...HARSHADA ...
...[SELAMAT MEMBACA]...
Tiga tahun sudah semenjak tragedi tidak manusiawi yang dilakukan Djoko Suyanto dan Hermawan Upasama terungkap. Di mana Djoko melakukan ruda paksa terhadap beberapa siswinya dan penyelewengan dana bantuan sekolah yang entah dibuat apa oleh Hermawan Upasama.
Semua masa mudanya.
Kacau.
Keluarga Adiwangsa tidak selamanya bisa dikatakan bersih dari dosa-dosa. Namun prinsip dasar keluarganya adalah menyerang jika diserang. Karena sangat akan buruk jikalau Adiwangsa yang ganas keluar dari sarangnya.
Harta.
Tahta.
Dan ... Wanita?
Linggar rasa tiada wanita yang pantas mendampingi dirinya. Selain, Elshanum Citaprasada. Keluarga kelas menengah yang cukup memiliki uang, namun harta tiada bisa dibandingkan dengan Adiwangsa.
"Tuan Muda Linggar."
Suara itu terdengar dari Iris, sekertaris wanita yang benar-benar amat dipercayainya. Berdiri tegak, dengan blazer hitam serta rok span selutut.
"Saya membawa beberapa berkas revisi peraturan dan kebijakan hotel yang harus anda tanda tangani," ucap Iris.
Linggar mengangguk, pertanda memberikan izin kepada Iris untuk meletakkan dokumen itu di meja dan sesegera mungkin, ia menandatanganinya.
"Sudah?"
Iris menjawab, "Terima kasih, Tuan Muda. Saya permisi."
General Manager. Jabatan yang ia pegang sekarang, di salah satu hotel berbintang milik keluarganya yang mana dibawa naungan Gautama Adiwangsa. Ia telah bekerja keras sampai pada titik ini. Selain itu, lagi-lagi si kembar Abhimana dan Abhimata tidak bisa sedikit pun bersyukur dan menumbalkan dirinya sebagai cucu atau anak yang pantas menepati posisi ini.
Bosan.
Sudah lebih dari empat jam ia terus menerus berada di hotel, melaksanakan tugas; mengecek laporan administrasi, menandatangani ini dan itu. Semua telah usai. Ia merasa sangat lelah, baiknya memang harus keluar sebentar mencari suasana baru.
"Iris, saya keluar," ucap Linggar saat melewati meja kerja sekertaris.
Iris spontan berdiri dan sedikit menunduk. "Silakan, Tuan Muda."
Hotel ini memiliki lebih dari tiga puluh lantai dengan fasilitas yang begitu mewah. Rata-rata harganya pun cukup mahal. Linggar barusaja turun di lobi hotel, sebenarnya ia tidak mau jauh-jauh keluar, ia hanya butuh sedikit mengelilingi hotel di mana mungkin, bisa menyegarkan netranya yang terlalu lama menatap berkas-berkas hingga layar komputer.
"Selamat siang, Tuan Muda Linggar."
"Tuan Muda Linggar membutuhkan sesuatu?"
"Apa Tuan Muda ingin istirahat di salah satu kamar hotel?"
Semua staf hotel menyapanya terus menerus. Bagi Linggar sapaan adalah hal yang paling menyebalkan. Ia tidak suka orang-orang menghormatinya dengan cara menawarkan ini dan itu. Melelahkan harus mengangguk serta mengiyakan ucapan mereka.
"Tania, saya mau kamar hotel di lantai biasa," ucap Linggar kepada Tania, resepsionis.
Tanpa banyak bicara Tania memberikan kunci kamar hotel dengan nomor 210 yang berada di lantai sepuluh. "Silakan, Tuan Muda."
"Terima kasih."
Dengan mengunakan lift biasa yang bersama pengunjung, Linggar masuk. Namun saat hendak lift tertutup tiba-tiba saja seorang wanita masuk mengunakan pakaian tertutup; gamis serta kerudung hitam, outer mocca, dan sepatu sneakers putih.
