalah MUA yang ditugaskan untuk meke over wajah Zahwa.

"Wow, kamu cantik sekali. Padahal hanya sedikit dipoles make up, tapi kamu sungguh cantik natural," puji salah satu petugas MUA tersebut.

Zahwa menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Benar apa yang dikata MUA tersebut, selama ini Zahwa tidak pernah mengenal akan jenis skin care ataupun alat make up lainnya. Ia hanya menaburkan sedikit bedak bayi setiap selesai mandi.

"Apa sudah selesai?" tanya Tasya yang duduk di sofa.

"Sudah Nyonya," jawab kedua MUA tersebut bersamaan.

Tasya berdiri dan mendekat ke arah Zahwa, ia tatap lekat wajah Zahwa. "Ck, mirip sekali dengan wanita itu."

"Mama mengatakan sesuatu?" tanya Zahwa pelan.

"Nggak ada, cepat ganti pakaianmu!"

Meskipun tidak yakin dengan jawaban ibunya, Zahwa memilih untuk diam, ia tidak ingin memancing amarah ibunya.

"Pelan-pelan Ma, nanti bajunya rusak," lirih Zahwa.

Zahwa merasakan sedikit perih di tubuhnya, karena ibunya itu melepas paksa gaun yang menempel pada tubuh Zahwa.

"Tinggal buang saja apa susahnya!"

"Tapi ini punya Rara, Ma."

"Makanya, kalau tidak punya baju bagus jangan sok ikut pesta," ucap Tasya dengan sinis.

Zahwa terdiam, tidak berniat meladeni ibunya karena hanya akan membuang-buang tenaganya.

Dua orang MUA tadi mendekat dengan sebuah gaun pengantin mewah berwarna putih-silver di tangan mereka.

"Cepat pakai itu!" perintah Tasya.

"Aku hanya menjadi pengiring pengantin kak Nindy, Ma. Gaun ini terlalu berlebihan," tolak Zahwa.

"Jangan banyak membantah! Aku bilang pakai ya pakai!" seru Tasya, membuat dua orang MUA di belakangnya terkejut.

Namun tidak bagi Zahwa, ia sudah terbiasa menerima perlakuan kasar dari ibunya.

"Huft ...." Zahwa menghembuskan napasnya kasar, percuma ia berargumen. Toh, semua yang dikatakan ibunya harus ia patuhi.

"Cepat! Aku keluar dulu memanggil papa."

Beberapa saat kemudian, Zahwa telah selesai memasang gaun mewah tersebut ditubuhnya dibantu oleh dua orang MUA tersebut.

Zahwa berdiri di depan cermin yang memantulkan bayangan dirinya yang terlihat bagaikan seorang Princes dari sebuah kerajaan.

Sebuah tiara berhias kristal bertengger indah di atas kepalanya dengan rambut yang ditata ke atas membentuk sebuah gelungan yang sangat indah memperlihatkan leher putih jenjangnya.

"Sudah siap?" tanya Tasya yang masuk ke dalam kamar diikuti sang ayah di belakangnya.

"Ini terlalu berlebihan, Ma. Tamu undangan pasti akan mengira bahwa akulah pengantin wanitanya, bukan kak Nindy." Zahwa merasa risi dengan gaun mewah bertabur manik-manik yang berkilauan melekat pas di tubuhnya. Meskipun gaun indah tersebut berlengan panjang, namun bagian dadanya terlalu terbuka bagi Zahra.

"Memang kamulah pengantin perempuannya! Bukan Nindy!"

Deg.

Bab 2. Pengantin Pengganti

Di sebuah Hotel mewah terbesar di kota itu, tepatnya di dalam salah satu ballroom VVIP yang luas dengan kemegahan yang tersuguh di setiap sudut ruangan. Sebuah pesta mewah sedang berlangsung.

Meskipun tuan rumah hanya mengundang rekan bisnisnya saja, namun ruangan tersebut sudah penuh dengan tamu undangan bahkan satu jam sebelum acara dimulai. Kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan atas dan orang-orang penting.

Walaupun ini adalah pernikahan keduanya, Zain Malik Ibrahim tetap mempersiapkan sebuah pesta mewah untuk calon istrinya itu.

Di lain tempat, di dalam sebuah persidential suite room, seorang laki-laki dengan setelan tuxedo suit putih-silver lengkap dengan dasi kupu-kupu hitam melingkar di lehernya berdiri dengan raut wajah menahan emosi.

