NovelToon NovelToon

The Realm Of Cultivation

TERLEMPAR KE DUNIA LAIN

Malam terasa telah larut meski jarum jam baru menunjukan pukul 21.00 dan ini saatnya bagi Ryana untuk kembali mengulik novel baru yang dia unggah di sebuah platform terkeren di kancah literasi. Sebuah pergelutan di dunia baru bagi Ryana.

"Novel bagus dengan gaya penulisan sekeren ini, tentunya harus diunggah di platform yang terbaik pula," bisik Ryana sambil tersenyum. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu menekan tuts-tuts keyboard laptop miliknya untuk masuk ke platform di mana novelnya diunggah.

Gadis cantik berwajah oriental dan masih belum menikah itu masuk ke akun miliknya yang tercantum dengan namanya sendiri, yaitu Ryana Zhang. Mata bulat khas orang China-nya, langsung menemukan novel pertama hasil karya Ryana yang baru diunggah belum lama ini. 

"The Realm Of Cultivation ... kita bertemu lagi." Matanya berbinar saat melihat jumlah angka popularitas, suka dan favourite yang telah meningkat dalam beberapa hari ini. Tentu saja itu semua berkat ketelatenannya dalam menulis dan promosi di berbagai media serta menyarankan novel hasil karyanya kepada rekan-rekan kerja, saudara dan siapa saja yang dia kenal.

Derita seorang author pemula yang masih jauh dari kata famous, pemes yang biasa menjadi julukan untuk author terkenal dengan akun beratribut lencana bronze, silver, gold, platinum, diamond apalagi super star dan lain sebagainya. Semua istilah untuk seorang author yang telah banyak menghiasi opening, beranda, rekomendasi dan head banner. Tentu saja sebagai seorang author pemula, adalah hal yang wajar jika belum memiliki semua gelar kehormatan dari platform tersebut. Tetapi bagi Ryana Zhang, meski tanpa lencana menghiasi akun miliknya, itu tak jadi halangan untuk meniti pijakan karir dalam dunia literasi yang tengah dia geluti saat ini.

"Popularitas dengan simbol huruf K di belakang angka saja sudah membuatku bahagia, meskipun belum ada level karya yang menghiasi sudut kanan atas novelku. Aaahh sedih memang," gumam Ryana Zhang sambil meneguk secangkir teh hangat keemasan, bagai warna harapan gadis itu untuk menjadi novelis bintang seperti JK. Rowling, J.R.R Tolkien, Tang Jia San Shao, Zhou Munan, Mo Xiang Tong Xiu idolanya.

"Aahh, semoga saja suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan sutradara Chen Jialin, Zou Ji Cheng atau Bai Yun Mo." Ryana Zhang tersenyum sendiri saat membayangkan para sutradara hebat yang telah menangani banyak drama silat kolosal terkenal seperti Chen Qing Ling dan Handsome Siblings.

"Huh, ngimpi mulu sih gue! Lebih baik liat-liat komentar fans gue yang udah bejubelan gini." Author pemula itu kemudian menekan tombol gulir untuk melihat komentar-komentar dari para pembaca setianya. Komentar pertama yang dibacanya sukses membuat gadis itu tersenyum senang.

Reader A - Keren Thor, tulisannya rapi dan alurnya mudah dipahami ... smangat ya Thor!

Author - Thanks, Kakak yang udah bersedia mampir ke karyaku ini. Thanks juga atas semangatnya.

Reader B - Bagus Thor, kalau bisa buatlah MC-nya kuat dan bisa bales dendam.

Author - Siap sayang ... thanks atas masukannya yaaa (Dengan bubuhan emoji hati tentunya)

Dua komentar baik membuat hatinya berbunga-bunga sampai dia meneteskan air mata haru, karena merasa mendapatkan dukungan mental yang luar biasa. Tentu saja bagi seorang author kecil, hal semacam itu adalah sebuah moodbooster yang rasa kebahagiaannya seperti baru saja mendapatkan jutaan uang kaget.

Puas dengan komentar pada chapter awal, sekarang Ryana beralih ke chapter berikutnya dan dia masih mendapati komentar yang membuat dia sangat baik-baik saja. Senyum manis tak henti-henti terkembang di bibir yang berpoleskan lipstik warna mate kesukaannya.

