NovelToon NovelToon

Throne Of Vampland

Chapter 1 : I Don't Believe in Vampires

"Berita terkini, sekelompok makhluk diduga vampir menyebar ke segala penjuru kota. Dilaporkan terdapat puluhan korban meningkat setiap harinya. Pemerintah sudah mengantisipasi rakyat untuk tidak keluar rumah di malam hari terutama di atas pukul sembilan malam selagi bencana ini terus berlanjut ...."

Tv mati seketika.

Zielle meregangkan otot-otot yang kaku karena sejak tadi duduk bersama remot yang terus ditekan berkali-kali.

Semua siaran berisi tentang Vampir membuatnya malas. Mengapa mereka percaya makhluk mitos seperti itu?

Jika Vampir benar-benar ada, maka menurut ilmuan yang pernah meneliti tentang Vampir, seluruh manusia di bumi akan berubah menjadi vampir dalam kurun beberapa tahun. 

Sampai sekarang manusia masih berdiri kokoh menguasai bumi. Itulah yang dipikirkan Zielle sejak setahun lalu di mana rumor mengenai Vampir mulai meledak. Kini rumor itu berubah menjadi berita utama di tv.

Zielle bukan pecinta fantasi. Dia hanya suka sesuatu yang logis dan dapat dijelaskan secara ilmiah. Itu sebabnya dia menyangkal segala keberadaan hal-hal berbau mistis.

"Zielle, kamu belum berangkat sekolah?" Suara Vega terdengar nyaring dari dapur. Zielle sudah terbiasa akan hal ini seakan menjadi hobi: mendengarkan teriakan ibunya tiap pagi.

Gadis itu langsung beranjak dari sofa menuju kamar di lantai dua. Kamarnya terdapat di paling pojok dan termasuk tempat yang paling sunyi.

Zielle suka kesunyian dibanding kericuhan jadi dia membuat kamarnya begitu kedap suara dengan berbagai peredam suara di dinding seperti studio. Itu dilakukan karena di luar sana terlalu berisik akan kendaraan berlalu lalang.

Membenahi diri dan mengenakan seragam sekolah seperti biasa: seragam putih dengan rok merah kotak-kotak sebatas lutut beserta blazer merah yang pas dengan tubuh rampingnya. Jangan lupa kaus kaki selutut dan sepatu putih.

Setelah selesai bersiap-siap, Zielle turun ke bawah, lebih tepatnya ruang makan. Melihat roti sandwich dan susu yang sudah disiapkan, dia langsung duduk dan memakannya cepat-cepat.

"Makanlah perlahan, nanti tersedak." Vega mengingatkan.

"Aku sedikit terburu-buru," kata Zielle sambil mengunyah kemudian menenggak susu agar dapat menelan semua sandwich di mulut dengan cepat. "Hari ini ada ujian matematika, aku harus mempelajarinya kembali."

"Masih ada satu jam tersisa, kau begitu terburu-buru." Jack—Ayah Zielle—yang masih melihat surat kabar mengomentari.

Zielle tersenyum kecut. Memang ini pertama kali ia berangkat terburu-buru hanya karena masalah ujian matematika. Ada alasan lain mengapa Zielle terburu-buru selain nilai matematika yang pas-pasan. Semacam 'gangguan pendengaran' di saat ramai(?)

"Dah, Ayah, Ibu!" Zielle melambaikan tangan sambil menenteng tas ke luar rumah.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sampai di sekolah dan mempelajari ulang pelajaran yang akan diuji, kelas matematika sudah ramai akan murid-murid sejak beberapa menit yang lalu. Ada yang bercengkrama, baca buku, tidur, bermain, dan lain-lain. Zielle? Dia termasuk golongan pembaca buku. Bisa dibilang, ia adalah nerd cantik yang membosankan.

Seumur hidup, Zielle tidak mengenal yang namanya berteman. Dia tidak pandai bergaul seperti membuka percakapan, berkenalan, dan lainnya. Intinya dia hanyalah seorang gadis pendiam yang duduk di kursi pojok kelas.

Seperti saat ini.

ɢᴜʀᴜ ᴅᴀᴛᴀɴɢ

Zielle tersentak kaget mendengar suara itu. Terdengar seperti bisikan, namun tidak bernada atau pun berperasaan, bahkan tidak tahu bergender apa suara itu. Ia menghela napas seraya mengusap wajah. Ini kesekian kalinya dia mengalami hal serupa. Tiba-tiba mendengar bisikan tiap kali berada di kerumunan. Bisikan itu juga merupakan realitas yang belum terjadi seperti saat ini.

Tepat setelah bisikan datang, seorang guru datang membawa beberapa buku di tangan. Bisikan tadi benar, guru akan datang. Tetapi tidak mengatakan akan datang seorang pria tampan yang tampak pucat di sebelahnya.

Beberapa murid perempuan terkagum-kagum melihat wajah itu, terkecuali Zielle seakan sudah bosan melihat pria tampan. Tidak tahu kenapa, Zielle merasa tidak memiliki selera seperti gadis lain.

