halo teman-teman readers tersayang 😘
Pansy balik lagi dengan membawa novel terbaru, mudah-mudahan berkenan.
Sebelumnya, Pansy mau ngucapin “Selamat Idul Fitri, Mohon maaf lahir dan batin”
Maaf kalau Pansy pernah ada salah-salah kata ya 😊🙏🏻
🌸🌸🌸
Seorang gadis berusia sekitar 15 tahun, terus berlari di bawah rintiknya hujan. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat apakah ia telah berhasil lari dari kejaran para pria berjubah hitam.
Langit yang semakin lama semakin gelap pun akhirnya membuatnya mencari tempat untuk berteduh. Ia masuk ke dalam sebuah gang yang tak teelalu besar di samping sebuah toko kue.
Gang tersebut diperuntukkan oleh kedua bangunan di kiri kanan sebagai jalur pemisah di antara mereka, juga sebagai area servis berupa pintu samping dan pembuangan sampah sementara.
Gadis kecil itu bersembunyi di antara 2 buah tong sampah besar dan ia meletakkan tutup tong tersebut di atas kepalanya agar ia tak langsung terkena air hujan yang semakin lama semakin deras.
Tubuhnya semakin menggigil tatkala pakaiannya sangat basah. Ia juga belum makan hari ini. Keadaannya kini sungguh berbanding terbalik saat orang tuanya masih hidup. Hidupnya yang kini sendirian dan di negara asing, membuatnya semakin terpuruk.
Semakin lama, pandangannya semakin kabur yang pada akhirnya menggelap.
**
Mata mengerjap dan indera penciumannya mulai merasakan bau khas rumah sakit. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari dan mencari.
Pintu ruangan terbuka dan tampak seorang dokter bersama dengan pasangan pria dan wanita paruh baya, yang berusia sekitar 40-an.
“Halo sayang,” sapa wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu.
“A-aku …”
Dokter tersebut memeriksa kembali keadaan gadis itu. Sebelumnya, ia telah menjelaskan kepada pasangan pria dan wanita itu mengenai kondisi gadis itu.
“Kamu hanya mengalami kelelahan dan dehidrasi. Apa kamu belum makan?” tanya Dokter Steve, yang berusia seumuran dengan pria dan wanita itu.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Ia memang belum mengisi perutnya sama sekali.
“Siapa namamu, sayang? Perkenalkan, namaku Maria dan ini suamiku Chris.”
“Aku Dokter Steve.”
“Grace,” jawabnya singkat. Masih teringat dengan jelas di kepalanya bahwa ia tak diperbolehkan untuk menyebut nama belakangnya, apalagi dengan orang yang tidak dikenal.
“Grace? Nama yang cantik, sesuai denganmu,” kata Maria dengan senyum di wajahnya.
Wajah Maria yang begitu tenang dan teduh, mengingatkan Grace akan Mommy-nya. Namun, sekarang ia tak bisa lagi merasakan kehangatan itu. Dad dan Mom sudah tak bersamanya lagi. Ia hanya sendirian di dunia ini, tak ada yang menyayanginya dengan tulus.
“Ia hanya perlu menginap di sini semalam saja. Besok pagi, paling lambat siang, ia sudah bisa pulang.”
“Thank you, Steve,” kata Chris sambil menepuk bahu temannya itu.
“Baiklah, aku tinggal dulu. Aku harus berkeliling untuk memeriksa pasien yang lain,” kata Dokter Steve pada Chris dan Maria, kemudian tersenyum ke arah Grace dan keluar dari ruangan itu.
Maria berjalan mendekati Grace dan menggenggam tangan gadis itu, “Di mana orang tuamu, sayang?”
Grace menatap manik mata Maria yang terlihat sangat teduh. Ia merasa tenang dan nyaman, bahkan membuatnya ingin menangis. Grace menggelengkan kepalanya, membuat Maria langsung memeluknya.