Kemudian tangan kanan wanita itu mengklik tombol nomor lantai 10. Lift berjalan. Wanita itu sedikit menunduk dan menengok ke belakang, sepertinya baru menyadari bahwa ada seseorang di belakangnya. Maka dengan spontan wanita itu mengklik tombol lift terbuka berkali-kali, seakan-akan kepanikan.
"Apa yang anda lakukan?"
Wanita itu kian tidak bisa terkendali terus menerus mengklik tombol terbuka padahal lift tetap berjalan.
"Saya bertanya apa yang anda lakukan?"
Wanita itu menjawab lirih, "Sa-saya salah memasuki lift."
Suara ... ini? Nggak mungkin, batin Linggar yang langsung berujar, "Saya rasa semua lift sama saja."
Wanita itu terus menerus menekan tombol buka. Hingga rasa-rasanya Linggar geram, menarik tangan wanita itu. Sehingga spontan wanita itu berbalik, dan Linggar dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas.
"Sha ... num?"
Netra wanita itu. Shanum melebar. Sungguh ia terkejut bukan main. Bahkan spontan menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Linggar. Shanum berbalik, lagi. Secepatnya mengklik tombol buka berkali-kali, tapi tiada kunjung juga lift berhenti.
"Kamu Shanum 'kan?"
Shanum menggeleng. Namun Linggar tidak akan pernah semudah itu terbohongi, secepatnya ditarik lagi lengan Shanum, hingga ia benar-benar bisa menyakinkan diri bahwa wanita yang dilihatnya adalah Shanum.
"An-da salah orang," ucap Shanum.
Shanum ... kamu Shanum. Aku nggak mungkin salah lihat, batin Linggar yang detik itu juga menyentuh kuat pergelangan tangan Shanum. Supaya sang empu tidak bergerak dan melawan. "Sayang ... ini aku. Linggar. Kamu takut sama aku?"
Shanum berusaha keras menarik tangan Linggar yang berada di pergelangan tangannya. "Le-pas."
"Shanum ... ini aku. Coba kamu dongak terus lihat wajah aku," ujar Linggar.
Shanum terdiam.
Tangan kanan Linggar mengangkat dagu Shanum dengan perlahan, sedangkan tangan kirinya menggenggam kedua tangan Shanum supaya tiada pergerakan yang membuatnya lengah.
"Li-linggar ... le-pas. I-iya. A-ku Shanum."
Netra berkaca-kaca dari Shanum dapat Linggar tatap dengan puas. Istrinya itu berani keluar rumah?
"Kamu janji bakal lepasin aku. Ja-jadi tolong lepas. Ja-jangan peluk aku, Linggar," lanjut Shanum.
"Kenapa, Sayang?"
Shanum mendorong Linggar kuat, lalu berbalik mengklik tombol terbuka berkali-kali namun tak kunjung terbuka juga. Dan untuk kesekian kalinya Linggar menarik lengan Shanum, hingga dengan terpaksa ia berbalik.
"Linggar ... tolong berhenti. Jangan sebut aku dengan panggilan seperti itu. Aku takut orang-orang tahu tentang pernikahan---"
Linggar menyanggah cepat. "Enggak akan. Kita lagi di hotel tempat aku kerja. Ini hotel punya Om Tama, nggak akan ada yang berani bikin berita macam-macam tentang aku sama kamu."
Shanum terdiam menatapi tangannya yang masih di sentuh Linggar.
"Kamu kenapa keluar rumah? Mau ketemu siapa?"
Ting!
Pintu lift terbuka tepat di lantai 10. Linggar langsung menarik Shanum masuk pada kamar hotel yang biasanya ia tempati. Saat telah memasuki kamar, Linggar menuntun Shanum duduk di ranjang ukuran besar.
"Jawab, Sayang."
Shanum menunduk, tangannya tiba-tiba saja basah, ia masih belum terbiasa bersentuhan dengan Linggar. Walaupun lelaki di depannya ini adalah suaminya, tetap saja hal-hal seperti ini terasa asing, dan terkadang menakutkan.
