NovelToon NovelToon

Papa Untuk Kirana

Bab 1 Cinta Lama

Aku menonton televisi yang menyiarkan acara sepak bola meski sebenarnya bukan pertandingan tim favoritku. Mataku setengah mengantuk, tapi malas beranjak dari sofa yang empuk ini.

Di samping tempat duduk, tergeletak piring dan gelas kotor bekas makan malamku tadi. Aku memang tidak begitu rajin dalam berbenah rumah. Tapi percayalah adikku, Rama, jauh lebih berantakan.

Ngomong-ngomong di mana adik konyol itu? Dia belum pulang ke apartemen. Padahal sudah hampir tengah malam.

Aku melirik ke jendela yang sejak tadi bersuara berisik karena tiupan angin malam yang kencang. Sepertinya akan turun hujan. Aku mencari-cari ponselku yang akhirnya aku temukan di bawah badanku sendiri.

Kubuka ponsel, ternyata setengah jam yang lalu Rama mengirim pesan kalau dia tidak akan pulang ke apartemenku. Dia akan menginap di rumah temannya yang bernama Doni karena dia sudah terlalu lelah dan khawatir kehujanan jika pulang ke apartemen. Dia berjanji akan pulang besok pagi.

Ya, aku dan adikku tinggal di apartemen yang tidak jauh dari tempatku bekerja. Aku bekerja sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan manufaktur yang cukup ternama.

Dari gajiku sebagai manajer, aku dapat membiayai kuliah adikku dan membeli sepetak sawah di desa agar orang tuaku bisa bertani di lahannya sendiri. Aku pernah meminta orang tuaku untuk pindah tinggal bersamaku. Akan tetapi mereka lebih betah di desa.

Di mata orang, hidupku hampir sempurna. Hanya tinggal mencari pasangan dan lalu menikah. Tapi aku masih menempatkan rencana menikah di prioritas hidup nomor seribu satu.

Beberapa bulan sekali, ibuku datang ke apartemen untuk melihat keadaan kedua putranya sekaligus menceramahiku agar cepat menikah. Ibu bercerita tanpa henti tentang gadis-gadis lajang yang dikenalnya.

“Kamu masih ingat Dara, teman masa kecilmu dulu. Dia sekarang sudah sukses menjadi dosen. Apa kamu masih memiliki kontaknya? Coba kamu hubungi dia. Sekedar menyapa begitu," oceh ibuku sambil merajut.

Dia selalu membawa alat rakitannya kemanapun pergi, “Oh ya, ibu kemarin bertemu teman ibu. Dia punya anak perempuan yang belum menikah. Sudah cantik, sopan, lemah lembut lagi. Kalau kamu mau, ibu akan mencoba mengenalkannya padamu.”

 Rama selalu meledekku pria abnormal. Aku tidak peduli akan gurauan Rama atau tentang cerita ibu. Aku selalu pura-pura tidak dengar. Sesungguhnya aku sangat menikmati masa lajangku ini.

Hawa dingin mulai memasuki ruangan. Aku menarik selimut dan meringkuk di bawahnya. Di saat itulah ponselku berdering. Ada sebuah panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal. Aku mengabaikannya.

Membiarkan ponselku berdering sesuka hati. Nanti juga akan berhenti sendiri. Aku memang sering mengabaikan panggilan jika dari nomor asing. Tapi ponselku terus berdering hingga membuat telingaku sakit.  Sepertinya si penelepon benar-benar ingin bicara denganku.

Aku penasaran siapa yang ingin bicara denganku larut malam begini. Jadi aku angkat telepon itu.

“Halo, Balin," ucap sebuah suara di seberang.

Mataku yang tadinya sudah lima watt, seolah mendapatkan pasokan listrik yang besar ketika mendengar suara itu.

Seketika aku kenal siapa yang ada di seberang telepon. Tak mungkin salah lagi. Suara itu. Suara dari seorang perempuan yang pernah mengisi relung hatiku.

Apakah ini mimpi? Ini pasti mimpi. Aku tertidur di sofa depan televisi dan bermimpi ditelepon Karina.

