Malam hujan deras, gemuruh menggelegar. sebuah mobil hitam melintas diatas tanah berlumpur, dibawah hujan deras yang tak kunjung reda, tampak kilatan petir yang saling bersahutan memecahkan keheningan diantara dua orang yang saling duduk bersebelahan.
Mobil masih melaju membawa kedua orang ini terus masuk jauh kedalam hutan, dari kejauhan, tampak sebuah rumah kayu diantara pepohonan besar, suasana mencengkeram sangat kental dari penampakan rumah yang tanpa penerangan.
Pria yang mengemudikan mobil turun menerobos hujan yang masih belum reda, tak peduli tubuh nya yang kini basah kuyup ia membuka pintu mobil dan segera membopong perempuan yang dalam keadaan tidak sadar kan diri.
Pintu berderit, ia menelusuri lorong gelap yang pengap, tanpa penerangan sekalipun tidak ada rasa ragu. Langkah nya menggema di ruangan dengan dinding kayu, lukisan usang tergantung disepanjang lorong gelap, kilatan cahaya dari luar Menampakan potret lawas dengan orang orang yang berpose di depan bangunan tua ini.
Akhir langkah nya, sebuah ruangan dengan dipan yang di tutupi tirai putih transparan, perempuan itu Wijaya letak kan diatas dipan yang berdebu, mata nya masih terpejam.
Namun ada yang aneh, tubuh nya mengeluarkan bau busuk yang menyengat tak jauh berbeda layaknya mayat yang telah lama diawetkan, kulit nya pucat dengan beberapa luka yang menghitam, luka-luka membusuk dengan belatung yang menggerogoti hingga mengeluarkan nanah kental. Namun, wanita ini bukan lah mayat, ia masih bernafas meskipun sangat lemah.
Wijaya mengambil sebuah kotak kayu dengan ukiran bunga ber sulur, kotak berdebu yang sama sekali belum terjamah. Gembok yang menyegel kotak ini ia buka dengan paksa, di dalam nya terdapat buku berwarna hitam dengan tulisan aksara jawa "Lebur Sukma" .
Ia terdiam memandangi buku bersampul hitam, tatapan nya nanar, ada keraguan sebelum ia mengalah dengan batin nya. Lebur Sukma ritual yang telah lama keluarga nya tinggalkan, kini ia harus kembali mengambil jalan hitam. Akan ada banyak darah yang tumpah, semua berawal dari Alas Ruwah tempat iblis itu bersemayam, Bolo Laru ingon keluarga Wijaya adhitama akan kembali meminta Tumbal.
Wijaya duduk bersila di hadapan wanita yang tubuhnya mulai melemah, mulutnya berkomat kamit mengucap kan mantra yang tersusun rapi di dalam kepala nya. Lilin yang sebelumnya nya ia nyalakan tiba tiba saja Padam, terdengar suara mengerang dari sudut ruangan yang gelap.
" Kowe pengen mateni aku karo Bolo Pathi " (kamu ingin membunuh aku dengan Bolo Pathi) Suara berat terdengar samar dari mahkluk hitam di atas tubuh sang wanita,
" Nyuwun sewu Kulo wes gagal nepati janji " Wijaya berlutut memohon di hadapan mahkluk tersebut
"Opo kowe uwis lali aku karo Bolo Pathi ngelayani Ratu, tapi koe malah ngentek ne ndoro ne nggae murka ne junjungan ku." (Apa kamu sudah lupa aku dengan Bolo Pathi melayani Ratu, tapi kamu Malah menghabisi tuan nya membuat junjungan kami marah).
"Bakal tak lebur sukma ku ngge mbukak Gerbang Segoro" ucap Wijaya sembari berlutut. Melebur sukma berarti menggadai kan nyawa nya sendiri, ia tak peduli lagi dengan resiko nya selagi tujuan nya tercapai.
"Satus tumbal neng purnama Seloso legi, bakal tak wujud ne kabeh sng mbok karep ne "( Seratus tumbal di purnama selasa legi akan ku berikan semua keinginan mu) ucap mahluk tersebut Sembari menjilati borok si wanita .
Duarr..
Suara gunntur mengejutkan Wijaya, mahkluk hitam tadi telah menghilang hanya menyisakan Wijaya seorang diri, sedangkan si wanita telah lenyap menjadi tumbal pertama atas perjanjian nya dengan Demit Alas Ruwah "Bolo Laru" .
