...Bab 1 Pertemuan...
Medan, Sumatera Utara
Sabtu sore Qonita, Vivi, dan 2 anak ganteng Qonita sedang berada di tempat permainan anak, di salah satu mall kecil di Medan.
Salah satu permainan yang tidak pernah dilewati anak-anak adalah mandi bola. Demikian pula halnya dengan Fuad dan Nabil. Dua anak laki-laki yang berusia masing-masing 5 dan 3 tahun.
Qonita selalu mengusahakan membawa anak-anaknya berjalan-jalan, setidaknya sebulan sekali untuk menggantikan kesibukannya sebagai seorang guru.
Janda dengan 2 anak itu berusia 30 tahun, Qonita Yasmin Siregar namanya.
Qonita dan Vivi hanya duduk memperhatikan Fuad dan Nabil. Vivi adalah mantan murid Qonita yang sebenarnya sangat pintar, namun sayang tidak dapat melanjutkan kuliahnya.
Ayah Vivi sudah meninggal dan Ibunya sedang menjadi TKW. Adiknya ada 3 dan ada yang masih SD . Begitu tamat SMA, Vivi bekerja dan tinggal di rumah Qonita membantu menjaga anak-anak Qonita dan membantu mengurus rumah. Adik-adik Vivi tinggal bersama nenek mereka.
Tidak terlalu ramai yang bermain mandi bola, mungkin karena bukan hari minggu. Namun ada satu anak perempuan yang terlihat asik bermain bersama Fuad dan Nabil. Anak perempuan tersebut adalah Ichy.
Ichy terlihat dijaga oleh seorang perempuan seusia Qonita, mba Ayu namanya.
Tidak banyak pembicaraan antara Qonita dan mba Ayu yang ternyata adalah ART di tempat tinggal Ichy, hanya saja sempat mba Ayu berkata kalau baru kali ini melihat Ichy bisa bermain lepas dan bahagia.
Biasa Ichy cenderung pendiam dan menyendiri. Qonita sedikit mengernyit, bukankah anak kecil cenderung selalu ceria?
“Bunda,” ucap Fuad dan Nabil, yang memang sesekali menghampiri Qonita di sela permainannya.
“Saya, Nak,” jawab Qonita sambil tersenyum penuh cinta dan menarik anak-anaknya dalam pelukannya.
“Hai, Sayang, Kakak cantik siapa namanya?” Qonita mengalihkan perhatiannya pada Ichy yang terdiam melihat interaksinya dengan kedua anaknya.
Ichy terlihat sedikit ragu entah memendam apa. “Ichy.” Ia memandang datar pada Qonita.
“Makasih ya, udah mau main sama Fuad dan Nabil. Bunda senang deh, mereka jadi ada temennya.” Menarik Qonita dan memeluknya. Wajah datar Ichy seketika sumringah.
“Kakak haus, gak? Minum dulu, Sayang. Bawa minum, kan?” tanya Qonita.
“Bawa Bun, eh... Tante,” ucap Ichy sambil telapak tangannya menutup mulutnya.
“Gapapa, Sayang, panggil Bunda aja.” Qonita mengelus sayang rambut Ichy penuh kelembutan. Qonita memang sering memanggil dirinya bunda sesuai panggilan Fuad dan Nabil padanya.
Selang 1 jam waktu bermain habis. Qonita pamit pada Ichy dan mba Ayu.
"Kak Ichy, Fuad dan Nabil pulang duluan ya. Sampai ketemu lain waktu ya, Nak. Duh kakak cantik banget seh." Qonita tersenyum sambil mengelus sayang wajah Ichy.
Menarik tangannya dari wajah Ichy dan bermaksud pergi, tangan Qonita dipegang dan ditahan oleh Ichy, Ichy menatapnya dalam.
Qonita bingung, sambil tersenyum dia pun berkata, "Kenapa, Sayang? Mau salam sama Bunda?"
Ichy mengangguk dan menyalam Qonita lalu segera memeluk Qonita. Qonita dan mba Ayu sama-sama terkejut, tak menyangka reaksi yang diberikan Ichy.
Apalagi tadi penjelasan mba Ayu, mengatakan kalau Ichy jarang mau membuka diri dengan orang baru.
Qonita membalas pelukan Ichy, lalu berjongkok dan mencium kening Ichy.