"Kamu takut sama aku?" Linggar melepas tangannya dari Shanum, dan berdiri menjauhi sang istri. "Maaf. Aku janji nggak bakal ngapa-ngapain. Aku cuma mau tanya, kamu ngapain ke sini?"
Jeda tiga detik Shanum menjawab, "A-aku mau ketemu Mama."
"Mama? Mama Gistara?"
Shanum mengangguk.
"Shanum berapa kali aku bilang, kalau Mama maksa kamu keluar rumah jangan mau. Kamu itu istri aku. Aku nggak bakal marah sekali pun kamu nolak ajakan Mama. Aku nggak suka kalau kamu---"
"Ta-tapi, be-liau Mama kamu," sanggah Shanum.
Linggar menghela napas, ia berbalik menatap cermin dan mengacak-acak rambutnya. Mengapa Mamanya harus seperti ini? Selalu saja memaksa Shanum ini dan itu. Beliau bilang, merestui pernikahannya dengan Shanum. Tetapi mengapa harus membuat istrinya merasa tidak nyaman sebagai menantu?
"Maafin Mama aku, Shanum."
Pantulan cermin yang menampilkan wajah kalut Linggar spontan membuat Shanum menggeleng khawatir. "E-enggak, Linggar. Ke-napa kamu harus minta maaf? Mama nggak salah, kamu juga nggak salah."
"A-aku yang salah. A-aku terus-terusan takut buat ketemu orang," lanjut Shanum.
Linggar berbalik, menatap Shanum yang menunduk. "Enggak kamu nggak salah. Sekarang ayo berdiri, aku antar kamu pulang."
"Aku belum ketemu Ma---"
"Nggak usah, Sayang. Nanti aku bilang sama Mama kalau kamu nggak bisa," sanggah Linggar.
Kediaman minimalis yang mendominasi warna putih menjadi tempat tinggal Linggar dan Shanum. Setiap tempat terdapat cctv tersembunyi atas perjanjiannya dulu dengan Sambara, Kakak Iparnya. Shanum tidak pernah tahu. Perempuan itu hanya tahu perjanjian pernikahan biasa. Selebihnya, perjanjian yang benar-benar ia sepakati tentu hanya dirinya dan Sambara yang tahu.
"Ling-gar."
Linggar menengok. "Apa, Sayang?"
"I-ini masih jam kerja. Ka-kamu nggak balik ke hotel?" Shanum memilih menunduk saat Linggar memperhatikannya dengan seksama. "Ta-kut di marahi sama Om Tama karena ... kamu tiba-tiba pulang."
"Om Tama nggak bakal marah. Lagian aku kerja di sana jadi general manager. Nanti kalau ada yang perlu di tanda tangani atau hal-hal penting lain, sekertaris aku bisa telepon kok. Handphone aku selalu on dua puluh empat jam," jelas Linggar.
Shanum hanya mengangguk dengan masih menunduk.
"Shanum."
Shanum mendongak pelan. "Apa?"
"Kamu nggak gerah?"
Shanum menggeleng.
"Maksud aku. Ini kan di rumah. Kamu nggak pakai kerudung pun aku boleh lihat, kan?" Shanum nampak menatapnya dengan pandangan aneh. Tersirat rasa takut dan sedih. Hingga spontan Linggar berujar, "Aku nggak ada niat maksa kamu. Kalau kamu masih nggak mau lepas nggak pa-pa. Aku janji nggak bakal---"
"Ma-af."
Linggar menggeleng cepat. "Enggak, Sayang. Enggak. Kenapa harus minta maaf? Aku yang salah."
"Sudah lima bulan. Tapi ... pernikahan kita ... masih nggak ada kemajuan." Shanum mencengkeram kuat gamis yang dipakainya. "A-ku masih nggak bisa me-layani kamu sebagai seorang istri---"
"Berhenti, Shanum." Linggar menyanggah. Rasanya ia ingin sekali menyentuh tangan Shanum. Tetapi ia masih ingat betul, reaksi Shanum masih tidak bisa terkendali. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Aku nggak suka dengernya. Kamu udah lebih dari cukup melayani aku. Kamu masak, kamu nyiapin semua keperluan aku, semuanya kamu lakuin."