**
Kediaman Alexander begitu tenang dan sunyi. Rumah yang besar hanya dihuni oleh Chris, Maria, dan juga putra mereka Theodore. Pelayan tinggal di bagian belakang rumah, bersama keluarga mereka masing-masing.
Maria menggandeng tangan Grace dan mereka bersama-sama masuk ke dalam rumah. Saat memasuki ruang keluarga, Grace melihat sebuah foto keluarga yang sangat besar.
“Itu putra Aunty, namanya Theodore,” baru saja Maria memberitahu Grace, sebuah mobil memasuki halaman parkir kediaman Alexander.
“Dad, Mom, aku pulang!”
“Dari mana kamu, Te?” tanya Chris.
“Biasa Dad, main basket bersama dengan Nic,” Chris menganggukkan kepalanya. Sejak kecil, Theo memang dekat dengan Nic, putra sahabatnya Oscar Gerardo.
Maria yang baru saja menemani Grace melihat kamar tidurnya, melihat kedatangan Theo. Theo yang melihat seorang gadis yang sepertinya seumuran dengannya menautkan kedua alisnya.
“Te, kenalkan ini Grace. Ia akan tinggal di sini bersama dengan kita,” kata Mom Maria.
“Aunty,” Grace agak sedikit takut dengan tatapan Theo yang seperti menelisik dirinya. Mom Maria langsung memegang tangan Grace seakan mengatakan tidak apa-apa.
Theo berjalan mendekat kemudian mengulurkan tangannya, “Theo.”
Meskipun tanpa senyuman, tapi melihat Theo mengulurkan tangannya terlebih dulu pada Grace, membuatnya yakin bahwa keluarga yang ada di hadapannya ini adalah keluarga yang baik.
“Grace,” sambil menyambut uluran tangan Theo. Chris dan Maria tersenyum melihat itu. Mereka juga yakin Theo tak akan menolak kehadiran Grace.
**
Sementara itu di tempat lain,
“Apa kalian sudah menemukan gadis itu?”
“Kami sudah membunuhnya, Sir,” jawab seseorang. Ia memperlihatkan sebuah foto di mana tampak seorang gadis dengan darah di sekujur tubuhnya dan wajah yang sudah rusak hingga sulit untuk dikenali.
“Kerja bagus! Kalian sudah menyingkirkannya tanpa diketahui siapapun, bukan?”
“Sudah, Tuan. Tak akan ada yang tahu jika tuan yang memerintahkannya.”
Pria paruh baya itu memegang kumis tipisnya dan mengulum senyum. Ia meminta seluruh anak buahnya keluar dari ruangan tersebut. Ia memutar tubuhnya menghadap ke sebuah jendela besar dengan lengkungan di bagian atasnya.
“Akhirnya aku berhasil menyingkirkan mereka. Kini semuanya akan menjadi milikku, hanya aku yang akan berkuasa,” gumamnya pelan.
Seorang wanita dengan gaun panjang memasuki ruangan. Ia berjalan mendekat ke arah pria itu dan memeluknya dari samping.
“Sir, apa semua sudah selesai?”
“Tentu saja. Aku tidak akan gagal. Kamu akan melihat bahwa aku akan segera dinobatkan menjadi pewaris satu-satunya.”
“Kamu hebat, benar-benar luar biasa. Aku sangat mencintaimu.”
Pria itu memutar tubuhnya menghadap ke arah wanita itu. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium dengan rakus bibir berwarna kemerahan itu.
“Touch me, Sir!” Sebuah senyuman sinis terbit di wajah pria itu. Ia langsung membawa wanita itu ke dalam kamar tidur miliknya yang berada persis di sebelah ruang kerja.
🌹🌹🌹
Hari demi hari dijalani Grace dengan biasa, namun tenang dan bahagia. Chris dan Maria memberinya identitas baru dengan nama Grace Alexander. Secara tidak langsung, ia sudah diangkat sebagai putri mereka secara hukum.