Wijaya tersenyum, hanya dengan satu langkah kini bolo laru telah kembali dalam genggaman nya, namun ia lupa sesuatu yang hitam hanya memberikan bayangan semu. Dia memulai kembali kesalahan yang di buat leluhurnya, di tempat ini semua bermula dan di tempat inilah segala nya harus di akhiri.
Bolo Laru satu dari banyak nya Iblis di Alas Ruwah yang banyak di incar para pemburu pesugihan. Namun tujuan Wijaya bukan hanya untuk pesugihan, ia ingin menguasai Alam lelembut setelah terbebas nya sang Ratu dari kutukan yang menyegelnya.
Semua disebabkan karena kesalahannya nya sendiri, hanya karena daerah kekuasaan, mereka saling membunuh satu sama lain. Wijaya menghabisi seluruh keluarga Ki Sedo tak bersisa, diakhir hayat nya Ki Sedo mengirimkan santet dari Getih Ireng nya untuk membalas perbuatan Wijaya sampai ke akar nya. Seluruh keluarga Wijaya telah tewas, Sanak saudaranya telah di babat habis Bolo Pathi.
Tibalah waktu Mayang putri Bungsunya yang akan menemui ajal, Wijaya tidak terima dan berusaha keras menyelamatkan. Dia kembali menemui Bolo Laru yang telah di lepas oleh ayahnya bertahun-tahun lalu dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Namun, dengan bodohnya Wijaya datang ketempat ini dan memulai kembali ikatan yang telah lama terputus. Dia tergoda kekuasaan, tujuan awal yang hanya ingin menangkal santet tapi kini ia menginginkan lebih.
Dia kembali menjadi abdi lelembut, menjadi kan darah nya kembali hitam setelah bersusah payah Sardi Wijaya memerahkan nya. Keserakahan akan menelan nya dalam kegelapan Abadi.
Suasana semakin dingin, Wijaya tidak bergeming . Dia masih duduk bersila membaca mantra mantra kuno dari buku hitam lebur sukma.
~Satu detik kemudian
Lilin menyala dengan sendirinya, Wijaya membuka matanya perlahan. Wanita yang sebelumnya menghilangkan kini terlihat masih terbaring di atas dipan bertirai transparan, Wijaya Kembali tersenyum, "Berhasil" ucap nya dalam hati.
Dia beranjak dari tempatnya bersila menghampiri wanita yang terbaring, Wijaya membelai lembut rambut wanita tersebut.
Sratt..
Tanpa belas kasihan Wijaya memenggal kepala si wanita hingga terpisah dengan batang leher nya. Darah mengalir memberikan genangan pada dipan berdebu, kental, amis, dan memuakkan. Aroma anyir darah tercium dari penciuman Wijaya yang tajam. Namun, ia tidak sedikit pun terganggu dengan hal itu .
Wijaya menampung darah yang masih mengalir dari sisa tebasan, cukup banyak . lagi lagi bibir nya tersungging cukup puas dengan apa yang sudah dilakukan nya.
Mayat yang masih hangat ia seret melewati ruangan demi ruangan menuju tanah lapang di halaman nya yang penuh lumpur, sedangkan kepala nya Wijaya simpan ke dalam akuarium kaca besar yang di beri alkohol untuk mengawetkan.
Entah apa tujuan nya memajang nya kedalam akuarium. Namun dilihat dari sifatnya, Wijaya ingin menunjukkan taringnya, mengembalikan puncak kejayaan keluarga nya saat leluhurnya masih Menjadi bagian Alas Ruwah, di tanah lapang, Wijaya melemparkan tubuh yang sudah tak bernyawa tersebut kedalam lubang galian nya sendiri, cukup dalam agar tidak di bongkar kembali Anjing liar. Setelah pekerjaan nya selesai ia kembali kedalam rumah, membersihkan darah yang tertinggal sepanjang jalan ia membawa mayat tadi. darah memang sudah bersih, mayat pun tidak ditemukan. Namun, bukan berarti perbuatan nya tidak pernah terjadi. Semua sudah terekam dalam catatan pemberat milik sang Pencipta.
***
Malam itu terasa berbeda dari malam malam sebelumnya, sejauh Laras melangkah terasa keheningan di kediaman keluarga besar Wijaya, bahkan para abdi yang biasanya berseliweran terlihat kosong tak ada satupun yang menampakkan wujudnya.
