Little Dead Flower
One
“Ah, pagi yang cerah. Semoga hari ini hari baik,” gumamku seraya menatap langit cerah. Kulihat beberapa burung berterbangan ke sana ke mari. Pandanganku tertuju pada kolam air mancur yang ada di taman depan. Kulihat gadis berambut hitam panjang sepinggang itu sedang melatih sihir elemen airnya.
“Yo, morning Lynn!” sapaku pada gadis itu dari balkon.
Gadis itu mendongak lalu melambai. “Morning, Zel!”
Kulirik jam yang melingkar di tangan kiriku, sudah pukul enam pagi. Waktunya membangunkan tuan putriku. Aku bergrgas meninggalkan balkon lalu pergi ke kamar tuan putriku.
Tok\-tok!
“Kau sudah bangun, Putri?”
Beberapa detik kemudian, terdengar suara dari dalam. “Oh Azel, sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu!”
“Oh sorry, segeralah bersiap. Aku tunggu di meja makan, Putri.”
“Oh sial!”
Aku terkikik pelan lalu buru\-buru kabur dari depan pintu kamar itu sebelum ada bom yang meledak tepat di depanku. “Dasar tuan putri pemarah.”
Begitu aku sampai di dapur, aku disambut oleh Magelynn, si gadis penyihir. Oh, tentu saja tuan putriku tidak tahu kalau gadis ini adalah penyihir. Lagipula gadis penyihir ini tidak akan bernai menyentuh tuan putriku.
“Apa menu sarapan hari ini, Mr. Servant?” tanya gadis itu sambil tersenyum hangat.
“Entahlah, aku kehabisan ide,” jawabku.
Lynn berpikir sejenak. Tak lama kemudian, dia menjentikkan jari. “Oh, aku tahu!”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Daging panggang!”
“Itu sudah kemarin.”
“Um ... sup?”
“Sudah juga.”
“Roti isi daging panggang?”
Aku mengangguk pertanda setuju. “Ide bagus. Baiklah, terima kasih idenya.”
“By the way, Zel.”
“Yes?”
“Besok biar aku yang mencari intisari, kau di rumah saja bersama Hellga dan Amanda. Bisa kan?”
“Kau mau apa Lynn? Tidak biasanya kau mau repot\-repot mencari intisari seperti ini?” tanyaku dengan curiga.
Lynn melipat tangan di dada. “Kapan sih, kau tidak berburuk sangka padaku? Aku hanya ingin berguna tahu.”
“Okay okay ... terserah. Baiklah, pergilah. Aku akan di rumah bersama tuan putriku dan Amanda.”
“Ngomong\-ngomong soal Amanda ....”
“Apa?”
“Dia sibuk di lab komputernya, kau tahu dia sedang apa?”
Kuangkat bahuku sebagai jawaban.
“Aku heran, bisa\-bisanya Hellga membiarkan gadis itu tinggal di rumah ini bersama kita.”
“Entahlah, mungkin tuan putriku memiliki selera yang tidak biasa? Siapa yang tahu?” sahutku.
Setelah sarapan siap, Lynn membantuku membawa tumpukan makanan itu ke meja makan. Di sana sudah ada Amanda Marshall, gadis yang kubicarakan tadi dengan Lynn.
“Mand, kau sedang sibuk apa, sih?” tanya Lynn pada gadis berkacamata itu.
Amanda hanya memasang jari tengah menggunakan tangan kanannya tepat ke arah Lynn. Aku hanya terkikik melihat tingkah mereka berdua.
“Dasar kalian ini,” komentarku.
Tak lama kemudian, hidungku mencium bau lavender yang sangat khas. Yah, tidak salah lagi. Ini adalah bau parfum tuan putriku, Hellga Augeria. Tiga detik kemudian sosoknya muncul di lorong. Dengan langkah pelan dia mendekat ke meja makan. Mataku mengamati gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut pendeknya tersisir rapi, kacamata dengan frame berwarna ungu, pakian dominan berwarna pink kesukaannya, serta bau lavender yang sangat familiar di hidungku. Dia naik ke kursi lalu duduk dengan tenang, rapi, dan sopan. Yah, menggambarkan sosok gadis yang lemah lembut.
