“Rasanya sudah cukup aku selama ini mengalah,” ujar Mia dan byur wajahnya basah karena siraman air yang dilakukan dengan sengaja. “Kamu!” geram Mia lalu melangkah. Sreekk, bughhh. Mia terpeleset dan jatuh terlentang kepalanya menghantam lantai.
Merasakan nyeri di belakang kepalanya, “Mia,” panggil seseorang namun penglihatannya tiba-tiba gelap. Pertengakaran yang ia lakukan berujung pada tak sadarkan diri.
Mia merasakan penglihatannya gelap dan semua terus berputar, bahkan sangat kencang sehingga rasanya ia ingin berteriak. “Nona,” suara seseorang, “menghadap ke kiri sedikit ya.”
Ini sebenarnya dunia yang berputar atau aku, kenapa rasanya pusing sekali
“Nona!”
Mengerjapkan matanya dan menatap ke depan.
Oh, ternyata cermin. Tapi, wajah siapa itu, ini bukan wajahku.
Mia menyentuh wajahnya, kenapa wajahku berubah, berubah menjadi ... sangat cantik. Sebenarnya apa yang terjadi?
Mia yang membuka matanya terkejut karena berada di situasi yang tidak sama sebelum ia tak sadarkan diri. Mia melihat sekeliling, dua orang perias menatap ke arahnya. “Jangan gerak-gerak mulu ya Non, enggak kelar-kelar nih.”
Mia menoleh ke belakang dimana seorang wanita sedang mengoceh yang ia sendiri tidak paham apa yang sedang dibicarakan.
“Kamu paham kan, maksud aku? Coba kalau kamu ikuti semua arahan aku enggak bakal begini. Jadwal ini sudah aku susun semaksimal mungkin. Tapi memang new idol itu ya begini, kayak kamu, susah diarahkan.”
“Jeung Nirma, gimana ini? Non Aurel gak mau diem,” ujar salah satu perias. Wanita yang dipanggil Nirma yang sudah duduk pada sofa berdiri lagi dan menghampiri Mia. “Aurel, dua puluh menit aja kamu diem dulu biar ini MUA melakukan tugasnya. Bisa kan?” tanyanya sambil menatap Mia.
Apa orang itu bicara padaku, tapi namaku Mia
Akhirnya Mia hanya mengangguk, “Ya udah lanjut,” titah Nirma pada MUA.
Kedua MUA itu melanjutkan riasannya, Mia hanya diam pasrah. Tapi yang membuatnya tersenyum adalah kini dia berada di tubuh yang terlihat nyaris sempurna. Kulitnya yang putih namun tidak pucat, rambut yang indah dan yang utama adalah wajah yang cantik. Dalam hati, Mia berharap bisa kembali sebagai Mia dengan tubuhnya saat ini.
Sebenarnya aku dimana? Sepertinya namaku Aurel, mereka menyebutkan Aurel, Aurel pemilik tubuh ini. Lalu bagaimana aku bisa kembali ke tubuhku sendiri.
Para MUA itu sekarang merubah tatanan rambut Aurel, lalu mengganti pakaiannya. Aurel terkesima dengan busana yang ia pakai. Belum pernah ia memakai pakaian seindah itu. Gaun selutut dengan bahan silk sangat halus, bahkan nyaman di kulitnya. Juga beberapa hiasan yang menurut MUA itu swarovsky.
“Ini heels-nya.”
Aurel menerima heels yang disodorkan oleh salah satu MUA. “Tapi ini terlalu tinggi, aku enggak yakin bisa berjalan menggunakan ini.”
Nirma menoleh pada Aurel, “Itu hanya sepuluh centi, biasanya kita pakai yang lima belas centi. Udah deh kamu jangan terlalu banyak mengeluh. Ini waktu terus berjalan, kita enggak ikut gladi resik, aku harap kamu enggak akan salah saat perform,” terang Nirma.
“Gladi Resik? Perform?” tanya Aurel.
Nirma berdecak, “Udah kamu pakai dulu heelsnya, setelah ini kamu harus foto dulu untuk dokumentasi dan upload di media sosial.”
Setelah memakai heelsnya dan memastikan tidak ada yang cacat dari tampilan Aurel, Nirma mengajak Aurel menuju ruang panitia. Saat membuka pintu ruang persiapan khusus Aurel, seorang pria mengikuti Aurel dan Nirma.
Aurel berjalan sambil menoleh ke belakang, pria itu mengenakan celana dan jas berwarna hitam dengan dalaman kaus berwarna abu tua. Dengan wajah datar dan postur tubuh yang cukup tinggi dan yang paling mencolok adalah, pria itu tampan.