"Di sebelah saya ada murid baru. Perkenalkan dirimu." Mr. Cullen mempersilahkannya memperkenalkan diri.

"Antonio Hawking, dipanggil Antonio." Dia memperkenalkan diri dengan dingin. Walau dingin, sukses membuat para perempuan di sini terkesima dengan suara serak serta paras tampan.

"Baiklah Hawking, duduklah di kursi yang tersedia." Mr. Cullen menunjuk ke arah kursi kosong di sebelah Zielle. Memang, hanya kursi itu yang kosong. Lagipula siapa yang mau duduk di sebelah gadis yang selalu diam dan membosankan?

Sepanjang Antonio melangkah, Zielle merasakan telinganya berisik akan hal lain yang tidak jelas sehingga ingin menulikan telinganya sendiri. Bisikan tidak jelas dan ramai seperti pasar itu terus berlanjut hingga akhirnya Antonio sampai di kursi sebelah.

Zielle berusaha menenangkan diri. Menutup mata dan menetralkan emosi yang campur aduk karena bisikan tidak jelas yang memenuhi telinga. Zielle tidak mengerti mengapa ia mendadak menderita gangguan pendengaran sejak dua bulan lalu.

ᴠᴀᴍᴘɪʀ

Kali ini bisikan itu terasa jelas, namun Zielle dibuat nyaris tertawa dengan suara tersebut. Sepertinya bukan mengenai realitas saja, melainkan hal aneh berbau supranatural yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Baiklah anak-anak, kita akan adakan ujian hari ini sesuai yang dijadwalkan. Untuk Hawking, kamu ingin ikut sekarang atau menyusul?"

"Sekarang," singkat Antonio.

Mr. Cullen tetap berwajah datar. "Kalau begitu, berusahalah yang terbaik."

Kelas berlanjut kian tegang dan sunyi. Semua mengerjakan soal dari Mr. Cullen yang kesulitannya sudah seperti ujian masuk perguruan tinggi.

Setelah beberapa lama ketegangan dilalui, akhirnya kelas selesai dan semua murid bisa bernapas lega. Penderitaan mereka berakhir dengan suara bel pergantian pelajaran.

Zielle mengambil tas kemudian pergi dari kelas tanpa banyak bicara. Baru saja keluar dari kelas, dia dihadapkan dengan pria pucat barusan. Mereka memang tidak sempat berkenalan sebelumnya, bahkan tidak sempat saling sapa.

"Kau Zielle?"

"Ya?" Dia tahu namanya? Zielle pikir dirinya tidak dipedulikan dan dianggap bayangan termasuk oleh teman semejanya.

"Aku dengar dari murid lain yang membicarakanmu."

"Ada sesuatu?" Zielle tidak banyak basa-basi. Waktunya hanya 15 menit sebelum kelas selanjutnya dimulai.

"Hanya saja, kita tidak sempat berkenalan tadi. Kelasnya terlalu sibuk."

Gadis itu hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Keadaan mulai canggung hingga akhirnya suara bisikan terdengar lagi.

ᴠᴀᴍᴘɪʀ.

Zielle mengambil earpods kemudian menyumpalnya ke telinga. Ini lebih baik, walau tampak tidak sopan jika bicara menggunakan earpods. Sayangnya ia tidak memiliki pilihan lain.

"Rambutmu bagus," katanya.

Zielle melirik ke arah rambut dan melihat ujungnya memiliki beberapa helai warna perak yang merupakan warna rambut aslinya. Zielle menghela napas kasar, kemudian tersenyum kecut sebelum berkata, "Justru terlihat aneh, terima kasih sudah mengingatkan. Aku pergi dahulu."

Zielle pergi sambil merutuki cat rambut yang luntur di saat yang tidak tepat. Selalu saja begini, belum lagi bisikan tidak jelas yang mengganggunya membuat emosinya tidak stabil meski sudah mengenakan earpods.

Sekolah dilalui dengan baik. Zielle menutup rambut perak dengan cara digulung agar bagian peraknya tertutupi. Cokelat gelap dan perak sama sekali tidak cocok disandingkan, itu sebabnya tampak aneh sehingga terlihat seperti uban.

Sekolah dilalui begitu cepat. Tak terasa hari sudah siang—meski sedikit mendung—kala sekolah selesai. Zielle baru saja sampai di gerbang sekolah dan akan pulang berjalan kaki, lagi-lagi suara aneh terdengar.

ᴅɪᴀ ᴅᴀᴛᴀɴɢ

"Kau pulang sendiri?"

Sontak Zielle menoleh ke belakang melihat Antonio tiba-tiba di belakangnya. Itu berhasil membuat jantungnya ingin melompat karena terkejut. Padahal bisikan itu sudah memberitahu.

"Aku mengejutkanmu?"

Zielle mengangguk jujur sambil mengusap dada pelan-pelan.

"Kebetulan aku membawa mobil sendiri, ingin pulang bersama?"

