NovelToon NovelToon

Lu[C]Ka Cinta

1. NAMAKU CINTA

Apa yang paling kalian sukai saat masih SMA? Bertemu teman satu-geng? Bertemu cinta pertama? Atau menikmati saat-saat membolos pelajaran? Aku sangat menikmati masa-sama SMAku ini. Tapi, pasti ada hal yang sangat tak terlupakan selain itu semua.

Hari kelulusan. Hari dimana jantung berdegup lebih cepat dari biasa, tak sama dengan jatuh cinta pastinya, atau bisa jadi lebih. Perjuangan selama tiga tahun menempuh masa-masa indah di sekolah, ditentukan oleh hari ini.

Semua murid merasa harap-harap cemas. Tak terkecuali aku. Namaku Cinta. Aku pergi sekolah sendirian di hari kelulusan ini. Karena Ibuku, tak bisa menemaniku mengambil surat kelulusan bersamaku. Ibu harus bekerja. Kami memiliki usaha warung makan Tegal atau biasa di singkat 'Warteg'.

Ibuku berasal dari Tegal, juga almarhum Bapakku. Tapi aku, sejak kecil dibesarkan di lingkungan padat merayap Ibu Kota, alhasil, aku tidak bisa fasih berbahasa 'Ngapak' seperti Ibuku.

Murid-murid seangkatanku dikumpulkan di aula sekolah. Disini akan diumumkan siapa yang mendapat nilai tertinggi tahun ini, dan lulus dengan predikat terbaik. Tentu saja aku berharap namaku disebut oleh Ibu Kepala Sekolah.

"Predikat lulusan terbaik pada tahun ini, diraih oleh ... Cinta Putri!"

"Eh?"

Aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar. Aku masih diam mematung, sementara Lala, sahabatku, terus berteriak gembira dan memelukku. Ini adalah akhir dari perjuanganku selama tiga tahun ini.

"Cinta Putri! Silakan naik ke podium!"

Sekali lagi Ibu Indah memanggil namaku. Aku menghela nafas terlebih dahulu.

"Selamat! Kamu lulus dengan nilai terbaik, Cinta. Ibu bangga padamu!"

Ibu Indah memberi selamat padaku. Aku membalasnya dengan senyuman terbaikku. Aku merasa ini adalah hari terbaik dalam hidupku.

Aku memberikan sedikit pidato di depan teman-temanku. Dan mereka semua bertepuk tangan merayakan kesuksesanku. Senyum mengembang selalu kusunggingkan selama satu hari ini.

Acara pengumuman kelulusan telah usai. Kini berganti ajang coret mencoret seragam putih abu-abu kami yang tidak akan kami pakai lagi. Secara teknik memang tidak akan kami pakai lagi, tapi aku ingat dengan pesan ibuku yang mengatakan agar tidak mencoret seragam putihku dengan spidol ataupun pilox. Karena masih bisa kita sumbangkan untuk anak-anak yang kurang mampu jika memang masih layak pakai.

Saat Lala ingin mencoret bajuku, sontak aku melarangnya. Aku harus menuruti nasihat Ibu. Dan itu memang nasihat yang baik. Lalu, Lalapun mengerti.

Aku hanya memandang teman-temanku yang sedang bercorat-coret ria bersama. Aku ikut tertawa melihat tingkah mereka. Padahal guru sudah memperingatkan untuk tidak melakukan corat-coret. Tapi jumlah siswa disini lebih banyak ketimbang guru yang melerai. Jadilah seisi sekolah sekarang jadi berwarna warni bak pelangi.

...***...

Aku berjalan pulang ke rumah dengan senyum mengembang di bibirku. Aku sudah tak sabar untuk memberitahu kelulusanku pada Ibu. Aku putuskan akan mampir ke warteg dulu.

"Ibu..." Sapaku.

Aku tak mendapati Ibu disana. Hanya ada Bulik Tati, asisten memasak Ibu.

"Ibu kemana, Bulik?"

"Ibumu pulang ke rumah. Tadi ada tamu yang datang."

"Tamu?" Aku mengernyitkan dahi.