Aurel bertanya-tanya siapa pria itu dan mengapa mengikutinya juga Aurel. Sampai di ruangan yang terpampang label “RUANG PANITIA”, pria itu mendahului mereka lalu membukakan pintu untuk Aurel dan Nirma masuk.
Berada di antara lebih banyak orang yang dia tidak kenal lalu mereka membicarakan langkah-langkah awal sampai akhir performance Aurel.
Ini sebenarnya perform apa sih ? kenapa harus aku? Ucap Aurel dalam hati.
“Oke, siap. Pokoknya Aurel akan memberikan penampilan terbaiknya,” ucap Nirma. Setelah pembicaraan yang agak lama sedangkan Aurel sendiri tidak paham dengan isi pembicaraannya, mereka pun keluar ruangan.
Kini Aurel berada di photo booth, pengambilan gambar dengan gaya Aurel yang sangat simple. Pria itu membantu Aurel melangkah dari area photo boots yang lebih tinggi dari lantai. “Pras, jagain Aurel. Jangan sampai kabur, aku harus ke toilet,” titah Nirma.
Oh, namanya Pras. Tapi sebenarnya dia siapa, kenapa Nirma menitipkan aku pada Pras dan dia mengekor aku terus.
Aurel yang berjalan diapit oleh Nirma dan Pras, menuju ruang tunggu. Disana sudah banyak orang yang sama seperti Aurel dengan make up dan pakaian yang lebih glamor dari yang Aurel kenakan. “Kita mau ngapain di sini?” tanya Aurel pada Pras.
Pras menoleh dan mengernyitkan dahinya. “Nona sebentar lagi tampil,” ujar Pras lalu kembali menatap sekeliling. “Iya, tampil apa?”
“Nona Aurel, nona boleh gugup atau nervous sebelum tampil. Itu manusiawi, tapi jangan lebay begini. Sebentar lagi jadwal anda tampil. Yang sempat saya dengar, langsung dua lagu medley. Semangat,” ungkap Pras sambil mengepalkan tangannya.
“Jadi, aku penyanyi?”
Berada di tengah-tengah panggung. Mia mengingat nama-nama itu, Aurel, Nirma dan Pras. Mia tau ia kini berada dimana. Oh My Good, aku tau mereka dan aku tau situasi ini. ini adalah cerita salah satu novel yang pernah aku baca. Bagaimana aku bisa berada di sini, di tubuh Aurel?
________
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komen, vote dan favorite🥰
Mia, seorang gadis biasa yang bekerja sebagai announcer stasiun kereta listrik. Terlihat biasa, karena memang tidak terlihat sesuatu yang menonjol dalam penampilannya. Wajahnya biasa saja, bukan tergolong cantik, apalagi dia tidak berhias. Selalu mengikat rambutnya tinggi ala ekor kuda.
Setiap berangkat atau pulang kerja menggunakan kereta listrik kurang lebih 40 menit. Dengan jadwal kerja shift membuatnya terkadang berada di jam sibuk saat berkendara. Saat ini ia masuk shift pagi atau shift satu yang mengharuskan jam enam pagi sudah standby. Ia akan berangkat dari rumah setengah lima pagi.
Sampai di stasiun tempatnya bekerja, Mia mengantri bubur ayam untuk sarapan. Setelah melakukan absen ia pun bergegas masuk ke ruangan tempatnya kerja. “Mia,” panggil seseorang, Mia pun menoleh. Ternyata Bira, detak jantung Mia serasa berdetak lebih cepat saat ia melihat Bira menghampirinya masih lengkap dengan jaket dan menenteng Helm. Mungkin jika digambarkan dengan animasi, kedua mata Mia berubah menjadi gambar hati yang ukuran bertransformasi dari kecil menjadi besar saat melihat Bira.
“Titip,” ujar Bira menyerahkan helmnya. “Aku mau beli sarapan, lumayan masih ada waktu sepuluh menit lagi.” Lalu Bira kembali meninggalkan Mia. “Jangankan Cuma nitip helm, nitip hati juga aku terima,” batinnya.
Mia memang memiliki perasaan khusus pada Bira, karena hanya perempuan tidak normal yang tidak tertarik dengan Bira. Selain memiliki tubuh yang tinggi, wajahnya termasuk enak dilihat berlama-lama, tidak membosankan.
“Tau gitu tadi aku beliin sekalian sarapannya,” gumam Mia.
