“Apa Om punya anak?” Tanya seorang gadis kecil sambil memakan eskrim dalam cup yang cukup besar. Dia sedang duduk di anak tangga yang terletak di sebuah taman yang tidak begitu ramai. Bersamanya ada seorang pria dewasa dengan setelan kemeja putih dan celana hitam, lengan kemejanya digulung sampai siku. Siapapun yang melihat anak ini pasti gemas, wajahnya yang oriental dengan poni menutup sebagian dahinya, pipi tembem, rambut panjang dan mata hitam yang bulat dengan sinar cerah memancarkan kepolosan.
“Punya ...,” jawab pria yang duduk bersama gadis kecil itu singkat.
“Apa anak Om cantik sepertiku?” tanyanya lagi, dengan logat cedal khas anak kecil berusia lima tahun.
“Bisa jadi Dia cantik sepertimu.” Pria itu menelan ludah kasar.
"Oya? Kenapa Om membawaku pergi hari ini?" tanya Gadis kecil itu kemudian.
“Om ... Ayah dan Bunda menjemputku dimana? Kenapa mereka belum datang?” tambah gadis kecil itu, setelah lama tidak mendengar jawaban dari pria di sebelahnya.
“Bisakah kau tidak membicarakan mereka, Kau sedang bersamaku sekarang?” tiba - tiba pria itu berkata dengan nada tinggi.
“Kenapa Om marah? Om membuatku takut....” Gadis kecil itu menundukkan kepala, seperti sudah ingin menangis.
“Maaf ...,” Pria itu menurunkan nada suaranya, ada tersirat penyesalan dalam ucapannya yang singkat itu.
“Habiskan eskrimmu! Kau ingin bertemu Ibumu kan?” kata pria itu sambil membetulkan letak kaca matanya. Nada suaranya sudah berubah lebih lembut dibandingkan tadi.
Gadis kecil itu segera menghabiskan eskrim yang masih tersisa separo dengan suapan-suapan yang besar dan terburu-buru.
Seharian ini mereka menghabiskan waktu dengan berpindah dari taman bermain satu ke taman bermain lainnya. Sepertinya seluruh kota sudah dikelilingi, bahkan mereka baru saja melihat sunset di pantai yang terletak jauh dari pusat kota. Kini mereka berada di salah satu taman yang menjadi ikon Kota Pahlawan ini.
“Apa ayahmu berbuat baik padamu?”
“Tentu saja. Ayahku selalu memberikan apa yang aku mau. Kau tahu Om, Ayahku selalu membacakan cerita untukku sebelum tidur. Ayah janji kalau aku sudah besar akan mengajakku naik gunung. Om tahu ayahku sering naik gunung, dan aku selalu dibelikan oleh-oleh yang banyak.” Gadis kecil itu bercerita dengan riang. Pria disebelahnya mendengarkan dengan ekspresi datar, tak terbaca apa yang ada dalam pikirannya.
“Siapa namamu lengkapmu?” Pria itu menggandeng tangan mungil gadis berambut panjang yang masih mengenakan seragam sekolah itu, berjalan menyusuri taman.
“Aneesha Pramudhita putri Adhitama” jawab gadis kecil itu dengan ceria.
“Kau tahu nama Ayahmu?”
“Tentu saja tahu Om, ayahku punya kantor percetakan dan studio foto yang besar. Nama ayahku Faresta Adhitama. Om tahu kan?”
“Kau menyayangi Ayah dan Ibumu?”
“Iya om.”
“Aku sudah mengajakmu jalan-jalan, membelikanmu banyak mainan dan eskrim, apa kau menyayangiku juga?”
“Ehm ... karena Om udah baik sama aku, akan Aku pikirkan. He he,” jawabnya polos sambil terus berjalan mengikuti langkah orang dewasa di sebelahnya.
Mereka berdua berjalan keluar dari taman, menuju tempat parkir mobil yang terdapat diluar taman. Tidak ada kecurigaan pada gadis kecil nan polos itu. Sedangkan bagi pria yang bersamanya, merasa seperti menemukan kehidupan yang baru. Kehidupan yang selama ini Dia cari keberadaannya. Bertemu dengan gadis kecil ini, menggenggam tangan mungilnya, bahkan bercerita banyak hal. Sungguh merupakan hal yang mustahil baginya sebelum ini.