Dia menawarkan layanan antar-**jempu**t?Zielle tertegun tidak percaya dengan ucapannya. Bagaimana bisa ada yang menawarkannya begitu saja? Apa dia harus menerima?

ᴊᴀɴɢᴀɴ ɪᴋᴜᴛ

ᴅɪᴀ ᴠᴀᴍᴘɪʀ

Zielle mulai menggeram dalam hati, kesal dengan bisikan-bisikan provokasi itu. Dia tetap pada pendiriannya dan tidak percaya bahwa Antonio bukan Manusia alias Vampir atau semacamnya.

Mengabaikan bisikan, Zielle menjawab Antonio dengan anggukan karena tidak tahu harus bicara apa lagi. Sejujurnya Zielle senang karena tidak perlu kepanasan di dalam bus.

Sampailah di depan mobil hitam yang tampak mulus dan mengkilap. Mobilnya jauh berbeda dari milik Jack yang hanya sekadar mobil sedan lama. Jelas sekali pria tampan ini adalah orang kaya.

Sudah tidak ada siapa pun di sekitar parkiran apalagi wilayah parkirnya tergolong sepi. Antonio memarkir mobilnya terlalu jauh, mungkin di bagian depan sudah penuh. Zielle tidak pernah jalan melewati parkiran belakang selama ini.

"Masuklah," katanya ketika membuka pintu mobil bagian setir untuk dirinya sendiri.

Zielle mengangguk pelan. Baru saja ingin meraih pintu mobil, suara telepon mengganggu momen sehingga dia harus mundur untuk melihat ponsel. Sebuah nomor tidak dikenal terpapar di layar entah siapa dan dari mana orang ini mendapatkannya.

ᴀɴɢᴋᴀᴛ ᴛᴇʟᴇᴘᴏɴ

"Tidak keberatan sedikit menunggu?" Zielle menatap Antonio di seberang yang hanya mengangguk sebagai jawaban.

Zielle sedikit menjauh dari mobil, membelakanginya untuk mengangkat telepon. Tidak tahu siapa yang menelpon padahal selama ini tidak pernah memberi nomornya pada siapa pun selain keluarganya.

"Hallo?"

"Eugenie?" Suara itu terdengar berat seperti pria sehingga pendengarnya mengerutkan kening kala marganya disebut.

"Ya?"

"Besok malam pukul 9, kami akan menemuimu." Suara berat itu lagi-lagi membuat Zielle bingung.

"Siapa kau?"

"Kau akan tahu kebenarannya."

Sambungan dimatikan begitu saja secara sepihak. Zielle merasa banyak sekali orang aneh di dunia ini. Siapa yang ingin menemuinya malam-malam sedangkan warga sudah tidak boleh keluar malam karena rumor 'Vampir' yang beredar. Paling tidak hanya orang iseng saja.

ᴊᴀɴɢᴀɴ ᴍᴇɴᴏʟᴇʜ

Zielle tertegun sekali lagi. Mengapa kali ini bisikan itu seolah memperingati? Ada apa di belakang, membuat Zielle penasaran.

ᴅɪᴀ ᴀᴋᴀɴ ᴍᴇɴɢɢɪɢɪᴛᴍᴜ!

...------------------------------------...

...Hai semuanya!...

...Terima kasih yang sudah menyempatkan diri ke ceritaku 🤠...

...Jangan lupa tekan like dan semangati aku untuk terus menulis cerita....

...Kalau ada pertanyaan mengenai apa pun itu, silahkan di tulis di komentar. Aku akan meluangkan waktu menjawab baik di balasan komentar mau pun di bab selanjutnya....

...Sampai jumpa di bab selanjutnya!...

Chapter 2 : Shocking Accident

Tepat sekali di belakangnya, pemilik sepasang mata merah mengeluarkan pasang gigi menimbul panjang dan runcing. Wajahnya pucat hingga urat-urat hitam yang muncul dari leher ke wajah. Terlihat seperti monster, sayangnya Zielle tidak menyadari sama sekali.

Makin berisik suara aneh mengganggunya, Zielle memutuskan menenangkan diri daripada dicap gila oleh pria di dekatnya. Zielle tetap tidak percaya pada bisikan yang dia pikir pendengarannya sudah kacau.

Seketika, Zielle merasakan punggungnya mendingin sekaligus merinding seolah seseorang mendekat. Pria beserta taring panjang mulai mendekati lehernya. Mata yang merah menunjukkan kehausan mengerikan dan menyakitkan.

Merasakan insting berbahaya, Zielle memutuskan berbalik. Namun tidak tahu mengapa, tubuh Zielle membeku tidak bisa bergerak. Matanya tidak bisa terbuka, dia tetap berdiri seperti patung tanpa adanya pergerakan. Zielle bingung. Ia mulai panik merasakan sesuatu mengganjal di belakangnya.