“Pagi Hell!” sapa Amanda yang duduk persis di sampingnya.
Hellga menoleh lalu membalas. “Hai, morning MandMandku. Bagaimana suaraku kemarin? Apa buruk?”
“Oh tentu, suaramu seperti suara kucing yang tercekik.”
“Oh ya ampun Mand, kau jahat.”
“Memang itu faktanya,” ucap si gadis maniak komputer kemudian tawanya meledak.
“Ish, kau ini.”
Tuan putriku memang unik. Tidak ada yang bisa mengkrabkan diri dengan Amanda, tapi dia bisa. Aku dan Lynn jarang bicara dengan Amanda karena dia gadis yang sibuk. Usianya memang baru enam belas tahun, sama seperti Hellga. Tapi keahliannya dalam komputer dan program tak bisa diremehkan. Dia berperan menjalankan bisnis keluarga Augeria, baik secara ilegal maupun legal.
Sedangkan Magelynn, dia berperan sebagai pengurus rumah ini. Tak jarang juga dia membuat proteksi magis menggunakan sihirnya. Terkadang dia juga gunakan sihirnya untuk mengisengi orang yang ditemuinya di jalan. Selain itu dia juga terkadang menjadi teman Hellga ketika Amanda terlalu sibuk dengan urusan bisnis.
Sedangkan aku, aku adalah kepala pelayan di rumah ini. Aku yang mengatur seisi rumah kecuali tuan putriku. Tentu saja aku hanya hidup dan mati untuknya. Aku adalah pelayan pribadinya sekaligus bodyguardnya. Tapi ... dari sekian banyak peran itu, peran utama kami bertiga adalah satu, yaitu menunjang kehidupan Hellga Augeria.
“Mand?” panggilku.
Gadis itu menatapku sesaat lalu kembali fokus pada sarapannya.
“Semuanya baik\-baik saja?” tanyaku memastikan.
“Sangat baik, kau tidak perlu cemas, tuan,” sahut gadis itu.
“Oh ayolah Zel, bisakah kau membuka topik yang lebih menarik?” tuan putriku bersuara.
“Seperti apa, Putri?”
“Em ... entahlah. Sesuatu yang tidak membosankan.”
“Seperti sihir?” ucap Lynn tiba\-tiba.
Spontan aku melirik tajam ke arah gadis itu. “Jangan macam-macam Lynn.”
“Oh sorry.”
“Sihir?” Hellga tampaknya tertarik, “memangnya siapa yang bisa sihir? Aku ingin lihat kalau boleh, hehehe ....”
Aku menepuk jidat. “Oh Putri ... tidak ada sihir di dunia ini. Itu hanya omong kosong, berpikirlah logis.”
Raut wajah gadis itu langsung berubah cemberut. “Yaah ....”
“Sudahlah Hell, kau harus bergegas, kan? Ms. Key akan segera datang,” ucap Amanda. Aku bersyukur gadis itu mengalihkan topik disaat yang tepat.
“Ah iya, kau benar Mand. Kalau begitu aku duluan ya,” ucap Hellga yang kemudian beranjak dari kursi.
Kini hanya tinggal aku, Amanda, dan Lynn yang berada di meja makan. Kulirik Amanda yang menatap tajam ke arah Lynn.
“Kalau sampai kau meracuni isi kepala Hellga, kubunuh kau!” ancam Amanda, lengkap dengan jari tengah yang mengarah pada si gadis penyihir itu.
“Wow, santai Mand. Aku tidak meracuninya kok,” sahut Lynn dengan senyum manisnya, “aku hanya membuatnya penasaran.”
“Kau! Dasar penyihir!”
“Shut up you two!”
Teriakanku sukses membuat aksi mereka berdua berhenti seketika. Kulipat tanganku di dada lalu melirik mereka secara bergantian. “Mand, bagaimana targetmu, apa dia akan datang malam ini?” tanyaku.
Amanda mengangguk. “Pasti.”
“Hei, bukankah besok adalah giliranku!” Lynn tidak terima. Spontan saja dia menggebrak meja.
“Sorry Lynn, mungkin lain waktu,” ucap Amanda yang kemudian beranjak dari kursi, “aku ada urusan, permisi ....”
