“Gila, gila, gila! Ada berita hot, nih, guys!”
“Apaan?”
“Tadi gue ketemu cewek.. beuhh! Cantiknya bukan maen!”
“Eh, serius?”
“Gilanya lagi, tuh cewek mirip Aron!”
“Hah? Aron?!”
“Maksud lo, Aron kita? Kelas XII MIPA 2 itu?!”
“Iya, anjir. Mukanya mirip.”
“Kesannya kek kembar gitu, lho.”
“Lah? Sejak kapan Bebeb Aron ada saudara?”
“Tapi, mukanya sama persis.”
“Like Aron versi cewek, lah.”
“Moga satu kelas sama gue. AMIN!”
“Dih..”
Kurang lebih seperti itulah kericuhan yang terjadi di Best High School. Mereka sibuk membicarakan sosok gadis yang dikatakan mirip dengan sang idola sekolah. Gadis dengan paras menawan yang merupakan siswi pindahan luar negeri.
Seenggaknya itu yang mereka tahu.
Sementara itu, gadis yang menjadi topik pembicaraan para siswa dan siswi itu tengah duduk manis di kelasnya. Ia fokus membaca buku dengan earphone yang menyangkut di telinganya, mengabaikan tatapan kagum dari siswa lain yang berada satu kelas dengannya atau siswa yang sengaja mengintip lewat jendela.
Ck, dasar peganggu!
“Woi!” teriak seorang lelaki seraya menepuk bahu gadis yang dengan lancang duduk di kursinya. “Nih bangku punya gue! Minggir lo!”
Gadis itu menoleh. Kedua matanya bersirobok dengan mata lelaki tadi. Mereka berdua terdiam, sama-sama tidak menyangka akan bertemu secara tidak terduga seperti ini.
Senyum gadis mengembang tipis. “Hai,” sapanya.
Lelaki itu menatap sang gadis dengan sorot tak terartikan. “Kak.. Rania?”
Gadis itu mengangguk kecil. “Senang bisa ketemu kamu lagi, Aron.”
...🔫🗡️🔫...
Ya, dia adalah Rania, gadis yang menjadi objek perbincangan satu sekolah sekaligus digosipkan sebagai saudari kembar Aron. Dia pemeran utama di novel ini, Callysta Raniya Lycett.
Hanya saja, kita memanggilnya Rania saja, ya. Tidak usah pakai ‘y’.
Rania terus memasang senyum ramah kepada setiap siswa maupun siswi yang menyapanya. Saat ini, ia dalam perjalanan menuju kantin sekolah untuk mengisi perut. Banyak siswa-siswi yang berseliweran di lorong sekolah. Image sebagai gadis murah senyum langsung Rania dapatkan di hari pertamanya ini.
Sayangnya, langkah Rania terurungkan ketika dua manusia berbeda gender dengan tatapan tak percaya menghadang jalannya. Huh, kayaknya Rania tahu, deh, apa yang mereka pikirkan.
“Ran? Ini lo?” tanya lelaki dengan nametag Rafael Miracle K.
Rania tersenyum dan mengangguk.
“Gila! Lo—”
Ting!
Kalimat Rafael terpotong ketika ponselnya berdenting, pertanda bahwa ada pesan masuk. Ia menatap Rania ragu, lalu meraih benda pipih itu dari saku celana. Firasat Rafael sudah tidak enak.
..._____________________...
...The Devil:P...
...offline...
• Mulut lo lemes bgt, ya
• Kayknya cocok buat dijadiin objek jahitan:)
..._____________________...
Glek!
Kapan dia ngetiknya, anjir?!
Rafael menatap Rania takut-takut. “Haha.. hai, Ran. Lo keliatan cantik kayak biasanya, hehe.” Memasang senyum canggung yang kentara kaku.
Rania sendiri tersenyum puas menyaksikan reaksi Rafael. Lelaki itu mana berani melawan!
“Ih, kok, Rania jadi begini, sih?!” pekik gadis di sebelah Rafael—Defriany Thalia A. “Thalia—”
Cakapan Thalia terhenti kala Rafael menyikut lengan gadis itu dengan sorot penuh peringatan. Jika Thalia sampai salah bicara, sudah tentu akan terjadi bencana. Lewat tatapan itu, Rafael seolah berkata diem-Thal-kalo-lo-masih-mau-hidup-tenang!