"Tapi aku belum bisa ... melayani kamu di a-tas ... ranjang," lirih Shanum.
"Memang aku pernah minta?" Linggar menunduk, menatapi Shanum yang mencengkram kuat gamis yang dipakainya. "Aku nggak pernah nuntut itu kan, Sayang? Sesuai perjanjian yang aku sepakati dengan Ayah, serta Kakakmu. Kalau aku nggak akan menuntut itu dari kamu, sebelum kamu sendiri sudah benar-benar ikhlas melakukannya nanti."
"Ta-pi lima bulan ini ... terlalu lama, Linggar. A-aku tahu kamu nggak selamanya ... bisa menunda, kan?" ujar Shanum.
Linggar menghela napas. "Aku udah bilang aku bisa, Shanum. Kenapa kamu nggak percaya---"
"Aku percaya!" Shanum terkejut karena nada bicaranya sendiri yang tinggi. Bahkan ia spontan menutup mulut dan menunduk lagi. "Tapi, Linggar. Laki-laki normal ... pasti ... membutuhkan itu."
"Aku tahu." Linggar menjeda. "Tapi sekarang aku lagi nggak membutuhkan itu."
Shanum terdiam.
Baginya itu semua hanya kebohongan. Linggar memang bisa menunda, tapi kebutuhan tetap akan menjadi kebutuhan. Linggar adalah laki-laki. Bahkan sudah memiliki istri. Ia berpikir laki-laki mana yang akan bisa menahan selama itu? Tiada jaminan yang pasti Linggar tidak melakukan itu di luar. Saat dirinya yang sebagai istri tidak bisa melayani suaminya dengan baik.
"Sayang ..."
Shanum tersadar. "Apa?"
"Aku minta kamu berhenti mikirin itu."
Nggak bisa, Linggar. Aku tahu keadaan aku ini benar-benar menyulitkan kamu, batin Shanum yang langsung mengangguk pelan. "Iya."
Linggar berjalan ke arah lemari kecil yang menjadi tempat barang-barang elektronik di tempatkan. Kemudian dirinya kembali lagi dengan membawa laptop. "Sayang, kebetulan aku udah ketemu lahan yang cocok buat kamu bangun sekolah lukis khusus wanita."
"Ini ... dekat pedesaan?"
"Iya. Deket sama Panti Asuhannya Kak Mahika. Anak Om Tama," jelas Linggar.
"Tapi ... apa nggak pa-pa?"
"Ya nggak pa-pa. Memangnya kenapa?" Linggar membuka laptop dan menunjuk detail semua lahan itu. "Nanti kalau libur aku antar kamu ke sana. Sekarang kamu coba pikirin mau desain sekolah yang seperti apa? Terus nanti aku kirim ke arsitek."
"Makasih, Linggar."
Linggar mengangguk-angguk.
Kamar tidurnya dengan Shanum tidak terpisah. Bahkan satu ranjang. Tetapi Linggar tetap berusaha membatasi diri dengan Shanum. Lagi-lagi karena trauma berat yang membuat Shanum merasa bahwa semua laki-laki di dunia ini tidak terpecaya. Semua karena Djoko sialan! Ingin rasanya Linggar memukul orang itu sampai sekarat. Namun ia teringat perkataan Gari bahwa mati adalah hukuman yang terlalu ringan untuk manusia biadab itu!
"Linggar Sayang!"
Linggar terkejut saat mendengar suara dari Mamanya, Gistara. "Mama ngapain ke sini?"
"Mama mau ketemu Shanum." Gistara hendak berjalan menuju kamar tidur. Namun sekejap saja lengannya di tahan oleh sang anak. "Kamu mau larang Mama buat ketemu menantu Mama sendiri?"
"Aku nggak maksud gitu, Ma. Tapi kenapa tadi siang Mama suruh Shanum keluar rumah?" tanya Linggar.
Gistara menatap Linggar. "Kenapa? Dia ngadu ke kamu? Padahal Mama cuma minta dia datang ke Lazuardi Hotel aja. Mama mau kenalin dia ke temen-temen Mama. Kenapa dia malah nggak dateng? Mama jadinya malu."