"Cepat cari wanita itu!" teriaknya dengan lantang.

Semua orang yang berada di dalam ruangan tersebut menundukkan kepala dan ketakutan menghadapi tuan mereka yang sedang terbakar amarah.

"Baik, Tuan," ucap Barra sang asisten, hanya dia yang terlihat tenang menghadapi kemarahan tuan mereka.

Barra membalikkan tubuhnya menghadap anak buahnya. "Cepat! Tunggu apa lagi? Apa kurang jelas apa yang diperintahkan oleh tuan muda!"

Semua orang mengangguk hormat. Satu persatu anak buahnya meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah tuannya, meninggalkan Barra berdua dengan tuan mudanya.

"Ck. Berani sekali wanita itu membuat kekacauan di pestaku!" kesalnya, lalu ia berjalan ke arah singgle sofa dan duduk di atasnya.

Sedangkan asistennya, setia berdiri di tempat semula. Menunggu perintah selanjutnya dari tuannya.

"Tuan, wanita itu telah kabur ke luar negeri." Barra memberi tahu tuannya setelah ia mendapat informasi dari salah satu anak buahnya.

"Panggil orang tuanya!"

"Baik Tuan." Barra menghubungi seseorang lewat ponselnya.

Lima menit kemudian, pintu kamar terbuka, sepasang suami istri paruh baya masuk ke dalam kamar tersebut.

"A-Anda memanggil kami, Tu-tuan?" Pria paruh baya itu berdiri di depan Zain dengan menundukkan kepalanya, keringat dingin membasahi keningnya.

"Apa kamu ingin mempermainkan keluargaku? Hah!" Bentak Zain.

"Ti-tidak, Tuan."

"Tidak kamu bilang?" Zain berdiri dari duduknya. "Setengah jam lagi acara akan di mulai. Lalu ke mana perginya putrimu itu?"

"Ma-maafkan kami Tuan." Mohon pria paruh baya tersebut masih dengan kepala tertunduk.

"Cari putrimu sampai ketemu!" titah Zain.

"Ta-tapi, Tuan. Orang suruhan saya mengatakan bahwa putri saya sudah berangkat ke luar negeri."

"Aku tidak mau tahu! Acara ini harus tetap berjalan bagaimanapun caranya!" Zain berjalan ke arah jendela. Ia berdiri membelakangi sepasang suami istri itu, matanya menatap pemandangan kerlap-kerlip lampu kota di bawah sana.

"Tuan, maaf jika saya lancang. Tapi kami masih memiliki seorang putri." Wanita paruh baya itu melirik sekilas ke arah suaminya. "Jika Tuan bersedia, dia bisa menggantikan mempelai wanitanya."

"Terserah apa yang akan kalian lakukan. Aku tidak mau acara ini gagal dan mempermalukan keluargaku."

...*****...

30 menit kemudian, Zain berdiri di atas panggung pernikahan yang telah didesain begitu mewah. Dengan pengawalan ketat dari orang-orangnya yang telah tersebar di setiap sudut.

Pria itu terlihat gagah dan tampan. Wajah dingin dengan rahang tegasnya, semakin menambah nilai kesempurnaan ciptaan Tuhan itu.

Pintu utama terbuka, semua mata yang berada di dalam ruangan terutama mata para pria, bahkan tidak berkedip sedikit pun saat mempelai wanita memasuki ballroom dengan berjalan sangat anggun di samping ayahnya.

Para pria itu bahkan harus menelan salivanya saat melihat begitu cantik dan sexy sang pengantin wanita. Dengan gaun pengantin lengan panjang dengan model dada terbuka mengekspos sebagian tubuh atasnya memperlihatkan belahan dadanya. Tulang selangka dan lekukan lehernya yang terbuka juga menjadi santapan mata para pria itu.

Satu orang yang tidak terusik akan suguhan pemandangan itu. Zain hanya menatap tajam ke arah calon pengantinnya itu. Bahkan, ia merasa jijik mengira wanitanya itu sengaja ingin memamerkan tubuhnya di depan semua orang.

Zahwa semakin merasa tidak nyaman dengan pandangan lapar para pria itu. Baru kali ini ia memakai baju terbuka, bahkan sangat terbuka baginya.

Gaun yang menempel lekat ditubuhnya seakan menelanjanginya. Zahwa mengeratkan tangannya di lengan ayahnya. Ingin sekali Zahwa menghilang dari muka bumi ini.