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, Grace melanjutkan pendidikannya dalam bidang kedokteran. Ia sangat berterima kasih pada Dokter Steve yang dulu menyelamatkannya dan memberikan perawatan yang luar biasa. Ia juga ingin membantu orang-orang dengan tenaga dan kemampuannya.
Setiap malam, Grace masih suka bermimpi tentang bagaimana kedua orang tuanya ditangkap bahkan dilukai. Sejak itu, ia tak pernah melihat kedua orang tua-nya lagi. Dalam pikiran Grace, mereka berdua pasti sudah meninggal meskipun ia tak pernah melihat jasad mereka. Namun, mereka akan tetap hidup di dalam hati Grace.
Bagi Grace, kekuasaan dan harta bukanlah segalanya. Ketika kedua orang tua-nya menyembunyikannya, mereka pasti menginginkan Grace hidup. Oleh karena itu, Grace akan menghargai kehidupannya lebih dari apapun.
Ia bisa saja kembali ke negaranya dan mengambil kembali apa yang seharusnya adalah miliknya. Namun, ia tak lagi menginginkannya.
Di usia 22 tahun, ia berhasil lulus kuliah. Ia menjalani kerja praktek di rumah sakit, juga sempat ditempatkan di daerah pinggir kota untuk melayani di sana.
Kini, usianya sudah 26 tahun. Ia bekerja di salah satu rumah sakit swasta, tempat di mana pertama kali ia dirawat. Ia menjadi salah satu dokter umum di sana. Ia sering ditempatkan di bagian UGD, karena cara kerjanya yang terbilang sangat cepat. Dokter Steve kini telah menjabat sebagai direktur rumah sakit tersebut. Ia sangat senang menerima kehadiran Grace dan tentu saja sangat bangga.
**
Sejak menjadi dokter umum di Rumah Sakit Horison, Grace meminta izin kepada Chris dan Maria untuk sepenuhnya keluar dari kediaman Alexander. Sebenarnya ia sudah mulai melakukannya sejak 4 tahun lalu saat ia lulus, tapi kadang ia masih pulang karena tak ingin kedua orang tua angkatnya merasa khawatir.
Gaji pertama yang ia dapatkan, ia langsung berikan kepada Chris dan Maria. Ia juga mengatakan akan membayar semua biaya yang telah Chris dan Maria keluarkan untuknya. Bukan karena ia merasa sudah hebat dan mampu menghasilkan uang sendiri, tapi karena ia sangat berterima kasih.
Uang mungkin tak akan pernah bisa menggantikan semua yang telah diberikan oleh Chris dan Maria, terutama perhatian dan kasih sayang mereka. Namun setidaknya itu menjadi penyemangat untuk Grace dalam bekerja.
“Apa kamu tidak bisa menggantikanku?” tanya Grace.
“Sorry Grace, aku sudah berjanji akan menemani kedua orang tuaku berlibur,” tolak Hanna. Ia tak ingin bertukar jam kerja dengan Grace, apalagi malam hari di mana ia ingin menghabiskan waktu bersama dengan kekasihnya.
“That’s okay, no problem,” sepertinya kali ini Grace harus melewatkan acara pernikahan saudara angkatnya, meskipun ia sangat ingin hadir di sana dan ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Pagi hari, tepat di hari pernikahan Theo dan Freya, Grace harus datang cepat ke rumah sakit karena terjadi kecelakaan besar yang melibatkan beberapa kendaraan.
Dengan nafas yang terengah-engah karena berlari, Grace langsung menuju ke ruangannya dan mengambil jas putihnya. Semalam ia pulang telat karena ada jadwal operasi dan hari ini ia dipanggil untuk masuk pagi dan membantu.
Setelah menghabiskan minumnya, Grace keluar dari ruangan dengan stetoskop yang ia masukkan ke dalam sakunya. Ia berjalan dengan cepat menuju ke bagian UGD. Di sana ia melihat para pasien sudah ramai dan penuh.