Taring makin lama makin dekat sehingga Zielle dapat merasakan hembusan napas seseorang dalam keadaan membeku kaku. Tidak ada siapa pun yang melihat, hanya mereka berdua. Mata merah tersebut makin menyala mendekati leher itu, tidak sabar merasakan darah makhluk di depannya.

Tanpa keduanya disadari, sebuah bayangan hitam timbul dari bayangan milik Zielle sendiri. Bayangan tersebut tumbuh seperti tumbuhan rambat yang makin lama kian membesar mengelilingi tubuh Zielle. Bahkan pria bertaring yang ingin menyakiti Zielle mulai menyadari kekuatan besar yang datang ke arahnya.

Bayangan tersebut kian membesar, membentuk sebuah jari-jari yang meluncur ke arah makhluk tersebut sehingga membentur mobil di belakangnya.

Brakk

Zielle tersentak kaget dan membuka mata. Awalnya dia pikir akan mustahil membuka mata, tetapi rupanya itu berhasil. Dia langsung menoleh kebelakang di mana terdapat seorang pria tampak seolah habis tertabrak mobilnya sendiri. Zielle masih tidak bisa mencerna, apa yang dilakukan Antonio di sana?

"Kau kenapa?" Zielle bertanya dalam keadaan antara bingung dan bodoh.

"Tidak." Dia berdiri dengan tenang seperti sedia kala

ᴊᴀɴɢᴀɴ ɪᴋᴜᴛɪ ᴅɪᴀ

ᴅɪᴀ ɪɴɢɪɴ ᴍᴇɴᴄᴇʟᴀᴋᴀɪᴍᴜ

Emosi Zielle tidak stabil kembali dan mulai mengeram dalam hati. Selalu saja bisikan itu membuatnya gila setengah mati. Ini yang membuatnya selalu terlihat aneh di depan semua orang.

Antonio memicingkan mata. "Matamu ...."

"Ada apa?"

Merasa heran dengan tingkah pria di depannya, Zielle mengambil ponsel kemudian berkaca menggunakan kamera.

Alangkah terkejutnya ketika melihat warna matanya sendiri menjadi merah. Mata aslinya memang merah, tetapi dia ingat sekali telah menutupnya dengan softlens cokelat sebelum ke luar rumah. Bodohnya lagi, dia berpikir softlens-nya terselip sehingga meneliti matanya dengan teliti seperti orang bodoh sungguhan.

ᴘᴇʀɢɪ ꜱᴇᴋᴀʀᴀɴɢ

Zielle makin dibuat kesal. Softlens-nya tidak ditemukan ditambah bisikan itu menuntutnya untuk pergi. Zielle tidak bisa lagi menahan emosi. Mood-nya makin kacau balau! Ia pun menghadap Antonio dengan lemah.

"Aku memiliki urusan lain. Maaf telah membuang waktumu, aku bisa sendiri." Dia sudah memutuskan menuruti bisikan daripada harus mendengar suara bising.

"Tak apa." Suaranya menjadi dingin. Zielle jadi merasa bersalah telah membuang waktu Antonio. Dia masih tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap istirahat. Zielle bergegas kembali ke rumah setelah mengalami hal-hal aneh di sekolah. Banyak hal tentang Vampir yang membuat Zielle jenuh melebihi ujian matematika.

Gadis itu melihat kembali ujung rambut yang samar-samar memutih. Memang merepotkan memiliki rambut berbeda dari yang lain. Dia harus cat ulang kalau tidak ingin dikatakan seorang Zielle yang cantik ubanan.

Di depan sana, terlihat rumah sederhana dua lantai disertai pagar besi yang tidak tinggi. Zielle membuka pagar dan masuk kedalam. Melihat mobil hitam Jack sudah ada di halaman, artinya pria itu sudah pulang dari kantor. Zielle langsung masuk ke dalam tanpa ketuk pintu karena pintu sedikit terbuka. Apa Vega lupa menutup pintu?

Memasuki bagian dalam rumah, Zielle dapat bernapas lega. Kejadian tadi membuat rasa gelisahnya terbawa. Entah kenapa, rasa gelisah tersebut tak kunjung hilang walau sebelumnya Zielle sudah tenang sementara. Seakan semuanya belum berakhir.

Melangkahkan kaki ke tangga dan menaiki satu per satu untuk segera ke kamar. Sejak tadi, ia tidak melihat kehadiran Jack atau Vega di sekitar rumah. Mungkin mereka ada di lantai dua.

Hanya butuh beberapa anak tangga lagi untuk mencapai lantai dua, samar-samar sebuah suara membuat langkah Zielle terhenti. Suara tersebut membuat Zielle penasaran. Terdengar aneh sekaligus mengerikan, seperti seseorang yang sedang makan, juga sedikit hentakan lantai.

Satu hal yang membuatnya semakin penasaran, tercium aroma aneh dari lantai atas. Seperti bau anyir dan amis yang semakin lama semakin tajam ketika melangkah ke kamar. Zielle semakin gelisah.