"Bunda dan adek pulang ya, Kakak cantik. Semoga ada rezki kita jumpa lagi ya, Sayang,” tulus Qonita.
"Iya, Bunda." Ichy pun tersenyum bahagia.
❤️❤️❤
Di bawah terik mentari Qonita memakai sarung tangannya, tak lupa masker dan helm lalu ia menyalakan sepeda motornya. Ia baru selesai mengajar di SMA Negeri yang ada di Medan.
Cuaca panas membuat sepeda motornya melaju dengan kecepatan 50 km/jam. Tidak kencang, bahkan cenderung pelan bagi sebagian besar orang, namun tidak baginya yang terbiasa melaju dengan kecepatan 40 km/jam.
Di tengah perjalanan menuju rumahnya ia terpaksa me-rem mendadak akibat ada anak SD yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan.
Spontan mobil Avanza di belakangnya juga ikut berhenti yang disusul oleh kendaraan lain dibelakang mobil tersebut.
Gdebum!!!
Terdengar suara tabrakan tak jauh dari posisinya.
Ia meminggirkan sepeda motornya, lalu menoleh ke belakang. Seorang lelaki paruh baya dengan wajah sangar, keluar dari mobil Avanza Silver. Laki-laki tersebut berjalan ke arah belakang mobilnya.
Ia sendiri berjalan mendekati anak SD yang menyeberang tadi. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Qonita.
"Gapapa, Bu," jawab anak SD tersebut dan segera berlari menjauh dr TKP dan akhirnya menghilang.
“Lho!” Qonita berguman pelan. Ia terbengong setelah ditinggal anak SD tadi.
Terdengar suara ribut di belakang mobil. Tak lama muncul bapak paruh baya berwajah sangar dihadapannya.
"Ikut Saya, gara-gara Kamu mobil Saya jadi rusak!" Dengan kasar bapak paruh baya berbicara pada Qonita.
Mereka berjalan ke arah belakang mobil Avanza, dan wouw... ia terkejut melihat sebuah mobil Alphard hitam dengan bagian kap depan mobil yang sedikit peyot.
Oh no...
Adu argumen terjadi. Qonita tentu saja menjelaskan alasan dia memberhentikan sepeda motornya.
Laki-laki paruh baya lainnya yang merupakan supir mobil Alphard tadi cenderung biasa saja. Suara didominasi oleh laki-laki paruh baya berwajah sangar yang cenderung kasar dan terlihat marah-marah.
Hingga akhirnya seorang perempuan paruh baya bergaya elegan keluar dari mobil Alphard bersama seorang anak perempuan cantik.
"Bunda", teriak anak perempuan berusia 6 tahun itu dengan mata berbinar dan senyum sempurna.
"Eh... Kakak. Apa kabar, Sayang?" jawab Qonita dengan wajah terkejut.
5 menit kemudian...
Mobil Avanza Silver telah pergi setelah pemiliknya mendapatkan uang 2 juta dari perempuan paruh baya.
"Saya Herni, oma nya Ichy, kenal dimana sama cucu Saya?" tanya perempuan paruh baya.
Qonita pun menceritakan pertemuannya dengan Ichy pada oma Herni.
❤️❤️❤
Disini seorang anak perempuan, terlihat tak melepas senyum dari wajahnya walau hanya 1 detik. Kebahagiaan jelas tergambar dari wajahnya.
Tangannya masih setia menggenggam tangan seorang perempuan yang ia panggil dengan 'Bunda'.
Ya, oma Herni mengajak Qonita untuk berbicara di sebuah cafe yang tak jauh dari tempat tabrakan tadi.
Oma Herni mengamati dengan intens sikap ceria cucunya. Kebahagiaan ini terakhir kali ia lihat hari Sabtu minggu lalu sejak cucunya pulang dari Mall bersama salah satu ARTnya.
Ia terlihat mengingat kejadian Sabtu minggu lalu. Menjelang magrib itu cucunya pulang dengan hati gembira. Menebar senyum indah dalam waktu yang lama.
Oma Herni heran. Yang ia ingat siang itu salah satu ART nya izin pergi ke Mall setelah menyelesaikan tugasnya. Mba Ayu mendapat izin dari oma Herni.
Namun Ichy bertanya pada Oma nya apakah boleh ikut dengan mba Ayu. Mba Ayu langsung mengatakan kalau ia akan pergi ke Mall kecil, namun Ichy tetap ingin ikut juga.
