NovelToon NovelToon

Hardcore Gamer

Prolog

Endra Wijaya.

Seorang NEET akut yang mendedikasikan seluruh hidupnya dalam permainan digital.

Tapi Ia tak selalu seperti itu. Dulu, hidupnya masih sama seperti sebagian besar anak mudah seusianya.

Berangkat bersekolah di pagi hari. Memperoleh uang saku dari orangtuanya. Dan pada akhir dari kegiatan sekolahnya, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain bersama dengan kawan-kawannya.

"Kakak bermain game lagi?" Tanya seorang gadis kecil yang masih berada di kelas 3 SMP itu. Ia tak lain adalah adik dari Endra itu sendiri.

"Lily, kau tahu kakakmu ini banyak pikiran bukan? Game itu salah satu cara untuk mengurangi beban pikiran itu." Balas Endra kepada adiknya yang bernama Lily itu.

"Hah, bisakah kakak hidup normal dan cari seorang pacar?" Tanya Lily.

Endra yang masih meletakkan sepatunya di atas rak itu merasa sedikit tertusuk.

"Kakakmu ini tak begitu populer. Takkan mudah bagiku mencari pacar."

"Padahal kupikir kakak cukup tampan."

"Hah? Apa yang barusan kau bilang?" Tanya Endra kembali sambil melepas earphone yang sedari tadi menempel di telinga kirinya.

"Tak ada. Cepatlah makan, atau ibu akan marah."

"Ya ya...."

Endra segera mandi terlebih dahulu. Setelah tubuhnya bersih, Ia pun mengambil makanan yang ada di dapur.

Menu makan hari ini sebenarnya cukup luarbiasa bagi kebanyakan orang. Akan tetapi....

"Sapi panggang lagi? Apakah tak ada menu makanan yang lebih baik dari ini?" Keluh Endra ringan sambil mengambil beberapa potong daging panggang itu dan beberapa sendok nasi.

Ia memakannya sambil menonton televisi yang cukup besar di kamarnya sendiri. Dengan pencahayaan yang cukup gelap dan lampu kebiruan redup yang indah, Ia menikmati sebuah acara mengenai game favoritnya.

"Serangan dadakan dari Voes! Langsung menggunakan skill 3 nya dan membunuh musuh dengan cepat! Oh! Bala bantuan dari QQR datang! Apakah dia akan selamat dari pengroyokan ini?!"

Suara pembawa acara itu terdengar begitu meriah. Memeriahkan suasana sepi di dalam kamar besar milik Endra ini.

Di atas ranjangnya yang besar dan empuk itu, Endra terlihat mengunyah makanannya dengan malas sambil terus berkomentar.

"Bodoh, jika kau menyimpan skill 3mu, kau akan selamat dari serangan kejutan itu. Nah, benar kan. Tentu saja kau akan mati. Itu yang dinamakan overkill, dasar bodoh." Komentar Endra sambil tertawa ringan.

Ia sendiri juga memainkan game Moba yang cukup populer itu. Tapi sayangnya, Ia tak memiliki tim yang cukup kuat untuk mencapai kejuaraan tingkat tinggi.

Meskipun Ia bisa bermain dengan sangat baik sekalipun, permainan ini membutuhkan kerjasama dari 6 orang pemain.

Dengan kata lain, jika 5 pemain lainnya buruk, maka Ia akan tetap kalah. Tak peduli seberapa hebatnya dirinya.

Di saat Endra masih sibuk dengan dirinya sendiri di dalam kamarnya, Seseorang nampak mengetuk pintunya.

'Dok! Dok!'

"Endra, kau sudah makan?" Tanya seorang wanita dengan suara yang begitu lembut.

"Sudah, Bu. Ada apa?" Tanya Endra.

"Besok kita akan pergi ke rumah pamanmu. Pastikan kau ikut ya?" Balas Ibunya dari balik pintu yang masih tertutup itu.

"Hah? Aku sudah punya rencana lain."