Lynn menatapku dalam\-dalam. “Dia selalu sepuluh langkah di depanku, aku benci dia.”
“Sabar Lynn, kau akan mendapat giliran, kok.”
Gadis itu membuang muka lalu menghela napas panjang. “Huuuff ....”
***
Pukul tiga sore, aku menunggu tuan putriku menyelesaikan pelajaran astronominya. Tak lama kemudian, dia keluar dari ruang belajar bersama Mr. Galvi.
“Selamat sore Sir Galvi,” sapaku ramah pada guru astronomi Hellga.
“Selamat sore,” sahut pria berkimis tebal itu.
Aku pun mengantar Mr. Galvi sampai ke gerbang utama, lalu bergegas masuk rumah. Kulihat Hellga yang duduk di sofa merah di ruang tamu dengan wajah pucat.
“Hei Putri, kau baik-baik saja?” tanyaku cemas. Langsung saja aku duduk di sampingnya lalu memeriksa suhu tubuhnya dengan meletakkan teapak tanganku di keningnya.
“Entahlah Zel, tubuhku terasa lemas. Apa aku sedang sakit?” tanya gadis itu.
“Tubuhmu hangat Putri, sebaiknya kau istirahat, oke?”
Hellga mengangguk.
Langsung saja aku menggendongnya dengan gaya bridal lalu membawanya ke kamarnya. Kuletakkan tubuh mungilnya di atas tempat tidur empuk.
“Kau butuh sesuatu, Putri?” tawarku.
“Tidak ada, aku mau tidur,” jawabnya dengan lesu.
“Baiklah, sleep well.”
***
Brak!
“Lynn, beri aku benda itu sekarang juga!” seruku pada gadis yang sedang duduk di depan meja yang di sana terdapat banyak botol berisi cairan beraneka warna.
Dia terkejut, langsung saja dia menoleh ke arahku. “Ya ampun Zel, kau tidak bisa mengetuk pintu dulu, ya?”
“Tidak penting. Berikan padaku, segera!”
“Loh, bukannya besok pagi?”
“Tidak sempat, berikan sekarang Lynn! seruku yang mulai tidak sabar.
Lynn bangkit dari kursinya. Dia membuka salah satu lemari, mengambil botol kecil yang di dalamnya terdapat bubuk yang berkilauan. “Maaf aku Cuma punya ini untuk cadangan,” ucap Lynn seraya menyodorkan botol kecil itu padaku.
“Tidak masalah, thanks Lynn,” aku segera berbalik, hendak meninggalkan ruangan gadis penyihir itu.
“Ada apa dengan Hellga? Dia baik\-baik saja?” tanya gadis itu ketika aku berada di ambang pintu.
“Tubuhnya hangat, dia lemas, aku khawatir.”
“Ya ampun Zel, itu hanya gejala biasa. Kau saja yang paranoid,” sahut Lynn.
“Diam kau, penyihir.”
“Terserah.”
***
Kudorong sedikit pintu kamar tuan putriku itu. Bau lavender menusuk hidungku dengan cepat. Ah, wangi yang sangat khas. Kulihat gadis itu terlelap dengan tubuh yang ditutupi selimut putih. Kudekati gadis itu, untuk sesaat aku mengamati wajahnya. Bibir mungil itu, alis tipis, hidung yang tidak terlalu mancung, serta rambut yang berantakan. Aku menahan tawa melihat wajahnya yang sedang tertidur lelap itu, sangat lucu.
Langsung saja kubuka penutup botol kecil di tangan kananku. Kutuangkan bubuk berkilauan itu dari ujung kepala hingga kakinya. Tak lama kemudian bubuk itu bercahaya dan perlahan masuk meresap ke dalam kulitnya. Aku tersenyum kecil menyakiskan ini.
“Besok kau akan mendapatkan yang lebih banyak, Putri.”
Begitu aku keluar dari kamar Hellga, aku disambut oleh Amanda. Tampaknya dia hendak masuk ke kamar Hellga entah untuk apa.
“Kau mau apa, Mand?” tanyaku.
“Aku mau melihat keadaannya.”
“Dia sedang tidur, aku sudah memberinya benda itu barusan.”