Sesampainya Zahwa di depannya, Zain mengulurkan tangannya meraih tangan Zahwa yang hanya diam membisu dengan wajah pucatnya.

Sepanjang acara Zahwa hanya diam, tak tahu harus berbuat apa. Tak ada seorang pun yang ia kenal kecuali ayah dan ibunya. Ia hanya mengekor di belakang Zain yang sibuk menyapa tamu undangan.

Pesta mewah pernikahan kedua pria muda yang dijuluki sebagai 'The King of Business' itu berakhir sempurna dengan ditutup sebuah lagu yang dinyanyikan oleh salah satu artis top se-Asia.

Zahwa melihat seorang wanita cantik berambut coklat terang dengan pakaian mewah terbuka dan terlihat sangat sexy berjalan ke arahnya. Wanita itu berhenti tepat di depan Zahwa.

"Ayo, ikuti aku!" ucap wanita tersebut dingin dan tanpa ekspresi di wajahnya.

"Mbak Clarisa mau membawaku ke mana?" tanya Zahwa bingung, tadi dia sudah berkenalan dengan istri pertama suaminya itu.

"Mansion. Memangnya kamu tidak mau pulang?"

"Tapi i-itu ...." Zahwa menengok kesana-kemari mencari keberadaan suaminya.

"Zain tidak ikut pulang bersama kita," ujar Clarisa yang mengerti bahwa Zahwa sedang mencari suaminya.

Zahwa menautkan alisnya. "Kemana tuan Zain pergi?"

"Kamu tidak perlu tahu, dan jangan mencoba mencari tahu tentang Zain jika kamu tidak ingin terluka," ucap Clarisa menasihati madunya itu.

Zahwa mengikuti langkah Clarisa ke luar gedung dan masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang telah menunggu kedatangan mereka di depan pintu lobi.

"Jalan, Pak!" perintah Clarisa kepada sang sopir.

Mobil mereka berjalan ke luar menjauh dari hotel diikuti beberapa mobil hitam yang mengawal mereka. Mobil melaju membelah keheningan malam jalanan kota.

Satu jam kemudian mobil mereka memasuki sebuah jalan yang terlihat sepi, hanya ada pepohonan yang tumbuh rindang di kiri-kanannya.

Zahwa bergidik ngeri melihat pemandangan di luar. "Mbak, kita mau ke mana? kenapa masuk ke dalam hutan?"

"Jika ingin ke Mansion, kita harus melewati jalan ini," ucap Clarisa tanpa mengalihkan matanya dari layar ponsel di tangannya.

"Tapi ini seram banget, Mbak. Memangnya tidak ada jalan lainnya?"

"Hmm, sayangnya tidak."

Setelah sepuluh menit lamanya mobil mereka melewati jalanan yang lebih mirip disebut hutan itu, mata Zahwa melihat sebuah bangunan besar tiga tingkat yang begitu megah dengan gaya modern berdiri kokoh di depannya.

Banyak pengawal berjaga di setiap sudut rumah, beberapa pelayan wanita berbaris rapi menyambut kedatangan mereka.

“Selamat datang, Nyonya.” Semua pelayan menyapa mereka.

Clarisa mengantar Zahwa ke kamarnya. "Kamar kamu di sini, dan kamarku di seberang sana." Clarisa menunjuk ke arah rumah bagian kanan.

Kamar Zahwa di lantai dua bagian kiri, sedangkan kamar Clarisa berada jauh di seberang rumah bagian kanan.

"Masuklah! Aku capek ingin segera istirahat. Jangan pernah mencari tahu lebih dalam tentang Zain, ingat itu!" peringat Clarisa sebelum meninggalkan Zahwa sendirian.

Zahwa mengangguk lalu masuk ke dalam kamarnya, satu kata yang ingin Zahwa ucapkan. "Wow, indahnya."

Zahwa tidak percaya dengan yang ia lihat di depan matanya, kamar yang sangat luas dan mewah lengkap dengan segala macam perlengkapan mewahnya.

Di rumahnya dulu, Zahwa tidur di dalam gudang sempit yang ia sulap menjadi sebuah kamar yang layak untuk ia tempati.

Setelah membersihkan tubuhnya, Zahwa membaringkan tubuhnya di atas kasur. Terasa nyaman membuat Zahwa terbuai dan tertidur dengan bathrobe yang masih melekat di tubuhnya.