Sayangnya, Thalia, si gadis polos dengan sejuta keluguan itu, tidak mengerti maksud tatapan Rafael yang terkesan menyeramkan. “Rafa kenapa natap Thalia kayak gitu? Thalia takut..” cicitnya.
Jika Rafael mendengkus kesal, Rania cuma bisa menggeleng pelan, berusaha memaklumi kepolosan akut Thalia yang sudah mendarah daging sejak lahir. “Mau ke kantin?” ajak Rania lembut.
Mendengar alunan suara Rania yang seperti itu membuat Thalia dan Rafael mematung. Keduanya tersenyum canggung, lanjut mengangguk bersama, menerima tawaran Rania.
Rania memilih untuk berdiri di antara Thalia dan Rafael, kemudian merangkul lengan kedua orang itu. Senyum manis masih terpasang di paras Rania. “Bisa jaga rahasia, kan?” ucap Rania pelan yang hanya bisa didengar oleh Thalia dan Rafael. “Mulut kalian lemes, gue robek jadi sebelas! Paham?”
Glek!
Rafael dan Thalia sama-sama meneguk saliva kuat. Ancaman Rania benar-benar membuat mereka tidak berkutik. Pada akhirnya, kedua insan itu hanya diam kecuali jika Rania sendiri yang mengajak bicara. Percayalah, membantah Rania itu sama saja dengan uji nyali!
Sama-sama mempertaruhkan nyawa!
“Ran—”
“Kakak! Panggil gue kakak,” pinta Rania pelan pada Thalia dengan penuh penekanan.
“Eum.. Kak Rania mau pesan apa?” tanya Thalia geli—soalnya, ini pertama kalinya dia nyebut kata kakak, lho. Saat ini, mereka bertiga sudah sampai di kantin dan tengah berdiri di jajaran stan makanan.
Mendengar permintaan bernada perintahnya dituruti, Rania tersenyum senang. “Biar Kakak yang pesen. Kamu cari tempat duduk, ya,” katanya mengusap kepala Thalia pelan.
“Iya, Kak.” Buru-buru Thalia berlari kecil, meninggalkan Rafael yang tampak memelas karena ditinggal berdua dengan Rania. Tapi, Thalia tidak peduli! Ini jantungnya udah hampir meledak, lho, gara-gara degupannya terlalu cepat.
Huaa... Rania versi kalem, kok, malah serem?
...🔫🗡️🔫...
Rania dan Rafael membawa nampan berisikan makanan usai mengantre lumayan lama. Keduanya berjalan menghampiri Thalia yang hingga detik ini masih berdiri seraya celingukan ke sana ke sini. Sudah bisa ditebak, gadis itu pasti belum mendapatkan tempat duduk.
“Kok, lo masih di sini, sih, Thal?” heran Rafael.
Bibir Thalia mengerucut. “Nggak ada kursi yang kosong, Kakak! Thalia bingung!” adunya dengan nada setengah merengek. Ia bahkan menghentak-hentakkan kakinya kesal.
Rafael dan Rania sama-sama menghela napas. Butuh kesabaran tingkat tinggi jika ingin menghadapi Thalia. Gadis itu benar-benar bisa membuat orang normal mendadak masuk rumah sakit karena hipertensi.
Mau tak mau, Rania dan Rafael-lah yang mencari tempat duduk. Thalia mengekor saja layaknya anak ayam mengikuti induknya. Ketiganya mengitari kantin dengan nampan di tangan.
“Rania!”
Merasa namanya dipanggil, Rania menengok ke asal suara. Ternyata itu suara gadis yang parasnya tidak terdaftar di memori Rania. Namun, gadis itu terlihat antusias dengan tangan melambai-lambai.
Siapa, sih?
Demi mempertahankan image ramah, Rania berjalan ke arah gadis itu. Rafael dan Thalia mah ikut-ikut saja.
“Halo,” sapa Rania.
“Hai, Ran!” sapa gadis tadi. “Gue Lana.”
“Salam kenal, Lana.”
“Lo... beneran saudara kembarnya Aron?”