Kamar Zielle terletak di sebelah kamar Jack dan Vega, baunya semakin menusuk penciuman sehingga Zielle merasa sesak. Perasaan ini aneh dan familiar, tapi sulit untuk mengingatnya.

Bau itu semakin pekat ketika sampai di depan kamar Jack dan Vega. Tidak tahu apa yang mereka lakukan di dalam, bahkan suara samar yang tadi terdengar semakin jelas. Terdengar seperti adegan film di mana pemeran utama memangsa korbannya. Pikiran Zielle semakin kacau ditambah takut.

Zielle menarik tuas pintu pelan-pelan sampai tidak terdengar, kebetulan tidak dikunci. Ia sedikit mengintip karena rasa penasaran. Seketika suara dan bau anyir itu semakin pekat di indera. Matanya membulat sempurna sampai Zielle berharap semua ini adalah mimpi. Terlalu mengerikan untuk dijadikan kenyataan.

Cairan merah menetes di lantai seperti air yang mengalir. Tiga sosok menarik perhatiannya beserta darah yang mengalir deras dan membasahi pakaian. Seorang pria berlumuran darah terutama di kedua bagian lehernya. Sedangkan di kedua sisi pria sekarat itu terdapat dua sosok pria dan wanita yang 'menikmati' alirah cairan merah dari lehernya.

Zielle bergetar hebat, jantungnya nyaris berhenti melihat hal tidak terduga ini. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa hal seperti ini akan terjadi begitu mengerikan. Bagaimana orang tuanya bisa menjadi makhluk mengerikan itu? Vampir?!

Pelan-pelan Zielle mundur menahan tangis dan mual sampai punggungnya menyentuh dinding, kepalanya terasa terlalu pusing ketika melihat darah berceceran di lantai juga pakaian mereka. Lehernya terasa tercekik hingga tidak bisa bersuara, bahkan bernapas saja sulit.

Zielle tidak tahu harus melakukan apa. Pikirannya tidak jernih, sesuatu yang seharusnya tidak dilihat, kini dia melihatnya. Tanpa sengaja, Zielle menyenggol vas di samping ketika ingin lari ke dalam kamar. Zielle terjatuh, tangannya tertusuk pecahan vas sehingga mengeluarkan darah segar. Ini benar-benar buruk!

"Zielle?"

Suara itu mengejutkannya. Zielle mendongak ke arah lorong di mana terdapat Jack dan Vega dengan mulut berdarah di depan kamar. Mereka menatap Zielle penuh kejutan.

Zielle mundur, merasa tidak kuat berdiri saking gemetar. Melihat mata keduanya yang awalnya berwarna merah menjadi cokelat membuat Zielle semakin tidak percaya. Semua ini membuatnya menggila! Tidak, ini harus mimpi! Zielle tidak ingin melihatnya lagi.

Air mata menetes membasahi wajah cantiknya. Kepalanya terasa begitu pusing apalagi ketika melihat wajah mereka dipenuhi darah. Zielle merasa tenaganya habis dan napasnya tercekat.

Gadis itu tergeletak dengan luka tangan yang masih terus mengeluarkan darah. Perlahan, pandangan Zielle buram melihat dinding polos minim pencahayaan. Lama kelamaan, pandangannya yang buram menjadi gelap, makin lama makin gelap hingga akhirnya kegelapan menguasainya.

Chapter 3 : The Four Silver Hair

Zielle membuka mata melihat langit-langit dalam keadaan gelap tanpa cahaya. Kamarnya begitu gelap. Bahkan gorden tertutup menghalangi sinar rembulan.

Mengingat kembali apa yang terjadi tadi, Zielle masih tidak percaya dengan itu semua. Jika itu mimpi, terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Berulang kali ia meyakinkan diri bahwa semua itu hanya mimpi, mengabaikan luka di tangannya yang menghilang.

Dia beranjak dari ranjang dan menyalakan lampu. Sinar terang memasuki mata sehingga membuatnya sedikit menutup mata karena silau.

Melangkahkan kaki ke luar kamar, melihat lorong yang sepi dan bersih. Pikirannya masih berusaha mencerna kebenaran walau terus berusaha membohongi diri sendiri.

Ketika Melewati tangga, dia menyadari sesuatu yang aneh. Pandangannya terarah pada lorong di mana kamarnya dan orang tuanya berada. Sesuatu mengganjal di kepalanya, tapi dia melupakan apa yang membuatnya mengganjal.

Lama berpikir, akhirnya dia menyadari sesuatu yang salah. Di pinggir lorong, tepatnya depan kamar Zielle seharusnya selalu ada vas kesayangan Vega. Lalu di mana vas itu berada?

Berusaha positive thinking, Zielle pikir Vega memindahkannya ke tempat yang lebih baik dibanding lorong. Ia menghela napas sebelum akhirnya seseorang memanggil.

"Zielle."

Suara Vega memecah lamunannya dan menatapnya di bawah tangga. Tampak rambut peraknya berkibar disertai raut wajah gelisah.