Sama-sama bekerja di stasiun dan jadwal shift yang sama membuatnya lebih bersemangat untuk bekerja. Karena ada tujuan lain setiap ia berangkat kerja, yaitu bertemu Bira. Bahkan saat jam istirahat pun kadang Bira dan Mia selalu bersama.
“Akan segera masuk di jalur dua, commuter line jurusan Manggarai, Tebet, Cawang Pasar Minggu, yang mengakhiri perjalanannya di stasiun Bogor, penumpang agar berhati-hati dan menunggu dibelakang garis kuning. Serta perhatikan selalu barang bawaan Anda.” Suara khas dan lembut Mia membuatnya cocok dengan pekerjaannya saat ini.
Mia menenggak habis air minumnya, ia menoleh pada jam dinding. Tidak lama lagi jam kerjanya usai, ia berencana ke toko buku untuk kembali membeli novel. Mia memiliki kegemaran membaca novel fisik bukan novel online seperti yang saat ini sedang hits.
Memakai jaketnya, menutupi pakaian seragam yang ia kenakan. Mia berjalan ke peron untuk menunggu kereta listrik tujuan tempat tinggalnya. “Mia, mau bareng enggak?” tanya Bira. “Mau kemana?” tanya Mia. “Mau pulang lah, kita kan searah. Gue enggak ada belok ke mana-mana makanya ngajak loe bareng.”
Mia mengangguk, dalam hatinya bahkan ia bersorak ingin melompat karena gembira luar biasa. Sepanjang perjalannya Mia tersenyum di balik maskernya, memandang punggung tegap Bira. Rasanya ingin menyandarkan wajahnya di sana, pasti sangat nyaman. Bahkan ia ingin sekali mengalungkan tangannya di pinggang Bira.
“Oh, Tuhan, kuatkan jantungku. Enggak sanggup berlama-lama di bonceng Bira, yang ada semaput deh,” gumam Mia. Bukan kali pertama Bira mengajak Mia pulang bareng, namun semenjak Mia menyadari memiliki perasaan berbeda pada Bira, ia akan canggung dan berangan-angan seperti tadi.
Bira menghentikan motornya di halaman rumah Mia, “Makasih ya,” ucap Mia saat turun dari motor. Alea adik dari Mia yang mendengar deru motor Bira memasuki halaman rumahnya bergegas keluar. “Eh Kak Mia udah pulang? Apa kabar Kak Bira?” tanya Alea.
Bira tersenyum pada Alea, “Baik,” ucapnya. “Kak Mia dipanggil Ibu,” ujar Alea. Mia pun bergegas masuk meninggalkan Alea dan Bira.
Tidak menemukan Ibunya diruang tamu, ruang makan termasuk juga di depan TV. “Bu,” panggil Mia. Mengetuk pintu kamar Ibunya juga tidak ada sahutan. Mia menuju dapur, lokasi terakhir yang belum ia kunjungi. “Ibu panggil aku?’ tanya Mia saat melihat Ela ibunya. Lebih tepatnya Ibu tiri, karena Ayah Mia menikah dengan Ela saat Mia berumur satu tahun yang sudah ditinggal ibu kandung sejak lahir.
Ela heran dengan pertanyaan Mia, karena ia tidak memanggil Mia apalagi baru tau kalau Mia sudah pulang. “Kamu pulang diantar” tanya Ela. “Iya, bareng Bira,” jawab Mia.
“Ya udah mandi dulu, nanti aja setelah kamu istirahat,” ujar Ela yang meninggalkan Mia. Saat di ruang tamu, Ela melihat melalui kaca jendela Alea yang sedang berbicara dengan Bira sambil sesekali mereka tertawa. “Oh, jadi maksudnya ini.” Alea mengatakan Ibunya mencari Mia agak ada kesempatan ia dan Bira ngobrol.
“Kak Bira enggak mau duduk dulu, aku buatkan minum.”
“Hmm, lain kali aja deh. Udah sore juga,” jawab Bira. “Bener ya, lain kali enggak boleh nolak,” ujar Alea. Bira mengangguk sambil tersenyum, kemudian memakai kembali helmnya. “Aku pulang ya,” pamit Bira yang dijawab dengan anggukan oleh Alea sambil tersenyum. Ela membaca bahwa Alea menyukai Bira.
“Mia,” panggil Ela saat memasuki kamar Mia. “Iya Bu.” Mia yang sudah membersihkan dirinya, kembali pada hobinya membaca novel. Dengan posisi telungkup di ranjang, saat Ela masuk. “Kamu kan sering diantar Bira, besok ajak dia makan malam. Yah, hitung-hitung berterima kasih,” ujar Ela.
