NovelToon NovelToon

Istri Pilihan Ayah

Sebuah keputusan

"Apa! Raga harus menikah dengan perempuan cacat ini? tidak, pokoknya Raga tidak mau, titik." Ucapnya dengan lantang dihadapan kedua orang tuanya.

Sedangkan perempuan yang duduk di sofa hanya bisa diam karena merasa dirinya terhina dengan terang terangan oleh lelaki yang akan menjadi calon suaminya sendiri.

"Raga! apa kamu sudah lupa, siapa yang sudah menyelamatkan nyawa Papa kamu ini? ha! ingat baik-baik, Raga." Bentak dari seorang ayah pada putranya.

"Kenapa mesti Raga sih, Pa. Kenapa juga tidak Lindan saja yang menikah dengan perempuan cacat ini." Ucap Raga yang masih dikuasai oleh emosinya.

"Karena Lindan harus fokus di perusahaan, sedangkan kamu sudah waktunya untuk menikah." Kata sang ayah, Raga langsung mengepalkan kedua tangannya sambil menahan emosinya.

"Lupakan sekretaris kamu itu, Mama tidak setuju jika kamu menikah dengannya. Leyza gadis yang baik, dia sangat pantas untuk menjadi istri kamu." Ucap sang ibu ikut menimpali, lagi lagi Raga menunjukkan sikap tidak terimanya atas paksaan dari kedua orang tuanya untuk menikah dengan perempuan yang tidak ia sukai sama sekali. Ditambah lagi adanya kekurangan pada fisiknya, tentu saja akan semakin membuat Raga tidak mau menerima paksaan dari kedua orang tuanya.

"Terserah Mama dan Papa, yang jelas Raga tidak akan menggapnya ada." Jawab Raga dengan penuh kekesalannya, kemudian ia langsung pergi dari rumah begitu saja.

Setelah Raga pergi, kedua orang tuanya kini dapat bernapas lega. Pasalnya sudah mendapatkan jawaban dari putranya, meski jawabannya cukup menguras emosi sekalipun. Namun, tetap tidak membuat kedua orang tua Raga untuk menyerah begitu saja demi rencananya untuk menikahkan putranya dengan putri dari sahabatnya yang sudah menyelamatkan nyawa orang tua Raga.

"Mama yakin nih, jika Raga akan menerima pernikahan yang kita rencanakan. Papa sedikit ragu deh, Ma. Aku merasa kalau Raga bakalan menolak dan juga kabur di hari pernikahan itu juga." Ucap Beliau yang kini mulai dihantui oleh pikiran buruknya.

"Papa tenang saja, Raga pasti nurut. Mama yakin jika Raga bakal mau menerima pernikahan yang sudah kita rencanakan."

"Terserah Mama saja, Papa hanya bisa membantu. Selebihnya Papa pasrah, lagi pula Raga anaknya keras kepala, susah diatur dan juga selalu bikin gaduh. Berbeda dengan Lindan, sangat penurut dan juga berhati lembut." Ucap Beliau yang merasa kesulitan ketika menghadapi sikap putra pertamanya yang bernama Raga Dirwagana.

"Sudahlah, kita tidak perlu pusing untuk mengatasi masalah Raga. Yang terpenting kalau bisa kita percepat saja tanggal pernikahannya, lebih cepat lebih baik. Mama sudah tidak sabar untuk mendapatkan cucu, Pa." Kata Ibundanya Raga.

"Tante, tidak apa-apa kok jika putra Tante tidak mau menerima saya." Ucap perempuan yang akan menjadi istri Raga.

"Tidak begitu Nak Leyza, ini sudah menjadi keputusan Tante, Paman, dan orang tuamu. Pernikahan kamu dengan Raga akan tetap berlangsung. Sebelumnya maafkan Raga ya, Nak." Ucap Bundanya Raga.

"Kalau begitu, Leyza pamit pulang ya, Tante." Jawab Leyza berpamitan.

"Baiklah, nanti biar supir Tante yang akan mengantarkan kamu pulang." Ucap bundanya Raga.

Setelah Leyza tidak ada lagi di rumahnya, Bundanya Raga dan sang suami kini mulai dibuatnya pusing. Lantaran putranya bersikeras untuk tidak menerima perjodohan dari orang tuanya.

"Jangan khawatir, Pa. Mama yakin, semua akan baik baik saja." Ucap sang istri penuh yakin.