“Dokter Grace, sebelah sini,” seorang perawat memanggil Grace meminta bantuannya. Grace pun mendekat dan mulai kerjanya.
Dengan cepat ia bergerak dari satu pasien ke pasien lainnya. Saat ia duduk, seorang perawat datang dan memberikan sebotol air mineral untuknya.
“Terima kasih,” kata Grace diiringi sebuah senyuman.
Suasana UGD sudah terlihat kondusif karena tak ada lagi teriakan dan pasien yang berdatangan secara bersamaan. Seorang polisi menghampirinya, “Permisi, Selamat siang. Apa saya bisa meminta sedikit keterangan dari anda?”
Grace mendongakkan kepalanya dan melihatnya. Ia menganggukkan kepalanya, kemudian mengajak polisi tersebut ke ruangannya.
“Silakan duduk, Tuan.”
“Terima kasih,” polisi tersebut mengeluarkan sebuah foto dan memperlihatkannya kepada Grace.
“Apa anda melihat orang ini di antara para pasien yang anda tangani di bagian UGD tadi?” Grace mengambil foto itu kemudian memperhatikannya.
“Maaf sebelumnya. Saya tidak fokus memperhatikan wajah pasien. Fokus saya hanya bagaimana menangani luka mereka dengan cepat. Mungkin anda bisa menghubungi perawat yang ada di bagian UGD,” jawab Grace. Grace benar-benar merasa lelah karena ia merasa tidak cukup istirahat semalam.
“Baiklah kalau begitu. Ini kartu namaku. Anda bisa menghubungi saya jika anda mengingat sesuatu,” polisi tersebut berdiri dan berjalan keluar.
“Terima kasih atas pengertian anda, Tuan Gregory,” kata Grace sebelum Gregory sepenuhnya keluar dari ruangan. Setelahnya, ia langsung mengunci pintu dan merebahkan diri di atas sofa. Ia perlu beristirahat, mengisi tenaganya karena nanti malam ia mendapat tugas jaga.
**
Malam hari, Grace mengikuti acara resepsi pernikahan Theo dan Freya melalui sambungan online. Ia juga secara khusus meminta maaf kepada kedua orang tua angkatnya karena tak bisa menghadiri acara penting tersebut. Untungnya, Chris dan Maria sangat pengertian, hingga Grace menjadi lebih tenang.
Namun, sambungan video call tersebut terputus ketika sebuah letusan senjata terdengar. Detak jantung Grace tiba-tiba menjadi cepat. Peluh mengalir di keningnya, tubuhnya bergetar karena ia kembali teringat pada masa di mana ia terpisah dengan keluarganya.
Tak lama, sebuah panggilan terlihat di ponselnya, tertera nama Uncle Chris di sana.
“Grace, siapkan tempat untuk Theo. Ia terkena tusukan pisau dan membutuhkan penanganan segera,” Grace langsung menyiapkan sebuah ruang ICU dan menunggu kedatangan Theo.
Sesampainya di rumah sakit, Theo langsung masuk ke ruang ICU. Keluarga Alexander dan juga keluarga istrinya menunggu di luar dengan cemas dan gelisah.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang ICU. Ia segera menghampiri keluarga pasien dan mulai menjelaskan keadaan Theo.
“Uncle Chris, Aunty Maria, keadaan Theo sudah tidak apa-apa. Kami sudah menjahit lukanya. Untung saja tak ada organ vital yang terkena. Kami akan segera memindahkannya ke ruang perawatan,” jelas Dokter Grace.
“Terima kasih, Grace,” ucap Chris dan Maria bersamaan. Grace pun berlalu dari sana untuk kembali ke bagian administrasi untuk menyiapkan ruang perawatan untuk Theo.
🌹🌹🌹
“Aku tidak mau!” teriak Crystal saat ia akan dibawa menuju ke dalam sel tahanan.
