Seorang perempuan dengan balutan blush berwarna putih, rambut tergerai lurus melebihi bahu, sedang berjalan menuju rumahnya dengan langkah agak cepat.
Guratan lelah di wajahnya benar-benar kentara saat ini, sesekali Ia memegangi lehernya yang sudah terasa pegal. Saat terdengar suara memanggil Mama dari dalam, terbentuklah lekuk sabit di bibirnya, wajah cantiknya seperti merekah kembali.
Mira bergegas mempercepat langkah untuk segera bertemu dengan sang buah hati yang sudah dirindukanya sedari tadi. Tampak anak kecil dengan mengenakan baju spider man, telinga yang identik agak besar, serta gigi yang mencuat ompong, langsung berlari dan memeluk dirinya. Mira dengan sigap menangkap tubuh mungil nan ringan itu dan mendekap dengan erat lama sekali.
Rafa adalah anak kecil yang sekarang ada dalam gendongan Mira. Rafa adalah sang buah hati satu-satunya, Rafa adalah malaikat kecil yang menjadi pelengkap hidupnya.
“ Tadi Rafa belajar apa di sekolah? ” tanya Mira.
“ Tadi Rafa belajar bahasa inggris, Ma. ”
“ Wah, hebat anak Mama, ”
“ Rafa sudah tau bahasa inggrisnya angka satu sampai sepuluh, loh, Ma. ”
“ Benarkah? Coba Mama ingin dengar, ”
“ One, two, three, four, five, six, seven, eight, nine... ‘’ Rafa menggantungkan kalimatnya, berfikir sejenak. Mira menunggu angka-angka bahasa inggris yang sedang di sebutkan anaknya.
“ Ten! ” seru Rafa cukup keras, setelah ingat.
“ Wah, anak Mama benar-benar hebat. ” Kata Mira setelah itu, sembari mencium pipi mungilnya.
Mira pun menyerahkan Rafa pada Sri, pengasuh anak di rumah itu. Sri yang usianya juga masih muda, adalah anak dari Pamanya dari desa. Mira sudah menganggap Sri sebagai adiknya sendiri dan bahkan keluarga satu-satunya yang Ia miliki sekarang. Karena Mira hanya tinggal bersama Sri dan Rafa.
Lalu, Mira bergegas untuk mandi, air yang mengucur dari shower benar-benar menyegarkan tubuhnya kembali. Setelah selesai, Mira mengganti baju dan siap ke ruang tengah untuk menemui Rafa kembali. Selelah apapun, seletih apapun, jika sudah berada di dekat Rafa semua lelah seakan menghilang.
Saat ini, Rafa sedang menggambar, duduk di sofa di ruang tengah, ditemani oleh Sri yang sedang merapikan pakaian. Sedangkan TV masih menyala menampilkan tayangan-tayangan yang tidak disukai oleh Rafa. Karena tidak ada tayangan kartun ketika malam hari.
“ Sri, kau istirahat saja, biar aku yang menemani Rafa. ” Kata Mira saat baru duduk di samping Rafa.
“ Baik, Mbak Mira, ” jawab Sri, lalu bangkit dari duduknya, menuju dapur.
Mira mengelus puncak kepala Rafa yang terasa lembut itu sembari memandangi apa yang tengah dilakukan oleh sang buah hati. Sembari menggulir pesan, siapa tau ada hal penting yang menyangkut pekerjaanya di kantor.
Saat Rafa sudah menguap berkali-kali, Mira pun mengajaknya untuk tidur. Mira beranjak dari sofa, berjalan menuju dapur dan Ia segera membuatkan segelas susu untuk Rafa. Selang beberapa saat, Mira sudah kembali. Rafa pun segera meneguk segelas susu hingga meneguknya sampai habis. Setelah itu, Mira mengangkat tubuh Rafa dan membawanya ke kamar.
“ Mama, ” panggil Rafa, sembari menegadah kepala memandang wajah Mira.
“ Iya, ada apa sayang? ” jawab Mira, sembari mengelus kepalanya.