"Ibu ...." Zielle masih linglung. Pikirannya berputar-putar seperti gangsing sehingga membuatnya tidak bisa berpikir kembali.

Zielle menuruni anak tangga satu per satu dan berhadapan dengannya. Tidak ada rasa takut, semua hanya rasa penasaran. Berharap kejadian tadi hanya mimpi.

"Aku pikir sudah saatnya kamu tahu."

Zielle tidak menjawab. Raut wajah Vega tampak serius dicampur gelisah. Bahkan Jack di sofa merenung sendirian memikirkan sesuatu. Zielle sangat berharap kejadian itu semua hanya mimpi walau mereka harus bohong.

Vega pergi ke arah sofa dan duduk di sebelah Jack yang masih merenung. Zielle mengikuti, duduk di depan mereka seakan menjadi tokoh utama di pembicaraan ini.

"Maaf kami tidak pernah memberitahumu selama ini." Vega tampak murung, begitu pula Jack. Kemudian raut wajah mereka kembali serius. Ia berkata, "Kami bukan orang tua kandungmu."

Ucapan Vega bagai ribuan pisau yang menusuk Zielle. Jantungnya terasa berhenti, dia ingin menangis tetapi keadaan tidak mendukung karena dia harus tampak kuat. Zielle tidak percaya semua ini.

"Tidak lucu." Zielle bicara dengan datar kemudian memaksakan senyum di bibir. "Ini bulan April, seharusnya ini April-mop, 'kan?"

"Menurutmu hal ini bisa menjadi lelucon?" Jack bicara dengan serius sehingga senyuman paksa Zielle luntur menjadi kekecewaan. Tetap saja Zielle tidak ingin percaya omong kosong ini.

Vega bicara dengan lesu. "Kamu pasti terkejut ketika melihat kami berubah. Penglihatanmu tidak salah dan itu semua bukan mimpi ...."

Zielle semakin dibuat tercengang. Dia merasakan tubuhnya bergetar hebat disertai jantung yang tidak normal. Zielle tidak tahan lagi. Dia tidak ingin mendengar. Ia sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan dan tidak ingin mendengarnya.

"Kami Vampir."

"Tidak! Kenapa kalian bohong! Aku tidak ingin percaya!" Ucapan itu terlontar begitu saja seraya menutup telinga. Air mata sudah menetes di pipinya. Dia menunduk menyembunyikan wajah rapuh itu karena selama ini ia tidak pernah menangis sedikit pun.

Jack melanjutkan, "Zielle, kami tidak pernah bermaksud membohongimu."

Zielle tetap tidak mau dengar. Andai dia bawa earpods, pasti sudah digunakan sejak tadi. Lebih baik tidak tahu apapun dibandingkan harus mengalami hal buruk hanya karena kebenaran. Zielle tidak ingin menerima kebenaran.

"Beberapa hari lalu ada Vampir menyerang kami, memaksa kami berubah menjadi Vampir. Kami takut mengatakan padamu karena merasa kamu belum siap."

Zielle tidak pernah siap. Bahkan hingga saat ini, dia merasa tertekan sekaligus dihujami ribuan batu. Dadanya terasa sesak mendengar itu semua hingga membuatnya tidak bisa berkata-kata. Ia sangat marah!

ᴘᴇʀᴄᴀʏᴀʟᴀʜ

Bisikan itu lagi-lagi menembus telinga. Ingin sekali Zielle menulikan pendengaran agar tidak mendengarkan perkataan mereka.

"Zielle, ada hal yang harus kamu tahu tentang dirimu sendiri." Vega melanjutkan bicaranya.

Entah dorongan dari mana, Zielle membuka mata menatap mereka. Ada rasa penasaran, tapi dia juga tidak ingin tahu.

"Kamu adalah Vampir."

Gadis itu mematung seketika, menatap mereka dengan mata membulat. Bagaimana mungkin Zielle Vampir sedangkan dia tidak pernah merasa minum darah. Apa mereka yang merubah Zielle?

"Jangan salah paham terlebih dahulu." Jack cepat-cepat membenarkan ucapan Vega. "Sejak orang tua kandungmu menitipkanmu pada kami, kamu terlahir sebagai Vampir. Semua yang kamu punya: rambut putih, mata merah, itu adalah karakteristik Vampir murni."

"Kami tahu tentang kamu yang bicara dengan bayangan. Itu adalah kemampuanmu sebagai Vampir. Kemampuan itu mulai aktif ketika umurmu beranjak 17 tahun." Vega melanjutkan.

"Bicara dengan bayangan?" Kepala Zielle semakin berputar memikirkan banyak hal. Bagaimana bayangan bisa bicara? Ini mustahil!

"Kami tidak tahu banyak. Ketika kamu sudah berada di Dunia Vampir, kamu akan tahu mengenai semua kemampuanmu sebagai Vampir murni." Jack menjelaskan lebih lanjut.