Pertanyaan yang terlontar barusan sukses membuat seluruh penghuni kantin terdiam dan memasang telinga kuat-kuat. Mereka sangat penasaran dengan jawaban konfirmasi dari Rania.
Rania menoleh ke sebelah Lana. Ia baru sadar jika Aron berada di meja yang sama. Lelaki itu tampak menundukkan kepala dalam, tidak berani menatap Rania.
“Aku nggak tau,” jawab Rania dingin.
Deg!
Aron mendongak cepat dan menyorot Rania tak percaya. “Nggak tau..?” lirihnya sendu.
^^^To be continue...^^^
...🔫🗡️🔫...
Halohalohalohaloooo!
Ay datang dengan cerita baru!
Gila! Ay nekat buat ini karena terinspirasi dari event yang ada di NovelToon. Hehe, jangan hujat Ay, ya.
See you di chapter selanjutnya:)
“Lo... beneran saudara kembarnya Aron?” tanya Lana ingin tahu.
Raniya menoleh ke sebelah Lana. Ia baru sadar jika Aron berada di meja yang sama. Lelaki itu tampak menundukkan kepala dalam, tidak berani menatap Raniya.
“Aku nggak tau,” jawab Raniya dingin.
Deg!
Aron mendongak cepat dan menyorot Raniya tak percaya. “Nggak tau..?” lirihnya sendu.
Raniya tersenyum kecil. “Maaf, ya, kami pamit dulu. Selebihnya, kamu bisa tanya ke Aron sendiri.”
Usai mengatakan itu, Raniya menggiring Rafael dan Thalia menuju meja kantin yang baru ditinggal penghuninya. Mereka duduk di sana dan mulai menyantap jatah makanan masing-masing. Tidak memedulikan keheningan yang tercipta akibat obrolan mereka barusan.
Braakk!
Aron tiba-tiba menggebrak meja kuat. Sontak menarik atensi seluruh insan yang ada di kantin. Mereka tercengang melihat Aron terus menatap Raniya dengan pipi basah.
Ya, Aron menangis.
Sebegitu bencinya lo sama gue, Kak, sampe lo nggak mau ngakuin gue sebagai adek lo sendiri?
Raniya melirik ke arah Aron yang pergi meninggalkan kantin. Sedetik kemudian, ia tersenyum kecut. Apa yang Aron rasakan saat ini tidak lebih dari penderitaannya selama ini. Lelaki itu tidak akan mengerti bahwa rasa sakit yang Raniya terima jauh dari bayangan siapa pun.
Gadis ini pemilik sejuta pesona dengan paras yang menawan. Tubuhnya tinggi semampai walaupun masih berusia 18 tahun, kulitnya putih bersih, dan rambutnya panjang bergelombang.
Yakin, deh, bidadari aja kalah, Bro!
Sayangnya, takdir yang Tuhan tuliskan untuk Raniya tidak seelok parasnya. Hidup gadis itu dikatakan sangat tragis untuk ukuran remaja seperti dirinya. Bahkan, dia hidup menderita sejak kecil! Sejak umur 7 tahun!
Bisa dibayangin nggak tuh? Gimana anak kecil semacam Raniya dipaksa melewati rintangan kehidupan seperti itu?
Huh, acap mengingatnya, Raniya selalu kesal. “Ini hanya bagian kecil dari rasa sakit Kakak, Aron.”
Kakak cuma mau kamu ngerasain sedikit aja..
...🔫🗡️🔫...
Usai kepergiannya dari kantin, Aron tidak kembali ke kelas. Ia pergi ke apartemennya, meraung kencang di sana, menghancurkan segala barang di sekitar. Lalu berakhir menangis sesenggukan dengan tubuh yang merosot ke lantai.
“Hiks.. nggak gini.. bukan kayak gini yang gue mau, hiks..” Aron menjambak rambutnya kasar. Ia mengumpat berulang kali di dalam hati, merutuki seluruh pemikiran bodoh yang dilakukannya di masa lampau. Apa cuma gue yang kangen sama lo, Kak? Lo nggak kangen sama gue?
Detik berganti, Aron tertawa miris. “Nggak mungkin dia kangen sama gue. Gue yang ngebuat dia menderita..”