“ Rafa boleh minta sesuatu lagi sama, Papa? ”
“ Apa, sayang? ”
“ Rafa mau mobil-mobilan. ”
“ Iya, nanti Mama bilang sama Papa, ya, kalau anak yang sangat menggemaskan ini minta dibelikan mobil-mobilan. ”
“ Asikk! ” balas Rafa setengah memekik, wajah yang tadinya penuh harap itu segera merekah, wajahnya menjadi kegirangan.
“ Sekarang tidur, biar Papa di sana tidak mengkhawatirkanmu. ”
Rafa mengangguk kegirangan, lalu memejamkan mata dengan cepat dan Mira memandangnya dengan pandangan sendu.
Mas Fahmi, anakmu minta dibelikan mobil-mobilan.
.......
Di Dapur.
Mira sedang berjalan menuju dapur dan di sana Sri sedang membersihkan dapur.
“ Eh, Mbak Mira, belum tidur? ” tanya Sri saat mengetahui Mira tengah berjalan ke arah dapur.
“ Belum, Sri, ” jawab Mira sembari menuangkan air putih dari dispenser. Lalu duduk di bangku dapur.
“ Mbak Mira kelihatan capek sekali, sebaiknya istirahat saja, ”
“ Aku sudah tidak capek kok, Sri, hanya saja...” Mira menggantungkan kalimatnya, terasa berat untuk melanjutkan kata-katanya.
“ Hanya saja kenapa, Mbak? ”
Kalau sudah seperti ini, Sri langsung paham bahwa majikanya itu butuh teman untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Sri pun menghentikan pekerjaanya, meraih bangku dan duduk berhadapan dengan Mira -sudah siap mendengarkan apa yang akan Mira ceritakan.
Mira menghela napas dan berkata. “ Rafa teringat Papanya lagi, tadi berkata denganku kalau minta dibelikan mobil-mobilan, aku tidak tau harus bagimana lagi, Sri. ”
Sri menghela napas, “ Saran saya, sebaiknya Mbak Mira menikah lagi saja, kasihan Rafa kalau seperti itu terus, mungkin untuk saat ini, tidak masalah, tapi Rafa tumbuh semakin besar dan Mbak tidak mau, kan? Kalau Rafa hidup dalam kebohongan! dengan mengatakan kalau Papanya sedang berada di luar negeri. Padahal sebenarnya Papanya sudah meninggal. ”
Sri mendesah berat, semoga saja majikanya itu mau mencoba memikirkan saranya.
Sri adalah alasan kenapa Mira mau mengeluarkan keluh kesahnya, dengan begitu Ia tak menyimpan lara dengan disimpan dalam hati seorang diri.
Tidak ada yang menyangka, bahwa Mira adalah seorang janda. Mira memang masih terlihat seperti gadis belia yang masih berumur belasan tahun. Namun karena keadaan, membuatnya tampak lebih dewasa daripada umurnya. Apalagi semenjak ditinggal oleh suaminya, membuat Ia harus lebih dewasa. Saat ini, umur Mira menginjak 23 tahun, Ia memang menikah pada usia yang sangat muda, yaitu pada saat dirinya beusia 18 tahun.
Dulu, Mira hanyalah gadis yang tinggal di sebuah desa dan tidak sengaja bertemu dengan Fahmi yang sekarang adalah suaminya. Yang sekarang sudah meninggalkanya lebih dulu. Setelah menikah, keduanya memutuskan untuk tinggal di kota karena tentu saja pekerjaan suaminya itu. Sehingga Mira harus meninggalkan Ayah dan Ibunya di Desa.
Hal ini, tidak menjadi masalah bagi kedua orang tua Mira. Karena mereka masih mempunyai seorang anak laki-laki yang sekarang tengah menempuh pendidikan di bangku SMP.
Fahmi, mendiang suaminya meninggal karena kecelakaan tabrak lari. Saat itu, Mira sedang ada di rumah langsung mendapat kabar bahwa suaminya kecelakaan. Belum sampai mendapat pertolongan, nyawa suaminya sudah melayang begitu saja. Tangis menyeruak seketika itu, hingga Mira seperti sudah kehilangan arah hidupnya. Saat itu, Rafa masih bayi. Beruntungnya, Sri sudah bekerja di rumahnya. Sehingga, Sri pula yang membantu mengurus Rafa di saat tengah suasana berkabung.