Ryana Zhang beralih ke chapter terakhir dan kali ini matanya dibuat terbelalak dengan jantung yang bagai disentak secara tiba-tiba. Matanya tertumpu pada beberapa komentar yang cukup membuatnya terkejut.

*R**eader X - Novel apaan ini? Isinya ampas doang*!

Author - Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk membaca karya saya ini.

Ryana masih berusaha dengan sabar membalas komentar dari sang pembaca yang seperti tidak menyukai novel miliknya.

Reader Y - Tega amat sih lu Thor! Masa iya bocil abg gitu harus ngalamin digituin sama lima belas orang, jangan-jangan elu-nya yang emang s4ng3 Thor!

Reader S - Novel jelek aja ngarep dapet banyak like, huh! Kalo kepengin melejit lu ikutin selera pasar dong. Liat tuh karya mereka bagus-bagus gilak. Gak kek kayak novel modelan sampah gini!

Reader M - Thor, lu tega banget sih matiin jenderal segagah Luo Mian. Gue baru aja lagi dapet feel ma dia ... mending lu aja yang mati deh Thor daripada mas ayang jenderal gue yang lu matiin!

Reader S - Geregeten deh sama MC-nya! Kenapa sih lu setting dia sesampah itu? Bikinlah si MC itu kuat dan hebat. Bukannya malah jadi bocil yang dianuin banyak terong gitu!

Reader G - Nyesel rasanya aku ngabisin kuota cuma buat baca novel gak mutu kek gini! Bikin gue bangkrut tanpa dapet kepuasan sama sekali! Gue sumpahin, lu melarat juga Thor biar ngerti rasanya susah beli kuota buat baca novel kek gue!

Semua komentar hujatan yang dibacanya sungguh membuatnya bagai disambar petir di siang bolong. Semua sangat menyakitkan, mereka semua menghujatnya dengan berbagai cacian dan makian serta umpatan yang sudah melampaui batas.

"Jadi ... begini rasanya terkena cyberbullying?" Ryana mulai menangis sambil memegang dada. Dihempaskannya mouse laptop yang tengah dia pegang dengan perasaan hancur.

Ryana Zhang merasa frustrasi dan pusing, hingga tubuhnya terasa panas dingin dengan perasaan yang sudah melayang-layang tak menentu. Sakit di kepalanya sudah tak tertahankan lagi, meski dia sudah mencengkeram tangan kursi yang empuk seraya menjambaki rambutnya sendiri kuat-kuat. Namun, semua itu masih belum cukup untuk bisa menahan kesakitan yang menyerang kepala belakang. Pandangannya mulai kabur dan tampak gelap di mana-mana, hingga membuat tubuhnya terasa lemas, limbung dan terkulai.

Pada keesokan harinya, kedua orang tua Ryana sangat terkejut saat mendapati tubuh anak gadis mereka terkulai dengan wajah pucat pasi dan tak sadarkan diri. Mereka bergegas membawa Ryana Zhang ke sebuah rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis.

PERALIHAN

Matahari terasa membakar kulit wajah seorang gadis belia yang tergeletak di tepi jalanan berdebu. Bau udara kotor terhirup, hingga paru-paru terasa sesak dan membuatnya bagai kehabisan napas. Rasa pusing yang baru saja menyerang, benar-benar membuat dia tak berdaya. Gadis itu masih berada dalam ambang kesadaran yang belum juga bisa dibangunkan secara total. Namun, telinganya sudah bisa menangkap suara keributan yang berselentingan di sekitarnya

"Nona! Nona! Bangunlah!" Terdengar panggilan seorang lelaki sangat mirip dengan suara paman tukang kebun yang biasa memanggil saat ada hal baik untuknya.

"Nona, cepatlah bangun! Pasukan Jenderal Luo Mian akan segera melewati jalan ini!" Suara lain terdengar lebih keras disertai kepanikan dalam nadanya.

"Pasukan jenderal? Apa-apaan ini?" Gadis itu bertanya dalam hati. Kesadaran Ryana mulai penuh, dia mulai bisa membuka matanya secara perlahan. Silau sinar surya berhasil membuat sepasang mata bulat itu mengerjap kesakitan hingga beberapa kali, akibat penglihatannya yang secara langsung tertimpa bias cahaya panas menyengat di siang itu.