Hari itu, Aron berganti pakaian dengan cepat. Seragam perwira melekat di tubuh tegapnya. Sepasang kakinya berayun keluar dari apartemen. Menggunakan motor sport kesayangan, Aron pergi ke markas dan menawarkan diri untuk menangani beberapa kasus.
Yap, Aron adalah seorang polisi. Ia merupakan salah satu anggota Youth Police Group, sebuah perkumpulan polisi khusus yang beranggotakan pribadi berusia remaja, namun memiliki kemampuan mumpuni yang bisa diandalkan.
Hari itu, Aron bagaikan orang kesurupan. Apa pun kasusnya, ia pasti terima. Goresan di hatinya dilampiaskan dengan memukuli para penjahat yang berhasil ia tangkap. Karakter Aron benar-benar berubah 180° seharian itu.
Bahkan, jika tidak dihentikan rekan kasusnya, Aron mungkin telah menghabisi nyawa seseorang. Beruntung kewarasan lelaki itu segera kembali walau tidak sepenuhnya.
Rekan Aron yang mengerti kalau Aron sedang dalam situasi tak mengenakkan. Hati lelaki remaja itu tengah kalap dan butuh pelampiasan. Sepertinya masalah yang Aron hadapi saat ini benar-benar menyesakkan jiwa.
“Pulanglah, ini hampir malam,” pinta rekan Aron seraya menepuk bahu Aron. Sekali lagi, Aron berhasil menyelesaikan sebuah kasus kecil berupa pencarian pencuri barang.
Aron hanya diam, ia bahkan tidak menatap rekannya itu. Kepalanya tetap menunduk ke bawah, menyembunyikan raut penyesalan yang pasti begitu kentara terpasang di parasnya. “Saya pulang dulu, Kak,” katanya pelan.
Tanpa menanti jawaban, lelaki itu melangkah gontai menuju motornya. Sepanjang perjalanan, pikiran Aron masih sama kalutnya. Nyatanya, pelampiasannya barusan tidak berdampak dengan rasa sakit di hatinya. Lelaki itu tetap kacau, tidak bergairah melanjutkan aktivitas apa pun.
Bugh! Bugh!
Brakk!
Aron menghentikan laju motornya dengan cepat. Sepasang manik lelaki itu terbelalak melihat pemandangan di depan. Seorang pria bertubuh besar terkapar di tanah. Dari mulutnya keluar suara ringisan yang cukup keras, menandakan bahwa rasa ngilu yang dideritanya bukan main sakitnya.
“Aaaakkh..” rintih pria itu.
Sementara si pelaku merupakan sosok bertopeng dengan pakaian serba hitam. Entah dia laki-laki atau perempuan, sosok itu hanya diam sembari menatap pria yang terkapar.
Di tepi jalan sana, ada pribadi gadis lainnya tengah duduk meringkuk di tepi jalan. Tubuh gadis itu gemetar, layaknya orang ketakutan.
“Itu Shyclore..” lirih Aron geram.
Siapa, sih, yang tidak mengenal Shyclore?
Negara X digemparkan dengan hadirnya sosok bertopeng yang sering ditemukan tengah memukuli seseorang hingga orang tersebut tewas penuh memar dan luka. Berulang kali anggota kepolisian mencoba untuk menangkap, namun tak kunjung membuahkan hasil. Shyclore masih berkeliaran bebas di luar sana.
Dan, hari ini, Aron diberi kesempatan untuk melihat adegan yang sama seperti tempo lalu. Ini bukan pertama kalinya bagi Aron melihat Shyclore.
“SHYCLORE!!” teriak Aron memanggil. Lelaki itu turun dari motor dan menghampiri Shyclore yang bergeming. Bahkan, dengan gaya beraninya, dia meletakkan sebelah kakinya di atas dada pria yang terlentang di tanah.
“Angkat tangan!” perintah Aron menodongkan pistol.
Shyclore tetap tidak bergerak. Aron pun melangkah maju, mendekati sosok Shyclore yang selalu tidak bisa ditebak. Hingga kini jarak mereka kian menipis. Kesempatan besar.
Shyclore tersenyum miring dibalik topeng. Jemarinya bergerak menekan sebuah tombol di atribut lengan yang tersambung dengan sepatu khusus di kakinya. Sepatu Shyclore membuka celah di bagian sol, mengeluarkan roda-roda kecil sehingga menyerupai sepatu roda pada umumnya.