“Sudah kukatakan aku tidak bersalah! Wanita itu yang mengambil kekasihku, kenapa kalian justru menangkapku,” gerutu Crystal dengan marah.
“Sadar! Mana ada pria yang mau dengan wanita psikopat seperti anda,” ujar Gregory.
“Hei! Berani sekali anda mengatakan saya seperti itu. Aku ini seorang model terkenal, semua pria pasti akan tertarik padaku.”
Staf kepolisian tersebut berdecak kesal. Meskipun ia masih jomblo, tapi ia tak mau memiliki kekasih seperti Crystal. Terlihat sekali bagaimana posesifnya Crystal.
“Sudah selesai, bawa dia segera ke dalam sel!” Perintah Gregory.
“Aku tidak mau! Cepat lepaskan aku! Kalian semua polisi sialannn!! Aku akan segera menuntut kalian!” teriak Crystal saat ia dibawa ke dalam sel.
Gregory mengambil topinya dan segera keluar dari ruangannya. Ia akan menemui keluarga korban untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
“Nil, aku pergi dulu ke rumah sakit. Jangan biarkan wanita itu berulah,” perintah Gregory.
“Siap Capt!” seru Danilo, yang merupakan rekan kerja Gregory.
**
Gregory dengan langkah tegap masuk ke dalam rumah sakit. Ia langsung menuju ke ruangan tempat di mana Theo berada. Sebelumnya, ia sudah menempatkan anak buahnya untuk berjaga.
Sampai di depan ruang rawat, kedua anak buahnya mengangguk hormat, kemudian mempersilakan Gregory untuk masuk ke dalam.
“Selamat malam,” sapa Gregory. Semua yang berada di ruangan tersebut menoleh ke arah sumber suara. Chris yang mengetahui dengan pasti maksud kedatangan Gregory pun mendekatinya.
“Kita bicara di luar,” ajak Chris yang kemudian meninggalkan ruangan tersebut. Gregory pun berjalan mengikuti.
Di luar, Gregory berhadapan dengan Chris. Mereka melihat ke kanan dan ke kiri, mencari tempat yang aman dan tenang untuk mereka berbicara.
“Kamu sudah memproses kasus ini. Bukti CCTV serta barang bukti senjata sudah berada di tangan kami. Kami hanya memerlukan salah seorang dari anggota keluarga untuk menandatangani berkas perkara,” jelas Gregory.
“Terima kasih. Saya yang akan datang ke kantor dan menandatanganinya. Apa ada bukti yang diperlukan lagi?” tanya Chris.
“Jika bisa dan tidak melanggar kebijakan rumah sakit, kami membutuhkan hasil pemeriksaan terhadap saudara Theo.”
“Kamu bisa meminta pada Dokter Grace. Ia adalah dokter yang menangani putra saya. Saya yakin ia akan memberikannya, lagipula ia sangat mengenal saya,” jawab Chris.
“Baiklah, saya akan segera menemuinya,” kata Gregory, “dan saya menunggu anda di kantor secepatnya.”
“Baik, terima kasih,” Chris pun akhirnya kembali masuk ke dalam ruangan tempat Theo dirawat. Sementara itu Gregory pergi ke bagian administrasi untuk menanyakan letak ruangan Dokter Grace.
Gregory berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Suasana sangat sepi karena itu adalah malam hari. Ia langsung menuju ke bagian administrasi.
“Selamat malam, di mana ruangan Dokter Grace?” tanya Gregory.
“Di koridor kedua bagian kanan, ruangan paling ujung,” jawab perawat tersebut.
“Terima kasih,” perawat itu sempat terpesona dengan penampilan seorang polisi tampan dan gagah yang wajahnya tidak berkarakter pria Meksiko. Mungkin bisa dikatakan bahwa wajah Gregory lebih cocok disebut pria Eropa.
Gregory menyusuri koridor. Ia merasa sudah pernah melewati tempat tersebut. Saat melihat nama Grace Alexander di sebuah pintu, barulah Gregory menyadari sesuatu.