"Malu? Mama bilang?" Linggar menjeda. "Mama nggak lupa kan? Kalau pernikahan aku sama Shanum ini rahasia? Shanum nggak mau ada orang luar yang tahu, Ma. Tolong Mama hargai---"
"Linggar, Mama nggak habis pikir gimana bisa kamu jadi sepenurut ini sama perempuan itu! Kamu nggak lupa kan? Kalau di sini kamu itu kepala keluarga? Sudah jadi hakmu juga mau atur pernikahan ini, Nak. Jangan berpatok pada keinginan istrimu aja," tutur Gistara.
Dari balik dinding yang bertepatan dengan anak tangga Shanum dapat mendengar jelas yang di ucapkan oleh mertuanya. Sungguh Gistara baik. Tetapi ia mengerti, setiap Ibu tidak ingin masa depan anaknya terganggu. Dan mungkin ... menikah dengannya adalah hal yang berakhir buruk untuk Linggar kedepannya.
"Mama bahkan yakin. Kamu sama dia belum melakukan hubungan intim kan?"
"Mama!"
Linggar ... jangan bentak Mama, batin Shanum yang mencengkram kuat gamisnya. Netra yang semula baik-baik saja, kini telah berkaca-kaca. "Jangan, Linggar," lirihnya.
"Mama pulang. Urus istrimu itu, Linggar. Jangan pernah cari Mama lagi. Kamu kayaknya lupa kalau Mama itu Ibu kamu, sampai-sampai kamu berani bentak-bentak Mama."
Mendengar langkah kaki yang mulai menjauh, Shanum memilih turun dan dengan tergesa-gesa ia menghampiri suaminya. "Ling-gar."
"Sayang, kenapa turun?" Linggar menatapnya.
"Mama ke-sini?" Shanum mengatur napasnya. "Kamu ... ke-napa sampai gitu ke Mama?"
Linggar menggeleng. "Aku sama Mama baik-baik aja. Nggak ada apa-apa. Cuma bertengkar biasa, Sayang."
Aku nggak bohong. Kamu harus percaya, Shanum, batin Linggar yang menatapi sang istri seperti gugup, berkeringat dingin dan tangan kurus itu mencengkeram kuat gamis yang dipakai.
"Shanum ..."
Shanum menunduk dan menggeleng. "Kamu ... bohong. Ka-mu kenapa bentak ... Mama, Linggar?"
"Aku nggak bentak Mama, Sayang. Aku cuma nggak sengaja aja bicara keras ke Mama." Linggar selalu sulit untuk berhadapan dengan Shanum. Spontanitasnya selalu saja menyentuh, dan Shanum tidak akan pernah bisa semudah itu menerima. "Coba kamu lihat aku."
Shanum menggeleng. "A-aku denger semuanya."
Linggar memejamkan mata sejenak. Sialan. Mengapa harus seperti ini? Bukankah ia berjanji untuk membahagiakan Shanum? Tetapi mengapa berakhir menyakiti Shanum seperti ini?
"Sayang." Perlahan-lahan Linggar menyentuh tangan Shanum. "Aku izin sentuh."
Shanum masih tertunduk.
"Jangan dengerin apapun yang di ucapin sama Mama. Karena menurut aku yang salah di sini itu Mama---"
Shanum langsung mendongak dan menyanggah, "Enggak, Linggar. Ke-napa kamu nyalahin Mama? Yang salah itu aku. Yang salah juga pernikahan kita ini. Kenapa ... kenapa kamu mau menikah sama aku? Bahkan dalam ... kurun waktu lima bulan pun aku nggak bisa menyesuaikan diri. Aku nggak bisa jadi me-nantu yang Mama mau. Aku juga nggak bisa jadi istri seperti wanita lain yang sudah menikah. Aku ..."
"Enggak-enggak, Sayang. Enggak. Nggak ada yang salah sama kamu, nggak ada yang salah sama pernikahan kita." Tangan Linggar yang semula berada di jari jemari, kini mengusap lembut pipi sang istri yang menitikkan air mata. "Jangan nangis gini. Aku jadi ikut sakit."