"Kau boleh bermain game lagi nanti setelah dari rumah pamanmu. Mengerti? Sekali-sekali, temuilah anggota keluargamu yang lain." Balas Ibunya sambil segera melangkah pergi.

"Ya, akan ku usahakan...." Balas Endra dengan malas.

Ia kemudian kembali fokus pada acara di layar televisinya itu. Kini menonton sebuah permainan FPS atau First Person Shooter. Sebuah permainan tembak-tembakan antara dua buah tim.

Endra nampak cukup menikmati acara itu. Lagipula, Ia juga memainkannya. Tapi sama seperti sebelumnya....

"Hah, timku selalu diisi oleh orang tak berguna. Apakah tak ada permainan yang lebih mendukung solo player?" Keluh Endra sambil mengganti channel lainnya.

Pada saat itulah, Ia melihat sebuah permainan MMO RPG. Sebuah permainan fantasi di dunia pedang dan sihir dengan puluhan ribu pemain di dalam server yang sama.

"Hmm.... Ini bahkan jauh lebih buruk. Dalam permainan seperti ini, Guild adalah segalanya." Ujar Endra.

Tak berselang lama, acara itu benar-benar membahas mengenai Guild terkuat yang menguasai dunia permainan itu. Dimana setiap pemain berusaha untuk bergabung dalam Guild tersebut demi keamanan bermain dan kejayaan.

"Benar kan? Dasar permainan sampah."

Kali ini, Endra mematikan televisinya untuk mengembalikan piringnya ke dapur. Bersiap untuk tidur. Mengisi sebanyak mungkin tenaga untuk keesokan harinya.

......***......

"Semuanya sudah siap?" Tanya Ayah Endra, Wijaya Putra.

"Sudah." Balas Lily singkat.

"Bersantailah kalian berdua, perjalanan ini akan cukup panjang." Balas Ibunya, Liliana Febriani.

"Aku memang berencana untuk bersantai." Balas Endra dengan sikap yang dingin.

Kedua tangannya telah terpaku pada ponselnya. Ia telah Log In dalam sebuah permainan FPS yang semalam dilihatnya itu.

Di kursi sebelahnya, adiknya nampak melihat kakaknya dengan tatapan yang sinis.

"Kakak, bisakah kau berhenti dengan game sejenak? Sekali-sekali luangkan waktumu untuk keluarga." Keluh Lily Septiani itu.

"Memangnya kenapa? Ibu sudah bilang untuk bersantai. Dan ini adalah definisi santai bagiku." Balas Endra sambil tersenyum tipis.

"Sudahlah, Lily. Lagipula, kakakmu selalu memperoleh peringkat 1 di sekolahnya. Jadi biarkan dia bersantai seperti yang diinginkannya." Sahut ibunya.

Mendengar hal itu, Lily hanya bisa semakin cemberut.

"Karena itulah aku memintanya berhenti bermain game." Keluh Lily dengan suara yang cukup lirih.

Jika saja Endra dapat berhenti dari gamenya, mungkin Ia tak hanya menjadi siswa dengan nilai tertinggi di sekolahnya. Tapi juga menjadi siswa yang paling populer.

Tapi sayangnya, Endra terjatuh terlalu dalam ke arah dunia permainan yang tak berguna itu bagi adiknya.

Perjalanan pun berlalu dengan banyak canda dan tawa dari Ibu dan Ayahnya serta adiknya. Sedangkan Endra sendiri hanya fokus pada permainannya.

Akan tetapi....

Tak ada satu orang pun yang menduganya.

Tepat di saat mobil mereka sedang berhenti di depan sebuah lampu merah, sebuah truk yang membawa bahan bakar minyak itu melaju dengan kencang seakan tak ada niatan untuk berhenti.

Endra yang sesekali melirik ke arah depan menyadari datangnya truk itu dari belakang.

"Ayah! Awas ada...."

