Derap langkah kaki menggema di lobi sebuah gedung perkantoran yang bergerak di bidang bisnis property. Mars Property, itulah nama perusahaan yang sudah berdiri sejak beberapa puluh tahun lamanya yang saat ini dipimpin oleh generasi kedua.
Langit Biru, pria berusia tiga puluh lima tahun yang menjabat sebagai owner, CEO sekaligus direktur utama Mars Property. Terlahir dari keluarga kaya yang sejak dirinya masih remaja sudah digembleng menjadi seorang generasi penerus kerajaan bisnis keluarga. Hingga detik ini, sudah tak bisa dijabarkan satu per satu apa saja pencapaian seorang Langit Biru. Pria berpostur tinggi mencapai seratus delapan puluh senti meter itu, tak hanya memiliki wajah yang tampan tapi juga sangat kentara kearoganannya. Mendapatkan nama panggilan Elang -- meski kedengarannya sangat tidak nyambung dengan nama lengkapnya Langit Biru -- akan tetapi, keluarga, kerabat serat rekan bisnis juga para karyawannya, akan lebih senang memanggil namanya dengan sebuatan Elang ketimbang Langit.
Seorang duda beranak satu yang resmi bercerai dengan mantan istrinya semenjak dua tahun silam. Lumayan lama hidup tanpa pasangan, tak lantas menjadikan Elang menggilai banyak wanita untuk menggantikan posisi mantan istrinya. Tidak demikian karena nyatanya, Elang lebih nyaman hidup berdampingan bersama sang putri tercinta.
Selain itu, fokus hanyalah mengembangkan sayap karirnya menjadi seorang pengusaha sukses di Indonesia.
Tok... Tok.... Tok...
Suara ketukan di pintu ruang kerja miliknya, membuat Elang mendongak mengalihkan fokus pada berkas yang sedang ia baca. Ya, pria itu memang telah berada di dalam ruang pribadinya di lantai teratas gedung perkantoran tersebut.
"Masuk!" titahnya.
Begitu pintu itu terbuka, sesosok pria muda dengan usia di bawahnya menunduk hormat padanya.
"Selamat siang, Pak Elang!"
"Masuklah, Jo!"
Pria bernama Johan masuk mengikuti perintah sang atasan.
"Duduklah."
"Terima kasih."
"Berita apa yang kamu bawa hari ini?" Elang bertanya dengan nada dingin penuh intimidasi. Bagi sebagian orang yang baru mengenal lelaki itu, dapat di pastikan tak berkutik karena ketakutan pada sikap yang Elang tunjukkan. Selain wajah sangar yang selalu Elang perlihatkan, juga sikap intimidasi yang Elang berikan membuat para karyawan merasa takut berhadapan dengannya. Namun, bagi yang sudah mengenal siapa sebenarnya sosok Elang, maka rasa takut yang pernah mendera akan musnah dengan sendirinya. Elang adalah pria yang baik dan loyal pada karyawannya. Dia juga tak akan suka marah pada karyawannya asalkan tugas serta pekerjaan sudah sesuai dengan yang Elang harapkan.
Sebuah map berwarna coklat Johan serahkan pada Langit Biru.
"Apa ini?" tanyanya menatap penuh tanya pada Johan.
"Ini adalah proposal yang kembali kita terima."
"Apakah masih dari perusahaan yang sama?"
Johan mengangguk membuat Elang berdecak tidak suka.
"Belum menyerah juga. Lagi pula apa yang ingin mereka incar dari pulau terpencil itu? Resort? Ya, aku tahu jika suatu ketika nanti, pulau itu bisa saja akan menjadi jujugan para wisatawan. Namun, aku tak ada keinginan untuk menjual lahan itu."
"Kenapa Bapak tetap mempertahakan lahan yang selama ini Bapak abaikan. Menurut saya dari pada lahan itu kosong begitu saja kenapa Bapak tak menyerahkan saja. Toh penawaran harga yang mereka berikan sangat fantastis."
Elang membuka kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Helaan napas keluar begitu saja dari sela bibirnya.
"Yakin kamu ingin tahu apa alasanku tetap mempertahankan lahan itu?"
Johan menganggukkan kepala.