Akhirnya oma Herni mengizinkan dengan syarat mereka diantar supir.
"Maaf, Bu, sebelumnya Saya mohon maaf atas kejadian tadi, sehingga menyebabkan mobil Ibu rusak, dan malah harus memberikan uang pada bapak yang tadi." Lamunan Oma Herni terhenti oleh perkataan Qonita.
Oma Herni tersenyum. "Tidak apa-apa. Belum Rezki."
"Jadi berapa yang harus Saya ganti, Bu?" tanya Qonita.
Oma Herni terlihat lama berfikir. Lalu bertanya, "Apa boleh diganti dengan selain uang?" Qonita mengernyit.
Oma Herni mengerti keheranan Qonita. "Saya punya 3 permintaan. Boleh diterima boleh tidak. Terserah Kamu, Saya tidak memaksa."
"Permintaan pertama, Saya ingin silaturahmi kita berlanjut, saling mengunjungi. Bagaimana? Apa bisa diterima?” tanya oma Herni.
"Sesimple itu?" Spontan Qonita terkejut.
"Eh, maaf, Bu." Qonita menyengir.
Oma Herni tertawa pelan. "Iya sesederhana itu. Tapi masih ada 2 permintaan lagi lho. Masih Saya tunda. Mau lihat realisasi dari permintaan pertama dulu," lanjut Oma Herni.
Qonita terlihat sedang melakukan Video Call dengan seseorang. Ya, beberapa hari ini ia rutin menerima video call dari oma Herni dan tentu saja selalu ada Ichy disana.
Ujung dari VC tersebut adalah Qonita sekeluarga diundang ke rumah oma Herni.
Minggu menjelang siang di kediaman oma Herni, telah terhidang berbagai jenis makanan dan minuman untuk menjamu Qonita dan keluarganya.
Hanya dalam hitungan menit, 3 anak sudah asyik bermain bersama. Mereka adalah Ichy, Fuad dan Nabil.
Kebersamaan sewaktu pertama kali bertemu juga tercipta di pertemuan kedua ini. Anak-anak itu bergembira bermain satu sama lain. Terlihat sangat akrab, saling menyenangi, saling ceria, seolah-olah mereka sudah berteman lama.
Oma Herni mengambil kesempatan itu untuk bertanya pada Qonita. "Kenapa cuma datang berempat, Qonita? Ayahnya anak-anak tidak ikut?"
Sejenak Qonita terdiam. "Kami sudah pisah Bu, 8 bulan yang lalu. Saya hanya tinggal bersama kedua putra saya dan Vivi, Bu. Makanya cuma datang berempat saja."
"Maaf, Nak. Ibu tidak tahu. Qonita apa kamu tersinggung jika Ibu bertanya tentang privasi kamu? Ibu ingin mengenal kamu dengan dekat," ucap oma Herni.
"Maaf sebelumnya, tapi sepertinya Ichy cucu Saya menyukai Kamu dan anak-anak Kamu. Mungkin Kamu perlu tahu, kami sudah lama tidak melihat kebahagiaan Ichy," sambung oma Herni.
"Sudah hilang hampir 2 tahun lamanya. Sejak Maminya meninggal, tidak ada keceriaan didirinya, dia jadi pendiam dan penyendiri. Tidak suka orang baru. Dia sulit bergabung dengan yang lain," ucap oma Herni sendu.
"Sampai akhirnya kami melihat Ichy penuh senyum setelah ikut Ayu, ART kami, pulang jalan-jalan." Dengan raut wajah yang menunjukkan kesedihan oma Herni menceritakan tentang Ichy.
"Tidak apa-apa, Bu. Tanyakan saja apa yang ingin Ibu tanyakan. Tinggal jawab kan gak susah, Bu. Kecuali Ibu bertanya tentang soal UN, mungkin Saya butuh waktu menjawabnya... Heheh," ceringis Qonita.
"Hahha... Kamu bisa saja. Boleh Saya tau alasan kalian berpisah, Nak? Karena pasti sulit membesarkan 2 buah hati sendirian, bukan?" oma Herni menatap Qonita penuh arti.
Qonita menarik nafas. "Mmm.. diselingkuhi untuk yang kedua kalinya, Bu. Kapal kami oleng di tahun ke 3 pernikahan," ucap Qonita datar.