Sesaat sebelum Endra berhasil menyampaikan seluruh perkataannya, Truk itu telah menabrak setidaknya tiga buah mobil di belakangnya.

Meski begitu, Truk itu tak juga berhenti. Dan kini, menabrak mobil yang dikendarai oleh keluarga Endra dan juga mobil yang ada di hadapannya.

Begitu pula dengan 8 buah motor yang telah tergilas habis di bawah roda besar truk itu.

Seakan belum cukup, truk itu menumpahkan bahan bakar minyak yang ada di dalamnya. Dan dalam sekejap....

Apa yang ada di balik pandangan buram dari Endra yang saat ini dipenuhi dengan darah, berupah menjadi warna jingga yang begitu terang.

Api yang besar pun melahap seluruh kendaraan yang ada di lampu merah itu.

Sebuah kecelakaan terbesar dan terburuk yang terjadi di Kota Semarang pada tahun itu.

Dan dari semuanya, sekitar 21 orang meninggal di tempat. 6 orang lainnya meninggal setelah tiba di rumah sakit. Serta 17 orang yang mengalami luka parah.

Termasuk keluarga Endra. Dimana dari seluruhnya, hanya dirinya dan adiknya yang selamat dalam kondisi yang sangat kritis.

Chapter 1 - Terbangun, 1 tahun kemudian

"Hah!" Teriak Endra yang dengan segera terbangun dari komanya. Apa yang dipikirkannya saat ini hanya ada satu.

"Bagaimana dengan yang lainnya?"

Dua orang perawat dan seorang dokter segera datang memasuki ruangan itu setelah menyadari Endra telah terbangun. Dimana hal itu ditunjukkan melalui notifikasi dari kamera pengawas di ruangannya.

"Endra, tenangkan dirimu. Jangan terlalu banyak bergerak terlebih dahulu."

"Itu benar. Tubuhmu masih lemah setelah semua yang terjadi."

Kedua perawat itu berusaha untuk menenangkan Endra. Sedangkan Endra sendiri tak mau untuk bersikap tenang.

"Katakan! Dimana ayah dan ibuku?! Lalu adikku?!" Teriak Endra.

Sang dokter yang telah selesai memperhatikan tanda vital dari tubuh Endra di beberapa layar itu memutuskan bahwa Endra sudah dalam kondisi yang cukup baik.

Dan mungkin, sudah siap untuk langsung menerima kenyataan serta menjalani rehabilitasi.

"Suster, tolong tinggalkan kami berdua." Ucap dokter pria yang masih terlihat muda itu.

"Baik dok."

Dengan balasan itu, kini hanya tersisa Endra dan juga sang dokter di ruangan itu. Setelah beberapa saat berusaha untuk sedikit menenangkan Endra, Ia pun bertanya.

"Kau sudah berumur 17 tahun saat ini, jadi aku akan membiarkanmu memutuskannya sendiri. Apakah kau mau mendengar kebenaran, atau tidak?" Tanya sang dokter.

Endra yang sedari dulu memang dianggap sebagai salah seorang dengan pikiran yang cukup cemerlang, dengan cepat menyadarinya.

Tidak....

Ia justru mengutuk pikirannya yang selalu tajam dan kritis di banyak situasi itu.

"Hahaha...." Balas Endra sambil tertawa ringan.

Dokter itu pun sedikit terkejut dengan respon Endra yang terlihat tenang itu. Hingga akhirnya, Endra melanjutkan perkataannya.

"Jadi mereka sudah mati ya?" Tanya Endra kembali.

Ia tahu, bahwa pertanyaan sang Dokter hanya bermakna satu hal. Apakah kau siap menerima kenyataan keluargamu sudah tiada, atau tidak.

Tak ada gunanya menanyakan pertanyaan seperti itu jika keluarganya memang baik-baik saja.

Meski begitu....

Air mata mulai mengalir di wajah Endra.

Ia tak lagi bisa menahan emosinya yang saat ini meluap, meskipun sudah mengetahui kebenarannya.