“Sebaiknya aku bawa target kita lebih cepat.”
“Bagusnya begitu,” ucapku seraya mengangguk.
“Aku harus bergegas,” Amanda melesat entah ke mana setelah itu.
***
Pukul dua dini hari, aku duduk di bangku di halaman belakang. Sebenarnya aku sedang menunggu si gadis progrmaer dan target kami, sih. Aku tidak perlu tidur, tugasku masih banyak. Oh, tuan putriku masih belum bangun. Syukurlah, aku tidak ingin dia melihat apa yang akan kulakukan setelah ini.
Tap-tap-tap.
“Wow, rumahmu besar juga ya, Mand.”
“Yeah."
“Hei, siapa saja yang tinggal di sini, kalau boleh tahu?”
“Ada kakak laki\-lakiku dan dua sepupu perempuanku.”
“Ya ampun, padahal rumahnya luas, tapi penghuninya tidak seberapa.”
Telingaku menangkap pembicaraan Amanda dengan anak laki-laki yang sepertinya berusia tak jauh beda dengannya.
“Nah, kita sampai.”
Akhirnya Amanda dan sosok laki\-laki itu tiba di halaman belakang. Aku segera bangkit dari bangku untuk menyambut tarhet ... oh tidak, maksudku tamu itu.
“Selamat datang,” sambutku.
“Ini kakakku, Kak Azel. Kak, ini Amos, temanku,” Amanda memperkenalkan laki\-laki muda itu padaku.
Aku menjabat tangan Amos lalu melepasnya.
“Jadi, ada urusan apa aku diundang kemari?” tanya Amos kebingungan.
Amanda terkikik sebentar lalu menjauh dari Amos. Aku tersenyum hangat pada laki-laki itu lalu mengajaknya duduk di bangku kayu.
“Jadi, kau sudah lama berteman dengan Amanda, begitu?”
“Tidak sih kak, baru lima hari yang lalu.”
“Oh bagus.”
Mendadak suasana menjadi hening. Ah, aku memang payah jika mengobrol dengan orang asing. Tanganku sudah tidak sabar untuk mengambil apa yang seharusnya kuambil dari laki-laki ini. Akhirnya langsung saja kucekik lehernya menggunakan tangan kiriku.
“Aaarrkk!” dia berteriak, kedua tangannya berusaha melepas cekikanku.
Langsung saja kuletakkan telunjuk kananku ke keningnya. Bibirku bergerak membaca sebuah mantra untuk menarik intisari itu keluar. Cahaya putih perlahan keluar dari kening laki\-laki itu. Cahaya itu membentuk sebuah benang, kutarik perlahan benang itu tanpa menghiraukan teriakan laki\-laki itu. Tenaganya bahkan tidak cukup kuat untuk melawanku. Setelah benang itu kutarik seluruhnya, benang itu berubah menjadi bubuk berkilau yang sangat banyak. Tangan kiriku mendorong tubuh laki\-laki itu ke tanah lalu cepat\-cepat menangkap serbuk berkilauan itu dengan kedua tanganku. Tiga detik kemudian, kumpulan serbuk itu berubah menjadi bola berwarna putih.
“Itu cukup, Zel?” Amanda menghampiriku yang selesai mengambil intisari Amos.
“Sangat cukup, thanks Mand.”
“Kukira intisarinya tidak terlalu banyak, baguslah kalau cukup,” sahut Amanda seraya melipat tangan di dada.
“Aku bawa ini untuk Hellga sekarang.”
Begitu berbalik ke arah pintu, kudapati sosok Hellga dan Lynn berdiri tegap di sana. Spontan kusembunyikan bola putih itu di balik punggungku.
“Putri, kau seadang apa di sini pagi\pagi begini?” tanyaku seraya mendekati mereka berdua. Amanda mengekor di belakangku.
Dua detik, aku tidak mendapatkan jawaban.
“Hellga?” tanya Amanda.
Detik berikutnya ekspresi Hellga mulai berubah. Dia tampak ketakutan.
“Kau baik-baik saja, Hell?” tanya Lynn.
Selanjutnya, tubuh Hellga bergetar hebat.
