Seorang perempuan memasuki gedung perusahaan dengan gugup. Jemarinya saling bertaut menandakan dirinya tengah grogi. Berulang kali dirinya menarik nafas lalu menghembuskannya. Namun, kegugupannya tak juga menghilang. Dirinya bahkan menggigit dalam bibir ranumnya berharap perasaan gugupnya lenyap.
Perempuan itu duduk di antara pelamar lainnya. Dirinya meneliti pakaiannya yang tak terlalu mahal sangat berbeda dengan yang lain. Dirinya menghela nafas lelah, insecure itulah yang dirinya rasakan. Matanya menatap sekitar dengan tatapan menilai. Perusahaan tempatnya melamar pekerjaan cukup besar, dirinya ragu akan diterima.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya giliran dirinya yang diinterview. Dengan perasaan cemas dirinya memasuki ruangan CEO, dia menghela nafas pelan sebelum akhirnya memasuki ruangan CEO. Jantungnya berdebar dengan kencang, dirinya benar-benar dilanda kegugupan yang besar.
Perempuan itu kini sudah berhadapan dengan CEO perusahaan tersebut. Dirinya meremas jemarinya, tatapan pria di hadapannya ini cukup menusuknya. Membuat perasaan gugupnya bertambah, dia menunduk sembari terus menghembuskan nafasnya pelan. Demi Tuhan, dia tak kuat berada satu ruangan dengan pria di hadapannya ini!
"Kamu lagi ngeliat duit jatuh di bawah?" cetus pria di hadapannya.
Mendengar itu dirinya menjadi gelagapan sendiri, dengan cepat dia mengangkat kepalanya. "Eee—eh, ma—maaf, Pak."
"Gagu?" Perempuan itu menelan salivanya dengan susah payah, ucapan pria di hadapannya menusuk gendang telinganya.
"Maaf, Pak. Saya cuman grogi," ulangnya.
"Hm."
Pria itu kembali terdiam, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kertas yang dibawa oleh perempuan di hadapannya. Tatapannya cukup serius, dia bahkan mengeluarkan aura yang membuat perempuan di hadapannya semakin takut.
"Natalia Defana, lulusan Universitas Indonesia dengan nilai cumclaude. Ingin melamar menjadi Sekretaris, benar?" tuturnya dingin.
"Iya benar, Pak."
"Heem, baik. Pengalaman kerja kamu cukup bagus. Kenapa kamu resign dari tempat bekerja kamu dulu?"
"Gaji yang saya dapat tidak sesuai dengan pekerjaan saya, Pak. Maka dari itu saya memutuskan untuk mengajukan surat pengunduran diri."
"Baik, kamu diterima sebagai Sekretaris saya. Kamu bisa bekerja mulai besok."
Mendengar ucapan pria di hadapannya tentu membuat dirinya terkejut. Namun, tak dapat dipungkuri perasaannya dilanda kebahagiaan. Dirinya tersenyum dengan lebar sembari menatap pria di hadapannya dengan bahagia.
"Makasih, Pak! Makasih sudah menerima saya, saya janji akan bekerja semaksimal mungkin!" pekiknya tertahan.
"Heem, sama-sama."
***
Natalia Defana, seorang perempuan cantik dengan kesederhanaan yang dirinya miliki. Perempuan dengan senyum manis yang cukup memikat. Hidup sebatang kara di Ibukota Jakarta tak membuat dirinya kalah oleh kejamnya dunia. Dia terus berusaha dan berusaha agar hidupnya jauh lebih baik. Tinggal seorang diri di sebuah dusun yang jauh dari kata bersih tak membuatnya malu.
Nata sapaannya, perempuan berusia 27 tahun itu masih terlihat muda meski usianya sebentar lagi akan menginjak kepala tiga. Tubuhnya yang tak terlalu tinggi itu semakin membuat orang-orang tak percaya bahwa dirinya telah berusia 27 tahun. Sering kali orang-orang mengira dirinya berusia 20 tahun, entah Nata harus menganggapnya keberuntungan atau kutukan.
"Huft ... Syukur aku diterima," ujarnya senang.
Perempuan itu melangkah dengan santai menjauh dari DA Company, tempatnya bekerja nanti. Senyum kebahagiaan tak juga luntur dari wajahnya. Dirinya ingin orang-orang tahu bahwa dia tengah bahagia saat ini.