"Bulik ora kenal. Mbuh sapa. (Tante tidak kenal. Tidak tahu siapa). Tapi pakaiannya sangat rapi, berdasi dan berjas."

Aku tambah mengernyitkan dahi mendengar penjelasan Bulik Tati. Aku berpamitan dengan Bulik Tati dan melanjutkan perjalananku ke rumah.

Di gang yang akan memasuki rumah, aku melihat sebuah mobil mewah terparkir. Jangan-jangan ini adalah mobil tamu yang tadi Bulik Tati sebutkan? Aku mempercepat langkahku agar segera sampai di rumah. Sungguh aku sangat penasaran siapa yang menemui Ibu.

Ketika hampir sampai menuju rumah, tiba-tiba ada yang mencegatku dan membawaku masuk ke dalam rumah. Bude Sri. Dia adalah tetanggaku.

"Bude? Bikin kaget saja." Aku memegangi dadaku.

"Sssstttt!" Bude Sri menyuruhku diam.

Ada apa ini sebenarnya?

"Eh, Nduk. Apa benar kowe iki arep didol?" (Eh, nak. Apa benar kamu ini mau dijual?)

"Hah? Dijual? Dijual bagaimana bude?"

"Kumaha ieu Bude? (Bagaimana ini Bude?) Jadi beneran, Neng Cinta teh mau dijual? Kasihan pisan!"

Dan sekarang gantian Teteh Rina ikut menyambar masuk ke rumah Bude Sri. Kami semua bertetangga. Dan kami berasal dari daerah yang berbeda-beda. Bude Sri dan Pakde Gun, dari Jogja. Mereka berjualan gudeg Jogja disini. Lalu, Teteh Rina orang Sunda dan suaminya Uda Faisal yang orang Padang. Mereka berjualan Nasi Padang. Aku, Ibuku dan Bulik Tati, berasal dari Tegal, kami berjualan warung nasi Tegal atau Warteg. Sungguh keberagaman yang indah bukan?

Baik, kembali ke topik soal 'dijual'. Aku sangat tidak mengerti dengan maksud yang mereka bicarakan.

"Bude, Cinta tidak paham dengan maksud Bude dan juga Teteh. Siapa yang mau dijual?" Aku lebih memilih menjawab dengan bahasa nasional saja agar mudah dipahami oleh semua orang.

"Ya kamu, Nduk. Itu lho ada orang yang datang ke rumahmu. Dia bilang dia mau membelimu."

"Hah?" Aku terperanjat kaget.

"Bude, kenapa bilang begitu? Ibu tidak mungkin menjualku."

"Dari pada kita salah info. Hayuh atuh kita datang ke rumah Teh Inah saja." usul Teh Rina. Sebenarnya usia Teh Rina hampir sama dengan Bulik Tati, tapi dia tidak mau dipanggil Bibi, dan memintaku memanggilnya 'Teteh'. Biar kelihatan awet muda katanya, hihihi.

Kami bertiga melangkah dengan cepat menuju rumahku. Bude Sri mengucapkan salam lalu masuk ke rumah. Aku dan Teh Rina mengekorinya dari belakang.

Ibuku sedang duduk sendiri di ruang tamu. Tamu yang tadi datang sudah tak ada lagi disana.

"Dek Inah..." Bude Sri memanggil Ibuku.

"Ibu..." Aku duduk di dekat Ibuku.

Ibu menatapku dengan tatapan sedih. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Dek Inah, siapa tamu yang tadi datang kesini? Apa Dek Inah mengenalnya?"

Ibu membelai wajahku.

"Ibu... Apa Ibu tahu kalau aku berhasil lulus, Bu. Aku lulus dengan nilai terbaik." ceritaku pada Ibu.

Ibu tidak merespon ucapanku. Ibu malah meneteskan air mata.

"Lho, Teh Inah kok menangis?" Teh Rina ikut bersedih.

"Ya sudah, kita biarkan dulu Dek Inah menenangkan diri. Nanti baru bicara lagi." Bude Sri hendak melangkah pergi.

"Tidak usah, Mbak Sri. Aku tidak apa-apa kok." Ibu menghapus air matanya.