"Haaa ... di mana aku? Dan siapa mereka?"

...BERSAMBUNG...

PENGEMIS BAMBU KUNING

"Pasukan jenderal? Apa-apaan ini?" Gadis itu bertanya dalam hati. Kesadaran Ryana mulai penuh, dia mulai bisa membuka matanya secara perlahan. Silau sinar surya berhasil membuat sepasang mata bulat itu mengerjap kesakitan hingga beberapa kali, akibat penglihatannya yang secara langsung tertimpa bias cahaya panas menyengat di siang itu.

"Haaa ... di mana aku? Dan siapa mereka?"

"Ah Rui, bangunlah! Kita harus segera menyingkir dari tempat ini!" seru salah seorang pria dewasa berusia empat puluh lima tahun berpakaian dekil dan berambut gimbal. Di tangannya menggenggam sebuah mangkuk kecil dari tanah liat.

"Segera berlutut! Pasukan Jenderal Luo Mian akan segera tibaaaa!" teriak salah seorang yang paling tua di antara mereka.

Orang-orang yang saat ini berada di tepi jalan itu pun, segera berhamburan menata diri untuk memberi penghormatan kepada sepasukan prajurit yang dipimpin oleh seorang jenderal besar bernama Luo Mian. Seorang jenderal muda berwajah tampan dan terkenal tegas dalam setiap tindakannya.

"Jen-Jenderal Luo Mian? Kenapa nama itu terdengar sangat tidak asing?" gumam Ryana Zhang.

"Tentu saja itu tidak asing. Dia adalah jenderal kebanggaan negeri ini. Apakah setelah pingsan tadi ingatanmu menjadi kacau?" Lelaki paruh baya itu membimbing Ryana Zhang untuk berdiri dan berlutut mengikuti orang lain. Namun, Ryana merasakan tubuhnya terlalu lemah hingga dirinya gagal untuk berlutut. Gadis itu terjatuh kembali dengan napas tak beraturan serta wajah sepias kapas.

"Aku tidak sanggup!" bisik Ryana Zhang kepada paman yang tak dia kenal sama sekali.

Dari kejauhan, terlihat sepasukan prajurit bergerak tanpa tergesa-gesa melewati jalanan yang telah dijejali oleh serombongan orang berpakaian dekil, compang-camping dan bau. Tak ada sedikit pun tampak baik pada kelompok berpenampilan pengemis itu dan Ryana Zhang berada di antara mereka. 

Pasukan prajurit yang dipimpin oleh seorang jenderal muda nan tampan bernama Luo Mian itu bergerak melewati barisan para pengemis. Bersamaan dengan itu, koin-koin berwarna tembaga pun berhamburan ke arah barisan para pengemis itu. Tak ada ekspresi apa pun dari para pelempar koin saat mereka melewati Ryana Zhang dan rombongannya.

"Terima kasih, kepada para Tuan Prajurit yang dermawan!" seru para pengemis sembari menjura.

Ryana Zhang merasa sangat terhina dengan perlakuan angkuh para prajurit pimpinan jenderal berwajah tampan dengan sorot mata setajam belati. Setelah pasukan prajurit itu berlalu dan menjauh, Ryana berusaha bangkit dan melemparkan koin yang tadi menimpa pelipisnya.

"Dasar para prajurit sombong! Kalian pikir aku ini siapa, haaa?" bertanya Ryana Zhang dengan suara penuh kemarahan. "Kalian pikir aku ini seorang pengemis?"

Seseorang menyambar lengan Ryana Zhang dan berusaha menenangkan gadis itu. "Ruii, Rui tenanglah! Jangan terus marah-marah, Rui!"

"Pak Tua, bagaimana aku tidak marah dengan perlakuan mereka? Mereka telah lancang menganggapku seorang pengemis! Aku ini seorang asisten manager dari sebuah perusahaan terkenal di Kota Xiamen. Dan aku juga seorang penulis novel yang meski belum begitu terkenal, tapi pernah memenangkan beberapa event kepenulisan, you know?" Ryana berucap tanpa memedulikan tatapan heran dari orang-orang yang bersamanya saat ini.

Para pengemis saling berpandangan satu sama lain. Mereka menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu, tanda tidak mengerti apa yang diucapkan oleh gadis berusia lima belas tahun itu.