"Untuk ngerayain ini, kayaknya aku mau ngajak teman-teman makan deh," gumamnya sembari memakai helmnya.
Iya, perempuan itu mengendarai motor matic berwarna putih untuk berpergian. Jika, gadis lain memutuskan untuk menaiki mobil maka hal itu tak berlaku bagi Nata. Baginya kehematan adalah nomor satu, tak masalah dirinya harus menggunakan sepeda motor asal perutnya tetap mendapat asupan.
Lahir dengan kesederhanaan membuat dirinya terbiasa hidup sederhana. Tak peduli sebanyak apa pun nyinyiran yang dirinya dapat, baginya itu tidak penting. Dia hanya membutuhkan dirinya saja untuk kebahagiaannya. Hanya dirinya sendiri yang mampu menciptakan kebahagiaan itu.
"Huh ... Aku harus kabarin yang lain nanti xixi. Pasti mereka juga seneng. Ayo, Nata semangat! Demi keberlangsungan hidup kamu. Kamu pasti bisa!"
***
Darren Aryan Gautama, seorang CEO dari perusahaan DA Company. Perusahaan yang dulunya dipimpin oleh ayahnya, kini beralih ke tangannya. Mengingat dirinya adalah Anak satu-satunya, tentu saja semua aset akan jatuh di tangannya. Lahir di keluarga kaya sejak kecil membuar dirinya terbiasa hidup mewah, apa pun yang dirinya mau pasti akan dia dapatkan dengan mudah.
Darren merupakan seorang duda Anak satu. Istrinya telah berpulang ke rumah Tuhan sejak anaknya masih kecil. Sejak saat itulah dirinya harus hidup sebagai seorang duda. Darren selalu mencoba untuk menjadi sosok Ayah sekalgus Ibu untuk putrinya. Dirinya tak ingin jika sang Putri harus kekurangan kasih sayang.
Elena Gautama, nama wanita yang masih bertahta dengan indah di hati seorang Darren Aryan Gautama. Selama bertahun-tahun tak juga ada yang mampu menggantikan sosok Elena dalam hidupnya. Darren sangat mencintai Elena melebihi dirinya sendiri.
Dari pernikahannya dengan Elena, lahir seorang Putri bernama Cellyna Zxyoila Gautama. Perempuan cantik yang saat ini menginjak usia 24 tahun. Cellyn sapaannya, perempuan yang menjadi satu-satunya harta berharga seorang Darren. Dirinya sangat mirip dengan sosok Elena, sang Ibu. Parasnya, senyumnya, kebiasaannya, tingkahnya sama persis dengan sosok Elena.
Melihat Cellyn sering kali membuat Darren merasa itu adalah Elena. Elena yang tak akan pernah kembali, dia tahu itu. Cellyn sering kali membuat Darren rindu akan sosok Elena. Istrinya yang kini hanya bersisa raga tanpa Tuan.
Darren menghela nafas kasar kala kenangan pahit itu berputar dengan jelas di otaknya. Pria itu mengambil sebuah bingkai foto yang sengaja dia letakkan di meja kerjanya. Jemari kekarnya mengusap lembut foto tersebut dengan bibir yang dihiasi senyum sendu. Dia rindu sosok yang berada dalam foto tersebut.
"Aku kangen."
Runtuh sudah pertahanan seorang Darren Aryan Gautama saat satu tetes air mata membasahi pipinya. Dengan lembut dirinya menghapus jejak air mata itu, Darren memejamkan matanya erat. Menghilangkan perasaan pada cinta pertamanya tentu tak akan mudah. Jutaan bahkan milyaran purnama telah dirinya lewati, tetapi sosok Elena masih bertahta dengan indah di hatinya. Semua berubah seiring waktu, tetapi itu tak berlaku untuk rasa cintanya pada sosok Elena.
Darren memandang sendu foto pernikahannya dengan Elena dulu. Pria berusia 40 tahun itu tertawa miris mengingat setiap momen yang kini hanya menjadi sebuah kenangan. Dirinya tak akan bisa mengulang segala kenangan indah bersama Elena. Dia hanya bisa menyimpan kenangan itu dalam memorinya.
"Kamu bahagia banget di sana, heem?" gumamnya pelan.