Satu-satunya penyesalannya adalah dimana dirinya justru tak meluangkan waktu terakhirnya bersama keluarganya saat itu. Dan justru memilih untuk memainkan sebuah game.

'Sialan.... Apa yang ku lakukan saat itu?!' Teriak Endra dalam hatinya.

Sang dokter yang melihat bocah itu menangis hanya bisa mengelus kepalanya. Berusaha untuk sedikit meringankan bebannya.

"Aku takkan bilang bahwa aku memahami perasaanmu, karena aku belum pernah mengalaminya." Ucap sang dokter itu.

Tapi Endra hanya terus menangis. Menyesali semua perbuatannya selama ini.

Jika saja waktu bisa diputar kembali....

Ia ingin kembali melihat wajah ibunya yang begitu baik kepadanya itu.

Ia juga ingin kembali melihat wajah ayahnya yang selalu terlihat kelelahan karena pekerjaannya itu.

Dan terlebih lagi....

Ia ingin sekali lagi untuk melihat adiknya.

Akan tetapi....

"Maafkan aku, Endra. Aku turut berduka atas kehilangan kedua orangtuamu. Meski begitu, ada satu kabar yang entah bisa membahagiakanmu atau tidak." Ucap dokter itu.

"Apa itu?" Tanya Endra yang masih terus menangis. Matanya mulai memerah dengan wajah yang tak lagi karuan.

Tubuhnya yang memiliki banyak bekas luka sayatan karena besi dan juga luka bakar yang mulai sembuh itu terlihat begitu mengerikan.

Setelah menjeda selama beberapa saat, sang dokter pun kembali berbicara.

"Adikmu selamat. Menurut beberapa laporan dari tim penyelamat, kau memeluk adikmu dengan erat. Melindunginya dari sebagian besar luka yang ada. Hanya saja...."

Endra menelan ludahnya. Mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan terburuk. Meski begitu, senyuman yang tipis mulai terlihat di wajahnya mengetahui bahwa setidaknya.... Adiknya masih selamat.

"Dia masih berada dalam koma. Kami tak tahu kapan Ia bangun. Dan nampaknya, benturan keras di bagian kepalanya sedikit banyak memperburuk kondisinya saat ini."

Kini, bukan lagi tangisan ataupun rengekan. Melainkan sebuah kata yang sangat sederhana, yang bagi sebagian orang sangat sulit untuk diucapkan.

"Terimakasih.... Terimakasih.... Adikku masih selamat...." Ucap Endra sambil terus mengalirkan air matanya dan tersenyum lebar itu.

Dokter yang melihatnya merasa tak tega kepadanya.

Bukan karena apa, tapi masih ada satu lagi masalah besar yang akan dihadapi bocah itu.

Haruskah Ia menyampaikannya? Ia bimbang untuk melakukannya. Tapi ini adalah sebuah kenyataan yang cepat atau lambat harus dihadapi oleh Endra.

Oleh karena itu....

"Endra, ada satu lagi kabar buruk untukmu." Ucap Dokter itu.

"Apa?"

Endra tak lagi bisa memikirkan kabar buruk lainnya. Kedua orangtuanya sudah tiada. Adiknya berada dalam koma dan mengalami luka serius di bagian kepalanya.

Memangnya, apalagi yang bisa lebih buruk dari itu?

Ketidakmampuan Endra memikirkannya meskipun memiliki otak yang cukup cerdas, adalah sebuah bukti bahwa dirinya selama ini selalu hidup dalam kenyamanan.

Dimana Ia tak perlu memikirkan banyak hal yang begitu menyulitkan.

Salah satunya adalah uang.

Karena kedua orangtuanya cukup kaya, terutama karena pekerjaan Ayahnya, Endra tak begitu memiliki masalah ekonomi.

Bahkan bisa dibilang selalu tercukupi semua kebutuhannya.

Tapi pada kenyataannya, inilah dunia nyata.