“Jika Kau mau pergi denganku, Aku akan memberikan apapun padamu, apapun yang Kau inginkan akan terpenuhi.” Ucap pria itu ketika mereka berdua sudah sampai di samping mobil miliknya.
“Aku ingin pergi ke puncak gunung sama ayah dan bunda, Om. Aku tidak ingin pergi denganmu.” Jawaban anak kecil berusia lima tahun yang seharian ini bersamanya, membuat Pria berkacamata itu merasakan pedih di hati.
Ingin rasanya Dia bersikap egois, membawa pergi anak itu tanpa sepengetahuan orang tuanya ....
❤ Sejauh manapun kaki melangkah, keluarga adalah tempat yang paling nyaman untuk kembali❤
Sinar matahari pagi terasa begitu terik walaupun waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Seorang gadis keluar dari kamar, menuruni anak tangga untuk menyapa keluarganya yang sedang berkumpul di ruang makan. Dengan mengenakan setelan celana joger dan kaos oblong panjang yang agak kebesaran, wajah orientalnya terbalut jilbab pashmina sampai menutup dada. Gadis berkulit putih itu terlihat cantik dengan bola matanya yang bulat dan berwarna hitam.
“Assalamu’alaikum… selamat pagi semua?” gadis itu menarik kursi, kemudian mencium pipi perempuan paruh baya yang baru saja selesai menghidangkan makanan di meja makan.
“Wa’alaikum salam...,” jawab semua orang yang duduk mengitari meja makan, tangan mereka sudah sibuk mengambil makanan yang telah terhidang.
“Hallo adek-adekku? Sarapan yang bener, biar gak ngantuk saat pelajaran!” gadis itu menyapa dua remaja yang duduk didepannya seraya mengisi piring dengan nasi dan lauk pauk.
"Kak, suasana rumah ini mulai tidak tenang." Bisik seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah berwarna biru-putih. Menandakan umur anak itu masih diawal remaja.
“Sepertinya begitu, Dek. Kita siapkan mental saja!” jawab seorang gadis yang duduk disebelahnya. Gadis itu memakai seragam sekolah, atasan putih dan bawahan abu-abu. Jilbab instant putih khas anak sekolah melekat di kepalanya.
“Hei! Apaan kalian bisik-bisik?” kedua anak remaja itu tergelak mendapati kemarahan kakaknya.
“Neesha! Turunkan nada bicaramu!” Riani, wanita yang telah melahirkan mereka bertiga melerai keributan anak-anaknya
“Mereka dulu yang mulai Bunda!” Gadis yang bernama Aneesha mengerucutkan bibirnya.
“Udah lama aku nggak liat Kak Neesha marah, kali aja bisa bikin Kakak darah tinggi. Hahaha…” yang ini adalah adik tengah Aneesha namanya Jenar.
“Awas kuwalat kamu, adek durhaka. Kalau ada masalah, kakak gak mau bantu.” Ancam Anesha
“Eh… eh… ya jangan Kak! Maaf deh, sama siapa lagi aku minta bantuan kalau gak sama kakakku yang perkasa ini? He he ...,” Jenar tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang lucu.
“Kalian ini baru saja bertemu sudah ribut, meja makan ini penuh dengan suara kalian.” Faresta Adhitama, sang Ayah mengeluarkan suara tegasnya. Pemilik Adhitama media itu masih terlihat ganteng dan berwibawa diusianya yang menjelang setengah abad.
“Maaf, Ayah ...,” ketiga anak itu kompak mengucapkan permintaan maaf kepada ayahnya. Kalau sudah sang Ayah sudah mengeluarkan suara, tidak ada yang berani membantahnya.
“Sudah rapi, mau kemana kamu, Sha?” tanya Fares kepada anak tertuanya.
“Ada janji sama Lion yah, boleh ya?” sebenarnya ini bukan jawaban atau pertanyaan, melainkan paksaan. Aneesha tidak peduli diijinkan atau tidak Dia akan tetap pergi. Toh, Ayahnya ini bukan orang tua kolot yang dikit-dikit melarang anaknya pergi.
“ck, kau masih saja berteman dengannya? kau lupa perlakuan mamanya padamu?” tanya Fares lagi.