Datu tahun telah berlalu, keadaan berangsur membaik. Baru selama satu tahun itu, Mira mulai menata hidupnya. Rafa adalah tanggung jawabnya, termasuk Ia harus menggantikan peran seorang Ayah.
Kedua orang tua dari mendiang suaminya sangat menyayangi Rafa. Satu bulan sekali pasti mereka datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Mira dan Rafa. Bahkan mereka ingin mengasuh Rafa, namun Mira tak memperbolehkanya. Sebab, Rafa butuh kasih sayang seorang Ibu. Bagimana pun caranya, Ia harus bisa merawat Rafa dengan tangan sendiri. Dengan begitu, Ia tak merasa mengkhianati mendiang suaminya.
Rafa hidup dalam kebohongan? Satu-satunya jalan adalah dengan dirinya menikah lagi.
Apakah aku harus menikah lagi? Seperti apa yang dikatakan oleh Sri? Ayah dan Ibu? Mertuaku? Teman-temanku?
Jalan kota yang sangat ramai dan padat oleh kendaraan yang lalu lalang, yang saling menyalip, menekan klakson, sibuk dengan tujuanya masing-masing.
Katub mata Ilham yang sedang mengendari motor sudah naik turun. Kantuk yang sedang menerjangnya, kini membuatnya harus singgah di sebuah tempat untuk mendaratkan lelah.
Sementara Angga yang berada di atas boncengan, menepuk nepuk pundak temanya itu memberi kode untuk berhenti di suatu tempat. Ketika pandangan Angga tertuju pada warung langgangan mereka, Angga semakin menjadi jadi menepuk pundak Ilham. Ilham langsung paham dengan apa yang dipinta oleh temanya itu. Ia segera memelankan gas motor, menurunkan handgrip, lalu mengarahkan motornya menepi.
Tak jauh dari warung itu berada, berdiri bangunan dengan lantai dua, tertulis di depan gedung itu ‘' B-media ‘’ adalah gedung penerbitan buku. Ilham memarkirkan motornya di parkiran sebelah gedung itu. Setelah keduanya melepas helm, keduanya berjalan beriringan menuju warung.
Warung dengan ukuran kecil, jika dilihat dari kejauhan, tampak tidak menggugah selera. Namun ketika sudah mencoba makan di situ, yakin siapa saja pasti akan ketagihan.
Warung itu memang biasa untuk makan karyawan dari B-Media dan beberapa orang dari luar yang singgah untuk melepaskan penat. Seperti Ilham dan Angga misalnya, keduanya memang sudah sering makan di tempat itu dan mereka sudah kenal baik dengan sang pemilik warung.
Pak Ahmad adalah Bapak- Bapak pemilik warung tersebut. Usianya 35 tahun, sudah lebih dari 4 tahun beliau mendirikan warungnya di situ.
‘’ Pak Ahmad, bagimana kabarnya? ’’ sapa Ilham sambil mendaratkan tubuh di bangku panjang dan melepas tasnya yang sedari tadi tersampir di bahu.
‘’ Sehat Nak Ilham, habis dari mana ini? ‘’ sahut Pak Ahmad dari dalam.
‘’ Biasa, Pak, hobby anak muda, Kopdar. ‘’ balas Ilham sambil menaikan sebelah alisnya.
‘’ Pantas saja, kelihatan tidak segar begitu, masih kelihatan pada ngantuk! ‘’ kata Pak Ahmad terkekeh. ‘’ Ngopi dulu Mas, biar ngantuknya hilang. ‘’
‘’ Iya ini Pak Ahmad, semalaman tidak tidur, acara sampai subuh. ‘’ timpal Angga kemudian.