“Apapun yang kau lihat tadi, itu hanya halusinasi, Hell,” jelas Amanda.
Mata Hellga melirikku dan Amanda secara bergantian. Lalu dia melirik ke arah jenazah Amos yang tergeletak di tanah. Gadis itu mulai mengambil langkah mundur.
“Hellga, dengarkan penjelasanku,” ucap Amanda yang maju selangkah.
Gadis itu makin menjauh dari kami bertiga. Detik berkitnya dia berbalik lalu berlari terbirit\-birit seperti melihat monster.
“Kenapa dia bisa ada di sini, Lynn?!” tanya Amanda setengah membentak.
“Aku yang bawa dia kemari,” jawab Lynn dengan senyum manis khasnya.
Plak! Spontan Amanda menampar gadis itu.
“Bisa-bisanya kau!”
“Aku hanya menunjukkan kebenaran padanya, apa yang salah?” gadis itu mengelus pipinya yang merah karena tamparan Amanda.
“Kau menakuti Putriku, Lynn!” ucapku kesal.
“Apa kau tidak penasaran, apa yang akan dilakukan tuan putrimu setelah mengetahui siapa pelayannya selama ini? Hihihi ....”
Tawa gadis penyihir itu seakan menusuk kedua telingaku.
“Sialan kau!”
Little Dead Flower
Two
Suara langkahku menggema di sepanjang lorong. Mataku terus mencari sosok Hellga, lari ke mana dia? Ah, dia tidak mungkin lari terlalu jauh. Aku hanya sedang panik, aku harus tenang. Aku berhenti berlari lalu memejamkan mata. Kutarik napas kuat-kuat, harusnya aku bisa mencium bau lavender itu. Tapi nihil, itu artinya dia tidak di sini. Mungkin dia berada di ruang belajar?
Langsung saja aku berbalik dan pergi ke ruang belajar. Kubuka pintu dengan kasar. Tak kudapati sosok yang kucari. Yang kulihat hanyalah tumpukan buku di atas meja. Ah sial, aku harus menemukan tuan putriku segera. Mungkin dia sedang berada di kamarnya.
Sesampainya di depan pintu kamar tuan putriku, segera aku mengetuk pintu.
“Tok-tok!”
“Aku tidak ingin menemui siapapun!” balas suara dari dalam. Kudengar juga suara isak tangis setelahnya.
“Putri, ini aku Azel. Kau tidak membiarkanku masuk?” tanyaku dengan nada lembut. Aku tahu dia sedang ketakutan saaat ini.
“Tidak, pergi kau dari sana!” teriaknya.
“Mau mendengar penjelasanku sebentar saja, Putri?” bujukku.
“Tidak! Go away!”
Aku hanya menghela napas seraya menunduk kecewa. Oh pasti dia lebih kecewa dariku. Mengetahui kebenaran yang amat menyakitkan, siapa yang tidak kecewa. Kuputuskan untuk bicara dengan Hellga besok pagi, ketika suasana hatinya membaik.
***
Keesokan harinya, kami bertiga menunggu Hellga di ruang makan. Lynn bilang tuan putriku sudah bangun, hanya saja dia tidak ingin ke ruang makan.
“Apa aku perlu menjemputnya?” tanya Amanda.
“Biar aku yang menjemputnya,” Lynn langsung beranjak dari kursinya.
“Kau yakin kau bisa membawa Hellga ke sini?” tanyaku memastikan.
“Jika aku bisa membawanya kemari, apa yang akan kudapat?” Lynn menyeringai.
“Aku akan memberimu peran,” sahutku seraya melipat tangan di dada. Gadis ini benar-benar ingin menyaingi Amanda rupanya.
“Deal!” gadis penyihir itu berbalik, dua detik kemudian dia langsung melesat.
Amanda melipat tangan di dada. “Kau beri dia peran, bagaimana denganku? Kau ingin aku menjadi tidak berguna?”
“Wow, kau akan mendapat giliran Mand. Untuk sekarang, biarkan Lynn yang mengambil peran.”
Gadis berkacamata itu membuang muka. “Huh!”
“Apa?”
“Kau meremehkanku karena aku tidak bisa sihir seperti Lynn? Aku bisa menarik intisari lebih banyak daripada dia.”