Laras masih menelusuri lorong di dalam paviliun Jati, sebuah bangunan yang khusus di buat untuk laras gunakan sebagai tempat tinggal nya. Cukup aneh bukan satu keluarga namun tidak tinggal pada satu atap, begitupula dengan mayang adiknya, yang juga tinggal terpisah dari bangunan utama.
Lorong semakin gelap saat satu persatu lampu minyak di dinding rumah mulai padam, angin berhembus melewati sela sela ukiran kayu. Laras menghentikan langkahnya menatap pintu yang terbuka lebar menampakan koridor panjang yang menghubungkan paviliun Jati dengan bangunan utama.
Diluar terang Bulan, Aroma bunga melati menyebar ke segala penjuru dari hamparan taman bunga di halaman paviliun. Laras menatap Barisan tiang di kanan dan kiri koridor, bercak bercak hitam tercecer di lantai marmer dan tiang penyangga.
Laras mengikuti jejak bercak yang tampak sudah mengering, tidak biasanya hal ini terjadi. Abdi keluarga nya tidak akan membiarkan sedikit pun noda di bangunan utama. langkah laras terhenti di muka pintu kayu setinggi 2 Meter, terdapat banyak ukiran bunga yang menambah kesan mewah dari bangunan utama.
"Nduk!"
Laras terhenyak mendengar suara bisikan, ada ketakutan dari raut wajahnya.
"Siapa!!" Laras panik tak ada seorang pun di sana.
"Bapak? Pak" panggil laras
"Mrene o nduk!" terdengar suara bisikan lagi
Pintu kayu perlahan terbuka, terdengar bunyi berderit dari engsel engselnya yang sudah berkarat. Tercium bau anyir dari dalam ruangan yang gelap, Laras tak segera melangkah kan kaki nya, ada keraguan yang tak terbaca dari wajah oval nya, wajah ayu dengan kelopak mata ganda.
"Pak?" panggil Laras lagi.
"Mrene o gowonen bapak mu!" (*Kesini bawalah Bapak mu*) Suara itu terdengar lagi.
"Njenengan sinten?"( Anda siapa? ) tanya Laras yang masih mematung di depan ruangan.
Terdengar suara tawa yang menggelegar, Suara berat yang menggema di seisi ruangan. Nyali Laras semakin menciut, ia membalikkan tubuhnya menuju paviliun Jati. Namun, langkahnya terhenti saat melihat tumpukan abdi keluarga Wijaya yang sudah tergeletak tak bernyawa menghalangi jalan koridor.
Laras ingin sekali berteriak namun Suaranya tertahan di pangkal tenggorokan, kaki nya membeku tak bisa di gerakan.
Hembusan angin menyapu kulit tubuhnya, angin dingin menusuk hingga ke ruas ruas tulang rusuk. Suasana berubah, mayat mayat yang tergeletak kembali berdiri, berjalan tertatih menghampiri Laras .
"Bapak Tulungi Laras pak". Laras tak henti-hentinya berucap meskipun tak sepatah katapun terdengar.
"Wes di kandani ,mrene o jipuk en Bapak mu"(Sudah di bilangin, kesini Ambil Bapak mu)
Arggrrrrrr!!
Suara mengerang terdengar jelas dari dalam ruangan gelap, Laras tak punya pilihan lain, ia setuju dan mengikuti kemana suara itu akan menuntunnya.
Kaki nya dapat di gerakkan kembali, tanpa sadar ia melangkah menuju ruangan gelap yang sangat ditakutinya itu. Sebenarnya Ruangan ini adalah Aula tempat berkumpul nya seluruh anggota keluarga saat ada acara besar. Namun, terkhusus malam ini hawa tidak mengenakkan muncul dari dalam ruangan yang di dominasi ukiran bunga bersulur.
Didalam kegelapan, Laras berusaha keras menghentikan langkahnya. Namun, usaha nya sia sia.
Lilin di atas meja tiba-tiba menyala terang, tepat di hadapan nya Laras menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri orang orang yang tergantung di langit langit Aula dengan luka luka menganga di setiap tubuhnya.
Darah menetes setiap detiknya membanjiri lantai marmer yang kini penuh genangan darah.
"Apa yang terjadi?"