Dengan kegesitannya, Shyclore membuat gerakan mengecoh dan kabur dari Aron mengandalkan sepatu miliknya. Ia meluncur cepat melewati lelaki itu yang menggeram emosi.
“Berhenti, Shyclore!” teriak Aron menggema. Lelaki itu menodongkan senjata, bersiap untuk menarik tuas. Namun, pergerakannya terhenti kala merasakan sentuhan di kakinya.
Aron menunduk, menatap gadis yang sebelumnya meringkuk di tepi jalan. “J–jangan, T–Tuan,” cicit gadis itu ketakutan.
Aron menaikkan sebelah alisnya. Diperhatikan lamat-lamat, sepertinya gadis itu lebih muda darinya.
“D–dia menyelamatkan saya.. pria itu ingin melecehkan saya, hiks...”
Aron tertegun. Perlahan tangannya meluruh ke samping tubuh. Tatapannya beralih pada sosok pria yang terkapar di tanah, ia yakin bahwa napas pria itu telah berhenti sepenuhnya.
Aron menghela napas berat. Nyatanya, Shyclore memang hanya membunuh orang-orang yang juga terlibat kasus kejahatan lainnya. Ada masa di mana Shyclore memukuli seorang pencuri, pembunuh, dan kali ini pelaku pelecehan.
Gue bingung. Kalo dia jahat, kenapa dia ngebantuin orang-orang? Apa mungkin.. sebenernya niat Shyclore itu baik?
Aron mengalihkan tatapannya, mengarah pada Shyclore yang kabur dengan motor sport milik Shyclore sendiri.
Lo emang misterius, Shyclore.
...🔫🗡️🔫...
Motor sport hitam milik Shyclore berhenti di kawasan minim orang. Di depannya ada bangunan megah yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama empat bulan terakhir di Negara X. Mansion Callys, begitu Shyclore menyebutnya.
Baru saja ia masuk ke dalam mansion, Shyclore disambut dengan enam pasang tatapan nyalang dari penghuni yang ada di sana. Tatapan kemarahan yang Shyclore terima tak membuat ia gentar. Ia malah melewati mereka dengan santai, seolah tidak ada kesalahan yang terjadi.
“Udah puas?” sindir salah satu dari mereka.
Shyclore berhenti melangkah. “Belum,” jawabnya tanpa menatap sang penanya.
“Mau sampai kapan lo berbuat kayak gini?” tanya sosok gadis paling dewasa seraya menghela napas panjang.
“Sampai gue puas menghabisi para pendosa itu!”
“Udah cukup. Kita ke sini bukan untuk—”
“Stop!” Shyclore berbalik. Ia menekan tombol hitam di bagian samping pada topeng R-Scan yang dipakai, menampilkan paras Shyclore yang sebenarnya. “Lo tau, bajingan itu berusaha buat ngelecehin anak di bawah umur! Menurut kalian, gue bakalan diem aja?!”
Mereka berenam terdiam.
“Cih!” Sosok Shyclore berbalik dan berlari kecil meninggalkan keenam sahabatnya.
“Raniya! Udah cukup, Ran! Jangan buat masa depan lo jadi suram gara-gara tindakan lo ini!” teriak Rafael.
^^^To be continue...^^^
Pagi ini, Raniya tiba di sekolah lebih siang dari biasanya. Semua ini gara-gara dirinya bangun kesiangan akibat aktivitas semalam yang cukup menguras tenaga. Untungnya, sih, Raniya sudah terbiasa ngebut di jalanan. Masih ada waktu sekitar tujuh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi.
Suasana Best High School benar-benar ramai, ya, kalau jam segini. Banyak siswa dan siswi yang hulur-hilir di koridor.
Ah, gila! Badan gue pegel, anjir.
Raniya hampir memasuki kelas. Namun, seseorang menghadang di pintu masuk. Kepala Raniya mendongak perlahan. Dahinya sukses dibuat mengerut mengetahui pelakunya adalah Aron.
“Ada apa, ya?” tanya Raniya tanpa basa-basi.