Di tempat lain di waktu yang sama, Zain duduk menikmati minuman yang tersedia di depannya. Alunan musik yang dibawakan oleh sang Dj tidak mengusiknya sama sekali. Beberapa wanita dengan pakaian sexy berlomba-lomba untuk mendekatinya. Berharap mendapat lirikan dari sang tuan muda tersebut.

Bab 3. Mansion Utama

Waktu menunjukkan pukul 01.30, waktu yang tepat untuk semua orang bermanja dengan mimpi mereka. Namun tidak berlaku untuk orang-orang di dalam ruangan dengan pencahayaan lampu kerlap-kerlip yang menyilaukan mata itu.

Terlihat Zain duduk tanpa kehadiran Barra maupun pengawalan dari anak buahnya. Beberapa wanita berpakaian sexy mencoba mendekat dan merayu Zain. Bahkan, di antara mereka ada yang tanpa malu-malu mencoba mencium wajah Zain, namun dengan gesit Zain selalu menepis dan berhasil menghindarinya.

Hingga akhirnya, ada seseorang dengan gerakan cepat duduk di pangkuan Zain. Mengalungkan tangannya di leher Zain dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirnya, membuat Zain marah besar.

Prang.

Zain mendorong kasar wanita tersebut hingga membuatnya terdorong ke belakang menabrak meja dan jatuh tersungkur ke lantai.

"Brengsek! Jal*ng! Berani-beraninya kamu menyentuhku!" teriak Zain dengan wajah memerah dan rahang mengeras memperlihatkan urat-urat di lehernya.

Semua orang menghentikan aktivitas mereka dan menatap ke arah kekacauan yang telah Zain lakukan. Para wanita yang tadi berada di dekat Zain dengan cepat berjalan menjauh dengan wajah ketakutan.

Suara musik seketika berhenti, tidak seorang pun berani mengeluarkan suara mereka. Seketika hingar bingar keramaian tempat itu berubah menjadi sepi penuh ketegangan.

Barra yang sedari tadi duduk agak jauh mengamati Zain segera berlari mendekat ke arah tuannya.

"Maaf, Tuan. Apa Anda baik-baik saja?" tanya Barra lalu melirik sekilas ke arah wanita yang tersungkur di lantai dengan tatapan tajamnya.

Manajer tempat tersebut berjalan cepat mendekat ke arah mereka dengan wajah pucat ketakutan.

"Ma-maafkan atas kesalahan kami, Tu-Tuan." Tubuh manajer tersebut sedikit bergetar.

"Kenapa kamu memperkerjakan jal*ng seperti dia?"

"Tu-Tuan, ma-maaf. Dia orang baru, belum memahami peraturan di tempat ini," ucap manajer itu sambil menunduk takut.

"Ck, mengotori tubuhku saja." Zain berlalu meninggalkan tempat itu dengan wajah marahnya.

"Urus dia! Jangan sampai tuan muda melihat wajahnya lagi. Anda tahu sendiri akibatnya!" peringat Barra kepada manajer tersebut kemudian berlalu menyusul tuan mudanya.

Setelah kepergian Zain dan asistennya, sang manajer mendekati wanita tadi dan menyuruhnya untuk berdiri.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipinya, meninggalkan bekas kemerahan di atas pipi mulusnya.

"Bodoh! Apa yang telah kamu lakukan, hah!" teriak sang manajer.

wanita itu memegangi pipinya yang terasa panas. "A-aku hanya melakukan pekerjaanku, Bos."

"Pekerjaan apa? apa kamu siap kehilangan pekerjaan kamu?"

Wanita itu mengerutkan alisnya bingung. "Apa salahku?"

"Kamu masih tanya apa salahmu? Apa kamu tidak membaca peraturan di tempat ini?"

Wanita itu melihat ke sekelilingnya, semua mata masih setia melihat tontonan gratis di depan mereka. "A-aku membacanya."

"Kalau kamu membacanya, kenapal kamu melakukan kesalahan kepada tuan muda?"

"Tu-tuan muda? maksudnya ta-tadi itu tuan Za-Zain?" Tubuh wanita itu menenggang, wajahnya berubah menjadi pucat.

"Ck! Ceroboh sekali kamu, kamu tahu sendiri apa konsekuensi dari kesalahan kamu, kan?" tanya sang manajer dengan wajah yang terlihat kesal.

Glek.