Laras tak henti hentinya bertanya penuh kebingungan, entah Kepada siapa ia bertanya. Belum pernah laras melihat keganjilan seperti ini.
Namun ada yang lebih membuat laras terguncang, di atas sebuah kursi besar, duduk Seseorang yang mengenakan pakaian khas jawa, sosok itu terlihat sangat berwibawa dan berkharisma .
Namun Bukan itu, Laras melihat sesuatu yang lain, Sebuah tangan hitam mencengkeram bahu jenjang Wijaya, Menyeringai dari balik bulu bulu lebat yang menutupi seluruh tubuhnya. Sesaat kemudian mahkluk itu mendekati Laras yang hanya berjarak 10 meter dari singgasana, Laras berjalan mundur menjauhi mahluk itu yang kini tepat di depan wajah nya.
"Ora pengen takon koe, Nduk!"(Tidak ingin bertanya kamu, Nak!)
Makhluk itu membelai kepala Laras dengan jari jari tangan nya yang membusuk. Laras bergidik namun tubuh nya membeku.
" Bolo Pathi, ndoro ku darmoloyo wes roto lemah kabeh!" ( *Bolo Pathi, majikan ku Darmoloyo sudah rata dengan tanah semua*!) Lanjut nya lagi
"Darmoloyo?"Laras tampak bingung dengan ucapan mahluk tersebut.
"Welasan taun Darmoloyo nyekel Lemah Segoro, Ora ono seng wani ganggu mergo nyowo taruhane. Bapak mu ancen kemendel, ngelangkahi garis gerbang Segoro seng wiwit mbiyen ketutup rapet di jogo Ganjang Roha!" (Belasan tahun Darmoloyo menguasai tanah lautan, tidak ada yang berani menggangu karena taruhan nya nyawa. Bapak mu dasarnya sok berani, melewati garis gerbang samudera yang sedari dulu tertutup rapat dijaga Ganjang Roha!)
"Gerbang Segoro?" Beribu pertanyaan berkutat di kepalanya, sama sekali tak mengerti apa maksud dari perkataan mahluk yang mengaku sebagai Bolo Pathi.
"Tak kandani ndukk, gowonen bapak mu seko Alas Ruwah. Ganjang liyane bakal nuntut bales Ratu Ranggas."( Saya kasih Nasehat, Nak. Bawa pulang Bapak mu dari Alas Ruwah. Ganjang yang lain akan menuntut balas Ratu Ranggas.)
Lagi lagi laras terdiam, semua yang di ucapkan bolo pathi tampak membingungkan.
Jlebb..
Tidak terduga, tangan hitam itu menghujam jantung Laras hingga menembus tulang punggung nya, Darah kental membasahi lantai merah yang mengering, Laras terjatuh kehilangan keseimbangan.
...***...
Di dalam kamar Paviliun Jati, Laras terhenyak. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dia berteriak histeris membuat kebisingan di tengah malam bulan purnama. Para abdi yang mendengar teriakkan Laras tergopoh-gopoh menghampiri majikan nya yang baru saja terbangun dari mimpi buruk.
Tak berapa lama berselang, Wijaya ayahnya pun datang menghampiri paviliun Jati yang sudah ramai para abdi, di belakangnya nya dua orang perempuan membawa mangkuk tembaga yang ditutupi kain merah. Langkah penuh wibawa dari seorang kepala keluarga terhenti di hadapan sebuah ruangan yang penuh jeritan.
"Segoro!! Gerbang Segoro" Teriakan laras.
Perempuan yang membawa mangkuk tembaga masuk meletakkan barang bawaannya di atas sebuah meja kayu berukir bunga Kamboja. Ia Membantu menenangkan Laras yang masih meronta ronta di atas Ranjang bertirai Merah.
Wijaya melangkah maju, menekan Lima titik syaraf kepala Laras. Suara teriakan nya semakin keras, Mata nya melotot penuh Amarah.
Setelah cukup tenang Wijaya memaksa laras meminum cairan Merah kental dari mangkuk tembaga, Laras menurut meneguk habis seluruhnya.
Cairan itu masuk ke dalam tubuh laras, ia menggelinjang kesakitan. Para abdi menahan tubuh Laras yang meronta ronta kesetanan. Cairan bening mengalir dari pelupuk matanya, akibat sakit yang sedari tadi mengiris iris setiap inci tubuhnya.