“Besok?” tanya Mia. Ela mengangguk. “Oke, besok aku sampaikan ke Bira.” Mia tidak mengetahui jika Ela berniat membuat Alea dan Bira lebih dekat, salah satunya dengan mengundangnya makan malam. Alea yang mengetahui bahwa Ibunya mengundang Bira sangat senang, “Ibu idaman banget sih, tau aja keinginan anaknya,” puji Alea pada Ela.
Esoknya, disela jam istirahat. Mia menghampiri Bira, “Bira, Ibu aku undang kamu makan malam di rumah, bisa?” tanya Mia. “Bisa aja sih, tapi kapan?” tanya Bira. “Nanti malam.”
________
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komen, vote dan favorite 🥰
Mia ikut senang dengan ide Ibu tirinya itu, karena ia mengira Bira pun memiliki perasaan yang sama dengannya karena sikap baik dan ramah dari Bira yang ia terima. Esoknya, Mia tidak menemukan Bira saat jam kerjanya akan dimulai, ia pun masuk ke ruang kerjanya. Disela jam istirahat, Mia menghampiri Bira, “Bira, Ibu aku undang kamu makan malam di rumah, bisa?” tanya Mia. “Bisa aja sih, tapi kapan?” tanya Bira. “Nanti malam.”
“Oke,” jawab Bira sambil mengangguk.
Mia sudah mengenakan pakaian yang ia anggap paling bagus untuk menyambut kehadiran Bira. Bertekad malam ini harus menyatakan perasaannya. Bira yang mendapatkan undangan dari keluarga Mia sangat antusias karena merasa ada kesempatan untuk menyatakan perasaannya dengan Alea.
“Anak ibu cantik sekali,” puji Ela pada Alea. Alea tersenyum lalu menuju ruang tamu untuk menunggu Bira, ternyata Mia sudah lebih dulu berada di sana. Keduanya kini duduk pada sofa menunggu kedatangan Bira.
“Kak Mia ngapain sih di sini, mending bantu Ibu di dalam,” ujar Alea sambil merapihkan tatanan rambutnya yang masih rapih. “Kamu sendiri ngapain di sini?”
Tidak lama terdengar suara knalpot motor Bira, Mia yang baru saja berdiri mendengar namanya dipanggil oleh Ela. Sedangkan Alea sudah melesat ke luar menyambut Bira.
“Selamat malam tante,” sapa Bira. “Malam Nak Bira. Mari silahkan duduk, kita langsung mulai makan aja ya,” ujar Ela sambil menerima buah tangan yang dibawa Bira.
Alea sudah memposisikan dirinya duduk disamping Bira, Mia harus pasrah bersisian dengan Ela namun berhadapan dengan Bira. Saat makan tidak ada obrolan berat yang terjadi, bahkan antara Alea dan Mia tidak ada yang menunjukan bahwa keduanya memiliki perasaan yang sama untuk Bira.
Ela sengaja mengajak Mia untuk membantunya membersihkan perangkat makan mereka. Alea mengajak Bira duduk pada kursi taman yang ada di halaman samping rumahanya. Keduanya tersenyum malu-malu.
“Kak Bira.”
“Alea.”
Mereka serempak bersuara.
“Kakak dulu.”
“Kamu dulu.”
Kompak kedua kali, hingga akhirnya mereka tertawa. “Aku diam dulu, deh biar Kak Bira aja yang bicara.”
Bira menatap Alea yang duduk disampingnya terhalang meja kecil, “Alea, kamu sudah punya pacar?” Alea yang sedang menunduk, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Masa sih?” Alea kembali mengangguk.
“Kalau jadi pacar aku mau enggak?” Alea lagi-lagi mengangguk. “Alea, aku serius!” ujar Bira. Alea menoleh, “Aku juga serius kak, aku mau jadi pacar Kak Bira.”
“Kamu juga suka aku? Sejak kapan?”
Alea menggedikkan bahunya, “Yang jelas satiap Kak Bira mengantarkan Kak Mia pulang, aku senang tapi juga kesal.”
“Kesal kenapa?”
“Kesal karena Kak Mia bisa berdua dengan Kak Bira terus. Ya di tempat kerja, ya saat pulang. Kalau ternyata Kak Mia suka juga sama Kak Bira gimana?” tanya Alea sambil menatap Bira.