‘’ Sebentar saya buatkan kopi dulu, untuk Nak Angga dan Nak Ilham. ‘’
Tidak lama kemudian, Pak Ahmad meletakan dua cangkir kopi yang masih mengepul panas di atas meja. Aromanya menembus hidung mereka membuat ingin cepat meminumnya. Pak Ahmad sudah kembali dan menaruh makanan di atas meja setelahnya. Ilham dan Angga mulai menyantap makan siang, mengunyahnya dengan lahap. Sekitar 15 menit, mereka telah menghabiskan makananya.
Setelah itu, Ilham mengambil sebungkus rokok dari dalam sakunya.Lalu menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Sesekali meminum kopi di sampingnya. Diikuti oleh Angga yang melakukan hal yang sama.
Sementara itu, seorang wanita dengan make up yang tidak terlalu mencolok, menambah kesan cantik natural memancar dari wajahnya. Sedang berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju warung Pak Ahmad. Dia adalah karyawan yang bekerja di penerbitan B- media.
‘’ Pak, bisa anterin saya pulang? ‘’ pinta wanita itu pada Pak Ahmad saat sudah sampai.
‘’ Maafkan saya Bu Mira, motor saya sedang di pakai oleh anak saya. ’’ jawab Pak Ahmad.
Pak Ahmad lalu bertanya, ‘’ Memangnya ada apa, Bu? Kok sepertinya buru- buru sekali! ‘’
‘’ Anak saya tiba- tiba sakit, Pak! saya harus segera pulang! ’’ jawab wanita itu sembari menatap layar ponsel, tanganya tampak bergetar.
Wanita itu adalah Mira. Ia harus segera pulang karena tiba-tiba mendapat kabar kalau Rafa sakit. Sedangkan Ia tidak membawa mobil hari ini. Sebenarnya bisa saja Ia memesan ojek online, namun Ia sudah ingin cepat-cepat segera pulang. Ia sudah cemas sekali. Berharap Pak Ahmad atau anaknya bisa mengantarnya, namun mereka tidak bisa.
‘’ Rumahnya di mana, Mbak? ‘ ’seru Ilham tiba-tiba dari bangkunya, sambil menghisap rokoknya. Tampaknya Ilham mendengarkan perbincangan antara Mira dan Pak Ahmad tadi.
‘’ Jalan Anggrek, Mas, perumahan Bina Agung. Tidak jauh dari sini, sekitar 15 menit. ‘’ jawab Mira tidak terlalu fokus, tanganya masih bergetar memegang ponselnya.
‘’ Yasudah, kalau begitu, ikut dengan saya saja. ‘’ Balas Ilham, meletakan rokok di asbak.
Mira terperanjat, lalu melirik ke arah sang empu suara. Dilihatnya laki-laki itu yang sudah berdiri.
‘’ Hati-hati, Bu, sama dia, sukanya modus. ‘’ goda Angga, sambil tertawa kecil.
Ilham melirik ke arah Angga, sembari menatap tajam dan buru-buru meninggalkan tempat duduknya.
‘’ Iya Mas, tolong anterin saya, ya, anak saya mendadak sakit soalnya, saya buru- buru sekali. ‘’ pinta Mira pada Ilham.
Ilham hanya mengangguk dan berjalan menuju parkiran untuk mengambil motornya di samping gedung itu. Tidak lama kemudian, Ilham menghampiri Mira, lalu Mira pun naik. Ilham menekan klakson dan mengangguk pelan ke arah Angga dan Pak Ahmad. lalu keduanya pun bergabung dengan kendaraan yang lalu lalang.
‘’ Mas, boleh ngebut sedikit tidak! Saya khawatir sekali soalnya dengan anak saya. ‘’ pinta Mira di atas boncengan, sambil memegangi bahu Ilham.
Ilham hanya mengangkat jempol, memberi kode siap dengan permintaan Mira.Tanganya mulai mengangkat handgrip dengan semangat. Motor melaju dengan kencang, Mira yang ada di belakang beberapa kali mengerjap, rambutnya berkibaran diterpa angin.Tanganya menepuk nepuk bahu Ilham dengan keras, sebagai isyarat bahwa itu terlalu kencang.