Wijaya menyumpal mulut Laras dengan tangannya agar ia tak memuntahkan cairan itu. Laras pasrah tak ada yang bisa ia lakukan. Setiap bulan purnama ia harus mengalami hal yang serupa, Mimpi yang sama terus terusan terulang. Tidak ada jalan lain, itulah harga yang harus dia terima sebagai Wadah iblis Alas Ruwah.
Jalan raya riuh, kendaraan berlalu lalang Tak satupun dari mereka yang mau mengalah, Suara mesin Saling bersahutan menciptakan kebisingan di pagi hari. Tahun itu Indonesia pertama kali nya memperingati tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional, beberapa daerah menggelar pawai Imlek yang sangat meriah.
Zainal berdiri di trotoar jalan menatap Gerombolan Remaja yang tengah mencari nafkah di lampu merah. Sesekali ia melirik jam tangannya sembari mendengus kesal, Sudah satu jam berlalu dari apa yang di janjikan Syarif melalui Saluran telepon, Zainal mulai kehilangan kesabaran nya.
Sebuah handphone Nokia yang sedang tren pada masa nya berdering keras, Zainal menyambungkan panggilan yang berasal dari Syarif, Mereka berbincang layaknya pebisnis yang sedang menyepakati harga.
Tak lama setelah nya Syarif datang, Pemuda berkulit kuning langsat dengan kumis tipis menyapa Zainal dari atas motor Vespa . Zainal tak menanggapi dan segera naik ke atas motor yang masih berasap.
...***...
"Jek nesu Kowe?" (masih marah kamu) ucap syarif yang mengimbangi jalan Zainal.
"Jare sejam, tibak e sedino Asu," (Katanya sejam, rupanya sehari)
"Yo ora sedino juga Nal"(Ya nggak sehari juga Nal)
Mereka menuju ke sebuah warung kopi di tepian jalan yang tidak terlalu ramai, tempat langganan Syarif sejak awal dia tinggal di kota pelajar ini.
"Wes lah mangan sek ,awak mu iki asline luwe misuh misuh wae ket mau , Aku seng traktir" (udah lah makan dulu, kamu itu sebenernya lapar dari tadi marah terus , Aku yang traktir)
Ia tersenyum merangkul sahabat sedari kecil nya itu, mereka melangkah masuk ke dalam warung yang menyajikan beraneka ragam jajanan tradisional mulai dari goreng gorengan, hingga kue kue yang di kukus terbungkus daun pisang.
Zainal menelisik sekeliling , meskipun hanya warung kecil tempat ini lumayan terjaga kebersihannya.
Mata nya tertuju pada pria yang sedang menyantap nasi goreng di meja paling sudut , ia penasaran dengan perempuan yang duduk berhadapan dengan pria berbadan kekar, Cukup aneh untuk ukuran manusia biasa, ia duduk tegap di seberang sang pria tak bergeming sedikitpun.
Wanita itu memiringkan sedikit kepala nya ke arah Zainal , rambutnya tersibak, Samar zainal menatap si wanita yang wajah nya tertutup rambut gimbal .Satu detik kemudian ia terhenyak melihat Sebelah wajah nya yang Rata tanpa ada nya Bola Mata.
"Jancok "Umpat nya menarik perhatian seluruh orang yang ada di dalam ruangan
"Nyapo Kowe?" syarif terkejut mendengar sahabat nya
Lenyap.
Tidak ada siapapun di sana si wanita telah tiada , sedangkan si pria menatap Zainal dengan senyum menyeramkan.
Si pria kekar menghentikan kegiatannya,nasi yang masih tersisa setengah ia singkirkan kesudut meja persegi. ia melangkah mendekati Zainal yang masih berdiri mematung tidak percaya.
"Kenapa mas? Liat mbak Laras ya?" Tanya si pria yang masih menyeringai
"Laras! Laras siapa?" Tanya Zainal kebingungan
"Yang sampeyan barusan lihat"
Lelaki itu tersenyum seolah olah tau segalanya, ia mengeluarkan sebuah foto usang, seorang wanita cantik yang tengah berpose memeluk anak laki laki berusia tiga tahun.