“Itu sih urusan Mia, aku sering mengantarkan Mia karena ingin bertemu kamu dan yang jelas aku sukanya sama kamu. Kamu cantik, lucu, imut dan menggemaskan,” pujian Bira yang membuat Alea tersipu. Namun di balik pintu, yang menghubungkan rumah dengan tempat Alea dan Bira kini berada ada sosok yang sedang kecewa.
Mia, yang sejak tadi mendengar apa yang diucapkan oleh kedua orang itu merasa kecewa.
Jadi selama ini, Bira hanya memanfaatkan aku untuk dekat dengan Alea. Jadi selama ini, Alea juga suka dengan Bira. Jadi selama ini, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
Ela menarik tangan Mia untuk mengikutinya, berada di depan kamar Mia. “Mia, sekarang kamu sudah tau kan, kalau ternyata mereka saling menyukai. Jadi kamu harus biarkan Alea bahagia, mengalahlah karena kamu sudah kalah.”
Mia tidak dapat menjawab, lehernya terasa tercekat. Air matanya sudah siap turun, dadanya terasa sesak. Rasanya ia ingin menjerit, dia sudah kecewa tapi harus ditambah luka dengan kalimat Ela. Meninggalkan Ibunya dan segera masuk kamar, Mia hanya bisa menangis dengan bantal menjadi saksi karena tetesan air mata yang membasihinya.
.
.
.
Hari ini Mia sangat tidak bersemangat kerja, berbeda dengan Bira yang seakan saat ini dikelilingi oleh simbol cinta. “Mia,” panggil Bira. menoleh pada Bira yang sedang berkumpul dengan rekan lainnya dekat pintu keluar. “Loe mau beli makan ya? Gue nitip ya?” ujar Bira.
Mia yang memang akan keluar karena jam istirahat mengurungkan niatnya karena tidak ingin kembali dimanfaatkan oleh Bira. “Enggak, aku enggak makan, lagi diet.”
“Diet? Badan loe kan udah kurus, mau jelek kayak gimana lagi,” ejek Bira. Mia hanya menghela nafas, lalu berbalik kembali ke ruangannya.
Sejak pernyataan cinta Bira malam itu, Mia dan Alea sering kali bertengkar. Seperti sore ini saat Mia baru saja pulang, Alea menghardiknya.
“Kak Mia kenapa sih, Kak Bira minta tolong beliin makan aja enggak mau. Kasihan kan dia jadi enggak makan siang.”
Sabar, sabar Mia, batinnya.
“Kalau kamu kasihan kenapa enggak kamu aja yang beliin. Sekarang itu udah canggih tinggal pesan online habis perkara. Kenapa malah manfaatin perempuan, aku jadi ragu Bira itu sebenernya cowok bukan sih,” ungkap Mia sambil berlalu meninggalkan Alea.
Namun Alea menarik tangan Mia, “Ini pasti karena Kak Mia iri dan kecewa ternyata Kak Bira sukanya sama aku. Lagian Kak Mia harusnya ngaca dong, kalau mau bersaing dengan aku. Jadi silahkan nikmati kembali kekalahan kak Mia.”
Bruk, Mia menghempaskan tasnya. “Kenapa harus selalu aku yang kalah, kenapa wajib aku yang mengalah. Kamu bisa tampil lebih modis karena Ibu selalu memprioritaskan kamu. Kamu bisa lebih cantik karena Ibu selalu menyanggupi permintaan kamu untuk perawatan. Bagaimana dengan aku? Aku selalu diminta mengalah, mengalah untuk kamu.”
“Mia, cukup,” ujar Ela.
“Takut kalian lupa, apa yang kalian rasakan dan nikmati saat ini jerih payah Ayah, dan aku juga anak Ayah. Aku hanya kasihan, ternyata istri dan putri bungsu Ayah hanya taunya menghabiskan uang.”
Plak
Ela menampar Mia.
“Rasanya sudah cukup aku selama ini mengalah,” ujar Mia dan byur wajahnya basah karena siraman air yang dilakukan dengan sengaja oleh Alea. “Kamu!” geram Mia lalu melangkah. Sreekk, bughhh. Mia terpeleset dan jatuh terlentang kepalanya menghantam lantai.
Terlihat genangan air yang berubah warna, “Darah,” ucap Alea. Mia merasakan nyeri di belakang kepalanya lalu semuanya gelap. Ia tidak sadarkan diri, “Mia,” panggil Ela sambil menepuk pipi Mia.
_______
Jangan lupa like, komen, vote dan favorite, biar tambah semangat. 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!