"El, aku kangen kamu. Perasaan aku belum juga berubah. Masih sama kayak pertama kali aku jatuh cinta sama kamu."
Kumpulan perempuan dengan paras menawan saat ini tengah berada di salah satu kafe di Jakarta. Mereka nampak asik saling melempar canda tawa. Raut wajah mereka bahkan nampak sangat bahagia. Tawa mereka meramaikan kafe yang tengah sepi itu.
Salah satu dari mereka hanya terkekeh pelan, dia hanya menampilkan raut datarnya. Tidak, bukan dia tak bahagia, memang begitu tabiatnya. Dingin dan tak tersentuh, sahabatnya bahkan sudah biasa melihat tatapan datarnya.
"Yeay, Nata udah gak jadi pengganguran lagi!" pekik seorang gadis dengan rambut sebahu.
Iya, saat ini Nata dan sahabatnya tengah berkumpul di salah satu kafe. Seperti yang dirinya katakan sore tadi, dia akan merayakan keberhasilannya dalam mendapat pekerjaan baru. Perempuan itu sangat antusias bercerita pada sahabatnya.
Nata terkekeh pelan sembari mengaduk minumannya. Dia memandang perempuan di hadapannya dengan senyum maklum. Dua sahabatnya ini memang mempunyai kepribadian yang berbeda. Satunya banyak tingkah dan satunya lagi tak banyak tingkah. Meski begitu, dirinya bersyukur memliki sahabat yang mampu menerima dirinya dengan tulus.
"Gimana bos kamu? Ganteng gak?!" tanyanya antusias.
"Cowok pasti ganteng, Alika." Nata menghela nafasnya kasar.
Perempuan bernama Alika itu terkekeh pelan. Dia memandang Nata dengan tatapan menggodanya. "Hati-hati naksir lho. Nanti judulnya gini 'bosku adalah pacar rahasiaku' hahaha ...."
Dia merenggut. "Yesha, Alika tuh!" adu Nata pada perempuan yang sedari tadi hanya diam saja.
"Alika, jangan jail." Nata tersenyum senang mendengar ucapan perempuan di hadapannya itu.
Alika Dirnata, perempuan cantik dengan rambut sebahu. Dia merupakan sosok perempuan yang cerewet, banyak tingkah, dan bar-bar. Jika, perempuan lain akan memilih menjadi sosok yang anggun, berbanding terbalik dengan Alika yang terkesan bar-bar. Dia tidak tomboy, tetapi dirinya jauh dari kata anggun. Alika juga merupakan mantan atlet karate semasa SMA.
Yeshania Arafa, perempuan cantik dengan lesung pipit. Yesha merupakan kebalikan dari Alika, perempuan dengan rambut sepunggung ini terkenal tak banyak tingkah. Dia akan bicara seperlunya dan memilih diam jika tidak ada hal penting yang harus diucapkan. Perempuan yang diberi gelar ice princess ini terkenal dengan sikap anggun dan cerdasnya, wajar saja dia merupakan seorang Pengacara muda.
"Aelah gak asik kamu, Yes!" cetus Alika.
"Hm."
Alika mendengus kesal. Perempuan berusia 28 tahun itu memilih memakan makanannya dengan kesal. Nata yang melihat itu hanya bisa menahan tawanya, dirinya selalu terhibur dengan sikap lucu Alika. Sedangkan, Yesha cenderung memberikan dirinya masukan. Lengkap, bukan?
Di antara ketiganya, Alika memang yang paling tua. Namun, justru sikapnya seperti Anak kecil. Sedangkan, Yesha lah yang paling bijaksana meski dirinya yang paling muda. Untuk Nata, perempuan itu cenderung dewasa, lembut, dan tenang.
"Hahaha ... Muka kamu lucu, Al!" ceplos Nata sembari tertawa ringan.
"Tau ah! Nyebelin."
***
Pagi ini, Cellyn bangun lebih awal mengingat dirinya akan ada operasi. Perempuan berusia 24 tahun itu tengah duduk di atas kursi sembari menikmati sarapannya. Matanya tak henti melirik ke arah tangga, menanti Darren turun.
Jika biasanya mereka akan sarapan bersama, tetapi kali ini berbeda. Cellyn harus berangkat pagi-pagi untuk menangani pasiennya. Sedangkan, Darren baru akan terbangun pukul 06.15 wib. Sangat tidak memungkinkan Cellyn menanti Darren.