Elang kembali berkata kali ini menjelaskan lebih tepatnya membuat Johan yang duduk di hadapannya mendengarkan dengan seksama. "Kamu benar. Lahan itu memang akan lebih bermanfaat jika aku jual karena mungkin hasil dari penjualan itu bisa aku gunakan untuk membeli lahan baru yang lebih menguntungkan. Hanya saja, lahan itu akan jadi sengketa andai aku menjualnya. Ah, maksudku pasti Vivian akan tahu jika aku akan menjual salah satu aset yang aku beli saat masih menikah dengannya dulu. Dan tentu kamu tahu bagaimana Vivian. Dia akan meminta bagian lebih dari setengahnya. Hal yang sangat mustahil aku berikan karena meski aku membeli lahan itu dengan uangku sendiri nyatanya Vivian tak akan kehilangan cara untuk membuatku tak berkutik lagi."
Johan diam. Membiarkan Langit Biru menerawang akan masa lalu. Ya, Johan sangat tahu bagaimana buruknya sifat mantan istri sang atasan. Jadi alasan yang Elang sampaikan sangatlah masuk akal.
"Jadi, bagaimana Pak?" Johan masih saja keukuh bertanya.
"Aku tetap tidak akan menjual lahan itu." Menjawab demikian dengan tangan membuka amplop yang tadi Johan berikan. Membaca sekilas isi proposal hingga matanya tertuju pada sebuah tanda tangan pemimpin salah satu hotel ternama di pulau Dewata.
"Bulan Purnama." Langit menggumamkan sebuah nama yang tengah ia baca.
Nama yang langsung mengusik pikirannya.
Bagaimana mungkin dia menjumpai sebuah nama yang berkaitan dengan alam semesta. Sama halnya dengan nama yang dia punya, juga nama sang putri yaitu Cahaya Senja.
Apakah ini yang dinamakan jodoh?
Tidak ... tidak. Elang gelengkan kepalanya. Bisa-bisanya otaknya jadi ngelantur begini.
"Pak!"
Elang terkesiap karena panggilan Johan yang berhasil membawanya pada kesadaran, setelah sebelumnya pria itu sempat melamun.
"Apakah Anda baik-baik saja?" Johan kembali bertanya karena khawatir akan perubahan raut wajah sang atasan.
"Ya. Aku baik-baik saja." Elang menutup kembali map tersebut. Lalu dia sodorkan pada Johan.
"Simpan saja berkas ini. Yang pasti aku tak akan menjual lahan itu. Dan jika mereka bersikukuh untuk tetap membelinya ... Aku sendiri yang akan turun tangan langsung untuk menolaknya. Kamu paham, Jo!"
"Siap, Pak. Saya mengerti. Oh, iya. Anda tidak melupakan jadwal kunjungan ke Surabaya esok lusa, kan, Pak?" Johan mencoba mengingatkan. Karena salah satu tugasnya adalah mengatur jadwal kerja sang atasan.
"Tentu saja tidak. Pertemuan penting seperti itu mana mungkin aku lupakan. Hanya saja ...." Elang tak melanjutkan.
Kening Johan mengernyit menanti atasannya kembali berkata-kata.
"Aya ingin ikut katanya," ucap Elang detik berikutnya.
"Apa? Kenapa Nona Cahaya ingin ikut? Tumben sekali."
"Entahlah, Jo. Aku tak mengerti. Bagaimana mungkin dia ingin berkunjung ke kebun binatang katanya. Ada-ada saja. Seperti di sini tidak ada kebun binatang saja," gerutu Elang yang tak paham akan keinginan putri semata wayangnya. Namun, untuk menolak tak akan mungkin bisa Elang lakukan. Dan yang ada pria itu hanya bisa menurutinya saja.
"Jo ... besok aku masih harus ke Bali. Dan barulah dari Bali aku akan langsung ke Surabaya. Parahnya lagi ... Aya tidak mau ikut aku ke Bali dulu. Dia mengatakan akan menyusulku nanti. Mana mungkin aku membiarkannya begitu saja ke Surabaya seorang diri."
Elang menjatuhkan punggung pada sandaran kursi kerja.
"Pak ... kenapa Anda tidak meminta tolong saja pada Mas Jupiter?"
Ide yang bagu. Sepupunya itu pasti mau membantu.
####
Hai ... hai .....
Selamat datang di lapak barunya Bulan dan Langit.