Wanita itu menelan ludahnya kasar, ia mendekati bosnya dan memegang lengannya. "B-Bos ... tolong aku! Aku nggak mau kehilangan pekerjaanku, Bos! Tolong aku."

Namun sang manajer menepis tangan wanita itu dan pergi begitu saja meninggalkan wanita malang itu sendirian.

Sedangkan semua orang kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing tidak memedulikan nasib wanita malang tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum di tempat itu, jika tuan muda Zain tidak suka jika dirinya disentuh tanpa izin darinya. Jika ada yang berani menyentuhnya, maka bersiap-siaplah untuk menjadi gelandangan.

Setiap Zain mendatangi tempat itu, maka para wanita-wanita itu akan mendapatkan uang yang lumayan banyak dari Zain tanpa harus mengeluarkan keringat. Hanya menemaninya minum dan duduk saja sudah cukup, tidak perlu melakukan hal yang lebih lagi.

Zain memasuki mansion miliknya. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.15, mansion terlihat sepi, hanya ada beberapa penjaga yang bertugas menjaga di tempat masing-masing.

Zain menaiki anak tangga satu persatu, ia menghentikan langkahnya di lantai dua dan berjalan ke arah kiri menuju kamar istri barunya.

Ceklek.

Zain memasuki kamar tersebut, seketika matanya membola.

"Astaga! Dasar bocah! Kenapa aku harus menikahi seorang bocah?" gerutunya.

Zain berjalan mendekat ke arah ranjang, ia memungut bantal yang tergeletak di lantai dan melemparkannya ke atas tubuh istri barunya dengan sedikit kencang. Namun, gadis tersebut tidak merasa terganggu sedikit pun.

Zain memandangi tubuh istri barunya. Gadis dengan tubuh yang cukup kurus, terlentang tidur di atas kasur masih lengkap dengan bathrobe yang membungkus tubuhnya.

Zain menggelengkan kepalanya dan berlalu meninggalkan Zahwa yang tidur pulas memenuhi kasur tanpa selimut bahkan ia tidak menyalakan AC kamarnya.

Zain berjalan menuju kamar Clarisa dan masuk ke dalamnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Salah satu peraturan di rumah tersebut adalah pelayan dan penjaga dilarang naik ke lantai dua di malam hari tanpa seizin anggota keluarga, sehingga semua kamar tidak dikunci agar sewaktu-waktu Zain bebas memasuki kamar istrinya.

Tidak seorang pun bebas naik ke lantai tiga tanpa izin darinya, apa pun alasannya. Hanya Barra yang memilik akses untuk pergi ke lantai tiga dan juga kepala pelayan sekedar untuk membersihkan lantai tersebut.

Zain menarik selimut dan masuk ke dalamnya, setelah melepas asal sepatunya tanpa mengganti kemeja pernikahan yang ia pakai di acara pernikahannya kemarin.

Zain mendekap tubuh Clarisa yang hanya berbalut gaun malam tipis dan transparan.

"Emh, kamu sudah pulang?" tanya Clarisa yang merasakan seseorang memeluknya dari belakang.

Clarisa memutar tubuhnya dan mengalungkan tangannya di leher suaminya, ia mencium bau alkohol dari tubuh suaminya. Hal yang sudah biasa baginya.

"Aku menginginkanmu!" ucap Zain dengan suara datar.

"Hmm," gumam Clarisa tersenyum semringah.

Selama pernikahannya yang berjalan hampir dua tahun, mereka hanya beberapa kali tidur bersama. Jarang sekali Zain mau masuk ke dalam kamarnya, bahkan sudah lama sekali. Entah berapa bulan lalu, Clarisa pun sudah lupa.

...*****...

Keesokan harinya, pukul 04.00 Zahwa sudah terjaga dari tidurnya. Ia bergegas menuju kamar mandi dan membasuh wajahnya, kemudian mengganti bathrobe yang ia pakai dengan pakaian yang ibunya bawakan dari rumah orang tuanya.

Zahwa keluar dari kamarnya menuruni satu persatu anak tangga menuju dapur. Zahwa sudah terbiasa bangun pagi, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan memasak sebelum berangkat ke sekolah.

Ayahnya pernah menanyakan kepada ibunya kenapa tidak memperkerjakan pelayan, alasan ibunya hanya satu. Karena dirinya tidak ada kerjaan di rumah, jadi ia bisa mengerjakannya sendiri dan lumayan uangnya bisa untuk tambahan belanja.