"Ini mbak Laras ibuk e Sampeyan"
Zainal masih tidak percaya dengan ucapan pria asing tersebut, tidak mungkin kebetulan ia bertemu seseorang yang mengetahui masa lalunya di tempat umum seperti ini, mungkin saja pria asing ini sudah sejak lama menguntit nya.
"Saya tau Semuanya." zainal terpaku mendengar ucapan pria ini.
Sementara itu Syarif yang masih memesan makanan menatap Zainal dari arah meja kasir, Tingkah nya aneh, ia berbicara dengan keras meskipun tak memiliki lawan bicara. Hal ini sering terjadi,itulah mengapa Syarif membiarkan nya apabila Zainal mulai berbicara sendirian lagi.
"Wes siap rung acting e? " (udah siap belum akting nya?)Tanya Syarif Sembari menepuk bahu Zainal
"Acting mata mu kui," Zainal kesal dengan Syarif
"La iku mau lek dudu acting terus opo?"(Lah itu tadi kalo bukan acting terus apa?) tanya Syarif lagi
"Mboh lah cok, luwe aku".
...***...
Di dalam kamar persegi tanpa sekat, Zainal mengingat kembali ucapan orang asing tersebut. Dia sangat mengenal perempuan di dalam foto hitam putih, Wanita yang selama ini dirinya cari.
Tak lama terdengar suara pintu berderit, Tubuh nya enggan berdiri ia mengabaikan pintu yang terbuka sedikit.angin malam masuk, Dingin nan lembut. Zainal terpaksa berdiri , mengkokohkan kaki nya yang masih lelah . Hening.
Kemana perginya Syarif, ia mengamati sekeliling tidak ditemukan keberadaan sahabat nya itu. angin masih berhembus mendorong pintu yang semakin terbuka lebar.
Sesuatu berdiri disana, dibalik pintu kayu yang sudah mengelupas. Sosok bergaun putih lusuh berdiri tegap memperlihatkan wajah tanpa bola mata. Zainal mematung darah nya berdesir tatkala sosok itu mulai menyeringai menampakan barisan barisan gigi nya yang telah habis terkikis nanah .
"Ngopo Cok?"Syarif menepuk punggung Zainal membuat nya tersentak.
"Ndelok awak mu mau seng neng ngarep lawang opo ?"(Kamu lihat tadi yang di depan pintu itu apa?)Tanya Zainal Sembari mengatur nafas nya.
Syarif terdiam memikirkan ucapan teman nya, kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu. sedari tadi tak ada apapun disana hanya halaman gelap dengan pepohonan yang sedang berbunga di depan kamar kost nya.
"Enek mbak mbak mau"
"Melek o wit jambu kae lo"( Buka mata mu pohon jambu itu lo) jawab Syarif kesal
"Tenan rip,neng ngarepe kono mau ngadeg jejeg semene duwur e"(Beneran Syarif, di depan situ tadi berdiri tegak segini tinggi nya) Zainal menunjuk tinggi pintu 2 meter dan berusaha meyakinkan Syarif yang tampak tak percaya.
"Nal.. wes to ra usah kakehan cengkunek"(Nal udah lah gak usah banyak berbual)
"Yo wes lah nek ra percoyo."(ya udah lah kalo nggak percaya) akhirnya Zainal menyerah,mau bagaimana pun di jelaskan syarif memang tidak melihat apa yang dirinya lihat.
"Awak mu lo aneh,ket mau tak celuk i nyauri pun ora"(kamu pun aneh dari tadi Kupanggil panggil jawab pun tidak)
"Nyelok pie, neng kene ora eneng wong blas"(manggil gimana, disini gak ada satupun orang)
"Tenanan lek katarak moto mu kui, wong awak lumah lumah neng andinge iso iso ne ora ketok"(beneran katarak mata mu itu, dari tadi baring baring di samping nya bisa bisa nya nggak nampak)
Zainal terdiam, tidak mungkin ia salah.ruangan ini tadi kosong, tidak ada siapapun disini,bahkan saat sosok di depan pintu itu muncul ia benar-benar sendirian.
Kepalanya sakit memikirkan banyak hal, masa lalu, masa kini, dan masa depan saling berkaitan.Zainal menyerah, berdebat dengan syarif tidak ada gunanya ,ia memilih merebahkan tubuhnya menghindari pertanyaan pertanyaan Syarif yang tak ada pangkal ujung nya.
Sedangkan syarif lebih memilih mencari udara segar di luar kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!