Mohon maaf sangat-sangat. Sepertinya alur cerita saya rombak dari ide awalnya. Dan di cerita ini saya akan lebih merujuk pada POV pria yaitu Elang.
Selamat membaca. Dan jangan lupa banyakin komenannya. Makasih.
Kaca mata yang membingkai wajah tampan Langit Biru masih juga enggan terlepas. Pria itu berjalan tergesa menyusuri koridor bandara menuju tempat check in. Hampir saja Langit telat andai tadi sopir taksi yang membawanya tidak gegas melajukan kendaraan di atas kecepatan normal. Semua karena pekerjaan yang dia lakukan memang sangat menguras tenaga juga membuang waktunya. Tidak cuma-cuma karena apa yang Langit dapatkan sudah setara dengan perjuangannya sampai di pulau Dewata.
Sebuah kebetulan yang mengantarkan Langit melakukan dua pekerjaan sekaligus dalam waktu yang terbilang singkat. Pria itu baru datang di jam sembilan pagi tadi. Seorang diri tanpa pengawalan atau peneman seperti halnya Johan misalnya. Sengaja Langit sendiri yang harus datang menemui klien dari Jepang yang kebetulan sedang berlibur. Dalam pertemuan yang memberikan satu buah proyek besar. Selain itu ada hal yang memang sengaja Langit kerjakan.
Terkait jaringan hotel terbesar di Pulau Dewata ini yang sudah berulang kali mengusik perhatiannya akan datangnya proposal yang dalam kurun waktu singkat sudah berani menawar lahan miliknya dengan harga yang tak tanggung-tanggung. Jikalau Langit ini hanya mengejar materi sudah barang tentu dia akan antusias melakukan negosiasi harga karena Langit yakin jika berapa pun harga yang dia patok akan disetujui juga karena jelas sekali mereka menginginkan tanah miliknya itu. Namun, Langit tetap bersikukuh tidak akan menjual lahan itu apapun yang akan terjadi. Biar saja, daripada dia harus berurusan dengan Vivian lagi.
"Auw!" Pekik seorang gadis yang membuat kesadaran Langit kembali pada dunia nyata. Ya, sejak tadi rupanya pikiran Langit terbang ke mana-mana. Lantas perhatian pria itu teralihkan pada gadis yang baru saja menabraknya. Sepertinya gadis itu sama saja dengannya. Hampir terlambat. Tapi Langit tak peduli, yang penting dia berhasil check in dan pergi meninggalkan tempat mengabaikan gadis itu yang terus saja menggerutu tidak jelas. Langit tidak peduli sama sekali.
••••
Berada di ruang tunggu Bandara tidak terlalu lama ketika pusat informasi mengabarkan jika pesawat yang akan ditumpangi sudah siap. Langit kembali menyeret kopernya dan mengikuti para penumpang lain untuk bersiap memasuki pesawat. Semua tidak ada yang spesial dan tidak ada kendala sampai Langit mendapatkan tempat duduknya dengan dibantu oleh seorang pramugari cantik.
Duduk berdiam diri dengan wajah tanpa ekspresi. Tak lupa ponsel di dalam saku celana dia matikan sinyalnya agar tidak mengganggu jalannya penerbangan menuju kota Surabaya.
Ada pekerjaan yang harus dia lakukan di sana. Dan kemungkinan akan memakan waktu cukup lama untuk Langit berada di sana. Lebih dari satu minggu mungkin.
Teringat akan putrinya yang mengetahui perjalanan bisnisnya kali ini, putrinya yang berusia sepuluh tahun bersikukuh ingin ikut. Entahlah. Mungkin karena dulu putrinya itu pernah hidup di Surabaya lumayan lama mengikuti Vivian yang kala itu.
Jupiter. Kenapa Langit baru kepikiran sepupunya itu kali ini. Padahal jelas sekali jika Langit membutuhkan bantuan pemuda itu untuk mengantarkan sang putri. Ingin menelepon tapi tidak sekarang karena pesawat akan segera terbang. Tak apa. Toh, baru besok Cahaya akan menyusulnya. Semoga saja dia tidak lagi lupa untuk mengabarkan perih ini.
"Silahkam, Nona. Ini tempat duduk Anda."