"Kejadian pertama, Saya sedang hamil anak ke-2. Pertimbangan anak menjadi alasan utama Saya memaafkan ayah mereka," lanjut Qonita.
"Dua tahun kemudian terulang lagi. Rumah tangga kami berasa rumah duka bagi Saya, cuma ada kesedihan didalamnya. Saya sudah capek, sangat lelah. Akhirnya Saya memutuskan bercerai." Kali ini Qonita menunjukkan wajah muramnya.
"Syukurnya Saya bekerja, Bu. Gaji PNS mungkin tidak besar, tapi cukup untuk kami. Setidaknya setiap bulan Saya pasti menerima gaji." Qonita berucap lirih.
Oma Herni mengangguk-angguk. "Tidak ada niat menikah lagi, Nak? Kamu kan masih muda. Anak-anak juga memerlukan sosok seorang ayah."
Qonita menggeleng. "Saya gak akan menikah lagi, Bu. Cukup bagi Saya membesarkan kedua anak Saya."
"Menikah cuma akan menjaga perasaan orang lain. Menjaga perasaan suami dan keluarga besarnya." Mendengar jawaban Qonita ini, oma Herni sedikit mengernyitkan dahinya.
"Namun takkan ada yang menjaga perasaan kita. Jadi untuk apa menikah lagi? Hanya menambah beban," sambung Qonita.
Oma Herni tersenyum kecil. "Ibu melihat pada Ichy, Qonita. Ichy seperti kehilangan semangat hidupnya."
"Papinya Ichy sampai sekarang belum mau menikah lagi. Kami sudah capek mengenalkan banyak perempuan pada papinya. Tapi semua ditolak. Ichy cenderung berbeda dari anak kebanyakan. Dia kehilangan sosok Ibunya," ujar Oma Herni.
"Maaf Bu, apa Papinya Ichy terlalu mencintai Mami Ichy? Sehingga tidak bisa menggantikan dengan yang lain?" tanya Qonita.
"Bukannya apa-apa. Biasa laki-laki bisa banget langsung menikah lagi. Berbeda dengan kita perempuan, banyak yang difikirkan, banyak yang jadi bahan pertimbangan. Terus, apa Ichy tidak dekat dengan papinya?" telisik Qonita.
Kali ini Oma Herni yang menarik nafas dalam. "Papi dan Mami Ichy menikah karena kami jodohkan, Nak. Dulu Iman, papinya Ichy mencintai perempuan lain. Namanya Mayang. Mereka berpacaran dan berencana menikah."
Sejenak oma Herni menarik nafas dalam mengingat kisah cinta putranya dulu.
"Kami tidak ada yang tau kalau pacar Iman itu anak dari musuh keluarga kami. Cerita dari masa lalu, Nak. Pertikaian antara Papi Iman dan Papi Mayang."
"Kedua keluarga tidak ada yang merestui. Sama-sama menentang hubungan mereka," sambung oma Herni.
"Cukup lama Iman menutup diri dari kami. Hingga akhirnya dia setuju menikah dengan perempuan pilihan kami, Maminya Ichy, Jihan namanya."
Sambil mengingat Jihan, Oma Herni meneteskan air matanya.
"Jihan perempuan yang baik. Kami bukannya tak tau kalau Iman cuek pada Jihan. Iman memang melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi tidak ada perhatian dan rasa cinta. Jihan cukup sabar menghadapi Iman. Tanpa keluhan hingga akhir hayatnya."
Tangisan Oma Herni semakin kuat. Qonita hanya mampu menepuk-nepuk tangan Oma Herni untuk menenangkannnya.
"Mungkin rasa bersalah Iman yang membuat dia tak mau menikah lagi. Entahlah... kami hanya mampu menduga-duga. Karena Iman tidak mau bercerita pada kami."
"Iman sangat sayang pada Ichy. Mereka sangat dekat, Nak. Hanya saja pekerjaan Iman juga terkadang menyita banyak waktunya. Sehingga tidak terlalu banyak Ichy menghabiskan waktu bersama Iman."
"Belum lagi kalau sedang ada pekerjaan keluar kota. Makanya Ichy sering menginap disini." Oma Herni berusaha menjelaskan.
Qonita mengernyit. " Jadi Ichy dan papinya tidak tinggal disini, Bu?"