“Mas!” Riani mencegah suaminya agar tidak membahasnya lebih jauh. Dia tahu gadis disebelahnya ini belum benar-benar sembuh dari sakit hati karena perlakuan seseorang beberpa waktu yang lalu.
“Lion dan Mamanya gak salah, Yah.”Aneesha tersenyum masam lalu menyuapkan makanan ke mulutnya.
“Maafkan Bunda ya, sayang.” Riani membelai punggung Aneesha.
“Udah gak usah dibahas, Nda ... he he he” Dijawab dengan senyum termanis dari Aneesha.
Tin tin tin
Suara klakson mobil dari luar, membuat Aneesha segera menghabiskan sisa makanannya yang tinggal dua suap dengan cepat. Dia mengakhiri ritual sarapannya dengan meminum air putih yang sudah tersedia di depannya. Kemudian menyambar tas ransel hitam berukuran sedang yang tadi diletakkan di dekat meja makan tadi. Karena tak ingin pemilik mobil yang membunyikan klakson tadi menunggunya lama, maka Aneesha segera menggantung tas ransel di kedua pundak, lalu berpamitan kepada kedua orangtuanya.
“Neesha berangkat ya Bunda, ayah!” Aneesha mencium punggung tangan kedua orang tuanya dengan takdzim. Tak lupa dia memberikan ciuman dipipi Ibunya.
“Hati-hati sayang, jangan pulang malam-malam ya!” Riani membalas kecupan Aneesha dengan pelukan singkat.
Aneesha menyatukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf 'O' dan mengedipkan sebelah matanya kepada sang Ibu. Segera dia berlari kecil meninggalkan meja makan.
“Tunggu, Kak! Aku bareng ya?” Lingga, adik bungsunya menghentikan langkah Aneesha yang hampir mencapai pintu.
“Aku juga!” Jenar mengikuti adiknya yang sudah berdiri dan menggantungkan tas ransel besar di kedua pundaknya.
Aneesha membalikkan tubuh, melihat kedua kakak-beradik itu sedang berpamitan kepada kedua orang tuanya. Tanpa menunggu jawaban Aneesha kedua adiknya telah berlari mendahului Aneesha keluar rumah. Riani dan Fares hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anak-anak mereka.
“Kami berangkat ya Bunda!Ayah!” begitulah teriakan kompak dari kedua adik Aneesha saat melewati pintu rumah.
Walau kesal, Aneesha tidak menghentikan perbuatan konyol adiknya. Kedua adiknya sudah masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir di halaman rumah. Aneesha mengikuti kedua adiknya masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan pintunya dari dalam oleh sang pemilik mobil. Aneesha duduk di bangku depan sebelah kemudi dan memasang seatbeltnya. Tanpa bertanya, pemilik mobil segera melajukan mobil menyusuri jalan gang meninggalkan halaman rumah Aneesha. Sepertinya pemilik mobil sudah terbiasa dengan tingkah ketiga kakak beradik itu.
“Bukankah kamu biasanya dianter pak Salim ya dek? Kamu juga, Jen. Biasanya kan kamu bawa motor sendiri.” tanya Aneesha kepada kedua adiknya yang duduk dibangku belakang.
“Aku lagi males bawa motor, kak. Capek nguntir stang.” jawab Jenar santai.
“Aku juga lagi males dianter pak Salim, gak asyik dianter bapak-bapak tau, kak. Sekali-kali boleh dong pamer, dianter sama orang ganterng seperti kak Lion, ya gak kak?” jawab Lingga sambil melirik pria yang sedang fokus melihat jalanan di depannya. Yang dilirik hanya menunjukkan ibu jarinya ke arah Lingga.
“Dasar, ngrepotin!” ketus Aneesha kepada kedua adiknya.
Walau sering beradu mulut, ketiga kakak-beradik itu sangat akur. Aneesha adalah sosok kakak yang baik bagi kedua adiknya. Ketika keduanya dalam masalah, Aneesha berdiri paling depan untuk membantu mereka. Begitulah Aneesha, sekesal apapun dia akan selalu menuruti permintaan kedua adiknya. Dia sangat menyayangi adik-adiknya.
.
.
.
Bersambung....