Terdengar di telinga Langit suara merdu seorang pramugari yang memberikan informasi pada seorang penumpang yang akan duduk di kursi sebelahnya. Ketika tanpa sengaja pria itu mendongak, pelototan mata gadis yang tadi ia tabrak tertangkap oleh netranya. Astaga, kenapa bisa dia satu tempat duduk dengan gadis itu lagi. Langit kembali menunduk tak lagi mau menggubris kehadiran sosok gadis hang sekarang mulai duduk di sebelahnya.
Tanpa Langit tahu jika di dalam hati gadis itu sedang mendumel tidak jelas. Antara kesal dan sebal karena harus bertemu dengan lelaki yang tidak tahu etika. Sudah menabrak, tidak mau meminta maaf dan justru hanya melihatnya sekilas. Sekarang, tanpa Bulan sangka jika dia justru duduk di sampingnya.
Ya, gadis yang bertabrakan dengan Langit Biru adalah Bulan Purnama. Anak gadis dari Bumi Perkasa. Dalam perjalanan ke Surabaya kali ini, Bulan ingin berkunjung ke rumah uncle-nya yaitu Angkasa Dirgantara.
Karena si lelaki di sebelahnya tak ambil pusing dengan kehadirannya, pun demikian dengan Bulan yang memilih memejamkan mata tak mau juga hanya sekedar terlihat obrolan tidak penting dengan lelaki di sebelahnya.
••••
Bandara Juanda Surabaya.
Bulan sedang berdiri menunggu jemputan dari sang sepupu yang tak lain adalah Jaghad. Anak dari Angaks Dirgantara.
Beberapa kali kepala gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan. Menanti Jaghad yang tak kunjung datang.
Lagi-lagi sebuah ketidak sengajaan ketika kepala Bulan menoleh ke samping. Lelaki yang tak melepas kacamata hitamnya sejak tadi, berdiri juga di sampingnya. Bulan mendesah tidak suka. Kenapa lagi-lagi lelaki itu berada di dekatnya.
Untung saja tak lama setelahnya, Bulan menangkap kehadiran sepupunya. Senyum lebar dari bibir Bulan karena merasa senang sekaligus lega yang dinanti datang juga. Tanpa kata, kedua lengan Bulan merentang bersiap menerima pelukan karena lama tak bersua tentulah ada rasa saling merindukan.
Pun demikian dengan Jaghad. Mereka bersaudara menjalin kedekatan yang sangat baik. Begitu mereka mendekat, pelukan keduanya tak mungkin nisa dielakkan. Tubuh Jaghad yang besar menenggelamkan tubuh mungil Bulan. Gadis itu memang memiliki perawakan mirip Mommy-nya. Pelukan erat keduanya yang tak lepas dari perhatian Langit.
Entah kenapa bisa-bisanya pria itu berdecak tidak suka. Dalam hati berkata, anak muda jaman sekarang tidak pernah tahu tempat ketika bermesraan.
Bukan sebab dia kelamaan menduda sehingga melihat kemesraan orang lain membuatnya iri saja. Tidak demikian. Daripada matanya ternoda karena sepasang sejoli yang masih memamerkan kemesraan dengan berpelukan, Langit gegas menjauh mencari taksi yang akan membawanya ke hotel tempatnya menginap selama di kota ini.
•••
"Mau makan dulu atau langsung pulang, kak?" Tawaran yang Jaghad berikan pada kakak sepupunya itu.
"Aku sudah rindu dengan uncle. Tapi aku juga lapar. Eum ... ngopi saja dulu bagaimana?" Usulan dari Bulan diangguki kepala oleh Jaghad.
"Ayo!"
Dengan cekatan, Jaghad mengambil alih koper milik Bulan dengan satu tangan. Dan tangan satunya lagi meraih lengan Bulan untuk ia gandeng. Begitulah keduanya. Jika yang tidak mengenal pasti dikiranya mereka adalah sepasang kekasih. Sama halnya Langit yang tadi mengiranya demikian.
Jaghad membuka pintu mobil, mempersilahkan sang kakak sepupu untuk masuk ke dalam. Sementara dia menyimpan koper milik Bulan ke dalam bagasi mobil. Baru setelahnya dia pun ikut masuk dan duduk di balik kemudi.
"Kak ... ada rencana berapa lama di sini?"
Bahu Bulan mengedik. "Tidak tahu. Sampai rasa jenuhku hilang ... baru aku akan pulang."