Dia melirik jam yang menghiasi pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 06. 10 wib, dirinya bergegas meminum susunya. Cellyn bangkit dari duduknya sembari merapikan pakaiannya, dia melirik lagi ke arah tangga lantas menghembuskan nafasnya kasar.
"Bi, saya berangkat dulu, ya. Nanti tolong bilangin sama Papa. Oh, iya! Papa dibuatin salad buah aja ya, Bi. Tolong banget, maaf kalau aku repotin," titah Cellyn.
"Baik, Nona Muda."
Jika biasanya Cellyn lah yang menyiapkan sarapan untuk sang Ayah, maka kali ini tidak. Sarapan Darren disiapkan oleh Tini selaku kepala pelayan. Darren memang hanya sarapan menggunakan salad buah atau roti dengan selai kacang. Pria itu tak bisa sarapan dengan makanan berat.
Empat puluh lima menit kemudian, Darren menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Dirinya menyatukan alisnya saat tak melihat sang Anak di meja makan. Pandangannya tertuju pada salad yang berada di atas meja, pria itu menghela nafasnya kasar.
"Bi, Cellyn sudah berangkat?"
"Sudah, Tuan. Nona Muda meminta saya untuk menyiapkan salad buah untuk Tuan," jawab Tina dengan kepala tertunduk.
"Heem, makasih, Bi."
Darren menghabiskan makannya dengan tenang. Pria itu makan dengan santai tanpa takut akan kesiangan nantinya. Dua puluh menit kemudian dirinya telah menyelesaikan sarapannya, Darren segera bangkit dari duduknya. Pria itu kembali menelisik penampilannya.
"Bi, saya berangkat dulu. Tolong jaga rumah, kalau ada apa-apa kabari saya."
"Baik, Tuan."
***
Pagi ini Nata nampak bersemangat. Iya, hari ini hari pertamanya bekerja di DA Company, perusahaan besar yang memiliki peranan dalam dunia bisnis. Banyak orang yang ingin bekerja di perusahaan tersebut, mengingat gaji yang ditawarkan sangat menggiurkan. Namun, sayang tak semua orang diterima. Nata beruntung karena dirinya dapat diterima di sana.
Nata sudah rapi dengan pakaian formalnya. Perempuan itu memoleskan sedikit lipstik pada bibirnya agar terlihat. Dia tersenyum dengan manis saat menatap penampilannya dari cermin. Perempuan itu berdecak merasa puas dengan penampilannya.
"Perfect!"
Perempuan itu meraih kunci motornya. Dengan segera dia keluar dari kamarnya, pemandangan pertama yang dirinya lihat adalah tetangga yang berlalu lalang. Semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, mulai dari menyapu, menjemur pakaian, mencuci pakaian, mengangkat gas. Pemandangan yang selalu dirinya lihat saat pagi hari.
Nata memasang senyum manis kepada orang-orang yang menyapanya. Dirinya sudah sangat dekat dengan tetangganya atau pun warga rusun lainnya. Mengingat dia sudah sejak SMP tinggal seorang diri di rusun tersebut.
"Mau berangkat kerja, Neng?" tanya seorang ibu-ibu sembari memberikan anaknya makan.
"Iya, Bu. Nata pamit kerja, ya." Nata menjawab dengan senyuman manisnya.
"Iya, Neng. Hati-hati di jalan."
"Siap!"
Karena jarak antara kantornya dan rusun tempatnya tinggal tak terlalu jauh, Nata tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama. Selang 20 menit dirinya tiba di DA Company. Perempuan itu segera memakirkan motornya di tempat khusus kendaraan beroda dua.
Nata menghela nafasnya kasar sebelum akhirnya membuka helm miliknya. Perasaan gugup itu menghampiri dirinya kembali. Dirinya turun dari motor sembari memandang sekitarnya dengan menilai. Nata memejamkan matanya sebelum akhirnya masuk ke dalam kantor.
Perempuan itu berjalan dengan lambat, tatapannya menilai setiap orang yang dia temukan. Orang-orang di kantor ini terlihat modis dengan penampilan mereka, berbanding terbalik dengan dirinya yang terlihat sederhana. Perempuan itu menggepalkan tangannya sembari menarik nafas dalam.