"Tidak, Nak, mereka tinggal di rumah yang ditempati Jihan dan Iman setelah menikah. Hingga sekarang tetap disitu. Menginap disini hanya beberapa hari tergantung pekerjaan Iman." Qonita mengangguk mengerti.
Cukup lama berada di kediaman Oma Herni, Qonita dan kedua anaknya semakin dekat dengan Ichy.
Ichy pun tak segan bermanja-manja pada Qonita. Qonita yang pembawaannya memang keibuan dan penyayang pun menyambut hangat Ichy.
Mata Oma Herni tak luput beberapa kali melihat Ichy berada dalam dekapan Qonita. Menyalurkan rasa sayang seorang Ibu pada anaknya.
Menjelang sore Qonita pamit pulang. Oma Herni tak mengizinkan Qonita menggunakan taxi online. Supir yang akan mengantarkan mereka sampai ke rumah.
"Terima kasih banyak atas undangan dan jamuannya, Bu," ungkap Qonita pada oma Herni.
"Sama-sama, Sayang, sering-sering main kesini ya," jawab oma Herni.
"Fuad, Nabil salam oma dan kakak, Nak," ucap Qonita pada anak-anaknya.
"Oma dan kak Ichy tunggu lagi ya kedatangannya," sahut oma Herni.
"Bunda pulang ya, Nak. Jadi anak baik ya, Sayang. Nurut sama Oma." Qonita memeluk Ichy.
"Iya, Bunda." Ichy tersenyum cerah.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikum salam, Bunda." Masih dengan seyum lebar sambil melambaikan tangan pada Qonita, Vivi dan anak-anaknya.
Di kediaman Iman
"Hari ini Ichy seneng banget, Pi." Ichy tersenyum merekah mengutarakannya. "Ichy senang tadi main sama bunda, dek Fuad, dek Nabil dan kak Vivi, Pi. Mereka baik sama Ichy. Sayang sama Ichy."
"Wah... papa, oma, opa, tante Nana dan om Gagah kan juga sayang banget sama Ichy? Apa Ichy gak senang?" tuntut Iman.
"Beda Pi, kalo bunda kan orang lain, tapi sayang sama Ichy, beda kayak orang lain, Pi."
"Memangnya orang lain kenapa, Sayang?" tanya Iman.
"Orang lain sayangnya kalo ada papi dan oma aja," jawab Ichy.
Iman mengernyit. "Maksud kamu orang lain sayangnya gak tulus?"
"Iya Pi, gak tulus. Tapi kalo bunda sayangnya tulus. Dari main bola udah tulus, Pi."
Iman semakin bingung dengan pernyataan putrinya. Apa mungkin anak sekecil ini bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak.
❤️❤️❤️
Keesokan harinya di kediaman Oma Herni...
Sore hari sepulang kerja, Iman singgah ke rumah orang tuanya. Sudah ada oma Herni dan opa Pras, Papanya Iman di ruang keluarga. Ichy tak ada disana karena saat ini Ichy sedang di rumahnya.
Setelah menyalam Papa dan Mamanya Iman duduk dihadapan orang tuanya. "Ada apa Mama memanggil Iman kesini?"
"Apa Ichy ada cerita sama kamu, Man?" tanya oma Herni.
"Tentang?" tanya Iman.
"Qonita," jawab Oma Herni.
Iman mengernyit. Langsung dijelaskan oleh Oma Herni. "Perempuan yang dipanggil bunda oleh Ichy. Semalam Ichy dan anaknya kesini, mama yang undang."
"Ohh..."
"Ck." Oma Herni mendesah. "Jangan 'ohh' aja, Man. Gimana pendapat Kamu?"
Iman semakin bingung. "Pendapat apanya, Ma? Maksudnya gimana seh? Iman mana bisa kasih pendapat, kan Ichy dan Mama yang jumpa. Iman dan Papa kan sedang keluar, kerja. Jadi mau kasih pendapat apa?"
Opa pras menengahi. "Gini Man, semalam Mamamu udah cerita sama Papa. Mamamu dan cucu Papa menyukai Qonita dan anak-anaknya. Jadi Mamamu berniat mengenalkan Kamu pada Qonita. Bukan begitu, Ma?"
"Mengenalkan?" tanya Iman.
Oma Herni mengangguk.
"Ok, nanti atur aja jadwalnya," ucap Iman yakin.
"Kamu bersedia?" tanya Oma Herni Ragu.