Mendengar suara datar Raniya membuat mood Aron anjlok. Lelaki itu menghirup napas dalam-dalam sebelum mengutarakan maksud. “Bisa bicara sebentar?”
“Hm? Mau ngomong apa?”
Interaksi keduanya yang sesederhana itu berhasil menarik perhatian banyak orang. Siswa-siswi yang semula berlalu lalang memilih untuk menghentikan laju ayunan kaki demi menyaksikan drama kelanjutan hubungan persaudaraan ini.
Soalnya, hampir seluruh penghuni Best High School kepo dengan hubungan sebenarnya antara Raniya dan Aron.
Jika iya mereka bersaudara, kenapa Raniya tidak pernah terlihat selama ini? Aron, kan, berasal dari keluarga terhormat di negara ini, keluarga Lycett.
“Jangan di sini,” cicit Aron. Ia menoleh ke sekitar, banyak pribadi yang memperhatikan keduanya.
Menyadari maksud Aron, Raniya melangkah lebih dulu. Sementara Aron mengekori gadis itu dengan patuh di belakang. Sorot lelaki itu tampak sendu, memikirkan jika seandainya pembicaraan kali ini tidak membuahkan hasil sesuai harapan, tentu dirinya akan kecewa berat.
Tiba di taman belakang sekolah, Aron terdiam, bingung ingin memulai dengan cara yang seperti apa.
Raniya menaikkan sebelah alisnya. “Kok, diam?”
Aron memejamkan matanya erat-erat. Bayang-bayang masa lalu menghantui dirinya, akar dari segala permasalahan yang terjadi saat ini. Sebuah awal hancurnya hidup keluarga Lycett lebih tepatnya.
“Maaf..” lirih Aron dengan suara tercekat.
“Hm?” Raniya kebingungan. Suara Aron pelan sekali, sih.
Lelaki itu memberanikan diri untuk bersitatap, memirsa langsung binar mata Raniya yang sama sekali tidak menampilkan perubahan. Tenang dan datar, bukan lembut nan teduh seperti yang Aron ingat dahulu. Dan, itu berhasil membuat sudut hati Aron berkedut nyeri.
“Maafin gue, Kak,” kata Aron dengan suara lebih jelas. “Maaf buat kejadian sebelas tahun yang lalu...”
Raniya terdiam. Sebenarnya ia sudah menyangka jika Aron ingin membicarakan masa silam. Namun, mendengar kata-kata itu secara langsung seperti ini membuat hati Raniya seolah tercubit.
Jika ditanya rindu apakah tidak, tentu saja Raniya merindukan adik kesayangannya ini. Aron adalah saudara satu-satunya, sekaligus kembarannya. Mereka berdua tumbuh di rahim yang sama dan di saat yang sama. Ikatan antara Raniya dan Aron jauh lebih kuat dari apa yang kalian bayangkan.
Sayangnya, kejadian sebelas tahun silam telah menghancurkan segalanya.
“Bukannya ini yang kamu mau? Kamu jadi anak satu-satunya daddy sama mommy?” heran Raniya. Salah satu alasan Raniya memilih menjauh juga demi Aron, kok. Tetapi, kenapa situasinya jadi berubah begini?
Aron menggeleng cepat. “Gue nggak mau, Kak,” cicitnya pelan. “Maaf, gue nyesel udah buat lo pergi dari rumah. Gue nyari lo ke mana-mana, Kak.”
Hening.
Raniya menghela napas pelan. “Lupain aja, Aron. Masalah itu nggak perlu dibahas lagi.”
Aron sontak menatap Raniya tak percaya. Melupakan Raniya bilang? Sebelas tahun dirinya hidup dalam kubangan rasa bersalah dan kerinduan mendalam, lalu ketika bertemu, Raniya memintanya melupakan segalanya dengan begitu mudah?
Tidakkah gadis itu tahu kalau kalimat Raniya benar-benar menghancurkan hati juga harapan Aron selama ini? Setega itukah kakaknya sekarang?