"Ya ya ya, Ma. Ya sudah kalau gitu, ayo kita kembali ke kamar. Aku sudah sangat mengantuk, dan tentunya badanku terasa capek."

"Ya, Pa. Mama juga ingin segera istirahat, seharian cukup pusing memikirkan pernikahan untuk Raga." Ucap sang ibunda, kemudian Beliau dan istrinya segera bergegas masuk ke kamarnya.

Sedangkan ditempat lain, ada Raga yang kini sudah berada di tempat biasa, yakni berada di tempat markas yang sudah dijadikan tempat sarangnya untuk berbisnis.

"Kenapa Bos, tumben kelihatan kucel begitu. Tidak biasa biasanya, lagi patah hati kah? makanya buruan nikah, Bos." Ucapnya setengah meledek, Raga meliriknya tajam.

"Tidak lucu, tau. Aku lagi kesal, sekaligus benar benar sial hari ini."

"Sial? sejak kapan Bos Raga punya sial, tumben ngeluh." Lagi lagi

"Banyak tanya kamu ini, Don. Sudahlah diam saja kau ini, aku ingin istirahat." Ucapnya dengan nada yang cukup keras.

"Silahkan jika Bos Raga mau istirahat, aku pun mau istirahat." Sahutnya dari jarak beberapa meter dari tempat tidurnya.

Raga yang tengah dihantui dengan sebuah pernikahan, sedari tadi dirinya nampak gelisah. Bahkan dirinya suda beberapa kali untuk mengganti posisi tidurnya, tetap saja tidak membuatnya nyaman untuk memejamkan kedua matanya.

Doni yang merasa terganggu tidurnya dari Raga, ia langsung bangkit dari posisi tidurnya.

"Bos, mau tidur atau mau olahraga? perasaan dari tadi bolak balik udah kek ikan asin dipanggang saja kamu ini. Aku nih yang tidak bisa tidur, besok kan, aku harus kerja, Bos."

"Cerewet banget kamu ini, Don. Aku ini lagi galau, ngerti tidak sih kamu ini."

"Galau kenapa lagi sih, Bos? memang Bos Raga ini ada masalah apa? bukankah baik baik saja dengan Nona Kirana? hem."

"Bukan itu masalahnya, Don. Ini lebih gawat dari pada darurat." Kata Raga asal bicara, Doni hanya bengong saat mendengar ucapan dari Bos nya itu.

"Lebih gawat dari pada darurat? telingaku sedang tidak ada gangguan kan, Bos? ada ada saja, Bos ini."

"Doni!" teriak Raga cukup kencang, sedangkan Doni sendiri langsung menutup kedua telinganya yang merasa sangat terganggu ketika harus mendengar teriakan dari Bosnya itu.

"Bos, kondisikan dong volumenya. Bisa meledak nih telingaku, ngeri." Kata Doni sambil menutup kedua telinganya.

"Bodoh amat, emang aku pikirin." Ucap Raga, kemudian ia mengacak rambutnya karena frustasi akibat permintaan dari kedua orang tuanya untuk menikah dengan perempuan yang bukan type nya.

"Ya ya ya, Bos. Cepetan ceritakan keluh kesah mu, Bos. Udah kek emak emak rempong saja aku ini, disuruh dengerin curhatan." Kata Doni, seketika ia langsung nyengir kuda pada akhir ucapannya.

"Banyak omong, kamu ini. Tidak ada yang lucu, aku ada pekerjaan untuk kamu." Ucap Raga, kedua mata Doni berubah berbinar-binar ketika mendengar sebuah pekerjaan.

"Asik, pasti ada imbalannya nih."

"Dasar, mata duitan kamu ini. Giliran pekerjaan aja, langsung ijo mata kamu itu."

"Ya dong, Bos. Lumayan buat tambahan, ya tidak."

"Memang pendapatan yang kita terima setiap pengiriman, kamu masih merasa kurang? ha."

"Tidak sih Bos, cuman beda aja rasanya. Kalau soal pengiriman barang mah, itu biasa aja rasanya. Berbeda kalau harus kerja sampingan, Bos." Kata Doni tidak lupa nyengir kuda.

"Hem, banyak alasan saja kamu ini. Bilang aja kalau kamu itu mata duitan, hem." Tuduh Raga terang-terangan, Doni sendiri tertawa kecil mendengarkannya.

"Salah satunya memang itu, Bos. Mata duitan itu nomor satu, mata keranjang itu nomor sekian."