Ilham tak mempedulikanya, Ia semakin ganas mempermainkan gas motor. Lampu hijau sudah tampak dari kejauhan. Ilham langsung menatap lurus ke depan, dalam hitungan 10 detik Ia harus sampai di traffic light itu.
Satu, dua, tiga.... sepuluh.
Lampu berganti kuning, tepat saat mereka sudah sampai di trafic light. Ilham pikir masih bisa menembus jalanan. Ia pun langsung gas pol menembus jalanan yang masih sepi, sebelum lampu berganti merah.
Keduanya berhasil melewati maut.
Tangan Mira berpegangan erat pada bahu Ilham. Matanya terpejam, menenggelamkan wajah pada punggung Ilham. Ilham segera memelankan gas, mengamati Mira dari balik spion dengan senyum tertahan. Keduanya pun memasuki sebuah kawasan perumahan sesuai dengan arahan Mira sebelumnya.
‘’ Mas! kamu tidak sayang dengan nyawa apa, hah! Tadi lampu sudah berganti kuning! main serobot saja, kalau sampai ada mobil atau Bus yang sedang lewat bagimana! ’’ kata Mira panik.
‘’ Sudah? ‘’
‘’ Sudah! ‘’
‘’ Sudah protesnya! ’’ jawab Ilham lagi sambil tersenyum.
Mira mendengus kesal, lalu menggeleng kepala. Mencoba mengatur napasnya yang tidak teratur itu. Karena tadi, hampir saja jantungnya mau lepas.
‘’ Eh, Mas, berhenti di rumah yang catnya abu-abu, ya, itu rumah saya. ‘’ Kata Mira, sambil menunjuk rumah yang terletak di kanan jalan.
Ilham kembali mengangguk, melajukan motor dengan pelan. Mereka telah sampai.
‘’ Kau ini masih muda! masa depanmu masih panjang. Apa baiknya kau kebut kebutan seperti tadi, terus, lampu sudah berganti kuning, masih saja diterjang. Das... ’’ Jelas Mira tanpa henti setelah turun dari atas motor.
‘’ Itu dipanggil suaminya, Mbk! ‘’ Ilham segera memotong pembicaraan.
Mira mendelik ke arah laki-laki itu, sembari berjalan masuk ke dalam rumah dengan menggeleng kepala. Ilham di atas motor hanya tersenyum puas. Namun Ia cepat- cepat menguasai diri. Ia turun dari motor, lalu melihat lihat sekeliling rumah. Duduk di teras rumah itu tanpa dipersilahkan masuk oleh sang pemilik rumah.
Tiba- tiba terdengar bunyi panggilan masuk dari ponselnya. Ia segera merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari sana, ditatapnya layar ponsel terlebih dahulu. Dengan pelan, Ia mencoba mendekatkan ke telinga.
‘’ Sayang, kamu sudah pulang belum? ‘’
Kata suara seorang wanita dari sebrang sana.
Ilham menjauhkan ponselnya, suara cempreng dari ujung ponsel itu sungguh menyakitkan telinganya. Dia pun menghela napas dan mulai menyahut.
‘’Aku belum pulang Natasha, aku masih di perjalanan. ‘’
‘’ Lama sekali, cepat pulang, ya, aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu denganmu. Aku sudah kangen denganmu. ‘’
‘’ Iya, nanti kalau aku sudah sampai rumah, aku janji, aku akan segera menghubungimu. ‘’
‘’ Janji, ya, kalau kamu sudah pulang, jangan lupa menghubungiku! ‘’
Panggilan pun diakhiri.
Sial! aku sedang tidak punya uang! Uangku sudah habis semua. Masa, aku harus minta uang sama Papa, tidak mungkin dan tidak akan pernah.
‘’ Kau belum kembali ke warung! ‘’ seru Mira, melangkah menghampiri Ilham yang tengah duduk di teras rumah.
Ilham pun tersentak, lalu menoleh ke arah Mira.
‘’ Ya ampun, saya lupa, ini ongkosnya. ‘’ ucap Mira lalu menyodorkan uang pada Ilham.