Zielle tidak tahu harus tertawa atau menangis. Ini benar-benar konyol! Jika Zielle Vampir, kenapa dia phobia darah? Kenapa tiap kali melihat darah selalu pingsan? Bukankah aneh jika Vampir takut dengan darah?

"Sebenarnya itu bukan ketakutan akan darah. Kamu tidak minum darah setiap hari melainkan mengkonsumsi sedikit darah dari makanan manusia, itu sebabnya ketika melihat darah, kau akan terlalu sensitif dan merasa haus hingga mengakibatkan pingsan." Jack menjelaskan seakan membaca pikirannya.

Zielle semakin tidak bisa berkata-kata. Segala kenyataan yang dialami, ia tidak ingin mempercayainya. Tapi mereka memaksanya untuk percaya. Ini sulit diterima. Apa lagi kenyataan bahwa orang yang selama ini dianggap orang tua, ternyata bukan orang tua kandung. Bukankah itu terlalu sakit?

Zielle pergi begitu saja menaiki tangga dan berlari ke kamar. Menjatuhkan diri ke atas kasur dan melepas segala emosi. Air mata membasahi bantal. Meski mengeluarkan air mata, raut Zielle tidak berubah. Hanya ada kekosongan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Matahari menyelinap masuk melalui gorden yang tertutup memberi cahaya pada sebuah ruangan sunyi. Di sana seorang gadis merenung di sudut ranjang dengan tampang kacau. Mata panda disertai sembab, rambut acak-acakan, dan wajah pucat lesu yang menampilkan bahwa dia tidak baik-baik saja.

Zielle tidak siap menerima kenyataan pahit yang menghujamnya berkali-kali. Semua ini terlalu tiba-tiba sehingga membuatnya nyaris gila.

Sepanjang berpikir, ini semua terlalu sia-sia. Pada akhirnya dia akan menerima segala takdir dan tidak pernah bisa menjadi Manusia. Zielle ingat betul telepon misterius yang mengatakan seseorang akan berkunjung pukul 9 malam.

Jadi apa pun resikonya, dia hanya bisa menelan mentah-mentah. Ini adalah kehidupan baru, walau tidak beda jauh, tapi beda kebenaran identitas dan cara berpikir. Zielle tidak akan mewarnai rambut lagi dan dengan berat hati menerima kenyataan bahwa dirinya adalah Vampir.

Setelah selesai membenah diri, Zielle turun ke bawah. Melihat Jack di ruang makan sedangkan Vega di dapur memasak sarapan. Tidak akan ada yang berubah, kecuali rambut Vega yang tampak hitam.

Vega menyadari kehadiran putrinya dan langsung menyapa. "Zielle, kau sudah bangun. Sarapanlah."

Tidak banyak bicara lagi, Zielle melangkah ke meja makan dan duduk di tempat biasa. Seperti biasa, Jack bersama dengan korannya sedangkan Vega mempersiapkan sarapan di meja. Zielle merasa lebih baik karena tidak ada yang berubah setelah kejadian semalam.

"Kau mewarnai rambutmu? Sangat bagus." Zielle memuji Vega dan menampilkan senyum samar. Sejujurnya, Zielle masih sulit tersenyum.

Vega tersenyum lebar meraba rambut sebahunya. "Sebenarnya, ini warna asli."

"Oh?" Zielle mengerti sekarang. Selama ini Vega menggunakan cat rambut perak agar sama sepertinya sehingga Zielle tidak merasa paling berbeda.

Setelah membersihkan dapur, Vega duduk di tempatnya lalu melahap makanan di meja begitu juga Zielle dan Jack. Ini lebih baik dari semalam.

"Aku memiliki pertanyaan." Entah dorongan dari mana tiba-tiba Zielle bicara tanpa berpikir. Alhasil, dirinya gugup ketika orang tuanya menoleh menunggu pertanyaan.

Melihat keraguan Zielle, Jack memutuskan menyahutinya seakan membaca pikirannya, "Kau bertanya tentang makanan Vampir?"

Zielle terdiam. Dia tidak tahu bagaimana Jack bisa tahu isi pikirannya sedangkan dirinya belum mengungkapkan.

"Ayah memang bisa baca pikiran setelah menjadi Vampir."

Zielle mengangguk paham. Jadi Jack akan lebih peka dari sebelumnya karena kemampuan baru itu. Pantas saja sebelumnya selalu sangat peka akan pengganjal pikirannya.

"Zielle, sebenarnya kami tidak bisa hidup tanpa darah sepertimu." Jack melanjutkan ucapannya menjawab pertanyaan Zielle.

"Lalu, di mana orang kemarin?" Zielle bertanya lagi.

"Jika tidak menjadi Vampir, seharusnya sudah mati," jawab Vega membuat Zielle terkejut. Vega melanjutkan, "Itulah kehidupan Vampir biasa."

"Bagaimana denganku? Aku tidak pernah merasa pernah minum darah apa pun." Zielle bicara dengan ragu. Itu selalu menjadi pertanyaan utama sejak semalam.