"Rui, sepertinya setelah pingsan tadi. Kau menjadi sedikit ... sedikit sakit." Pria tua berbaju kasar dengan tambalan di sana-sini berkata.

"Siapa yang sakit? Aku hanya pingsan sebentar dan itu sama sekali tidak mempengaruhi cara kerja otakku!" Ryana Zhang berkacak pinggang dengan emosi.

"Benar, Rui ... jujur saja, kami tidak tahu dengan dirimu saat ini. Tapi sudahlah, sebaiknya kita semua kembali ke Desa Pengemis!" ajak pria tua itu dengan lembut.

"A-apa? Desa Pengemis?" Ryana Zhang sangat terkejut.

"Ayo kita segera kembali dan melaporkan pada ketua, kalau Rui sudah berhasil kita temukan!" seru seorang pria lainnya.

"Ayo! Ayo semuanya kita kembalii!"

Rombongan para pengemis itu pun, bergerak maju serentak meninggalkan tempat itu, dengan membawa Ryana Zhang yang masih belum mengerti tentang keadaan dirinya saat ini.

Rombongan pengemis yang hampir kesemuannya membawa sebilah bambu kuning itu, terus berjalan melewati beberapa area persawahan dan hutan bambu yang tidak sebegitu lebat. Hingga akhirnya, arak-arakan kecil tersebut tiba di sebuah perkampungan kecil yang sangat kumuh.

Ryana Zhang dibawa ke sebuah pondokan bambu terbesar dan paling bagus yang ada di perkampungan itu. Sebuah papan nama usang yang terpampang di depan pintu gerbang pondokan, membuat Ryana Zhang terkejut dan menyadari di mana saat ini dirinya berada.

"Pengemis Bambu Kuning?" pekik Ryana dalam hati dengan mata terbelalak lebar.

"Ja-jadi! Jadi aku ... jadi aku sudah bukan di duniaku lagi?" Ryana Zhang merasa sedikit pusing.

Salah seorang pengemis segera berseru,

"Ketuaaa! Kami kembali Ketua!"

"Kalian telah kembali?" Suara pria bernada berat terdengar dari dalam pondokan. "Bagus, baguslah!"

"Benar, Ketua. Dan kami berhasil menemukan Rui kembali!" seru lelaki pelapor.

"Rui?"

Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun membuka pintu dan keluar dari dalam pondokan. "Rui! Rui anakku!"

Pria tua itu segera menghampiri Ryana Zhang yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu seperti sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu. Ya, kini gadis itu sudah mengetahui di mana dirinya berada saat ini.

"The Realm Of Cultivation!" Ryana menyebut judul novelnya sendiri. Matanya kini memperhatikan sekelilingnya. Wajah-wajah dan pakaian mereka sungguh sama persis seperti yang dia visualkan dalam novelnya.

"Pengemis Bambu Kuning! Aahh siaaaal! Mengapa aku justru berada di tengah-tengah merekaaaaa!" teriak Ryana Zhang dalam hati

"Rui, kau kembali! Kau benar-benar berhasil lolos dari kejaran mereka?" Zhang He sang ketua kelompok pengemis itu memegangi kedua bahu Ryana dan mengguncangnya dengan rasa tak percaya.

"Benar, Ketua! Tapi Ketua, sepertinya dia mengalami sedikit masalah pada ...." Pria bercaping bambu menunjuk kepalanya sendiri.

Zhang He tampak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh anak buahnya. "Ya sudah, kalian semua kembalilah ke tempat kalian masing-masing!"

"Baik, Ketua!" sahut Kelompok Pengemis Bambu Kuning secara serempak.

"Oh ya, terima kasih atas usaha kalian dalam menemukan putriku ini." Zhang He menatap anggota kelompoknya satu persatu. 

"Sama-sama, Ketua! Beruntung kami menemukan Rui dalam keadaan baik-baik saja. Baiklah, kami mohon diri, Ketua!" ujar paman bercaping.

Zhang He menganggukan kepalanya. Para anggota kelompok pengemis itu pun segera membubarkan diri. Zhang He mengajak Ryana Zhang untuk segera masuk ke dalam pondokannya. Ryana Zhang mengikuti pria tua itu hingga sampai ke dalam biliknya.