"Cinta, putriku yang cantik. Tadi itu ... adalah Pak Teddy. Dia asistennya Pak Jansen Bahari. Dia datang kemari atas perintah Pak Jansen." ucap Ibu.

"Lalu?" Aku mengerutkan keningku.

"Pak Jansen bermaksud menjodohkan cucunya dengan kamu."

"Hah?!" Seketika itu pula aku, Bude Sri, dan Teh Rina melongo karena sangat terkejut.

"A-apa maksud Ibu?" ucapku terbata.

Kakiku mulai terasa lemas. Kepalaku terasa berkunang-kunang.

Dijodohkan? Yang benar saja!! Aku baru 17 tahun. Dan aku baru lulus sekolah. Ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi!

...©©©...

Bersambung

2. MENOLAK PERJODOHAN

"Apa maksud Ibu?" Aku bertanya pada Ibu dengan bibir bergetar.

Ibu menggenggam kedua tanganku.

"Nduk, kamu diminta oleh Pak Jansen untuk jadi cucu menantunya."

Aku melepas genggaman tangan Ibu.

"Kenapa harus aku? Aku baru 17 tahun, Bu. Apa Ibu tega membiarkanku menikah di usia yang masih sangat muda?"

"Betul itu, Dek Inah. Si Nduk Cinta itu baru lulus SMA, masa langsung mau dinikahkan. Macam orang jaman dulu saja, lulus sekolah langsung nikah. Tapi, ngomong-ngomong, Pak Jansen-Jansen itu siapa tho? Memangnya kamu kenal sama dia? Kok mau-maunya menyerahkan anak gadis satu-satunya ke dia?" timpal Bude Sri.

Ibu menghela nafas. Kami semua terus menunggu jawaban dari Ibu.

"Mbak Sri ... apa mbak masih ingat? Empat belas tahun lalu, saat pembangunan perumahan mewah di belakang komplek rumah kita ini. Pak Jansen itu adalah pemilik perusahaan yang dulu membangun perumahan mewah itu. Dia pemilik JB Grup. Dulu, Pak Jansen kan bersahabat dengan almarhum bapak mertuaku, kakeknya Cinta. Menurut Pak Teddy yang tadi datang kemari, mereka berdua sudah berjanji akan menjodohkan cucu-cucu mereka saat sudah dewasa. Yaitu tepatnya saat Cinta sudah menginjak usia 17 tahun. Makanya sekarang Pak Jansen akan menepati janji yang pernah mereka buat 14 tahun lalu." jelas Ibu panjang lebar.

"Ibu! Omong kosong macam apa ini?" Aku mulai marah.

"Cinta... Kamu sendiri sebenarnya sudah mengenal siapa calon suamimu itu. Saat kamu kecil, kalian selalu bermain bersama. Pak Jansen selalu membawa serta cucunya saat meninjau proyek pembangunan perumahan disitu." lanjut Ibu.

Aku mulai diam sekarang. Apa benar aku pernah mengenal laki-laki yang akan dijodohkan denganku?

"Hmm, trus kamu jawab apa ke asistennya Pak Jansen? Apa kamu menerima perjodohan itu?" tanya Bude Sri penasaran.

"Iya, Mbak. Aku menerimanya. Apa boleh buat. Bapak mertua dan Pak Jansen benar-benar membuat surat perjanjian itu. Bahkan ada foto mereka berdua di surat itu."

"Apa Teteh tidak memikirkan perasaan Neng Cinta? Kenapa Teh Inah langsung menyetujuinya? Harusnya tanyakan dulu atuh ke Neng Cinta, mau tidak dijodohkan sama cucunya Pak Jansen?" Imbuh Teh Rina.

Ibu menatapku. Kembali di raihnya kedua tanganku.

"Nduk... Menjalankan wasiat orang yang sudah meninggal, itu adalah kewajiban untuk yang masih hidup. Apalagi, keluarga Pak Jansen adalah keluarga terhormat. Pasti kamu sangat beruntung menjadi bagian dari keluarga itu. Jujur Ibu awalnya sedih mendengar semua ini. Tapi, setelah ibu pikir, ini adalah keputusan yang tepat untuk menerima perjodohan kalian."