Ia harus menerima kenyataan itu, sepahit apapun itu.

"Saat ini, pamanmu berusaha sekuat tenaga untuk membayar semua kebutuhan rumah sakit kalian berdua. Bahkan sampai menjual semua kepemilikan orangtuamu.

Baik itu rumah, maupun segala isinya. Semua itu dibutuhkan untuk melakukan beberapa operasi kritis pada beberapa tulangmu dan adikmu yang patah, serta operasi otak adikmu pada saat itu. Dan mungkin...."

Endra pun akhirnya dihadapkan pada kenyataan.

Ia hanya bisa terbelalak. Air matanya terhenti seketika. Begitu pula dengan matanya yang berhenti berkedip.

Satu-satunya kalimat yang muncul dari mulutnya adalah....

"Yang benar saja?"

Sebuah hutang yang bahkan mencapai angka ratusan juta lebih.

Tak hanya itu, satu-satunya keluarganya yang tersisa yaitu pamannya mengatakan bahwa Ia tak lagi bisa menanggung biaya itu. Bahkan mereka sendiri sampai harus menjual dua mobil mereka dan sebagian tanah mereka.

Dengan kata lain....

Endra mungkin takkan memiliki tempat tinggal lagi. Kecuali jika Ia masih berani merepotkan pamannya yang nampaknya telah cukup membenci keluarganya karena telah banyak sekali merepotkan mereka.

Pada saat itulah, sang dokter mengulurkan lengannya.

"Setelah rehabilitasi, aku bisa menyewakanmu sebuah kamar kos yang kecil. Meskipun tak banyak, aku juga akan membantu sebisaku. Lagipula, kau adalah salah satu pasien pertamaku yang menderita sebanyak ini.

Sudah sepantasnya bagiku untuk terus membantu pasienku bukan?" Jelas dokter itu sambil tersenyum.

Endra yang tak lagi memiliki tempat untuk bersandar, pada akhirnya menerima tawaran bantuan itu dari sang dokter.

"Jadi kedepannya, bekerja lah sebaik mungkin untuk dirimu sendiri dan adikmu. Mengerti? Berjanji lah padaku." Ucap dokter itu.

"Aku mengerti...." Balas Endra.

Sesaat sebelum dokter itu pergi, Endra berteriak untuk memanggilnya sekali lagi.

"Tunggu! Aku belum tahu siapa namamu!"

Sang dokter hanya berbalik arah sambil menunjukkan kartu namanya yang menggantung di lehernya.

"Andi. Kau bisa memanggilku Andi." Ucap dokter itu sambil tersenyum.

Dengan begitu lah, awal kehidupan baru bagi Endra pun dimulai sejak hari itu.

Chapter 2 - Bertahan Hidup

Endra melakukan rehabilitasi untuk mengembalikan otot dan gerakannya seperti semula. Begitu juga dengan kedua tulang di kakinya yang sebelumnya patah serta tangan kirinya itu.

Berkat bantuan dari dokter Andi, rehabilitasinya berjalan dengan cukup lancar. Hingga akhirnya, setelah 2 Minggu menjalani rehabilitasi, Endra pun diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit.

Tapi sebelum itu....

'Kreeek....'

Endra membuka sebuah pintu di salah satu ruang rumah sakit itu. Di dalamnya hanya terdapat satu ranjang dan juga satu pasien.

Sebuah nama terpampang dengan jelas di sisi ranjangnya. Lily Septiani.

Endra terlihat mengambil sebuah kursi dan duduk di samping ranjang itu. Memperhatikan kondisi adiknya yang hanya bisa terbaring. Kehilangan kesadarannya hingga saat ini.

Dengan tangan kanannya, Endra membelai lembut rambut hitam panjang adiknya itu. Sesekali membersihkan wajahnya dari debu sekecil apapun.

"Dokter Andi bilang, kau menderita luka yang cukup fatal di bagian otak belakang serta sedikit tulang belakangmu. Meskipun bisa bangun dari koma, kau mungkin akan lumpuh." Ucap Endra sambil terus membelai rambut adiknya itu.