"Mama jadi marah sama kamu ... itu semua karena aku, Linggar." Shanum mengusap-usap ekor matanya. "Toh, yang di bilang Mama bener. Kamu itu pemimpin dalam pernikahan ini, ka-mu yang berhak menentuin semua. Aku ini cuma istri ... yang harus menurut dan melayani suaminya. A-aku ... nggak berhak larang kamu. Bahkan ... kamu ... nggak perlu izin aku buat ... nyentuh tubuh aku di bagian mana pun---"
"Enggak, Sayang. Berhenti. Jangan bicara apa-apa lagi." Ma, kenapa sih? Mama kenapa harus kayak gini ke istri aku? lanjut Linggar dalam hati. "Dengerin aku."
"Pernikahan ini pilihan hidupku. Dan aku tahu Mama itu yang melahirkan aku, tapi kesalahan manusia itu nggak bisa di ukur dari tua mudanya, kan? Sekali pun Mama itu Ibuku, kalau beliau salah apa aku harus bela?" Linggar menatap dalam pada mata Shanum. "Aku sayang sama Mama. Aku marah, aku ngebentak beliau pun karena spontanitas aku yang udah nggak tahan denger Mama gituin kamu, Sayang."
"Aku ini emang anak Mama. Tapi aku ini juga suami kamu. Siapa yang jamin aku nggak berdosa waktu biarin Mama bicara begitu tentang kamu? Tugas aku itu nggak sekedar nafkahi kamu aja, aku juga menjamin kesehatan batin kamu. Apalagi kamu bilang, kamu denger semua ucapan Mama," lanjut Linggar.
Shanum semakin terisak-isak. Tangannya spontan menyusup pada pinggang Linggar, tanpa sadar memeluk suaminya dengan begitu erat. "Ta-tapi kamu nggak harus kayak gitu ke Mama."
Shanum ... kamu peluk aku? batin Linggar yang berdebar-debar merasakan sentuhan yang di mulai dari Shanum untuk pertama kalinya.
"Nanti malam kamu ke rumah. Kamu minta maaf ke Mama," lanjut Shanum.
Linggar hanya mengangguk dengan hati yang benar-benar tidak karuan saat merasakan dekapan hangat ini.
"Linggar?"
"Iya, Sayang. Tapi kamu harus ikut."
Spontan Shanum melepaskan dekapannya. "A-aku di rumah ... saja."
"Kalau aku datang minta maaf ke Mama, pasti di sana bakalan ada Papa. Aku yakin Papa juga pasti tanya. Bahkan nggak segan Papa juga menilai siapa yang benar dan salah."
Shanum menggeleng. "Jangan sampai Papa tahu, Linggar. Aku nggak mau ... Mama makin nggak suka sama aku."
Disclaimer:
Cerita ini itu mengarah ke pernikahan yang dipenuhi dengan rasa trauma —akibat ruda paksa. Mungkin akan merujuk ke hal-hal dewasa.
Disini akan di bahas tentang dunia malam, pandangan masyarakat/orang terdekat tentang korban, kesehatan mental Shanum, bahkan juga pandangan Linggar sebagai suami —maybe ini si yang seperti akan sering terbahas, karena kan Linggar sama Shanum suami istri. (Jika ada yang tanya saya tahu dari mana? Jelas semua saya riset dari kejadian nyata/lingkungan sekitar, buku-buku yang saya baca, dan hal-hal lainnya. Dan ya ... saya tinggal di kota besar hal yang samar, masih bisa terlihat dan ditela'ah.) Saya memahami bahwa pergaulan bebas adalah kerusakan yang nyata dan meninggalkan bekas, jaga diri kalian dengan sebaik-baiknya.
Dimohonkan kebijakannya dalam membaca, dan ambil serta pahami beberapa pesan moral yang akan saya sampaikan. Hal buruk sebaiknya dibuang. Namun apabila berdampak buruk saat membaca, akan lebih baik tidak usah diteruskan. Cerita ini adalah fiksi. Terimakasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!