“Wow ... tenanglah Mand. Kau akan mendapat giliran, kok.”
Tak lama kemudian, kulihat tuan putriku di lorong bersama Lynn. Aku menghela napas lega, gadis penyihir itu menjalankan tugasnya dengan baik.
“Morning Hell!” sapa Amanda ceria seperti biasanya.
Hellga hanya menatap Amanda sekilas lalu beralih ke makanan yang ada di piringnya. Amanda merasa sedikit heran dengan sikap Hellga.
“Kau baik-baik saja, Hell?” tanya Amanda cemas.
Hellga hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan makannya.
Suasana di meja makan hening untuk beberapa menit. Di antara kami bertiga tidak ada yang berani memulai percakapan. Sampai akhirnya tuan putriku itu mengatakan sesuatu yang membuat kami bertiga terkejut.
“Aku ingin kalian menjauhiku untuk sementara waktu. Jangan ada yang mendekat sampai kuperintahkan untuk mendekat, paham?” ucapnya dengan tegas. Dibalik sifatnya yang feminim dan manja itu, dia akan bertindak tegas di waktu-waktu tertentu. Contohnya seperti ini.
“Kenapa, Putri?” tanyaku meminta penjelasan.
“Tidak ada pertanyaan, Zel,” sahutnya datar.
“Kau yakin dengan ini, Hell?” tanya Lynn memastikan.
“Sangat yakin, aku tidak butuh nasehat kalian,” gadis itu telah menyelesaikan sarapannya. Dia segera beranjak dari kursi, “permisi ....”
Setelah Hellga menghilang dari ruang makan, kami bertiga saling pandang. Ada yang aneh dengan gadis pujaanku itu, kenapa dia ingin kami menjauhinya?
“Okay ... tadi itu sangat aneh,” ucap Amanda.
“Ya, aku tidak menyangka Hellga akan begitu,” sahut Lynn.
Aku menatap gadis penyihir itu tajam. “Kau yang memulai semua masalah ini, Lynn.”
Gadis dengan pakaian maid itu tertawa lepas. “Ahahaha ... maaf.”
“Sudahlah, sekarang kita harus bagaimana?” tanyaku kepada kedua rekanku itu.
Amanda hanya mengangkat bahu seraya melirik Lynn. Aku tahu gadis itu sangat kesal dengan gadis penyihir satu ini.
“Kita tunggu saja langkah Hellga selanjutnya,” usul Lynn.
Aku berpikikir sejenak, sepertinya gadis itu ada benarnya juga. Akhirnya kami bertiga mengangguk sepakat.
***
Malam harinya, aku berhenti di depan pintu kamar Hellga. Ingin rasanya aku mengetuk pintu itu, mendengar suara lembutnya. Tapi, perintahnya tadi pagi membuatku mengurungkan niat. Ya ampun, kenapa aku diuji dengan cara ini? Apapun akan kukorbankan asalkan aku bisa selalu dekat dengan gadisku. Tapi sekarang, aku malah dipaksa untuk menjauhinya. Apa aku melakukan kesalahan besar hingga gadis itu enggan melihat wajahku lagi? Oke, mungkin dia melihat caraku menarik intisari. Tapi ini semua ulah si penyihir licik itu, kenapa aku juga kena imbasnya?
“Zel?” suara Amanda membuyarkan lamunanku. Kutolehkan kepalaku ke sumber suara.
“What?” sahutku datar.
“Are you okay?”
“Yes, im good. Thanks for ask,” kuipat tanganku di dada.
Amanda menatap ke arah pintu kamar Hellga.
“Merasa tidak berguna, aye?” tebakku yang langsung dibalas anggukkan oleh gadis progamer itu.
“Bertahun-tahun aku melayani gadis itu, baru kali ini dia memintaku menjauhinya,” ucapnya pelan.
“Begitu juga aku, mungkin dia tidak mau melihat wajahku lagi seumur hidupnya.”
“Walau begitu, kita tidak mungkin menjauhinya, kan? Kita harus tetap menjaganya, dari jauh.”
Aku mengangguk setuju. “Benar.”
“Aku harap besok mood Hellga lebih baik,” harap Amanda.
“I hope so.”