“Halo, Balin. Kamu ada di sana?” kata Karina sekali lagi membuatku tersentak.

Aku berdeham, “Ya, Karina. Tumben kamu meneleponku. Ada apa?”

“Bisa tidak kamu menemuiku di Taman Merpati sekarang juga.”

Taman Merpati jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalku. Untuk apa Karina memintaku menemuinya di sana?

Tunggu dulu! Aku mendengar dari telingaku yang tajam isakan kecil dan suara Karina yang parau. Apakah Karina menangis?

“Kumohon, Balin. Aku sedang sangat membutuhkan pertolongan," ucap Karina memelas.

“Iya. Iya, kamu tunggu sebentar, aku akan segera ke sana.”

“Cepatlah, Balin! Aku tunggu.”

Aku menutup telepon. Huft. Ternyata aku masih Balin yang dulu. Tidak bisa menolak jika Karina yang meminta bantuan.

Lima tahun ternyata belum cukup untuk menghapus Karina dari dalam hatiku. Kuambil jaket tebal dari dalam lemari dan kunci mobil yang berada di laci nakas. Hujan gerimis turun ketika mobilku baru saja keluar dari apartemen.

Ada apa dengan Karina? Dari suaranya di telepon, jelas Karina sedang menangis. Tapi kenapa dia menangis? Kenapa dia tidak meminta bantuan saja ke suaminya?

Ah ya, suami. Aku baru ingat Karina punya suami. Di mana suaminya Karina? Kalau aku menemui Karina tengah malam begini, apakah nanti tidak akan menimbulkan fitnah?

Aku takut suami Karina salah paham terhadapku. Atau mungkin Karina sedang ada masalah dengan suaminya. Kalau iya, kenapa Karina meminta bantuanku? Kenapa aku? Kenapa bukan ayah Karina?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berulang di dalam benakku selama aku menyetir mobil ke Taman Merpati. Sesaat aku ragu, tapi ada keyakinan yang besar dalam diriku bahwa Karina sedang tidak baik-baik saja.

Suara decitan dari mobilku ketika berhenti di Taman Merpati membuat kaget sesosok perempuan yang tengah duduk lemas di bangku taman. Aku turun dari mobil dan mendekatinya.

Karina memakai baju tidur model kimono yang dibalut jaket hitam. Tertunduk lemas sambil memegangi perutnya yang besar. Dia segera mengusap kedua pipi saat aku telah berada di depannya.

Aku memandang sekeliling. Tak ada seorang pun kecuali kami berdua.

“Karina, ada apa? Apa yang terjadi?”

Karina masih saja terisak. Dia mencoba mengatur napas agar bisa bicara. Aku ikut merasakan kegelisahan yang dialaminya. Aku bersimpuh di depan Karina sambil menggenggam kedua tangannya yang dingin.

Persetan dengan Karina yang telah bersuami. Abaikan apa itu move on.

“Balin, bawa aku pergi dari sini. Aku sudah tidak tahan lagi," Karina menangis histeris.

Aku duduk di sampingnya, memeluknya dan mengusap lembut lengannya agar dia sedikit lebih tenang. Andai suami Karina datang saat itu juga, akan semakin runyam masalahnya. Tapi aku tidak peduli.

Jika laki-laki itu pantas disebut sebagai seorang suami, dia tak akan mungkin membiarkan istrinya menangis sendirian di taman malam-malam begini.

“Tenang, Karina! Tenang! Cerita padaku ada apa? Kenapa kamu berada di sini sendirian? Mana suamimu?”

“Balin, sebenarnya aku...” wajah Karina mengernyit seperti telah menelan pil pahit. “Aku kabur dari suamiku.”

“Apa? Bagaimana bisa? Kenapa?”

“Dia laki-laki yang jahat.”

“Jahat bagaimana maksudmu, Karina?”

 Karina tak menjawab. Dia malah merintih kesakitan. Kedua tangan Karina langsung meraba perutnya. Dia menggigit bibir bawah. Tanda dia menahan rasa sakit.

“Karina, kamu baik-baik saja?” pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutmu begitu saja.

“Nanti akan aku ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang perut aku terasa sakit. Aauuw.”