"Ngaco, kamu ini kalau ngomong."

"Tapi Bener kan, Bos? kalau Bos Raga Mata duitan itu sangat lucu. Yang pantas itu, Bos Raga mata kera ...." Ucap Doni sambil memainkan bola matanya dengan melirik sana dan sini agar dapat mengelak dengan apa yang ia ucapkan barusan.

"Kau mau bilang apa tadi? ha."

"Tidak ada, Bos. Tadi aku salah ucap, serius."

"Ah sudahlah, terserah kamu saja, yang pasti aku akan memerintahkan kamu untuk menyelidiki seseorang." Ucap Raga pada pokok intinya.

"Maksudnya Bos Raga itu, aku diminta untuk menjadi detektif, gitu maksudnya?" tanya Doni untuk memperjelas apa maksud dari Bosnya.

"Ya, kamu akan aku perintahkan untuk menyelidiki seseorang."

"Memangnya siapa yang mau diselidiki, Bos? apakah ada orang yang mencurigakan? atau ... markas kita diketahui oleh musuh kita, Bos? wah! yang benar saja."

"Banyak tanya, kamu ini. Apa yang aku perintahkan sama kamu itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan markas kita. Yang harus kamu selidiki itu seorang perempuan, bukan markas, bodoh sekali kau ini."

Seketika, Doni mengernyitkan keningnya saat mendengar penuturan dari Bosnya sendiri.

"Menyelidiki seseorang perempuan? apa aku tidak salah dengar, Bos?" lagi lagi Doni seperti tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Tidak ada yang salah apapun, mulai besok kamu akan menyelidiki perempuan yang aku tunjukkan padamu." Jawab Raga sambil menatap langit langit di dalam ruangan untuk bersantai.

Bercerita

Doni yang mendengar ucapan dari Raga pun, ia seperti tidak percaya dengan apa yang di perintahnya.

"Memang perempuan yang akan diselidiki itu siapa, Bos?" tanya Doni penuh tanda tanya dalam benak pikirannya.

"Perempuan yang akan dijodohkan oleh kedua orang tuaku, Don. Makanya aku minta sama kamu untuk menyelidikinya, seperti apa kesehariannya dan lain sebagainya." Jawab Raga tetap pada posisinya yang berbantalkan kedua tangannya.

"Serius nih, Bos. Jadi, Bos Raga mau dijodohkan, begitu kah maksudnya?" tanya Doni bagai mimpi di siang bolong.

"Ya, Don. Gara gara aku harus membalas keselamatan orang tuaku saat kecelakaan itu, aku harus menikahi perempuan yang tidak aku kenal. Bahkan parahnya lagi, perempuan itu buruk rupa." Jawab Raga yang akhirnya berterus terang pada Doni, meski malu sekalipun, Raga tidak peduli dengan keluh kesahnya sendiri.

"Buruk rupa? mana ada sih Bos, masa ya Bos Raga mau dijodohin sama perempuan buruk rupa? yang benar saja."

"Ya, tadi aku itu sudah melihat orangnya dengan sangat jelas. Bahkan terlihat jelas jika mukanya itu sangat mengerikan." Kata Raga sambil berekspresi menggerakkan kedua tangannya yang seolah olah dikuasai dengan rasa geram atas permintaan dari kedua orang tuanya sendiri.

"Siapa tahu aja itu orangnya palsu, bisa jadi sih Bos." Ucap Doni mencoba menenangkan hati Bosnya yang terlihat sedang gundah gulana.

"Pokoknya kamu itu harus menyelidikinya, titik. Besok pagi aku akan kirimkan alamatnya, kamu selidiki sedetail mungkin." Kata Raga sambil memberi perintah kepada anak buah sekaligus yang sudah dianggapnya saudara.

Meski menjadi kaki tangannya, Doni tetap diperlakukan baik oleh Raga dan keluarganya. Tidak ada perbedaan diantara keduanya, tetap saja bak kakak beradik.

"Ya ya, Bos. Tapi, kalau kenyataannya memang benar, bagaimana Bos? pikirkan dulu lah Bos."

"Kamu tahu sendiri, 'kan? kalau aku tidak menuruti permintaan kedua orang tuaku? bisa bisa kedua orang tuaku bisa berbuat nekat." Ucap Raga yang kembali teringat ketika kedua orang tuanya memberi ancaman untuk dirinya, bahkan tidak tanggung tanggung ketika sang ayah memberinya sebuah ancaman untuknya.