Setiap kali Ia melihatnya, Endra tak mampu menahan air matanya untuk mengalir. Sosok adiknya yang selalu mengganggunya itu terus terlintas di kepalanya.

Mengingatkan seberapa dekat mereka sebenarnya.

"Hahaha.... Bukankah itu tak masuk akal? Bahkan aku masih harus menanggung hutang 600 juta lebih...." Ucap Endra sambil tertawa sekaligus menangis.

Tapi tak ada orang lain yang akan mengganggunya di sini. Tak ada gunanya untuk menyembunyikan emosinya.

Setelah beberapa puluh menit terus mencurahkan isi hatinya kepada adiknya yang sedang dalam koma itu, Endra pun bangkit dari duduknya.

Mendekatkan wajahnya ke arah kening Lily secara perlahan dan menciumnya.

"Tunggu kakak payahmu ini untuk membereskan semuanya. Menurut dokter Andi, tak mustahil untuk memulihkan dirimu dengan teknologi saat ini. Tapi biayanya kau pasti tahu sendiri...."

Itu benar.

Saat ini adalah tahun 2070.

Ketika dunia sedang berlomba-lomba dalam terus mengembangkan teknologi yang maju. Begitu pula dalam hal kesehatan.

Menyembuhkan orang yang sepenuhnya lumpuh bukan lagi masalah bisa atau tidak, melainkan permasalahan memiliki uang atau tidak.

Oleh karena itu....

"Sampai jumpa lagi, Lily. Kakak harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan medismu." Ucap Endra sambil segera pergi meninggalkan ruangan itu.

Tanpa adanya satu pun balasan.

Hanya kesunyian yang mengembalikan perkataannya dalam gema.

......***......

...- Tahun 2070, Bulan Juli -...

"Selamat datang di Doinmart, selamat belanja...." Ucap Endra dengan nada yang sama seperti biasanya.

Untuk mengumpulkan uang, saat ini Ia bekerja di sebuah minimarket di siang hari, dan bekerja sebagai pelayan restoran di malam hari.

Ketrampilannya yang luarbiasa untuk beradaptasi membuatnya mudah untuk membaur. Membuat hasil kerjanya selalu diapresiasi.

Akan tetapi....

"Terimakasih, datang kembali." Ucap Endra ketika baru saja menyelesaikan transaksi dengan pelanggannya.

"Hey, kau lihat lengan orang itu?"

"Kau benar, menjijikkan bukan? Hahaha."

Apa yang dimaksud kedua gadis SMA itu adalah bekas luka bakar di kedua lengan bagian atas Endra.

Meskipun dokter Andi mengatakan bahwa lukanya akan memudar seiring waktu, tapi bekas luka bakar itu masih terlihat cukup jelas dengan pola dan warna yang jauh lebih gelap daripada kulit aslinya.

Endra hanya mengabaikan komentar itu karena sudah merupakan makanan sehari-hari baginya. Itulah mengapa saat Ia bekerja sebagai pelayan, Ia diminta untuk mengenakan baju lengan panjang dan sarung tangan untuk menutupi bekas lukanya.

Tentu tak banyak orang yang akan masih memiliki nafsu makan di restoran setelah melihat hal itu.

Kemudian tiap akhir bulannya....

"Hanya segini? Nak, kau tahu apa yang kau bayarkan jauh lebih rendah daripada bunganya kan?" Ucap seorang pegawai bank dengan kacamata itu.

"Tapi aku hanya memiliki sebanyak ini...." Balas Endra sambil terus menundukkan kepalanya.

"Hah, itu sebenarnya bukan urusanku. Tapi jika ini terus berlanjut, sekitar 5 tahun lagi hutangmu bisa menjadi 2 milyar atau lebih. Bagaimana dengan keluargamu?"

Berbeda dari pegawai yang biasanya, Ia baru saja menangani Endra kali ini.