Ilham segera bangkit dari duduknya. ‘’ Tidak usah, Mbak, buat beli susu, saja. ‘’
‘’ Susu? ‘’ Mira mengernyitkan kening.
‘’ Iya, susu buat anak, Mbak. ‘’ Jawab Ilham, lalu tersenyum.
Mira mengangguk mengerti.
‘’ Eh, Mas, sudahlah, terima ini, saya mohon, saya jadi tidak enak karena sudah merepotkan. ‘’
Ilham tampak berfikir sejenak, rahangnya mengeras, lalu menjawab. ‘’ Kalau begitu, sebagai gantinya, besok bayarin saya kopi saja di warungnya Pak Ahmad. ’’
‘’ Besok? ‘’ ulang Mira.
Jadi, besok akan bertemu dengan dia lagi?
Ilham mengangguk pelan. Lalu pamit diri, segera menghidupkan mesin motor dan melajukan motornya. Mira berjingkat, untuk memastikan laki-laki itu sudah tidak tampak dari pandanganya. Setelah itu, Mira berjalan masuk ke dalam rumah lagi dan berjalan menuju kamar sang buah hati.
Mira duduk di tepi ranjang sembari memandang anak semata wayangnya itu yang tengah tertidur pulas. Raka sakit demam, walaupun di rumah ada Sri, tapi tetap saja dia tidak tenang jika mendengar buah hatinya sakit.
Tiba-tiba bulir air mata kembali menghiasi wajahnya yang sendu, perlahan air matanya jatuh menetes. Buru-buru dia segera menyeka ujung matanya. Saat- saat seperti ini, membuat dia kembali teringat dengan mendiang suaminya. Apalagi jika Rafa sedang sakit seperti ini.
'' Mas Fahmi, kenapa kau secepat itu meninggalkan kami. Kenapa kau secepat itu pergi, aku sangat merindukanmu, Mas. Hidup tanpamu, aku sungguh tak kuat, Bagai-bagaimana kalau Rafa sudah besar nanti, aku harus memberitahunya bagimana? Bahwa kau sudah ada di taman syurga. Aku harus bagimana, Mas. ''
Mira bermonolog sendiri, dengan disertai sesenggrukan.
Mira terkadang merasa tidak kuat untuk menjalani hidup tanpa suami disisinya.
Benar apa kata Sri, Rafa hidup dalam kebohongan yang akan membuatnya terus memikirkan Papanya yang tidak kunjung pulang juga. Sebenarnya sudah ada tiga laki-laki yang menyatakan cinta kepadanya. Namun, semuanya tak ada yang bisa membuat Mira mau membuka hati.
Namun jika dia terus-terusan tak melepaskan kepergian Fahmi dari lubuk hatinya dan dari bagian hidupnya, maka dia akan tetap seperti ini terus.
Mira mendesah berat, sembari bangkit dari tepi ranjang dan berjalan keluar dari kamar Raka menuju ruang tamu. Ia mendaratkan tubuh di sofa, sedangkan pikiranya melayang jauh ke dimensi lain.
Apakah kini saatnya, aku harus mencoba membuka hati untuk laki-laki lain? Untuk membina keluarga baru kembali? Dengan orang baru?
Ya, akan kucoba untuk mulai membuka hati.
Lalu, aku harus menikah dengan siapa?
Mira menyerahkan semuanya pada waktu, biar waktu yang menjawab.
Perkara menikah juga tidak mudah yang seperti kita bayangkan. Ia juga tak mau menikah dengan sembarang orang. Yang Ia harapkan bukan lagi untuk bersenang-senang ketika masih SMA atau masa awal-awal menjalin hubungan. Yang Ia harapkan adalah lelaki yang mencintai dirinya sepenuh hati dan tentu saja, dapat mencintai Rafa dengan sepenuh hati pula.
.......
Ilham sudah kembali ke warungnya Pak Ahmad.
‘’ Eh, Bro, kau tidak diapa-apakan dengan suaminya, kan? Wajahmu masih baik-baik saja, kan? ‘’ sergap Angga sembari memegangi pipi Ilham dengan cengengesan.