Baru juga Bulan membuka pintu salah satu kedai kopi yang dia kunjungi bersama Jaghad, tanpa disangka ada seseorang yang juga mendorong pintu dari dalam berniat keluar. Untung saja Jaghad dengan sigap menarik mundur tubuh sang kakak sepupu hingga terhindar dari benturan pintu yang terdorong keluar. Mata Bulan mendelik demi bisa melihat siapa gerangan seseorang yang keluar dengan menenteng paper bag dengan logo kedai coffee tersebut. Bisa-bisanya di semua kesempatan yang ada mereka selalu dipertemukan. Masih seperti pertemuan sebelumnya di mana Langit tanpa ekspresi melenggang begitu saja melewatinya. Tidak tertarik dengan gadis belia yang bisanya hanya manja. Langit adalah pria dewasa yang jika ingin menikah kembali sudah barang tentu akan mencari wanita yang setara usia dengannya. Karena dalam pernikahan itu nanti yang Langit harapkan di mana seorang wanita yang tak hanya mengincar harta kekayaannya saja atau mengangumi ketampanan wajah yang dia miliki. Tapi juga harus bisa menerima Cahaya. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Selama ini pula Langit tidak tertarik menikah lagi karena belum menemukan wanita yang cocok dan bisa menggantikan posisi Vivian, sang mantan istri. Bagi Langit, Cahaya adalah segala-galanya dan apapun yang dia lakukan semata-mata demi masa depan dan kebahagiaannya bersama sang putri tercinta.
Kembali pada Bulan yang masih melongo karena Langit melaluinya begitu saja. Tak mengerti kenapa bisa dia menjumpai laki-laki seperti itu. Untung saja bukan lelaki muda yang bisa jadi akan membuatnya terpesona. Lelaki itu hanyalah Om-om berumur tapi sikapnya sok cool.
"Kak!"
"Hah!" Bulan terkesiap.
"Kenapa bengong di sini. Buruan masuk!"
"Ah, iya ... iya." Bulan merutuki kebodohannya sendiri. Sebelum berlalu masuk ke dalam, gadis itu masih juga menyempatkan diri menoleh ke belakang menjadikan Jaghad terheran dibuatnya.
"Kak Bulan kenal?"
"Hah! Apa?"
"Kakak kenal dengan lelaki tadi?"
"Oh. Tidak. Mana mungkin juga aku mau mengenal lelaki arogan seperti itu. Sok kegantengan tapi nggak punya etika."
"Maksudnya?"
"Tadi lelaki itu sempat menabrakku. Bukannya meminta maaf, malah nyelonong pergi begitu saja. Belum lagi pas di pesawat ternyata kursi kita bersisihan. Apes benar nasibku hari ini."
"Siapa tahu jodoh, kan, karena berkali-kali dipertemukan."
"Jangan bicara sembarangan. Lelaki tadi sudah berumur kelihatannya. Bukan tipeku. Lagipula, sudah dipastikan jika lelaki seusia itu sudah beristri. Amit-amit jika aku harus berjodoh dengan pria beristri. Macam bujang di dunia ini tidak ada saja."
"Siapa tahu saja dia duda, kak? Terlihat tajir juga."
"Aku nggak butuh harta jika ingin menikah. Hartaku sudah banyak."
Jaghad hanya tertawa mendengarnya.
"Jangan bahas tentang lelaki dan buruan pesankan aku kopi. Setelah ini kita bisa langsung pulang. Rindu sekali dengan uncle dan aunty."
Jaghad menurut saja dengan apa yang diminta Bulan. Pemuda itu pun langsung memesan kopi permintaan sang kakak sepupu.
••••
Sampai di hotel, kopi yang tadi Langit beli sudah diminum dan sisa setengah cup saja. Terheran karena kesekian kali di satu hari ini Langit harus berjumpa dengan gadis yang tadi satu pesawat dengannya. Sejujurnya Langit sama sekali tidak tertarik, tapi tetap saja pertemuan yang lebih dari satu kali sempat mengusiknya.
Mengenyahkan semua apa yang sudah terjadi selama beberapa jam ini. Tubuh yang lelah memaksa Langit untuk gegas masuk ke dalam kamarnya. Ingin sekali dia beristirahat agar esok pagi bisa menjalani aktifitas dengan normal kembali. Banyak yang harus dia kerjakan selama berada di kota ini.