“Lupain, Kak?” ulang Aron tak percaya. “Sebelas tahun gue kangen sama lo, gue cari lo, gue ngerasa bersalah sama lo, dan lo seenak itu minta gue buat lupain semuanya? Gue adik lo, Kak! Adik kandung! Kita saudara kembar! Harusnya lo—”
“Apa? Kamu mau aku gimana? Peluk kamu? Bilang rindu juga? Iya?” tanya Raniya dingin. Aron terdiam seribu bahasa. “Setelah apa yang kamu lakuin dulu, kamu masih berani harapin itu, Aron?”
Jleb!
Kalimat Raniya menohok hati Aron hingga ke relung terdalam. Lelaki itu menunduk dalam, tak sanggup menatap langsung paras sang kakak. “Gue salah, gue tau, Kak. Gue minta maaf,” cicit Aron.
“Maaf kamu nggak akan ngerubah apa pun, Aron.” Raniya menghela napas berat. “Sikap daddy dan mommy tetap nggak akan berubah hanya karena maaf kamu.”
“Gue akan akui semuanya di depan daddy asalkan lo mau maafin gue,” kata Aron yakin. Lelaki itu paham jika konsekuensi yang harus diterima berupa amukan dari sang daddy. Atau bahkan dirinya akan mendapat giliran diusir dari rumah. Ia tahu jika hari ini akan segera tiba.
Tidak ada lagi yang bersuara. Keduanya hanya saling bersitatap tanpa berkata-kata, seolah tengah bertelepati lewat sorot masing-masing.
Tiba-tiba Raniya tersenyum tipis. Tangannya terangkat mengusap kepala Aron pelan. “Kamu nggak perlu ngelakuin itu, Aron.”
Aron membeku. Darahnya berdesir merasakan usapan lembut di kepalanya, usapan yang dia rindukan.
“Kakak nggak pernah marah sama kamu,” kata Raniya.
“Kakak...?” lirih Aron bahagia.
“Jangan bilang apa pun sama mommy dan daddy. Biarkan saja.”
“Tapi, Kak—”
“Aron, udah. Lupain masalah itu, Kakak nggak pernah permasalahin itu. Anggap aja nggak pernah terjadi.” Raniya tersenyum bersamaan dengan sorot matanya yang berubah teduh.
Aron terisak detik itu juga. Ia merengkuh Raniya erat, menghapus segala rasa di dadanya.
Raniya terkekeh mendengar adiknya sesenggukan. Ia balas memeluk dan menepuk punggung Aron untuk menenangkan lelaki itu. “Semuanya akan baik-baik saja,” bisik Raniya pelan.
Masa lalu biarlah tetap menjadi masa lalu...
...🔫🗡️🔫...
Jam pulang sekolah tiba.
Dunia Raniya mendadak berputar. Aron dan Thalia berdebat seru sambil menarik kedua tangannya dari dua arah.
“Nggak! Kak Raniya pulang sama Thalia!” seru Thalia emosi. Ia menarik tangan kiri Raniya erat.
“Lo apa-apaan, sih? Raniya kakak gue! Lepasin tangan lo nggak?!!” Aron yang tidak mau kalah menarik tangan kanan Raniya.
Yang menjadi objek tarikan menggeram marah. Ingin menggertak, tapi kasihan. Dua bocah di samping kanan kirinya ini adalah adiknya sendiri. “Aron! Thalia!” sentak Raniya emosi.
“Kak, nih cowok ngaku-ngaku jadi adek Kakak,” tunjuk Thalia pada Aron.
Aron mendesis. “Mana ada! Yang ada, lo yang ngaku-ngaku jadi adeknya kakak gue!” balas Aron tak mau kalah.
“UDAH CUKUP!” teriak Raniya kehabisan sabar. Seketika Thalia dan Aron terdiam. Namun, kedua insan berbeda gender itu masih tetap saling melempar pandangan sinis. “Thalia, kamu pulang dulu sama Rafael. Kakak ada janji sama Aron.”
Thalia melirik sinis ke arah Aron yang tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, Thalia mau diajak pulang setelah mendapat iming-iming es krim dari Rafael. Sementara Raniya dan Aron sendiri memilih pergi menggunakan motor Aron.
“Kita mau ke mana, Aron?” tanya Raniya sewaktu dirinya mengenakan helm pemberian adiknya itu.
Aron tersenyum. “Pulang ke mansion, Kak,” jawabnya semangat.
Deg!
Pulang... ke mansion?
^^^To be continue...^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!