‘’ Aman, suaminya lagi tidak ada di rumah. ‘’ Balas Ilham, sambil mengangkat sebelah alisnya.
“ Bu Mira itu janda, Mas Ilham. ” sela Pak Ahmad dari dalam.
Ilham segera memandang Pak Ahmad, memastikan bahwa mungkin saja Ia salah dengar. “ Benarkah, Pak Ahmad? Suaminya, Bu Mira sudah meninggal? ”
‘’ Iya, Mas, Kasian Bu Mira, Mas, semenjak di tinggal suaminya, jadi sering sedih. Apalagi anaknya masih kecil, sekitar umur 4 tahun. ‘’ Pak Ahmad bercerita sambil mengelap meja yang tampak kotor, lalu berkata kembali. ‘’ Kalau Mas Ilham suka, langsung dinikahi saja Mas, hitung-hitung dapat pahala menolong Janda. Masih muda, cantik lagi, kurang apalagi coba! ‘’
Ilham bagaikan mendapat sengatan listrik, tak menyangka akan menjadi bahan candaan Pak Ahmad. Angga yang duduk di sampingnya hanya terkekeh mendengar tawaran Pak Ahmad. Lalu menepuk nepuk bahu Ilham.
‘’ Ada- ada saja Pak Ahmad ini, saya sudah punya pacar, Pak, tidak mungkin menikah dengan Bu Mira. ‘’ Balas Ilham.
‘’ Loh, siapa tau jodoh, Mas Ilham! ‘’ jawab Pak Ahmad, terkekeh kembali.
Ilham tak menyangka bahwa wanita yang Ia antar tadi adalah wanita yang sudah ditinggal oleh seseorang yang dicintainya. Wanita yang mengomelinya tadi adalah wanita yang sedang memendam rasa sedih yang begitu dalam.
Setelah puas menggoda, Ilham dan Angga pamit diri hendak pulang. kini gantian Angga yang mengendarai motor di depan, sedangkan Ilham membonceng di belakang. Seketika motor melaju membelah jalanan hendak pulang.
.......
Sesampainya di rumah, Ilham langsung mendaratkan tubuh di hamparan kasur yang sudah dari tadi minta direbahkan dan perlahan mulai memejamkan mata.
Ilham baru saja ikut kopdar motor di luar kota, biasanya kalau sehabis pulang seperti ini, Ia akan berlama lama bermanjaan dengan kasur. Tidak lama kemudian, Ia beranjak dari ranjang, menyambar handuk untuk mandi.
Setelah selesai, Ia baru ingat dengan janji dengan pacarnya. Bahwa kalau sudah sampai rumah Ia akan menghubunginya. Tanpa berlama-lama lagi, dengan rambut yang masih basah, handuk yang masih melingkar di leher, belum berganti baju sehingga sisa air masih menempel pada dadanya yang bidang. Ilham langsung meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur.
Sudah ada pesan masuk dari Natasha, ada dua panggilan tak terjawab juga dari Natasa ; pacarnya. Ilham pun menghela berat, cepat-cepat menghubungi Natasa kembali. Tak lama kemudian, terdengar suara sahutan dari ujung sana.
‘’ Kamu sudah pulang, kan? Bisa ya, temani aku ke butiq, sekarang! aku sudah tak sabar membeli tas baru. Nanti jam 12, kamu jemput aku, oke! ‘’
Ilham menggerak gerakan kepala ke kanan dan ke kiri. Memegangi leher menggunakan tanganya. Sebenarnya Ia masih ingin istirahat, mau tidur seharian ini. Tubuhnya sudah minta di rebahkan, sudah sangat lelah, matanya juga sudah ingin terpejam. Namun, mau tak mau ia harus mengiyakan permintaan pacarnya. Sebelum pacarnya itu akan marah- marah tidak jelas. Dengan berat hati, akhirnya Ilham mengiyakan dan jam satu berjanji akan menjemputnya.
Masih ada waktu untuk tidur, Gumamnya.
Tanpa berlama lama lagi, Ilham pun langsung merebahkan tubuh di hamparan kasur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!