Semangat, Nata! Jangan insecure! batinnya
Nata merenggangkan tubuhnya setelah duduk selama lima jam. Perempuan itu menghela nafas kasar, tubuhnya terasa kaku dan pegal. Wajar saja, selama lima jam dirinya harus berkutat dengan berkas-berkas. Di hari pertamanya, Darren sudah memberikan dirinya tumpukan berkas.
Nata melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Perempuan itu segera bangkit dari duduknya, dirinya berniat untuk pergi ke kafe depan kantor untuk membeli makan siangnya. Dia pergi seorang diri, mengingat dia belum memiliki teman.
"Nata!"
Langkah kakinya terhenti saat mendengar suara Darren yang memanggil namanya. Perempuan itu dengan cepat membalikkan tubuhnya. Nata menatap Darren dengan pandangan penuh tanya lantas menundukkan kepalanya dalam.
"Kenapa, Pak?" tanyanya pelan.
"Kamu mau ke mana?"
Nata menaikkan satu alisnya pertanda dirinya bingung dengan pertanyaan Darren. Ini sudah waktunya makan siang, jelas dirinya ingin makan siang. Nata menatap Darren heran, perempuan itu lantas berdehem dengan pelan.
"Mau makan siang, Pak. Ada hal yang bisa saya bantu?"
Dia menggeleng. "Tidak ada. Setelah kamu makan siang, tolong siapkan berkas untuk rapat siang ini," titah Darren.
"Baik, Pak."
Melihat Darren yang melenggang pergi membuat Nata kembali melanjutkan langkahnya. Beberapa pasang mata menatapnya tak suka, mengingat Nata berpakaian cukup sederhana. Sedangkan, DA Company merupakan perusahaan besar. Nata menghela nafasnya kasar, dirinya tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Sabar, Nat! Sabar!
...***...
Nisya menginjakkan kakinya di sebuah mall yang berada di tengah kota Jakarta. Dirinya tak datang sendiri melainkan dengan Lina yang saat ini tengah memiliki waktu luang. Dua perempuan cantik itu berniat untuk membeli sebuah tas dan sepatu, jangan lupakan skincare.
Mereka berjalan beriringan di dalam mall. Keduanya sama-sama terdiam dengan pandangan terfokus pada sekitarnya. Nisya yang tampak anggun dengan balutan dress berwarna peach dan Lina yang nampak anggun dengan kaos yang berpadu dengan celana jeans dan cardigan miliknya. Mereka sama-sama mencuri perhatian sekitarnya.
Nisya menoleh ke Lina yang saat ini berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Perempuan itu menepuk bahu Lina pelan membuat atensi Lina teralih. Lina memandang Nisya dengan satu alis yang terangkat, perempuan itu sedang tak ingin banyak bicara.
"Kenapa?"
"Kita beli tas dulu?" tanya Nisya.
"Heem, ayo."
Sesampainya di toko tas, keduanya segera memilih tas sesuai selera mereka. Kedua perempuan cantik itu terlihat fokus pada deretan tas yang harganya cukup fantastis. Namun, bagi mereka itu tak ada artinya, terpenting adalah kebutuhan mereka terpenuhi.
Atensi Lina teralih pada tas berwarna hitam dari brand ternama. Dengan perlahan tangannya mengambil tas tersebut, Lina memandang tas tersebut dengan pandangan menilai. Setelahnya perempuan itu tersenyum sangat tipis.
"Not bad."
Di sisi lain, Nisya tengah asik memilih-milih sebuah tas. Perempuan itu berulang kali mengerutkan keningnya. Dirinya bingung ingin memilih yang mana, deretan tas di hadapannya tampak indah semua. Dia menghela nafasnya pelan, dirinya selalu dilanda kebimbangan saat membeli sesuatu.
"Sudah?" Nisya menoleh ke belakang, dirinya menunjukkan cengirannya pada Lina.
"Kenapa?" tanya Lina heran.
"Hehe ... Bingung," sahut Nisya sembari cengengesan tidak jelas.
Lina yang mendengar itu menepuk keningnya. Tatapannya beralih pada deretan tas di hadapan Nisya. Tatapannya menelisik satu-persatu tas yang berada di hadapannya, perempuan itu meletakkan telunjuknya di dagu pertanda dia tengah berpikir. Perempuan itu lantas menjentikkan jarinya sembari tersenyum puas.