Begitu pria itu masuk ke dalam kamar yang akan dia tempati selama beberapa hari ini, koper Langit letakkan asal di samping ranjang. Pria itu menjatuhkan tubuh besarnya di atas ranjang sembari memejamkan mata.
Hari sudah beranjak malam dan perut Langit yang mulai berbunyi menandakan jika dirinya sedang lapar. Ah, bisa-bisanya di saat sedang malas beranjak justru perut tidak mau berkompromi.
Kembali bangkit sembari melepas kemeja yang melekat di tubuhnya. Hampir saja dia lupa akan apa yang harus dilakukan. Menelepon Jupiter. Adik sepupunya.
Ponsel yang masih berada di dalam saku celana, dia ambil lalu mencari nomor telepon Jupiter. Menunggu hingga beberapa deringan barulah sang empunya menjawab juga.
"Piter. Kamu di mana?" Kata tanya yang langsung Langit utarakan sebagai pembuka percakapan keduanya.
"Aku sedang keluar dengan teman," jawab seseorang melalui sambungan telepon yang Langit lakukan.
"Kamu tidak sedang ada pekerjaan, kan, esok hari?"
"Memangnya ada apa?"
"Antarkan Aya ke Surabaya."
"Apa?"
"Apa perkataanku kurang jelas, Piter!"
"Bukan begitu. Aku hanya ingin memastikan jika pendengaranku sedang tidak bermasalah. Itu saja."
"Kamu memang tidak salah dengar. Besok siang antarkan Aya ke Surabaya. Tiketnya akan aku minta Johan memesankan. Kamu tinggal siap-siap saja."
Decakan terdengar di telinga Langit dan itu Jupiter pelakunya.
"Kamu ini! Jika meminta sesuatu selalu mendadak. Besok siang dan kamu baru mengatakannya sekarang. Memangnya kenapa kamu mau meminta padaku mengantarkan Aya. Apakah dia ingin bertemu mamanya?"
Ya, Vivian memang kerap berada di Surabaya untuk urusan bisnis. Vivian sang mantan istri Langit yang berprofesi sebagai seorang model memang kerap berpindah-pindah tempat sesuai dengan pekerjaan yang di dapat. Dan beberapa waktu lalu wanita itu sempat mendapatkan tawaran menjadi model sebuah brand ternama dari perusahaan yang berada di Surabaya. Oleh sebab itulah hampir kurang lebih lima bulan wanita itu menetap di kota pahlawan. Beberapa kali juga Cahaya memang diminta Vivian untuk ikut dan menemani di sana. Terkadang Jupiter juga yang akan mengantarkan Cahaya pergi ke Surabaya karena Langit tidak akan mungkin mau mengawal putrinya jika itu menyangkut sang mantan istri. Langit sudah terlalu malas hanya untuk bertemu dengan Vivian yang selalu saja banyak drama. Dan Jupiter, kali ini pun tidak ada yang salah jika pria itu mengira rencana Cahaya ke Surabaya karena ingin bertemu Vivian.
"Dia ingin menyusulku," jelas Langit.
"Sejak kapan kamu ada di Surabaya?"
"Sejak barusan."
"Apa? Kamu ini memang suka bercanda."
"Aku tidak bercanda Piter. Jadi, bersiap-siaplah. Nanti Johan yang akan mengirimkan pesan padamu mengenai jadwal pesawatmu esok hari."
"Sialan! Kamu ini senang sekali membuatku repot seperti ini."
Meski Jupiter terkesan protes, nyatanya pria itu tak menolak akan apa yang Langit minta.
Mereka saudara sepupu yang memang seringkali saling bantu membantu. Selain itu, Jupiter pun sangat menyayangi Cahaya. Sangat tahu betul bahwa kisah rumah tangga Langit dan Vivian hingga Cahaya lah yang menjadi korban.
"Jangan banyak protes, Piter!"
"Iya ... iya. Baiklah. Mana bisa aku menolak jika itu untuk Cahaya."
"Thank You, Piter."
"You are welcome."
Begitu panggilan teleponnya dengan Jupiter berakhir, Langit segera mengirimkan sebuah pesan pada Johan. Meminta pada asistennya agar memesan tiket pesawat untuk Jupiter, sepupunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!