Gak berharap banyak, dibaca aja udah seneng. Apalagi kalau ada yang komen, like, vote, wah makasih banget, hehe😁
❤Nama adalah do’a❤
Pemberian nama kepada seorang anak dimaksudkan sebagai harapan dan do’a orang tuanya. Sebagian besar orang tua percaya bahwa nama juga dapat membentuk kepribadian dan mempengaruhi perkembangan emosi dan sifat pemiliknya. Baik secara langsung atau tidak. Nama yang baik akan membawa anak memiliki citra yang positif tentang dirinya, begitu juga sebaliknya.
Aneesha Pramudhita Putri Adhitama.
Nama yang disematkan oleh almarhum sang Kakek. Anak yang terlahir suci, diharapkan bisa menjadi anak yang pandai dan memiliki budi pekerti yang luhur. Itulah maksud dari sang Kakek memberinya nama Aneesha Pramudhita. Dua nama belakangnya didapat saat anak itu berusia 5 tahun. Nama pemberian sang Ayah, suatu kejadian membuat Ayahnya memberi nama tambahan dibelakang nama aslinya.
Gadis berwajah oriental dengan pipi tembem, kulit putih dengan mata bulat, bola matanya berwarna hitam. Baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya di Institut seni jogjakarta. Gadis cantik berumur 22 tahun itu memang menyukai seni sejak kecil. Gadis tomboy yang selalu mengenakan pakaian casual dengan jilbab pashmina menutup dada itu mewarisi jiwa seni dan sosial dari ayahnya.
Bukan hanya otaknya saja yang pintar, tapi kelihaiannya bela diri juga patut diacungi jempol. Berbagai piala dan piagam penghargaan menghiasi lemari kaca besar dirumahnya. Dia menyandang sabuk sebagai pelatih muda pada sebuah padepokan silat yang cukup terkenal di Surabaya.
Aneesha adalah sosok yang sangat dikagumi oleh kedua adiknya, meskipun Dia berbeda dari kedua adiknya. Aneesha lahir karena kesalahan masa lalu sang bunda, itulah yang membuatnya berbeda dengan kedua adiknya.
“Makasih ya, Kak. Dah nganterin Aku.” Lingga keluar dari mobil setelah bersalaman dan mencium punggung tangan Aneesha dan Lion. Meski hidup di kota besar, Riani dan Fares selalu mengajarkan anak-anaknya menghormati orang yang lebih tua.
“Belajar yang bener, biar bisa menyaingi kakakmu ini!” Lion menurunkan topi yang dipake Lingga sampai menutup matanya.
“Tenang aja, Kak! Lingga akan jadi seorang kapten.” Lingga memperbaiki letak topinya dengan senyum menyeringai penuh percaya diri. Lion menjawabnya dengan mengacungkan ibu jarinya, sebelum Lingga berlari dan berbaur bersama teman-temannya.
Lion menutup kaca kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan kawasan sekolah Lingga. Aneesha hanya menggelengkan kepala dengan tingkah adik bungsunya itu.
“Maaf, ya, Li. Kita jadi muter gara-gara dua adik durhakaku itu.” Aneesha merasa tidak enak dengan Lion. Pasalnya mereka berdua janji mau hunting foto pagi itu malah aga acara mengantar 2 remaja labil ke sekolah segala.
“Gak pa pa kali, sha. Dah lama aku gak direcoki mereka juga.” jawab Lion santai.
“Kamu memang sahabatku yang paling….. baik…. makasih lion sayang….” Aneesha mencubit pipi Lion dan menggoyangkannya seolah itu mainan.
“Haisstt!!! lepas! Bukan muhrim tau!” Lion menepis tangan Aneesha dari pipinya.
“O iya, lupa.” Aneesha menepuk dahinya sendiri.
“Kemana ini rute pertama?” tanya Lion tanpa mengalihkan fokusnya pada jalanan di depan,
“Jalan aja seperti biasa, nanti aku kasih tau.” Jawab Aneesha, merebahkan punggungnya pada sandaran bangku mobil. Lion mengangguk tanpa menjawab
Lionel Baga Wisesa.