"Vampir murni bisa bertahan meski tidak minum darah. Penggantinya, kamu harus memakan makanan manusia," kata Vega. "Ketika masih kecil, kamu hanya bisa minum darah sampai gigi tumbuh. Itu pun untuk pertumbuhan harus minum darah rutin seminggu sekali. Biasanya, kamu paling suka darah kelinci. Tetapi setelah berumur 12 tahun, kamu mulai berhenti."

"Kenapa aku tidak sadar?" gumam Zielle sambil memijat-mijat dahinya. Bukankah ini terlalu aneh? Apa Zielle terlalu bodoh untuk menyadari sesuatu?

Vega terkekeh. "Tentu saja aku mencampurnya dengan makananmu."

Pantas saja Zielle mulai merasa memiliki phobia darah ketika berumur 12 tahun bertepatan di mana dia berhenti minum darah. Rumit juga menjadi Vampir.

Zielle menatap orang tuanya bergantian, ingin mengucapkan sesuatu walau ragu karena terlalu sensitif untuk seorang Vampir. "Ayah, Ibu, jangan menculik manusia lagi."

"Kami mengerti perasaanmu." Jack menjawabnya dengan enteng.

"Aku akan keluar membeli persediaan darah beku untuk kalian. Juga, aku akan mengambil dari bank darah jika kalian ingin darah manusia." Kata 'mengambil', lebih tepatnya 'mencuri'. Mana ada darah manusia dibeli begitu saja. Yang ada staff bank darah mencurigainya apalagi rumor Vampir semakin meledak.

"Biar aku saja." Jack ingin mengambil alih, namun Zielle langsung menghentikannya.

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Anggap saja sebagai latihan untuk terbiasa." Zielle langsung menyambar kunci mobil dan mengenakan jaket yang digantung di sebelah pintu.

"Tapi—"

"Aku pergi!" teriaknya selagi berlari keluar rumah.

Pada umumnya, Vampir biasa seperti mereka takut terhadap sinar matahari sedangkan matahari pagi ini begitu terik, berbeda dari kemarin. Itu sebabnya Zielle mengambil alih.

Zielle mengenakan jaket dan mengendarai mobil dengan kecepatan konstan menuju pasar. Ia membeli darah beku di pasar dengan tenang. Tidak ada yang curiga, karena darah beku biasa dimasak oleh Manusia untuk bahan tambahan masakan. Tidak ada yang curiga pula akan rambut perak dan mata merah Zielle.

Omong-omong, cat rambutnya telah luntur semua sejak mandi pagi. Tidak tahu apa alasan cat rambutnya lebih mudah luntur dalam beberapa minggu, padahal ia sudah beli cat rambut permanen.

Setelah selesai membeli dua kantong darah beku, Zielle meletakkannya ke dalam mobil bagian belakang kemudian meraih pintu bagian depan.

ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ᴅᴀᴛᴀɴɢ

Suara bayangan yang terdengar bersamaan lagi-lagi terdengar. Zielle sedang berusaha membiasakan diri dan hanya menangkap hal yang penting saja. Lagi pula, siapa yang datang menemuinya?

"Vampir murni?"

Suara itu membuat Zielle terkejut dan menoleh ke belakang. Tampak sosok gadis sebaya memiliki rambut putih dan iris mata merah. Dia tampak mungil dengan tinggi badan yang sedikit lebih rendah.

"Kamu ...."

Dia mengulurkan tangan pucatnya dengan senyuman ceria. "Cynthia Jehanne ...."

"Zielle ... Eugenie," balas Zielle ragu.

"Kau membeli darah beku? Sangat tercium dari sini, kebetulan aku sedang lapar."

"Itu—"

"Hanya bercanda. Lagi pula, aku memiliki banyak di asrama."

Pikiran Zielle berputar ketika gadis bernama Cynthia tersebut mengatakan tentang asrama. Apa dia dari sebuah sekolah? Dilihat dari ciri fisik, dia adalah Vampir murni seperti Zielle.

"Cynthia, kau lari sangat cepat. Bagaimana kalau hilang? Kami bisa dimarahi McGraw. Bagaimana jika ada Vampir yang memburumu? Kau tahu sendiri Vampir di sini sangat gila."

"Calix, kau sangat berisik!" Cynthia menutup telinganya dengan kedua tangan.

Zielle semakin tertegun ketika sosok pria dengan ciri fisik Vampir murni tiba-tiba bicara panjang lebar menegur Cynthia. Bukan hanya satu, dua lainnya ikut mendekat!

Mereka semua sangat tinggi sehingga Zielle merasa tenggelam. Walau ada Cynthia yang lebih pendek dibandingkan Zielle, tetapi tetap saja. Ketiganya memiliki paras rupawan yang jarang terlihat, bahkan Antonio kalah tampan.

Terutama salah satu dari mereka yang memasang wajah tidak peduli seolah mengatakan "Menjauhlah dariku", kira-kira seperti itu. Zielle menyipitkan mata ketika iris merah pria itu bertukar pandang dengannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!