"Tidak! Cinta tidak mau, Bu!" Aku berdiri memandang Ibu yang duduk bersimpuh memintaku menuruti keinginan kakekku.

"Cinta tidak mau dijodohkan! Kalau Ibu mau, Ibu saja yang menikah dengan cucunya Pak Jansen!" kesalku.

Dan akupun melangkah pergi dari ruang tamu dan menuju kamarku. Kubanting pintu kamar dengan keras, lalu kukunci dari dalam. Aku marah.

Hari ini adalah hari yang bahagia untukku. Tapi seketika berubah jadi hari paling mengerikan. Kenapa Ibu tega melakukan ini padaku?

Aku membanting tubuhku ke tempat tidur. Dan aku membenamkan wajahku ke dalam bantal. Aku menangis disana. Aku kecewa. Aku kecewa pada Ibuku.

...***...

Beberapa hari ini aku belum bicara pada Ibu. Aku masih kesal padanya. Meski Bude Sri, Bulik Tati dan Teh Rina selalu menenangkanku dan memintaku untuk bicara baik-baik dengan Ibu, namun aku masih belum bisa untuk melakukannya. Rasanya terasa berat. Aku tak faham dengan jalan pikiran Ibu.

Hingga akhirnya, Pak Teddy kembali datang ke rumah. Dan aku bertemu dengannya.

"Apa kabar Nona Cinta? Senang bisa bertemu langsung dengan Nona. Nona sudah tumbuh besar sekarang." sapa Pak Teddy padaku.

Oke! Pak Teddy adalah orang yang baik, dan ramah. Dia selalu tersenyum saat bicara denganku. Aku tidak bisa mengabaikannya. Dia terlalu ramah dan sopan. Bagaimana bisa aku bersikap jahat padanya?

"Apa bapak mengenalku?" tanyaku polos.

"Tentu saja. Saya mengenal Nona sejak Nona masih kecil," jawabnya dengan mengulas senyum.

"Tunggu sebentar! Jangan memanggilku Nona. Terdengar aneh ditelingaku. Panggil saja Cinta." ucapku.

"Dari dulu saya memanggil Nona dengan sebutan Nona. Mungkin Nona lupa karena masih sangat kecil."

Aku menggaruk kepalaku. "Ya sudah, terserah bapak saja. Ada perlu apa bapak datang kemari? Ibu sedang ada di warung." tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Saya kesini bukan untuk menemui Ibu Inah. Tapi untuk menemui Nona."

"Eh?" Aku tercengang.

"Mari ikut saya Nona. Saya akan mengajak Nona ke suatu tempat," ajak Pak Teddy.

"Eh, tunggu dulu! Aku harus izin pada Ibu dulu," sergahku cepat. Aku tidak bisa ikut dengannya tanpa izin dari ibuku.

"Tenang saja. Saya sudah meminta izin pada Ibu Inah, dan beliau menyetujuinya."

"Hah?" Dan sekali lagi aku tercengang.

Entah kenapa sikap hangat Pak Teddy membuatku merasa nyaman. Aku setuju untuk ikut dengannya. Aku masih belum tahu akan dibawa kemana olehnya. Aku tak berani bertanya.

Ketika kami akhirnya tiba di sebuah tempat, Pak Teddy memintaku turun.

"Silahkan turun, Nona! Sudah sampai."

"Ini kan...?" Aku mengernyitkan dahi. Kami tiba di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Untuk ketiga kalinya, aku tercengang.

...***...

Aku menatapi seluruh barang belanjaanku yang memenuhi seisi kamar. Ada rasa bingung yang menggebu. Kenapa aku mau melakukan ini? Apa aku bersedia untuk dijodohkan dengan cucu Pak Jansen? Aku masih tak tahu jawabannya.

"Nduk...." Ibu memasuki kamarku.

"Banyak sekali barang yang kamu beli. Apa tidak sayang uangnya?"

"Aku tidak tahu, Bu. Pak Teddy bilang, dia diberi daftar oleh istri Pak Jansen dan harus membelikan semua barang yang ada di daftar itu. Aku tidak menyangka akan sebanyak ini."