“Perut?” mataku tertuju pada perut Karina yang besar. “Maksudmu kandunganmu...”

Karina mengangguk dan mengaduh sekali lagi. Napasnya naik turun. Wajah pucat Karina terlihat jelas di kegelapan malam. Aku gelagapan panik bercampur bingung.

Menikah saja belum, apalagi punya pengalaman menangani ibu hamil yang kesakitan. Aku menoleh kiri kanan. Tak ada orang lewat untuk dapat dimintai bantuan.

“Apa yang bisa aku lakukan, Karina? Apa perlu kita ke rumah sakit?”

“Tolong bawa aku. Sepertinya aku mau melahirkan, Balin," rintih Karina.

“Apa?”

Aku semakin panik dan bergemetar hebat saat kulihat di bawah baju tidur Karina mengalir darah. Bermuara di kaki Karina dan menetes ke atas rerumputan.

 

Bab 2 Kelahiran dan Kematian

Satu tetesan air hujan menimpa puncak kepalaku. Di susul dengan tetesan lain. Gemuruh di langit menjadi pertanda akan turun hujan lebat dan dingin angin malam yang menusuk tulang membuat siapa pun tak betah berada di luar rumah.

Aku segera memapah Karina masuk ke dalam mobil. Membantu memasangkan sabuk pengaman untuk Karina. Lalu melakukan mobil untuk mencari rumah sakit atau klinik terdekat.

Di dalam mobil, Karina terus menerus mengaduh kesakitan. Beberapa kali aku mengalihkan pandangan ke wajah kurus Karina. Peluh telah membasahi keningnya. Meluncur hingga ke leher.

Aku tidak tega melihat Karina kesakitan seperti ini. Namun, aku juga tidak tahu harus melakukan apa untuk meminimalisir rasa sakitnya. Aku memang payah dalam segala hal yang berurusan dengan perempuan.

“Kalau tidak bisa ke rumah sakit, kita pergi saja ke bidan. Aku sudah tidak tahan, Balin. Rasanya aku ingin melahirkan di sini.”

Karina menjerit. Sebuah jeritan yang membuat jantungku ingin lepas dari tempatnya.

“Kamu tahan sebentar, Karina.”

“Ah itu," jari Karina menunjuk sebuah rumah di sisi jalan. Di depan rumah itu terpampang plang bertuliskan nama seorang Bidan.

Bidan Indah. Aku membaca sekilas.

“Kita berhenti di sini saja.”

“Kamu yakin, Karina? Apa kita tidak ke rumah sakit saja. ”

“Tidak, Balin. Di sini saja yang dekat.”

Aku menuruti perintah Karina untuk menuntunnya turun dari mobil. Kubunyikan bel rumah sang Bidan.

Tidak ada sahutan.

Lampu di dalam rumah sang Bidan masih gelap. Aku menekan bel sekali lagi dengan tidak sabar.

Lalu dalam beberapa menit seorang wanita seusia ibuku membukakan pintu. Matanya yang memakai kacamata kotak langsung tertuju pada Karina. Sebelum aku mengucapkan kata-kata, Bidan Indah langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Beliau langsung mempersilahkan kami masuk ke dalam ruang yang biasa digunakan untuk bersalin.

Bidan Indah segera mempersiapkan segala keperluan melahirkan dengan sangat cekatan dan tenang. Mungkin karena sudah terbiasa membantu proses melahirkan, beliau bisa setenang itu.

Sedangkan aku tidak. Cemas, panik, dan takut berpadu dalam detakan jantungku. Bidan Indah menyelimuti Karina, lalu memeriksa kandungan Karina.

“Karina, aku akan tunggu di luar saja.”

“Jangan, Balin. Aku mohon jangan pergi. Tunggu di sini. Tolong temani aku.”

Aku gelagapan. Leherku terasa tercekik sesuatu. “Tapi.. Tapi.. A.. Aku..”

“Sudahlah, Pak. Bapak di sini saja menemani istri Bapak melahirkan. Keberadaan Bapak bisa membuat istri Bapak lebih tenang.” Sahut bidan Indah.