***
“Morning, Tuan Pelayan,” sapa Lynn dengan ceria. Dia meletakkan sarapan di meja makan lalu menatapku, “semoga hari baik.”
“Ei ... morning Lynn,” sapaku balik.
Tak lama kemudian, Amanda muncul. Dia langsung menarik kursi lalu duduk di sana. “Pagi ... di mana Hellga?”
Aku dan Lynn mengangkat bahu.
“Biar aku yang menjemputnya kali ini,” Amanda berdiri dari kursinya. Dia berbalik lalu menyusuri lorong.
“Kenapa ya ...,” gumamku pelan. Lynn melirikku, tampaknya dia mendengar gumamanku barusan.
“Apanya?”
“Perasaanku tidak enak, ada apa dengan tuan putriku?”
Tidak sampai lima menit, Amanda kembali dengan wajah panik. “Hellga!”
“Apa?” tanya kami berdua bersamaan.
“Dia tidak ada di kamarnya!”
Langsung saja aku melesat menyusuri lorong menuju kamar Hellga yang pintunya terbuka lebar. Begitu aku sampai, Amanda memang benar. Tidak kudapati gadis pujaanku itu di ranjangnya. Jendelanya terbuka lebar, lemarinya juga terbuka dan tidak ada isinya. Mataku tertuju pada buku di atas ranjang Hellga. Buku diary gadis itu tidak dia bawa, padahal benda itu adalah salah satu benda kesayangannya. Tapi kenapa? Apa dia sengaja?
Kuambil buku itu. Ada dorongan dari dalam diriku untuk membuka buku itu, tapi apa ini sopan? Apa seorang pelayan boleh mengintip privasi majikannya sendiri? Ah ... aku jadi dilema. Detik ketiga, akhinya kuputuskan membuka buku itu, langsung membuka halaman terakhir yang terisi.
You should see me in a crown
I’m gonna run this nothing town
Watch me make’em bow
One by, one by one
One by, one by
You should see me in a crown
Your silence is my fovorite sound
Watch me make’em bow
One by, one by one
One by, one by one
“Apa ini?” tanyaku setelah membaca tulisan itu. Terdengar seperti sebuah bait puisi atau lirik lagu. Entahlah, selera tuan putriku memang aneh. Langsung saja kututup buku itu kemudian meletakkannya di atas meja belajar.
“Zel, bagaimana ini?” tiba-tiba Amanda muncul di belakangku. Langsung saja aku berbalik.
“Apa?” tanyaku datar.
Amanda tampak ingin menghantamku dengan tinjunya. “Kau bodoh atau apa? Hellga bagaimana!?”
“Dia kabur, aku tahu,” sahutku tetap tenang.
“Dan kau diam saja? Ya sudah, biar aku saja yang mengurus ini,” Amanda langsung berbalik, hendak meninggalkan ruangan. Namun tanganku berhasil menggapai bahunya dan menahannya.
“Tunggu.”
“Apa!?” Amanda berbalik, tampaknya dia sangat marah bercampur panik.
“Biarkan Lynn yang menyelesaikan ini, Mand.”
“What? Si penyihir itu lagi?”
“Hellga tidak boleh melihat sisi burukmu, sayang. Dia hanya berani dekat denganmu, tidak denganku ataupun Lynn, kau paham maksudku, kan?”
Amanda terdiam lalu menatapku dalam-dalam. “Kau benar.”
“I konow you love her so much, Mand. Jangan buat dia ketakutan lebih dari ini,” ucapku.
Gadis itu akhirnya menurut juga. Segera kami mencari Lynn.
“Lynn?” panggilku pada gadis yang sedang duduk di taman. Dia malah asyik menikmati pemandangan indah di taman.
“Yaz?” dia menoleh.
Amanda melipat tangan di dada. “Lucky you.”
“Apa kita ada masalah, Mand?” tanya Lynn.
“Oh come on,” aku menghela napas pamjang, “bukan waktu yang tepat, guys.”
“Ada apa mencariku, Zel?”
Aku menatap Lynn dengan serius. “Kau tahu kalau Hellga kabur, kan?”
“Yaz.”
“Ikuti dia dan buat dirimu berguna, bisa?”