Tokk tokk tokkk …
Grace yang baru saja merapikan beberapa dokumen pun membuka pintu, “Hmm … Ahhh Tuan Gregory. Apa ada yang bisa saya bantu?”
Grace kembali berjalan ke arah meja kerjanya dan melanjutkan aktivitasnya tadi. Ia juga mempersilakan Gregory untuk duduk.
“Maaf jika mengganggu anda lagi, tapi saya diminta oleh Tuan Chris untuk menemui anda. Ini berkaitan dengan kasus yang menimpa saudara Theodore Alexander.”
“Apa yang anda butuhkan, Tuan?” tanya Grace.
“Hasil visum.”
“Tunggu sebentar,” Grace berjalan mendekati sebuah map berwarna biru, kemudian membukanya. Ia sudah melakukan salinan terhadap hasil visum tersebut karena ia yakin pihak kepolisian pasti akan memintanya.
“Ini, Tuan.”
“Terima kasih. Maaf mengganggu anda.”
“Tidak apa. Ini sudah tugas saya,” Gregory keluar dari ruangan sementara Grace mengambil kembali stetoskopnya karena ia akan kembali ke bagian UGD untuk berjaga.
**
1 bulan berlalu, Grace menjalani aktivitasnya seperti biasa. Ia sangat senang karena Theo sudah pulih dan wanita yang melakukan penusukan sudah mendapatkan hukumannya.
Hanna berlari mendekat saat melihat Grace baru saja masuk ke lobby rumah sakit. Grace yang tak pernah disambut seperti itu sedikit merasa aneh. Selain itu, semua mata seakan tertuju padanya. Apa ada yang aneh dengan penampilannya hari ini?
“Ikut aku, Grace!” Hanna menarik tangan Grace dan membawanya ke tempat yang lebih sepi.
“Ada apa kamu menarikku, Han?” Grace mengusap pergelangan tangannya yang sakit karena ditarik secara paksa oleh Hanna.
“Apa kamu tidak melihat bagaimana semua orang memperhatikanmu?” tanya Hanna.
“Hmm, aku juga tidak tahu, tapi aku merasakannya,” jawab Hanna.
“Kudengar kamu telah melakukan kesalahan yang fatal, hingga menyebabkan salah satu pasienmu mengalami komplikasi,” ujar Hanna.
“Komplikasi? Siapa? Bagaimana bisa itu terjadi?” Grace merasa aneh karena rasanya pasien-pasien yang sedang ia tangani belakangan ini tidak mengalami masalah kesehatan yang terlalu serius.
Baru saja Hanna ingin mengatakan sesuatu, ponsel Grace bergetar. Ia melihat nama Dokter Steve di sana, ia pun langsung mengangkatnya.
“Selamat pagi, Dok,” sapa Grace.
“Ke ruangan saya sekarang, Grace.”
“Apa Dokter Steve yang menghubungimu?” tanya Hanna.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Bersiaplah karena Dokter Steve pasti akan membahas masalah yang barusan kukatakan kepadamu,” jawab Hanna.
Grace yang merasa sedikit bimbang akhirnya langsung menuju ke ruangan Dokter Steve, tanpa ke ruangannya terlebih dahulu.
Tokk tokkk tokk …
“Masuklah.”
Grace memasuki ruangan yang terlihat sangat besar. Ia langsung menghampiri meja Dokter Steve dan duduk di hadapannya.
“Apa ada yang perlu saya lakukan?” tanya Grace. Ia berpikir positif, mungkin Dokter Steve membutuhkan sesuatu.
Dokter Steve menghela nafasnya sedikit kasar. Ia sedikit bingung harus memulai dari mana, tapi ia juga tak bisa menolak keputusan dari dewan direksi.
“Grace, untuk batas waktu yang belum ditentukan, kamu harus pergi ke camp pelatihan kepolisian. Kamu akan bertugas di sana!”
🌹🌹🌹
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!