Ingin rasanya aku berteriak kepada sang Bidan bahwa aku bukan suami Karina. Aku belum pernah berada di situasi menegangkan seperti ini. Tidak hanya menegangkan tapi juga canggung. Aku mengambil napas dalam untuk menyingkirkan perasaan yang berkecamuk.

“Air ketubannya sudah pecah. Bapak membawa baju bayi dan keperluan lainnya kan?”

Sial. Tidak mungkin mengatakan kalau aku hanya teman Karina yang membantunya kabur dari rumah suami. Aku harus mengatakan apa?

Di saat panik seperti sekarang ini, otakku sulit mencari alibi yang bagus. Aku memejamkan mata mencari ide.

“Hmm, anu. Kebetulan tadi tas yang berisi baju bayi ketinggalan di rumah. Saya sempat ingin putar balik, tapi rumah kami lumayan jauh," kataku asal bicara sambil berharap bidan Indah percaya.

“Oh kalau begitu, bisa pakai baju bayi milik cucu saya saja. Sebentar saya ambilkan dulu.”

Huft. Syukurlah Bidan Indah percaya dengan bualanku. Bidan Indah pergi meninggalkan ruangan dengan terburu-buru.

“Balin," suara lirih Karina memanggilku, dia menjulurkan tangan, dan aku segera meraihnya, menggenggam tangan yang telah sedingin es.

“Kamu tenang ya, Karina. Aku ada di sampingmu.”

Aku berinisiatif mengambil tisu untuk mengelap kening dan leher Karina yang sudah banjir keringat. Bidan Indah kembali dengan membawa setumpuk kain, lalu menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda tadi.

Kemudian mulai memberikan interuksi kepada Karina untuk mengejan. Beliau juga dengan sabar mengajari Karina mengambil napas yang baik saat melahirkan.

Selama berada di ruang bersalin, aku melihat pemandangan yang membuat hatiku ngilu. Baru kali ini aku melihat langsung proses persalinan. Karina banyak sekali mengeluarkan darah dan selalu mengatakan kesakitan.

Terbayang olehku bagaimana susahnya Ibu ketika melahirkanku dan adikku. Pasti tidak jauh seperti ini keadaannya dan pasti seperti ini paniknya ayahku.

Entah berapa menit aku berada di ruang bersalin, yang jelas bayi Karina belum lahir juga. Memangnya berapa lama bayi bisa keluar dari perut ibunya? Aku pun tak tahu.

Aku terus menyemangati Karina. Hingga Bidan Indah berteriak bahwa kepala bayi sudah terlihat jelas dan meminta Karina mengejan sekali lagi dengan kuat. Namun, Karina menggeleng lemah. Matanya setengah menutup.

“Aku sudah tidak kuat lagi," ucap Karina lirih.

“Tapi kepala bayinya sudah kelihatan, Bu. Ayo, Bu. Tarik napas yang dalam. Hembuskan lewat mulut.”

Karina tetap menggeleng. Mata kelelahan itu menatapku. Aku mengelus kepala Karina, menggenggam kuat tangan Karina. Berharap aku bisa memberikan energiku kepada Karina.

Aku membungkuk di dekat telinga Karina dan berbisik, “Ayo, Karina. Kamu pasti bisa. Sebentar lagi. Sebentar lagi kamu akan bisa berjumpa dengan anakmu. Aku yakin kamu mampu melewati ini. Kamu mau melihat anakmu, kan?”

“Tidak, Balin. Aku lemas sekali.”

“Aku ada di sini, di sampingmu. Ayo, Karina. Berjuang sekali lagi. Demi anakmu.”

Karina mengejan sekaligus menjerit yang membuatku merinding. Detik berikutnya terdengar suara tangisan bayi yang sangat kencang. Aku lega dan tertawa bahagia bayi Karina telah lahir.

Apakah perasaan yang dialami ayahku ketika aku lahir juga sama persis seperti ini? Apakah setiap ayah begini rasanya melihat anaknya lahir? Aku merasa seakan bayi kecil penuh darah yang sekarang berada di tangan Bidan Indah adalah anakku sendiri.

Tak bisa aku sembunyikan perasaan bahagia bercampur haru. Aku mengusap ujung mataku yang basah. Kulihat Karina mengangkat kepala dan tersenyum.