"Jadi ... kamu menerima perjodohan ini?"

"Ibu! Bukan begitu!" Perasaan sesal mulai menggelayutiku.

"Kamu sudah menerima semua barang-barang ini, tentu saja kamu harus menerima pinangan mereka." ucap Ibu.

"Ibu, kita bisa mengembalikannya jika menolak. Iya kan?" ucapku enteng.

"Tidak semudah itu, Nduk. Mereka pasti akan membuat masalah ini jadi panjang jika kamu tiba-tiba mengembalikan semua barang-barang ini. Pak Jansen adalah orang berkuasa."

"Ibu! Aku tidak mau dijodohkan..."

Air mataku tiba-tiba mengalir deras di pipiku. "Hiks hiks, aku tidak mau menikah, Bu... Hiks hiks, aku ingin kuliah, hiks hiks."

Akupun memeluk erat tubuh Ibu dan menangis disana.

"Ibu tahu, Nduk. Tapi bagaimana kamu bisa kuliah? Dapat uang dari mana, Nduk?"

Aku makin mengencangkan suara tangisku. Aku tahu jika Ibu tidak akan bisa membiayai kuliahku. Meski aku mendapat beasiswa. Ibu belum tentu setuju aku lanjut kuliah.

Aku menangis sekencangnya di pelukan Ibu. Aku ingin mengeluarkan semua kesedihanku. Dan sekali lagi aku berteriak,

"Aku tidak mau dijodohkan!"

...©©©...

Bersambung

3. KESAN PERTAMA

Aku menatap diriku di cermin. Cantik. Aku memuji diriku sendiri. Aku memang mirip Ibu yang memiliki kulit kuning langsat. Untuk pertama kalinya aku memakai pakaian bermerk dan mahal. Dan aku memakai sedikit riasan di wajahku. Aku tak mau terkesan kampungan di depan Pak Jansen dan istrinya.

Ya. Akhirnya aku setuju untuk menerima perjodohan ini. Memang agak berat rasanya. Karena aku masih sangat muda, dan aku tidak pernah tahu seperti apa calon suamiku itu. Ini semua karena kami secara tak sengaja menemukan surat wasiat kakek yang ditulis bersama Pak Jansen. Di dalam surat itu, kakek sangat memohon padaku agar mau menerima perjodohan ini. Ditambah lagi, beberapa hari terakhir, aku selalu bermimpi didatangi oleh kakek. Ouch, ini bagai pertanda kalau kakek memang ingin aku menerima wasiatnya.

Hari ini, Pak Jansen dan istrinya akan datang menemuiku. Aku sangat gugup. Apa aku benar-benar layak jadi cucu menantu di keluarga kaya dan terhormat itu? Berkali-kali aku bertanya pada hatiku. Tapi, meskipun aku tidak layak, aku akan berusaha memantaskan diri.

Ditemani Bude Sri, Bulik Tati dan yang lainnya, kami menyambut kedatangan Pak Jansen.

"Terimakasih sudah bersedia datang ke rumah kami. Sungguh suatu kehormatan tersendiri untuk kami." Pakde Gun membuka perbincangan.

"Hahaha, jangan bicara begitu. Bertahun-tahun lalu saya sering datang kemari. Dan memang, suasananya masih sama seperti dulu, hangat." balas Pak Jansen.

"Maaf kami mengganggu waktu kalian. Kami datang kesini, karena ingin bertemu dengan Cinta." Ucap istri Pak Jansen.

"Cinta ada dikamarnya. Dek Tati, tolong suruh Cinta keluar."

Aku mendengar suara Ibu yang menyuruh Bulik Tati menjemputku.

Aku berjalan keluar kamar dengan menunduk. Pipiku bersemu merah. Aku gugup dan juga malu.

"Seperti yang sudah kuduga. Kamu sangat cantik, Nak." Ucap Nyonya Jansen sambil membelai rambutku.

"Terimakasih Nyonya." jawabku.

Aku duduk disebelah Ibuku, dan berhadapan dengan Pak Jansen dan istrinya.