"Tentu aja. Emang kenapa seh, Ma? Suaminya bukan saingan bisnis Iman, kan?" tanya Iman curiga.
"Hahahah..." Terdengar tawa keras dari Opa Pras. "Mengenalkan dalam tatap kutip, Man." Sambil mengangkat kedua tangannya, jari tengah dan telunjuk di lekukkan membentuk tanda kutip.
"Mengenalkan untuk bisa lebih dekat. Mana tau kedepannya bisa membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Kan cocok, Kamu duda, Qonita janda." Sambil menekankan kata janda, mengerling padanya.
S!al
Iman mengerutkan dahinya. Ia mengumpat dalam hati mendengar kata terakhir dari papanya.
Akhinya ia memahami situasinya sekarang. Ia kembali hendak dijodohkan. Setelah 3 bulan orang tuanya tak lagi sibuk menjodohkannya.
Bedanya kali ini ia dijodohkan dengan seorang janda.
Ohh.. apa yang terjadi?
Apa sefrustasi itu mamanya sehingga menjodohkannya dengan seorang janda. Bukan dia malu, bukan.
Hanya saja selama ini kedua orang tuanya sibuk menawarkan 'gadis' terbaik. Terbaik dari segi wajah, penampilan, pendidikan dan keluarga. Bobot, bibit dan bebetnya sempurna.
Dan semuanya ia tolak. Bukannya menaikkan kriteria ini malah...
Kali ini, orang tuanya menjatuhkan kriterianya. Jauh, sepertinya sangat jauh...
Hingga ia merasa penasaran, siapa perempuan itu? Kenapa sampai membuat anak dan Mamanya jatuh hati?
"Udah berapa kali Mama ketemu dia?" tanya Iman.
"Mama baru ketemu dua kali. Kalau Ichy udah tiga kali. Yang pertama di Mall waktu mandi bola."
Iman mengernyitkan keningnya. "Ma... are you ok? Mama dikasih apa sama janda itu? Makanan yang dia bawa Mama makan? Sampe mama berubah kayak gini?"
"Hahah..." Opa Pras kembali terkekeh-kekeh. "Papa juga penasaran, Man. Pengen jumpa sama Qonita. Lebih cepat lebih baik kayaknya. Penasaran banget Papa. Sumpah."
"Jadi gimana, Man, kita atur jadwalnya? Papa pengen lihat, jangan-jangan kali ini Kamu gak bakal nolak. Hahaha...," lanjut opa Pras.
"Apa? Mana mungkin," umpat Iman dalam hati.
"Kamu bersedia kan Man, berjumpa sama Qonita?" tanya Oma Herni ulang untuk menegaskan.
"Ok. Nanti Iman yang kabari waktunya." Memijit keningnya yang entah kenapa kepalanya mendadak terasa pusing.
❤️❤️❤️
Di perusahaan tempat Iman bekerja, sudah duduk dihadapan Iman, Jamal asisten pribadi Iman yang sangat setia padanya.
"Kusut banget muka, Bro?" tanya Jamal. Ya... ia kadang bertutur tak formal. Karena ia sejatinya adalah sahabat karib Iman.
"Huufft. Pusing dibuat Mama."
"Dijodohkan lagi?" tebak Jamal.
"Kali ini beda," ungkap Iman.
"Beda dimananya?"
"Semuanya." Jamal semakin mengernyit mendengar penuturan singkat Iman yang jelas tak memberikan gambaran apapun atas pertanyaan-pertanyaannya.
"Ya, semuanya beda. TERMASUK KAMU," ucap Jamal tegas. Pusing melihat temannya itu.
Iman menghela nafas panjang. "Janda." Hanya itu yang diucapkan Iman. Namun jelas membuat Jamal mengerti.
"Weiisss.. what happen, Bro? Hahhaha."
"S!al," bentak Iman.
"Anak siapa? Yang mana? Kog bisa?" Beruntun pertanyaan Jamal.
"I don't know. Mama aja baru jumpa sekali. Mama kali ini aneh. Tanpa diselidiki dulu langsung panggil Aku aja. Gak kayak biasa. Bener-bener aneh. Gak takut salah pilih apa?"
"Kog bisa seh, anaknya teman tante Herni?" tanya Jamal bingung.
"Bukan. Aku juga gak tau kali ceritanya gimana. Yang Aku tau Ichy awalnya jumpa sama Janda itu. Waktu mandi bola pergi bareng ART."