“Selamat, Ibu, Bapak, bayinya perempuan. Cantik seperti ibunya," Bidan Indah memperlihatkan wajah si bayi kepada Karina sebentar, lalu membawanya ke ruangan lain untuk di bersihkan.

“Karina, selamat atas kelahiran putrimu. Aku turut bahagia.”

“Terima kasih, Balin. Ini semua juga berkat kamu. Kalau tidak ada kamu, aku mungkin melahirkan di jalanan.”

“Akan kamu namai dia siapa? Oh ya, aku telepon ayahmu ya? Aku kabari kalau cucunya sudah lahir.”

Karina menahan lenganku. Memelas agar aku tidak pergi, “Jangan!”

Aku menatap serius Karina. Ada sesuatu yang aneh padanya. Napasnya berat, sorot mata yang lemas dan bibir yang gemetar, “Ada apa, Karina?”

“Aku mempunyai suatu permintaan. Maukah kamu melakukannya untukku, Balin," ucap Karina dengan nada yang lemah. Lebih bisa dikatakan bisikan.

“Ya, Karina. Katakanlah!”

“Aku ingin kamu yang merawat anakku, jangan pernah pertemukan dia dengan ayahnya. Cukup kamu saja yang menjadi ayah dari bayi itu. Aku titip dia padamu.”

“Perlu kamu tahu, Karina. Aku mencintaimu sejak kita masih kuliah. Perasaanku padamu lebih dari seorang sahabat. Apapun yang kamu minta akan aku penuhi. Aku akan merawat anakmu dan jika memang kamu tidak bahagia dengan rumah tanggamu, aku akan membawamu pergi.”

Karina tersenyum. Dia seperti orang mengantuk. Namun, dia berusaha untuk tetap membuka mata. Napas beratnya semakin terdengar jelas.

“Benarkah itu, Balin. Kau sungguh mencintaiku?”

Tangan Karina yang ada di genggamanku mendadak melemah. Karina seperti orang yang tertidur.

Tidak. Tidak. Jangan.

Aku baru saja menyaksikan adegan melahirkan yang membuat hatiku ngilu. Namun itu bukan apa-apa. Puncak dari yang paling menyesakkan dada adalah mata Karina tak terbuka lagi. Aku berkali-kali memanggil nama Karina. Mengguncangkan badannya. Mengharapkan dia bangun dan ini hanyalah sebuah gurauan.

Aku mengecek nadi Karina yang sudah tak berdenyut lagi. Kini tubuh Karina telah kaku, dingin dan pucat.

Menundukkan kepala, menangis. Aku tak mampu berdiri dengan kedua kakiku. Sebuah kenyataan yang amat pahit. Perempuan yang aku kagumi sejak dulu, menghembuskan napas terakhirnya tepat di depan mata kepalaku sendiri.

Bab 3 Berhenti Bekerja

“Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?” Tanya CEO perusahaan tempatku bekerja.

Pak Bambang.

Itulah nama yang biasa digunakan semua karyawan untuk memanggil CEO kami.

Pria gemuk yang rambutnya setengah botak itu mengetuk-ketukan pena ke meja dan satu tangan lagi memegangi surat pengunduran diriku. Di samping bos besar, duduk pula sang HRD yang menatapku secara intens.

Sekarang kami bertiga berada di ruangan Pak Bambang. Lantai tertinggi di gedung perusahaan. Dari ruangan Pak Bambang, aku dapat melihat pemandangan kota dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.

 Awan putih yang menggantung di langit tengah menaungi aktivitas warga kota. Jika melirik ke bawah, terlihat deretan kendaraan yang mengular di jalanan.

“Ya, Pak. Niat saya untuk berhenti bekerja dari perusahaan ini sudah bulat.”

“Tapi kenapa mendadak begini? Saya terkejut sekali menerima surat pengunduran diri ini.”

Pak Bambang melambaikan surat pengunduran diriku, lalu menjatuhkannya ke meja. Melirik sekilas ke arah HRD.

Aku telah memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku karena aku harus mengurus Kirana kecilku.