"Gini nih, jadi orang kaya rupanya tidak enak juga ya." Ucap Doni tanpa sadar ia keceplosan.

Raga yang merasa mendapatkan sindiran dari Doni, ia langsung menoleh ke samping.

"Apa maksudnya, Don?"

"Lah itu, Bos Raga anak orang kaya tapi tidak bisa berkuasa."

"Hem, sialan kamu ini. Aku bukannya tidak bisa berkuasa, kedua orang tuaku kalau memberi ancaman itu tidak tanggung-tanggung." Ucap Raga, sedangkan Doni hanya tertawa kecil.

"Ya juga sih, ya sudah ikutin saja rencana kedua orang tuamu, Bos." Kata Doni asal.

"Bukannya bantu aku nyari solusinya kek, ini palah ikutan jadi kompor."

"Terus, aku harus memberi solusi yang seperti apa, Bos? orang Bos Raga sendiri tidak bisa menolak, ya 'kan? hem."

"Ah sudahlah, aku mau tidur. Kalau sudah pagi jangan lupa bangunin aku, ok." Ucap Raga sembari memberi pesan untuk Doni.

"Ya, Bos." Jawab Doni dengan singkat, kemudian ia langsung ikutan beristirahat di sebelah Raga. Karena rasa kantuk sudah menguasai dan sulit untuk dikendalikan, Doni dan Raga akhirnya terlelap dari tidurnya.

Pagi yang cerah, di kediaman keluarga Dirwagana tidak terlihat adanya Raga di dalam rumah.

"Permisi, Tuan dan Nyonya. Tuan Muda Raga tidak ada di dalam kamarnya, Tuan." Ucap salah seorang pelayan rumah.

"Apa! Raga tidak ada di rumah?" sang ayah pun terkejut saat tidak mendapati putranya di rumah. Begitu juga dengan sang ibu dan juga Lindan.

"Benar, Tuan. Saya sudah mengeceknya di dalam kamarnya, tidak ada seorang pun di dalam kamar Tuan Muda."

"Baiklah, lanjutkan lagi pekerjaan mu." Ucap Beliau, kemudian Beliau mencoba untuk mengeceknya lagi. Berharap putranya sedang terbalut selimut, pikir Beliau.

Datang ke rumah

Disaat itu juga, langkah kaki yang terdengar sangat jelas telah mengagetkan sang pemilik rumah.

"Dari mana saja, kamu? ha! jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu, Raga."

"Semalam Raga itu ketiduran di rumah Doni, Pa."

"Banyak alasan saja, kamu ini. Awas saja, kalau Papa mengetahui kamu bermain perempuan di luaran sana, jangan harap kamu akan sukses."

"Ya ya ya, Pa." Jawab Raga dengan penuh geram.

"Raga, cepetan kamu mandi dan segera ikut sarapan pagi. Hari ini juga kamu akan dipertemukan dengan calon istri kamu." Ucap sang Ibunda ikut menimpali, Raga hanya mengernyitkan keningnya.

"Serius, Ma?" tanya Raga bagai mimpi disiang bolong.

"Ya, serius. Cepetan kamu mandi, tidak pakai lama." Jawab sang Ibu dan meminta kepada putranya untuk segera bersiap siap.

"Ya ya ya, Ma." Kata Raga sambil berjalan menuju anak tangga.

"Lihatlah putramu, selalu bikin geram." Ucap Beliau menunjuk pada istrinya.

"Sudahlah, nanti Raga juga bakal berubah. Lebih baik kita lanjutkan sarapan paginya, Papa harus banyak bersabar untuk menghadapi Raga." Kata sang istri berusaha untuk memenangkan pikiran suaminya.

Sambil menunggu Raga selesai mandi dan bersiap siap, alih alih menikmati sarapan pagi dengan santai tanpa harus buru-buru.

Tidak lama kemudian, Raga sudah terlihat rapi saat menuruni anak tangga. Saat berada di ruang makan, suasana kembali hening. Tidak ada satupun yang berucap, semua sibuk dengan porsi sarapan paginya masing-masing hingga selesai.

"Lindan, Papa tugaskan sama kamu untuk bekerja dengan baik. Ingat, jaga reputasi kamu di Kantor. Jaga pandangan kamu itu, jangan sampai tergoda dengan perempuan yang tidak jelas." Ucap sang ayah memberi pesan kepada putra keduanya, sedangkan Raga yang sedikit tersindir, dirinya hanya bisa diam.