"Pulang- pulang Ichy bahagia banget kata Mama. Ichy main sama dua anak laki-lakinya."
"Gak tau gimana ceritanya, semalam mama ngundang dia ke rumah. Cuma jumpa disitu doank Mama udah suka aja. Aneh gak tuh langsung main jodohin aja."
"Trus, duda ini gak bersedia?" Sambil mengerling pada Iman.
"S!al. Apa maksud Lo?" ketus Iman.
"Benerkan, Lo emang duda. Kenapa marah gue panggil 'Duda'." Menekankan kata duda.
"Gue punya nama." Bentak Iman
"Hahhha.. emang janda itu gak punya nama? Lo tadi manggil dia Janda kali, Bro." Jamal terkekeh. "Siapa namanya?"
"Qonita."
"MasyaAllah. Gak perlu ketemu orangnya. Denger namanya aja Aku udah suka. Hahaha..." Iman melempar pulpen pada Jamal mendengar tawa sahabatnya itu.
"Diam!" bentak Iman.
"Santai Bro... santai. Aku saranin coba aja dulu kenal dia. Liat gimana orangnya kog bisa sampe buat mama dan anak Kamu suka." Kali ini Jamal berbicara memakai aku kamu setelah suasana tak memanas.
"Dan gak mungkin Kamu nolak terus-terusan. Sampe kapanpun ortu Kamu pasti gak akan berhenti berusaha, SAMPE KAMU NIKAH LAGI." Jamal mengucapkan kalimat terakhirnya dengan lambat dan tegas.
Iman cuma menjawab dengan anggukan atas pernyataan panjang asprinya itu.
❤️❤️❤️
"Hallo, Sayang," ucap oma Herni setelah menggeser tanda panggilan hijau dari Hp-nya.
"Halo, Ma. Aku bersedia jumpa sama dia."
"Dia siapa, Sayang?" Goda Oma Herni pada anaknya yang jelas-jelas mengerti siapa yang dimaksud anaknya itu.
"Ck." Gerutu Iman. "Janda itu."
"Duda, gak boleh gitu, Sayang." Balas Oma Herni.
"Ma, please." Ucap Iman tegas.
"Qonita, Sayang. Namanya Qonita," ucap oma Herni sambil tersenyum penuh arti.
"Ya. Ok. Aku udah atur jadwal. Besok sore pulang kerja. Mama bilang sama Ja-." Kalimat Iman terpotong saat dia ingin mengucapkan kata janda. "Mama bilang sama Qonita, Aku mau jumpa dia di 'Petualang Cafe'.
"Wah... buru-buru amat, Sayang. Jangan besok. Mama butuh waktu buat nyampein ini ke dia. Minggu depan, ok?"
"What?" teriak Iman.
"Hahahha... Mama belum bilang ke dia tentang Kamu, Sayang."
"Apa?" Kembali terdengar teriakan Iman.
"Sabar ya, Sayang."
Oh no..
S!al.
"Mama yang akan kabari kamu kapan bisa jumpa sama dia. Mana berani mama ngomong sama dia kalau kamu nya belom pasti mau. Hehe..."
"S!al," ucap Iman pelan.
"Jadi kali ini Aku yang nunggu?" tanya Iman tak percaya.
"Heheh... Sabar ya, Sayang. Kali ini mama prospek cepat deh."
Prospek?
Oh no..
What the hell..
"Ma?"
"Iya iya, Sayang. Anak Mama udah gak sabar berpetualang ya? Hahah. Sampe mau ketemu aja harus di Petualang Cafe. Heheh... Ok, Mama gercep ini. Kamu tinggal tunggu kabar, ok? Bye Sayang, Mama mau langsung action neh."
Tuut..
Iman terkejut dan terkaget. Kaget dan terkejut. Ehh.. gimana ini maksudnya. Kaget? Iya. Terkejut? Jelas. Bingung? Apalagi.
"Hahaha.. S!al." Iman tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya akan apa yang telah terjadi.
Kalau saja Jamal ada disini dan mendengar semua, entah akan jadi apa dirinya. Apa masih bisa hidup atau tidak. Hahah...
Malu?
Bukan
Malu sekali?
Bukan juga.
Sangat Malu sekali?
Hampir.
Sangat malu sekali pake banget?
Ya seperti itu.
Hahahah...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!