Namun, semua itu hanyalah sebuah alasan, kenyataannya selalu saja Zahwa yang melakukan semua pekerjaan rumah tangga karena ayahnya lebih sering berada di luar negeri.

Zahwa masuk ke dalam dapur yang masih sepi. Ia mulai mengeluarkan bahan-bahan yang akan di masaknya. di tengah pekerjaannya, kepala pelayan dan beberapa pelayan berdatangan, mereka terkejut melihat nyonya baru mereka memasuki dapur.

"Astaga! Nyonya, apa yang Anda lakukan di sini? Anda tidak perlu mengotori tangan Anda, jika menginginkan sesuatu tinggal bilang saja, kami dengan senang hati akan melayani Anda," ucap kepala pelayan merasa takut jika tuan mudanya mengetahui bahwa istrinya memasuki dapur. Karena selama ia bekerja di rumah itu, belum sekalipun anggota keluarga rumah itu memasuki dapur.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan alat-alat ini. Jadi kalian tidak perlu takut. Ayo kita masak bersama, Emmh-"

"Anda bisa memanggil saya bi Nur, Nyonya," ucap bi Nur sang kepala pelayan yang melihat nyonya barunya kebingungan untuk memanggil dirinya.

"Baik, Bi Nur. Oh ya, jangan panggil aku nyonya, aku bukan nyonya kalian. panggil saja Zahwa. Okay!" pinta Zahwa dengan melebarkan senyumannya.

"Maaf, kami tidak bisa, Nyonya. Nanti tuan muda akan menghukum kami jika lancang memanggil Nyonya hanya dengan sebutan nama saja." Bi Nur menolak dengan sopan permintaan Zahwa.

"Ya sudah, terserah kalian. Tapi jangan larang aku untuk memasak ya." Zahwa menunjukkan wajah imutnya.

"Baiklah, tapi hanya hari ini saja." Bi Nur terpaksa mengizinkan Zahwa untuk memasak, ia tidak tega menolak keinginan majikannya tersebut.

"Aku tidak janji," lirih Zahwa yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Zahwa melanjutkan memasaknya dibantu oleh beberapa pelayan yang bertugas untuk memasak.

Selesai memasak, Zahwa meminta para pelayan untuk menyajikan masakannya di atas meja makan, sedangkan dirinya izin ke kamarnya untuk membersihkan tubuhnya.

Seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan, Zain duduk di kursi utama. Ny. Amara, ibunya Zain duduk di sebelah kanannya, di sampingnya duduk Clarisa. dan di sebelah kiri Zain duduk Barra sang asisten yang setiap pagi ikut sarapan bersama atas perintah Zain. Zahwa? entah di mana keberadaan gadis itu.

Zain mengamati sekitar. "Kemana bocah itu?" tanyanya yang membuat semua orang merasa bingung.

"Bocah? Siapa maksud kamu Zain?" tanya Ny. Amara.

"Zahra."

Ny. Amara menautkan alis bingung. "Siapa Zahra?"

"Cepat panggil bocah itu ke sini!" perintah Zain kepada seorang pelayan.

Dengan cepat pelayan itu berlari ke arah dapur, dan kembali bersama Zahwa di sebelahnya.

"Tuan mencari saya?" tanya Zahwa dengan wajah polos.

"Cepat duduk! Semua orang harus menunda sarapa hanya untuk menunggumu!" ucap Zain dengan suara dinginnya.

"Ta-tapi Tuan ...." Zahwa merasa ragu dan bingung harus ikut makan bersama mereka di meja makan tersebut, dulu dirumahnya ia selalu makan di dapur sendirian.

"Cepat! Tunggu apalagi? Kamu ingin membuat semua orang kelaparan?"

"Ma-maaf Tuan." Zahwa duduk di sebelah Barra dengan jarak satu kursi.

Mereka makan dengan diam, salah satu peraturan di rumah itu ketika makan tidak boleh ada yang mengeluarkan suaranya.

Acara makan harus menunggu Zain untuk memulainya terlebih dahulu dan berakhir setelah Zain menyelesaikan makannya.

Zain menyilangkan sendoknya di atas piring, tanda ia sudah selesai dengan makanannya. Ia berdiri dari duduknya. "Ikut denganku ke ruang kerjaku!" Titahnya kepada Zahwa.

Zain berjalan menuju lift yang mengarah langsung ke lantai khusus miliknya, diikuti Barra dan Zahwa di belakangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!