"Ya, Pa. Tenang saja, Lindan akan selalu ingat pesan dari Papa dan Mama." Jawab Lindan dengan santai, tidak lupa juga untuk melirik ke arah sang kakak.

"Dan kamu Raga, ayo kita siap siap untuk berangkat. Hari ini Mama akan mencarikan baju pengantin yang cocok untuk kamu dan calon istri kamu." Ucap sang ibu pada putra pertamanya, Raga membulatkan kedua bola matanya seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Pa, Ma, Lindan berangkat duluan ya." Ucap Lindan berpamitan. "Kak Raga, semoga berhasil." Kata Lindan pada sang kakak.

"Tidak lucu, sudah sana kamu pergi." Usir Raga pada sang adik, Lindan sendiri tersenyum dan segera bergegas untuk pergi ke Kantor.

Kini tinggal Raga dan kedua orang tuanya yang masih di ruang makan, rasa malas kini sudah menguasai Raga untuk menerima ajakan orang tuanya.

"Raga, ayo kita berangkat." Ajak sang ibu, lagi lagi Raga menunjukkan rasa tidak sukanya atas ajakan sang Ibunda.

"Sudahlah, jangan banyak alasan. Ayo kita berangkat, kita sudah tidak ada waktu lagi untuk berdebat." Ucap sang ayah langsung menimpali dah bergegas bangkit dari posisi duduknya.

Begitu juga dengan Raga, dirinya hanya bisa mengikuti apa yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya.

Dalam perjalanan, Raga hanya diam sambil bersandar pada jendela kaca mobilnya. Tidak memakan waktu yang cukup lama untuk menempuh perjalanan ke rumah yang akan di tuju, kini Raga bersama kedua orang tuanya telah sampai di halaman rumah yang terlihat sederhana.

"Raga, ayo kita turun." Ajak sang Ibu untuk meminta kepada putranya agar segera turun dari mobil.

"Raga nunggunya di mobil saja lah, Ma." Jawab Raga dengan malas.

"Tidak ada alasan apapun, ayo kita turun." Ucap sang ayah ikut menimpali.

Raga yang tidak mempunyai pilihan lain, mau tidak mau ia mengikuti perintah dari kedua orang tuanya.

"Ya ya ya, Ma, Pa." Jawab Raga dengan malas.

Sambil berjalan, Raga mengamati di sekeliling halaman rumah yang terlihat sederhana itu.

"Permisi ..." ucap kedua orang tua Raga di depan pintu rumah yang terbuka.

"Ya, tunggu sebentar." Sahutnya dari dalam rumah, setengah terburu buru segera menemui siapa orangnya yang datang.

"Tuan Hamas dan Nyonya Yuna, mari silahkan masuk." Ucap pemilik rumah sambil mempersilahkan tamu untuk segera masuk ke dalam rumah, serta untuk mempersilakan untuk duduk. Dengan malas, Raga hanya bisa mengikutinya dari belakang.

"Silahkan duduk, Tuan dan Nyonya, Tuan Muda. Maaf, saya tinggal sebentar untuk memanggil keponakan saya." Ucapnya lagi, kedua orang tua Raga menganggukkan kepalanya.

Karena tidak ingin menunggu lama, dengan cepat segera memanggil seorang gadis yang sudah disepakati sejauh jauh hari dengan Tuan Hamas dan istri Beliau.

Sedangkan Raga dengan santainya duduk disebelah sang ibu, pandangannya mengamati isi ruang tamu. 'Rupanya ini rumah milik gadis cacat itu? rajin juga.' Batin Raga setelah mengamati isi rumah yang ia datangi.

"Maaf, Tuan. Ini Ley, gadis sederhana milik saya. Meski saya bukan orang tua kandungnya, saya sudah menganggapnya lebih dari sekedar anak kandung." Ucapnya dan mengajak Ley untuk duduk, dengan malu malu Ley segera duduk di hadapan kedua orang tua Raga dan pastinya tepat dihadapan Raga.

"Raga, perkenalkan nama kamu, Nak." Perintah dari ibunya, Raga akhirya menurutinya.

"Namaku Raga," ucap Raga sambil mengulurkan tangan kanannya sambil menyebutkan namanya.

"Leyza, salam kenal." Jawab Ley, kemudian keduanya segera melepaskan tangannya masing masing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!