"Rui, beruntung sekali kau lolos dari kejaran mereka. Jika tidak, apa yang akan katakan kepada ibumu kelak di alam sana." Zhang He mendudukan dirinya di atas sebuah kursi kayu yang sudah usang dan lapuk.

"Ke-Ketua ...."

"Aku ini ayah angkatmu, apakah kau lupa?" Zhang He memotong ucapan Ryana.

"M-ma-maaf, maaf ... Ayah Angkat!" Ryana Zhang terdengar kaku saat harus menyebut pria itu sebagai ayah angkatnya.

"Sepertinya, kau memang mengalami masalah pada ingatanmu," ujar Zhang He sembari memegangi ubun-ubun Ryana.

"Beraninya dia menyentuhku!" Ryana merasa sangat tidak suka, akan tetapi dia pun tak bisa berbuat apa-apa.

"Ah Rui, kau beristirahatlah! Sore nanti, ayah akan mengajakmu mengunjungi makam ibumu," ujar Zhang He.

"Ba-baik, baiklah ... Ayah Angkat." Ryana masih merasa berat dengan sebutan itu.

Zhang He menanggukan kepalanya dan segera keluar dari dalam bilik anak angkatnya tersebut. "Ada yang tidak wajar dengan bocah itu."

Pada sore harinya, Zhang He benar-benar mengajak Ryana Zhang untuk mengunjungi makam seorang wanita dengan papan nama Xue Li.

"Rui, berlututlah!" Zhang He meminta Ryana Zhang untuk berlutut di depan papan nama ibunya.

Pria tua itu kemudian ikut berlutut di samping Ryana. Mereka menyatukan kedua tangannya di depan dada sambil memejamkan mata dan berdoa. Seusai memanjatkan doa-doa, Zhang He berkata, "Ah Rui, ini adalah dunia kultivasi. Dunia di mana kekuatan adalah segalanya."

Beberapa kali Zhang He harus menarik napasnya. "Ah Rui, aku sebagai ayah angkatmu sungguh menyesal karena tak bisa membekalimu dengan ilmu bela diri yang baik. Aku tak bisa menjagamu setiap saat, hingga saat dikejar-kejar oleh mereka pun ayah tak bisa menolongmu."

"Ayah jangan berkata seperti itu! Ayah sudah merawatku sejak aku bayi ... itu sudah cukup, Ayah!" Ryana Zhang yang sudah mulai memiliki ingatan Zhang Rui melalui alur cerita yang dia buat sendiri itu pun berusaha menghibur Zhang He.

Pria tua itu menatap langit sore yang mulai redup. Terpaan angin semilir membuat wajahnya mendingin. "Ah Rui, ayah sudah semakin tua sekarang. Ayah ingin ada seseorang yang menjagamu. Akan tetapi karena usiamu yang masih sangat muda, ayah tidak bisa menikahkanmu dengan siapa pun. Maka dari itu, ayah hanya berharap kau mau berkultivasi untuk membangunkan kekuatan segel yang telah tertanam sejak kau lahir."

"Ayah merasa sudah saatnya kau tahu akan jati dirimu yang sebenarnya. Rui, kau ambilah sebuah peti yang tertanam di samping makam ini!" perintah pria tua itu.

"Baik, Ayah!" Ryana Zhang berdiri dari berlututnya. Gadis itu menggali tanah yang ada di sisi kanan makam dengan menggunakan sebuah belati. Benar saja, sebuah bungkusan kain berwarna merah menyala peti.

"Apa ini?" bertanya Ryana.

"Kau akan mengetahuinya nanti. Sekarang, marilah kita bawa bungkusan itu!" ujar Zhang He.

"Baik, Ayah!"

...Bersambung...

KILAS BALIK

Pada malam harinya, Ryana Zhang terlihat sibuk menghadapi isi peti kayu berukir yang baru saja dia dapatkan. Gadis itu memegang sebuah gulungan kain kertas berwarna cokelat yang terlihat usang sambil mengingat-ingat sesuatu. Berbekal nyala lentera minyak sebagai penerangan, dia mulai membaca gulungan kertas usang tersebut. Sebuah kitab panduan ilmu kultivasi dan secarik kisah tentang asal-usulnya.