Putra tunggal Handoko Wisesa, tuan tanah terkaya sekota Surabaya. Sejak kecil sudah dibesarkan dengan curahan kasih sayang dan harta dari kedua orangtuanya. Lion menjadi teman Aneesha sejak mereka SMP, mereka juga menjadi anggota padepokan beladiri yang sama. Mereka pisah sekolah saat Aneesha memutuskan untuk kuliah di jogja, sedangkan Lion tetap kuliah di surabaya. Lion selalu setia menemani Aneesha melakukan hobinya, yaitu memotret dan menggambar.
Hari ini mereka kembali pada kebiasaan mereka saat sekolah dulu. Menyusuri jalanan, atau tempat-tempat menarik untuk mengambil gambar. Tepatnya Lion menemani Aneesha mengambil gambar dengan kameranya. Lion tidak tertarik dengan fotografi, dia hanya senang menemani Aneesha menekuni hobinya.
Puas menenteng kamera keliling jalanan, mereka berdua mengakhiri petualangan hari ini di halaman sebuah rumah sakit. Ha? Ngapain? Itulah Aneesha, hobinya yang satu ini sangat aneh. Aneesha suka melukis gedung rumah sakit saat sore hari. Karena hobinya ini, pernah sekali waktu mereka berdua diusir oleh satpam dikira akan bertindak jahat. Padahal saat itu mereka masih mengenakan seragam putih-biru.
Tapi sekarang, karena sudah sering, hampir semua satpam dirumah sakit di surabaya tahu kebiasaan mereka. Sore ini, Aneesha melukis siluet gedung rumah sakit di tengah kota. Tak memperdulikan para dokter dan perawat yang sedang lalu lalang, Aneesha asyik menggambar, sedangkan Lion dari tadi mengambil foto Aneesha dengan ponselnya. Entah sudah foto keberapa hari ini yang dia ambil secara diam-diam. Dia tetap mengagumi Aneesha, meski gadis itu sudah terang-terangan menolak pernyataan cinta Lion.
“Kau akan memenuhi ruang penyimpanan ponselmu dengan fotoku?” tanya Aneesha tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku gambar dipangkuan. Rupanya dia sadar dari tadi Lion mengambil fotonya secara diam-diam
“Eh?” Lion segera menurunkan ponsel yang baru saja Ia arahkan untuk memotret Aneesha. Dia pikir karena sedang konsentrasi menggambar, Aneesha tidak akan tahu, ternyata Aneesha tau. Tiba-tiba Lion menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Cafe yuk, sha! Pengen ngopi, nih.” Lion duduk disebelah Aneesha, mengalihkan pembicaraan dari persoalan foto tadi. Mereka berdua duduk diatas bangunan beton panjang sebagai pembatas taman.
“Sini hpmu!” Aneesha menutup buku gambar, tangan kanannya menengadah memberi isyarat meminta kepada Lion.
“Biarin kenapa, sih, Sha! Gak bakalan juga fotomu kugunakan untuk menyantetmu.” Lion menolak permintaan Aneesha.
“Lion?” tangan Aneesha masih dalam posisi semula. Mau tak mau Lion menuruti permintaan aneesha. Sahabatnya ini tidak akan berhenti sampai keinginannya terpenuhi. Lion memutar bola matanya jengah.
Dengan berat hati, Lion mengambil hp yang sudah dimasukkan ke saku celana, lalu meletakkannya ke tangan Aneesha yang masih menengadah. Aneesha dengan lincah menyapu layar ponsel dengan telunjuknya. Membuka galeri dan mengahapus semua foto dirinya yang diambil oleh Lion sepanjang hari ini.
“Sisakan satu, dong, Sha!” pinta Lion dengan wajah memelas, mengintip jemari Aneesha yang masih menari di layar ponsel miliknya. Aneesha melirik sebentar, menghela nafas kesal.
“Nih.” Aneesha mengembalikan hp kepada pemiliknya, setelah yakin semua fotonya terhapus. Lion menerimanya dengan malas. Pupus sudah harapan menyimpan gadis yang selalu membuatnya berdebar itu.
Aneesha mengemasi barang-barangnya ke dalam tas ransel, kemudian menggantungkannya di kedua bahu. Dia berdiri dan berjalan duluan, meninggalkan Lion yang sedang meratapi nasip tragisnya. Dengan langkah gontai, dia segera menyusul Aneesha menuju ke mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka duduk tadi.
.
.
.
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!