"Kamu sudah tumbuh besar, nak. Mulai sekarang panggil saja Kakek, dan juga Nenek ya." ucap Pak Jansen.

Aku mengangguk.

"Kedatangan kami kemari adalah untuk meminang Cinta secara resmi, dan juga ... mulai minggu depan, Cinta sebaiknya tinggal bersama kami. Karena dia harus mendapat pelatihan dari para pengajar." lanjutnya.

What?!? Pelatihan? Ini perjodohan yang serius bukan? Kenapa ada pelatihan segala?

"Maaf kakek, pelatihan apa ya?" Aku memberanikan diri membalas ucapan Pak Jansen.

"Ada beberapa hal yang harus dipelajari saat masuk dalam keluarga kami. Mempelajari tradisi, tata krama, table manner, dan bisnis, adalah yang terpenting. Kamu harus menguasai itu, sayang..." suara lembut Nyonya Jansen terdengar menyejukkan namun cukup membuatku menelan ludah.

Menjadi menantu keluarga seseorang ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Aku berusaha untuk tetap tersenyum meski aku tak faham dengan apa yang dijelaskan Nenek.

"Tapi ... Cinta tidak pernah jauh dari Ibu, Kek." Aku menggenggam tangan Ibu.

"Jangan khawatir. Kalau kamu rindu pada Ibumu, kamu bisa pulang kesini atau menelepon melalui sambungan video." Jawab Kakek Jansen.

Baiklah. Aku setuju. Kesan pertamaku tentang Kakek Jansen dan Nenek Jessi, adalah mereka sangat ramah, dan baik hati. Entahlah, tapi aku yakin aku merasa akan baik-baik saja jika nanti tinggal bersama mereka.

Dan tibalah hari ini, hari dimana aku akan pindah ke rumah Kakek Jansen. Aku hanya membawa barang-barang yang sudah dibelikan Nenek Jessi padaku waktu itu, dan meninggalkan semua barang lamaku dirumah. Tak ada lagi kaus oblong dan celana pendek saat tidur malam nanti. Aku hanya memiliki piyama dan gaun tidur yang menurutku agak tak nyaman dipakai tidur.

Ibu, Bude Sri, Pakde Gun, Bulik Tati, Teh Rina dan Uda Faisal, mereka semua memelukku bergantian. Oh Tuhan, aku akan sangat merindukan mereka. Aku pun meneteskan air mata. Namun Ibu segera menghapus air mataku.

Aku ingat obrolanku dengan Ibu semalam.

"Dengar Nduk. Ibu tidak mau menganggap ini adalah aji mumpung. Meski semua tetangga menghujati ibu.  Ibu tidak akan dengarkan omongan tetangga yang bilang katanya ibu menjual kamu. Memang, Ibu sedih akan berpisah denganmu, tapi Ibu juga bahagia. Karena takdirmu berbeda dengan Ibu. Kamu tahu, setiap malam Ibu berdoa, agar kamu mendapat nasib yang lebih baik dari Ibu dan bapakmu. Kamu tidak harus susah payah jualan nasi seperti Ibu. Nduk, ibu yakin kamu pasti akan bahagia. Jadilah cucu yang baik untuk mereka. Kamu adalah kebanggaan Ibu. Ibu sayang kamu, Nduk."

"Ibu ... Aku akan selalu ingat semua nasihat Ibu. Aku janji akan sering menelepon Ibu." Aku berusaha tegar dan tidak menangis.

Namun nyatanya, saat waktu berpisah tiba, air mata tetap tak bisa dibendung.

...***...

Perjalanan menempuh sekitar satu jam menuju kediaman Kakek Jansen. Dan akhirnya, Aku tiba di rumah mewah yang membuatku melongo tak percaya.

Apa ini mimpi? Aku bak putri Cinderella yang mendapat pangeran tampan. Tampan? Aku sendiri belum tahu seperti apa rupa calon suamiku.

Pak Teddy menuntunku memasuki rumah besar itu. Aku masih bingung dengan semua kemegahan ini.

"Selamat datang di kediaman Jansen Bahari, Nona Cinta." sapa seorang wanita paruh baya padaku.