Ya, anak Karina aku namai dia dengan nama yang hampir mirip nama ibunya. Jam kerjaku yang berangkat pagi pulang petang, tidak memungkinkan untuk dapat mengurus Kirana.

 Jikalau aku memperkerjakan seorang pengasuh, aku tidak yakin Kirana akan diurus dengan baik.

Lagi pun, aku harus menyembunyikan identitas Kirana dari orang lain.

“Sudah tiga hari kamu absen dari pekerjaan. Lalu tiba-tiba kamu datang ke kantor hanya untuk memberikan surat ini. Ada apa, Balin? Apa ada masalah pribadi?” Pak Bambang mengeram.

“Tidak, Pak.”

“Lalu?” Gumam Pak Bambang berdiri dari kursinya yang besar.

Dia mengitari meja, berjalan menuju ke arah jendela. Memandang ke luar. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Raut wajahnya mencerminkan beliau sedang berpikir.

Pasti tengah menerka-nerka alasan aku berhenti bekerja.

Aku merasa sedang disidang di pengadilan. Aku ingin segera pulang. Teringat terus pada Kirana di rumah. Aku titipkan dia pada Rama untuk sementara waktu.

Kirana sedang apa ya? menangis tidak ya? Apakah Rama mengurusnya dengan baik.

Aku menghela napas jenuh.

“Balin Mahendra,” Pak Bambang tiba-tiba menyebut namaku.

Membuatku tersentak dari lamunanku pada Kirana. Memecah keheningan yang tercipta.

“Aku akui kamu ini salah satu karyawan terbaikku. Sangat berat bagiku untuk melepasmu begitu saja dari perusahaan ini. Selama ini gaji dan tunjanganmu aku rasa sudah sebanding dengan pekerjaanmu.”

Aku mengangguk, “Tapi alasan saya resign, karena saya ingin membuka bisnis, Pak. Itu sudah jadi cita-cita saya sejak dulu.”

“Sejak dulu?” Pak Bambang tersenyum.

Sepertinya beliau tahu aku berbohong. Namun aku tidak berbohong. Aku memang akan membuka usaha restoran. Aku hanya menyembunyikan fakta bahwa sekarang aku memiliki anak adopsi.

Pak Bambang berjalan perlahan mendekatiku. “Kalau itu impianmu sejak dulu, kenapa kamu membuat surat pengunduran diri secara mendadak?”

Glek. Aku menelan salivaku. Aku harus menjawab apa.

“Maaf, Pak Bambang, saya tidak bisa menceritakan secara detail. Tapi alasan utama saya berhenti bekerja memang karena saya ingin membuka usaha.”

Pak Bambang tertawa, “Bukankah bisa kamu tetap bekerja sambil kamu merintis usaha. Sudahlah, Balin. Membuka usaha hanya alibimu saja kan? Atau ada yang membuatmu tidak nyaman bekerja di sini?”

Aku menggeleng. “Tidak, Pak. Saya sangat senang bekerja di perusahaan ini.”

“Tidak ada memaksamu keluar?”

“Tidak,” Jawabku tegas.

“Oh, aku tahu. Kamu pasti begini karena ingin tawar menawar denganku. Baik. Kamu ingin naik gaji? Berapa?”

“Tidak, Pak.”

“Kalau begitu naik jabatan?”

Aku menggeleng kuat, “Tidak, Pak. Sama sekali tidak.”

“Menjadi direktur keuangan di perusahaan ini?” Pak Bambang menaikkan alis dua kali.

Sesaat aku ragu. Namun, bayangan Kirana kecilku sekali lagi melintas di benak. “Saya tetap pada keputusan awal saya, Pak.”

Pak Bambang mengela napas lesu. Berkacak pinggang. Melirik HRD yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, lalu mengangguk.

“Baiklah, tapi kamu tahu peraturan perusahaan kan, Balin. Pemberitahuan pengunduran diri seharusnya tiga puluh hari sebelum kamu resmi keluar.”

Ah ya, aku lupa soal yang satu itu.

Tapi apa boleh buat. Kirana sekarang adalah tanggung jawabku. Jika terjadi sesuatu pada Kirana, aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri.