"Aku sekarang sadar di mana aku saat ini. Semua benda-benda ini memang aku tulis di novelku ... hmm. Baiklah, mari ingat-ingat lagi alurnya!" Gadis itu kemudian meraih sebuah pena dari bulu ayam yang harus dicelupkan terlebih dahulu ke dalam tinta cair. Dia berpikir untuk menulis ulang kembali alur novelnya yang baru mencapai sepuluh chapter saja.

"Untungnya aku belum memiliki terlalu banyak chapter, jadi aku tidak begitu kesulitan untuk menulis ulang di duniaku yang sekarang ini. Hanya saja ... mengapa aku justru masuk ke dalam tubuh tokoh bernasib sial ini?" Ryana mendengus kesal. "Zhang Rui ini bukan tokoh utama meskipun dia adalah seorang putri raja. Bahkan, aku telah membuat nasib yang sangat buruk untuknya di usia enam belas tahun!"

"Aaahh, aku harus menulis ulang untuk mengingat nasib sial apa saja yang dialami oleh si gadis pengemis ini. Lalu, aku harus bisa dan akan berusaha mengubahnya!" Ryana Zhang mengepalkan tinjunya.

Ryana Zhang terus menulis hingga larut malam dan tertidur di atas kertas-kertas usangnya karena kelelahan. Hingga ada keesokan harinya, gadis itu mendapati dirinya masih berada di tempat semula. Ryana menguap dan menggeliatkan tubuh guna meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

"Aku masih di sini rupanya! Padahal aku berharap saat bangun dari tidurku, aku sudah berada di kamarku." Gadis itu bersungut-sungut dengan perasaan kesal sambil membereskan semua kertas-kertas yang masih berserakan.

Mata Ryana tertumpu pada tulisannya sendiri sambil membaca setengah bergumam, "Pada usia enam belas tahun, Zhang Rui berangkat mengemis seperti hari-hari sebelumnya. Di tengah jalan saat pulang, Zhang Rui dihadang oleh sekelompok bandit hutan berjumlah lima belas orang dan ...."

Mata Ryana Zhang membelalak lebar. "Aaaaaahh! Tidaaaaak! Mengapa aku bisa membuat cerita seperti ini di novelku?"

"Dan itu terjadi pada Zhang Rui di usia enam belas tahun! Lalu, berapa usiaku saat ini?" Ryana Zhang menjadi penasaran dan ketakutan. Dia kembali mengingat-ingat scene saat pertama melihat Jenderal Luo Mian. "Lima belas tahun! Ya, saat ini aku berusia lima belas tahun. Dan aku masih punya waktu untuk mengubahnya!"

Gadis itu berdiri dan berjalan mondar-mandir sambil terus berpikir. "Jadi, orang tua itu memang benar. Aku harus membangkitkan kekuatan milik tubuh ini. Setidaknya kalau scene itu datang, aku bisa melawan dan memusnahkan para bandit itu!"

"Yah, itu catatan pertama yang harus kuingat-ingat!" Ryana merasa bergidik sendiri saat membayangkan dirinya digagahi oleh lima belas bandit hutan. "Pantas saja para readers-ku menghujatku. Aku baru mengerti sekarang. Dan sialnya, aku seperti sedang terkena karma buruk dari kisah yang aku buat sendiriiiii!"

Gadis itu menutup wajahnya, betapa menyesalnya dia karena telah menuliskan kisah seorang main character yang bernasib sial seperti Zhang Rui. Ryana Zhang masih terus membaca chapter berikutnya "Zhang Rui ini sangat mengagumi Jenderal Luo Mian, tapi putri menteri kiri yang bernama Zhou Yunyang juga menyukai Jenderal Luo Mian dan dalam chapter itu Jenderal Luo Mian bahkan tak menyukai wanita ... aaaahhh! Jadi mungkin ini juga yang membuat hujatan readers? Aku hampir saja membuat scene jeruk makan jeruk antara Jenderal Luo dan asisten pribadinya!"

"Ruiiii! Keluarlah segera, Naaak! Kita akan bersiap-siap ke Hutan Mistis untuk memulai latihanmu!" Terdengar suara Zhang He memanggilnya.

"Ya, sebentar lagi! Aku akan bersiap-siap, Ayah Angkaaaat!" sahut Ryana Zhang sambil membereskan semua peralatan tulisnya. Sepertinya, dia memang berencana untuk membawanya serta ke Hutan Mistis. "Mengubah takdirku sendiri di alur novel ciptaanku, agar aku bisa secepatnya bisa kembali ke duniaku dan me-revisi novelku!" 