Aku hanya membalas dengan senyuman.

"Saya Utari, kepala pelayan disini. Dan ini, Alisa, dia adalah asisten Nona yang akan menemani dan menyiapkan semua kebutuhan Nona."

Ibu Utari mengenalkan seorang gadis muda yang akan menjadi asistenku. Wait! Asisten?! It's impossible. Aku akan punya asisten? Yang benar saja!

"Mari Nona ikut saya. Saya akan tunjukkan kamar Nona." ucap Alisa.

Aku datang kemari saat sore menjelang malam. Dan sekarang sudah memasuki malam disini. Suasana rumahnya sangat sepi. Dan ternyata, didalam rumah terdapat beberapa rumah lagi.

Oke! Aku mulai bingung disini. Banyak sekali jalan dari satu ruangan ke ruangan yang lain.

Alisa menjelaskan satu persatu dengan detil.

"Disebelah barat adalah mansion milik Tuan Besar, dan sebelahnya adalah milik putra tuan besar. Lalu, di utara ada mansion milik cucu-cucu tuan besar, dan timur adalah asrama milik kami, para asisten dan pelayan."

Well, aku hanya bisa berangguk ria mendengar penjelasan Alisa. Berjalan dari depan rumah menuju kamarku lumayan membuat kakiku sakit. Akan butuh waktu berapa lama ya untuk berkeliling ke seluruh bangunan di rumah ini?

"Silahkan masuk, Nona. Ini kamar Nona." ucap Alisa.

"Hah?" Aku tak percaya dengan yang kulihat. Ini bukanlah sebuah kamar. Lebih seperti rumah. Dan bahkan rumah lamaku tak sebesar kamar ini. Mungkin ini kenapa mereka menyebutnya 'mansion'.

"Saya akan rapikan barang-barang Nona. Karena makan malam sudah lewat, jadi Nona akan makan malam di kamar saja. Nona silakan membersihkan diri dulu. Saya akan memberitahu bagian dapur untuk menyiapkan makan malam Nona." jelas Alisa.

"Eh, Alisa..."

"Iya, Nona."

"Bisakah kita ... bicara dengan santai saja?"

"Maaf, Nona. Kami tidak diperkenankan bicara santai. Ini sudah jadi peraturan disini."

"Oh, begitu. Ya sudah." ucapku pasrah.

Mungkin karena ini adalah pertemuan pertama kami, jadi sebaiknya aku juga harus berkata sopan dan ikuti aturan disini.

Setelah makan malam, jadwalku adalah kembali membersihkan diri lalu bersiap untuk tidur. Semua kegiatan di rumah ini sudah diatur dan memiliki jadwal. Alisa memberikan jadwal harian padaku. Rasanya aku ingin tertawa, tapi takut dosa. Terlalu banyak aturan disini. Ya Tuhan, apa aku sanggup tinggal disini?

Pukul sembilan malam, dan Alisa sudah kembali ke asramanya. Tinggalah aku sendiri di kamar ini. Aku bosan. Aku masih tak bisa memejamkan mataku. Pasti karena merasa aneh tidur bukan di ranjangku sendiri.

Kuputuskan untuk keluar kamar saja. Kulihat ada sebuah taman air mancur saat tadi menuju kesini. Aku akan pergi kesana. Hanya sebentar saja pasti tidak akan masalah kan?

Udaranya sangat sejuk dan harum disini. Ternyata banyak bunga mawar disekitar taman. Aku menciumi satu persatu bunga mawar ini. Rasanya sangat menenangkan menghirup aroma wangi bunga mawar ini.

"Bagaikan mendapat lotere yang besar, huh?"

Sebuah suara mengagetkanku. Aku berbalik badan dan melihat seorang pria muda berdiri tegap dengan tatapan sinis padaku.

Siapa dia? Kenapa dia bicara soal lotere padaku? Mungkinkah dia...?!

Aku membulatkan mataku. Dia pasti adalah pria itu. Pria yang akan di jodohkan denganku!

Kesan pertamaku melihatnya, adalah ... dia sangat tampan dan juga menyebalkan.

...©©©...

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!