“Saya siap menerima konsekuensinya, Pak.”

“Baiklah kalau itu kemauanmu. Sungguh disayangkan. Padahal kamu ini salah satu karyawan terbaikku. Kamu bisa memiliki jenjang karier yang jelas kalau tetap bekerja padaku.” Pak Bambang menepuk-nepuk pundakku. Aku tersenyum sekaligus terharu.

Sang bos besar alias CEO mengapresiasi kinerjaku selama ini. “Saya berterima kasih atas kontribusimu di perusahaan ini. Sukses selalu di luar sana dan jika kamu ingin kembali bekerja, hubungi saya saja.”

Yang aku tangkap dari ucapan Pak Bambang, beliau mengira aku akan bekerja di perusahaan kompetitor.

Setelah berbasa-basi dengan Pak Bambang, aku keluar dari ruangan direktur utama dan langsung menjadi sorotan semua karyawan.

Ada yang berbisik-bisik pelan dengan temannya. Ada yang mengalihkan pandangan dari layar komputer untuk melirikku sekilas. Ada pula yang terang-terang menyapa dan menanyakan rumor tentang aku yang berhenti bekerja.

Ah itu sudah bukan rumor lagi.

Aku berjalan ke mejaku untuk mengemasi barang-barang pribadiku. Memasukkan ke dalam kardus. Sesaat aku merasa seperti bukan diriku.

Aku merasa tidak profesional. Aku yang selalu memprioritaskan pekerjaan, kini terkalahkan oleh Kirana. Hanya Kirana satu-satunya alasanku.

Semua barang pribadiku sudah terkepak rapi di dalam kardus. Aku mengangkat kardus, dan berjalan keluar sambil memberikan salam perpisahan untuk rekan-rekan kerjaku.

 Termasuk OB yang sering membuatkan kopi untukku sekaligus teman seperantuan, Joko.

Begitu terkejutnya dia ketika aku berpamitan hingga tidak sengaja dia menjatuhkan nampan yang sedang dia bawa.

Joko menangis, “Aku bisa kerja di sini itu berkat kamu. Kenapa kamu malah keluar?”

Aku menenangkan Joko. Lalu pergi ke mobilku. Kutaruh kardus di bagasi. Ketika hendak masuk ke mobil, aku menatap sejenak tempatku bekerja.

Banyak sekali kenangan di tempat ini. Joko masih berdiri di depan pintu, melambaikan tangan sambil terisak.

 

***

 

Di waktu yang sama, di sebuah ruang kerja.

Seorang pria memakai jubah tidur berbahan satin, tengah menikmati waktu santainya di kursi sandaran tinggi. Dia menghisap rokok, dan kemudian menghembuskan asapnya yang mengepul di udara.

Sebuah kalung dengan bandul berbentuk huruf H tergantung di leher pria itu.

Kemudian, seorang pelayan mengetuk pintu, dengan langkah penuh kehati-hatian, dia memasuki ruangan.

Berhenti di tengah ruangan.

“Tuan, polisi sudah berhasil menemukan mobil milik Indra Irawan,” lapor sangat pelayan.

“Yakinkan pada mereka kalau penyakitku bertambah parah dan kalau perlu buat berita palsu yang menjatuhkan nama baik keluarga Irawan.”

“Baik, Tuan. Akan tetapi...”

“Apa?” suara sang tuan meninggi.

“Di dalam mobil, tidak ditemukan jasad Karina. Hanya Indra Irawan saja.”

Sang tuan menggebrak meja yang sontak membuat pelayan terperanjat.

“Kerahkan anak buah kalian untuk mencari jejak perempuan jal**ng itu! Aku tidak akan percaya Karina meninggal jika aku belum melihat jasadnya.”

Pelayan menganggukkan kepala dengan badan gemetaran. Lalu meminta izin untuk keluar ruangan.

Sang tuan menekan putung rokok ke dalam asbak. Tangannya beralih mengambil ponsel yang ada di atas meja, mencari-cari kontak telepon yang sudah lama sekali tidak dihubunginya.

“Mungkin ini saatnya, aku menghubungi teman lamaku.”

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!