"Yang warna putih, cantik dan elegan!"
...***...
Darren saat ini tengah berada di sebuah restoran yang cukup mewah. Malam ini, dirinya berniat akan melakukan dinner bersama Devan dan teman lamanya. Iya, mereka tidak berdua melainkan berempat. Namun, di antara keempatnya hanya Darren dan Devan saja yang sudah menikah mengingat mereka yang paling tua.
Sudah empat puluh lima menit Darren menanti kehadiran sahabatnya, tetapi ketiganya tak juga memunculkan batang hidungnya. Pria itu berdecak kesal, jam Indonesia adalah jam yang cukup tidak berguna baginya. Bagaimana tidak berguna, jika janjian pukul 19.00 wib dan baru bersiap pukul 19.00 wib. Sangat mencerminkan kesantaian yang luar biasa.
Darren meminum kopinya hingga tandas. Pria iru sudah sangat lama menunggu, tetapi ketiga temannya tak juga tiba. Dia berulang kali menghela nafasnya dengan kasar berharap rasa kesalnya mereda.
Ck, Indonesia people!
"Sorry telat, tadi Yana larang pergi."
Suara dari Devan itu membuat Darren menghembuskan nafasnya lega. Tak berselang lama kedua teman lamanya akhirnya tiba juga. Mereka datang dengan senyum tak berdosa yang terpatri di wajahnya.
"Gua kira tinggal di Amerika buat lu pada jadi disiplin sama waktu," sindir Darren dingin.
Devan yang mendengar itu hanya terkekeh pelan. Dirinya sangat tahu sifat Darren yang selalu tepat waktu itu. Pria itu tak pernah membuat orang lain menunggu, tetapi dirinya yang selalu menunggu.
"Ya, maaf namanya juga Jakarta, macet!" sahut pria dengan kaos biru.
"Alasan lu basi," ceplos Devan.
"Berisik!" celetuk seorang pria dengan nada tak suka.
"Duduk lu berdua. Sampai kapan mau berdiri?" ujar Darren setelah usai mengunyah kentangnya.
Kedua pria itu akhirnya duduk berhadapan dengan Darren dan Devan. Keempatnya nampak masih tampan di usia mereka yang tidak musa lagi, bahkan mereka masih nampak menggoda walau usianya sudah jauh dari angka 20 tahun. Paras rupawan, harta melimpah, dan kejayaan yang mereka miliki, sangat sempurna.
"Apa kabar Refan dan Leon?"
Refano Alaskar, pria berusia 33 tahun itu selalu menampilkan raut dinginnya. Refano atau yang kerap disapa Refan itu memang terkenal dengan sifat tak acuhnya. Dirinya merupakan seorang pengusaha yang bergerak di bidang properti. Refan saat ini masih melajang, pria itu memang sangat sulit untuk diluluhkan.
Leonathan Gabriel, pria yang dikenal sebagai casanova itu memang memiliki sifat yang ramah. Leon sapaannya, pria dengan sejuta perempuan cantik dan seksi di sekitarnya. Di usianya yang sudah menginjak 34 tahun itu tak membuatnya berpikir untuk menjalin hubungan serius. Pria itu bahkan semakin memperbanyak jumlah perempuannya.
"Baik," sahut Refan dan Leon serempak.
"Gimana di Amrik?" tanya Devan sembari meminum jusnya.
"Biasa aja," sahut Refan tanpa minat.
Dia terkekeh pelan. "Elu masih betah jadi buaya?" tanya Darren pada Leon.
Leon menyugar rambutnya ke belakanf. "Oh, tentu saja!"
Ketiga sahabatnya yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya heran. Kelakuan Leon memang sudah tak asing bagi mereka. Pria itu berubah menjadi laki-laki yang senang merayu saat dihianati oleh kekasihnya dulu. Semua hal ada penyebabnya begitu juga dengan sifat playboy yang melekat dalam diri Leon.
"Hati-hati karma lu," cetus Devan.
"Enggak takut gua," sahut Leon angkuh sembari menyesap batang rokoknya.
"Dih sok-sokan elu! Ntar nemu cewek yang beda dari yang lain terus lu jadi bucin, gua mampusin lu!" pekik Darren.
"Semua cewek itu sama aja, penghianat!" ceplos Leon.
"Dendam masa lalu," celetuk Refan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!