"Semoga setelah berkultivasi di hutan itu, aku bisa menjadi kuat agar aku mampu melawan para pemberontak yang menyerang istana dan menahan kaisar dan terutama para bandit liar menjijikan itu!" Ryana Zhang terus bepikir.

Bagaimanapun juga, dia tahu sekali akan kemalangan kaisar dan permaisuri juga putri mereka yang tubuhnya kini ditempati olehnya. "Zhang Rui adalah Zhu Ziya. Dan putri mahkota ini harus menyamar jadi pengemis agar tidak diketahui identitasnya oleh para pemburu yang merupakan suruhan dari Menteri Kiri Zhou Weiyang dan Selir Li."

"Ya Tuhaaaaan! Mengapa aku buat kisah rumit seperti ini? Perebutan tahta dan perebutan lelaki juga, sedangkan si protagonis tak memiliki keinginan pada perempuan. Jadi ... bagaimana caranya agar Jenderal Luo menjadi menyukai Zhang Rui?" Pikiran gadis itu semakin tak menentu. "Aaahh, pikirkan saja nanti! Sekarang aku harus segera bersiap-siap untuk keberangkatanku dan ayah angkat ke Hutan Mistis!" 

Ryana Zhang sang author yang tersesat dalam kisah novelnya sendiri itu segera menyambar tas rajut benang rami yang dibuatnya sendiri tanpa meggunakan jarum kait. Ya, dia dan Zhang He saat ini terlalu miskin. Meskipun hanya untuk membeli sebatang jarum yang paling murah pun, mereka masih tidak mampu. Sungguh Keadaaan yang sangat tidak layak untuk seorang putri mahkota seperti Putri Zhu Ziya.

Ryana Zhang keluar dari kamarnya dan masih berpakaian kumal seperti hari kemarin. Hanya ada dua stel pakaian yang dia miliki, itu pun juga sudah penuh dengan tambalan di sana sini. Lagi-lagi gadis itu harus bertemu dengan sebongkah roti tepung beras yang kasar dan terasa tawar untuk sarapan paginya beserta seguci air putih. Tak ada hidangan lezat seperti saat dirinya masih di dunia moderen yang sudah sangat dia rindukan. Kekasihnya, keluarganya, teman-teman dan pekerjaannya. Ryana hanya bisa menghela napas sembari menahan rasa tidak enak pada roti tepung yang sedikit bantat dan keras. Baginya, mungkin ini masih lebih baik daripada pergi dalam keadaan perut kosong. 

"Ayah, ibu ... aku rindu kalian semua!" bisik hati Ryana Zhang sambil menitikan air mata, saat kembali terbayang wajah orang-orang yang sangat dirindukannya.

"Selamat pagi, Ayah Angkat!" sapa Ryana atau Zheng Rui saat melihat Zhang He telah berdiri di depan pintu.

"Selamat pagi, Rui." Pria tua itu mendatanginya dengan bertatihkan tongkat dari bilah bambu gading yang merupakan lambang dari kelompok Pengemis Bambu Kuning. "Kita akan segera berangkat setelah kau selesaikan sarapanmu. Maafkan ayah yang tak bisa memberimu makanan yang lebih baik dari ini." 

 "Tidak mengapa, Ayah. ini sudah cukup enak." Ryana terpaksa berbohong agar lelaki itu tak menjadi sedih. "Apakah Ayah sudah sarapan?"

"Sudah, Rui." Zhang He terbatuk beberapa kali setelah menjawab pertanyaan dari anak angkatnya itu.

"Apakah Ayah baik-baik saja?" tanya Zhang Rui tampak khawatir pada keadaan pria tua yang telah mengasuhnya sejak dia ditinggal sang ibunda permaisuri. "Kalau keadaan Ayah sedang tidak begitu baik, mungkin ada bagusnya jika kita tunda dulu kepegian kita. Tunggulah hingga Ayah benar-benar sehat." 

"Tidak apa-apa, Rui. Ini penyakit lama yang sulit untuk disembuhkan," jawab Zhang He. "Kita tetap akan berangkat ke Hutan Mistis itu hari ini." 

"Tapi, Ayah!" 

"Tidak ada tetapi, Rui!"

...Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!