Dan jawabannya cukup singkat.

"Sudah mati. Hanya tersisa adikku di rumah sakit. Kalau begitu permisi."

Endra dengan cepat kemudian berdiri dari tempat duduknya sambil mengambil slip bukti pembayaran sebesar 1.5 juta itu.

Meninggalkan Bank ini dengan perasaan kesal yang sama seperti biasanya.

"Bodoh, apa yang kau katakan? Anak itu adalah salah satu penyintas dari kecelakaan itu kau tahu?" Ucap pegawai bank yang lain sambil menatap pria berkacamata itu dengan tajam.

"Eh?! Benarkah? Tunggu! Maafkan aku! Aku tidak bermaksud.... Ah, dia sudah pergi."

Sebelum teriakannya tersampaikan, Endra telah lama meninggalkan Bank itu.

'Sialan.... Tak bisa terus seperti ini, apa yang sebaiknya ku lakukan?!' Keluh Endra dalam hatinya.

Ia sejujurnya ingin memperoleh pekerjaan yang lebih baik.

Tapi mengingat Ia bahkan berhenti bersekolah di SMA demi pekerjaannya, Ia seharusnya sudah cukup bersyukur karena bisa memperoleh pekerjaan hanya dengan ijazah SMP.

Akan tetapi, tetap saja pendapatannya sangatlah kurang. Ia perlu melakukan sesuatu yang baru.

Pada saat Ia sedang berjalan di kota Semarang yang begitu padat itu, beberapa iklan nampak di tampilkan di sebuah gedung besar.

...[Memperingati Anniversary pertama VRMMORPG pertama di dunia ini!]...

...[Relife akan memberikan diskon besar untuk setiap pembelian kapsul dan juga penyewaan di kantor resmi!]...

...[Daftar dan hasilkan uang sekarang!]...

'Cih, VRMMORPG sampah itu? Aku yakin saat ini dunia itu sudah dikuasai oleh para pemain dan guild terkuat.' Pikir Endra dalam hatinya.

Pikirannya kemudian kembali berputar. Hal terbaik yang dikuasainya adalah untuk bermain game.

Tapi saat ini, Ia bahkan tak memiliki peralatan yang cukup untuk melakukannya.

Peluangnya sendiri cukup besar. Dengan menaikkan rank akun seseorang, membantu mereka memenangkan pertandingan, mengikuti turnamen, atau bahkan hanya melakukan vlogging mengenai permainannya.

Endra bisa melakukannya. Dan uang yang diperolehnya juga pasti akan lebih baik daripada pekerjaannya saat ini.

Atau setidaknya....

Membantunya memperoleh sedikit lebih banyak uang. Dan karena itulah, Endra telah memutuskannya pada saat itu.

Ia akan berhenti membayar dalam jumlah yang besar ke Bank. Cukup jumlah minimum agar Ia tak diburu. Sedangkan sisanya adalah untuk ditabung demi membeli peralatan yang dibutuhkannya.

Untuk kembali melakukan apa yang disukai dan juga dikuasainya.

Yaitu menjadi seorang gamer akut yang hanya mengandalkan dirinya sendiri.

"Ah, sial. Aku terlambat untuk shift siang ini." Ujar Endra sambil segera berlari setelah melihat angka jam di televisi iklan besar itu.

Sebuah televisi yang sedari tadi terus menerus memamerkan mengenai dunia permainan VRMMORPG yang begitu luas dan juga indah.

Dengan berbagai kemungkinan di dalamnya.

Tapi sayangnya, Endra tahu. Entah dapat memprediksi masa depan atau karena memahami pola dari sebuah game MMORPG yang sudah berusia lebih dari 1 tahun.

Sebuah fakta dimana dunia permainan itu, kedepannya akan dikuasai oleh beberapa pemain dan guild terkuat saja.

Dan sebuah fakta....

Bahwa dunia itu akan diakhiri oleh satu orang pemain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!