“Yaz,” gadis itu mengangguk cepat. “Oh, sebelumnya aku bisa minta tolong, Zel?”
“Apa?” balasku.
“Pergi ke ruanganku, di sana ada cermin di meja riasku. Kau bisa mengawasiku melalui cermin itu, kan?”
Amanda memutar bola matanya. “Oh, dasar penyihir.”
“Bisa, sudah cepat susul Hellga!” ucapku tak sabar.
Langsung saja gadis itu melesat dari hadapanku dan Amanda. Aku bergegas pergi ke ruangan Magelynn, ruangan yang penuh dengan bahan-bahan sihir aneh dan buku-buku tua.
“Kurasa ini akan menjadi hari yang panjang,” gumamku.
***
Sudah dua hari aku mengurung diri di ruangan gadis penyihir itu. Aku sibuk fokus dengan cermin di hadapanku ini. Sedangkan Amanda juga sibuk menjalankan bisnis keluarga Augeria. Dari yang kulihat dari cermin, Magelynn berhasil menemukan gadis pujaanku itu. Aku memerintahkannya untuk menjaga Hellga dari jauh, jangan sampai dirinya sadar kalau dia diawasi oleh Lynn.
Kulihat Hellga sedang masuk ke sebuah ruangan. Langsung saja Lynn mengikutinya masuk ke ruangan itu tanpa sepengetahuan Hellga. Di ruangan itu terdapat dua laki-laki berjas hitam.
“Nona Hellga Augeria, senang bertemu dengan Anda,” ucap salah seorang laki-laki dengan tubuh kurus tinggi mengenakan jas hitam.
“Sir Annthonie, sebuah kehormatan,” sahut Hellga dengan suaranya lembutnya.
Aku menyimak pembicaraan membosankan mereka bertiga sambil bertopang dagu. Ah, seandainya Amanda di sana, pasti dia sudah mengurus dua pria licik itu. Sayangnya Hellga tidak begitu mengetahui tentang bisnis kala internasional, wajar kalau dia tampak kebingungan.
“Oh, kau sudah datang, boss!” seru seorang laki-laki bertubuh gempal.
Kulihat ada sosok lain yang masuk ke ruangan itu. Sosok laki-laki tidak terlalu gemuk, tinggi, mengenakan kacamata bulat, berkulit putih pucat. Entah kenapa atmosfer pria itu sangat mencurigakan. Dia tersenyum ramah pada Hellga, menjulurkan tangan mengajaknya bersalaman.
“Nona Hellga Augeria,” ucap pria itu dengan senyum hangatnya.
Ketika Hellga hendak menyambut uluran tangan pria itu, tiba-tiba saja Lynn keluar dari tempat persembunyiannya. Dia langsung menarik Hellga menjauhi pria itu. Tampaknya Lynn juga menyadari ada yang aneh dengan pria berkacamata itu.
“What are you doing here, Lynn?” Hellga tampak terkejut setengah mati.
“Jangan dekat-dekat dengan dia, Hell!” seru Lynn yang mencengkram tangan Hellga. Oh Lynn, kau harus lebih lembut, jangan buat tuan putriku meringis begitu.
“Apa maksudmu? Aku ada sedikit urusan dengan dia,” jelas Hellga sambil meringis karena cengkraman Lynn.
“Jauhi Hellga, penyihir terkutuk!” seru Lynn pada pria berkacamata itu.
“Penyihir terkutuk katamu? Hei gadis wicky, kau sendiri apa?” balas pria itu.
Lynn tak membalas lagi, dia langsung meluruskan tangan kanannya ke depan dengan telapak tangannya yang terbuka. Bibirnya komat-komat mengucap mantra untuk menyerang pria itu. Lima detik kemudian, tubuh pria di hadapannya membeku. Lynn tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk kabur berhubung kedua pria berjas itu juga tidak berkutik. Gadis itu langsung menarik Hellga keluar dari ruangan itu.
“Apa-apaan ini, Magelynn!”
***
“Apa-apaan ini! Kalian melanggar perintahku, begitu? Berani sekali kalian! Kau, menculikku dari pertemuanku dengan rekan bisnis. Dan kau, sudah kukatakan padamu untuk tidak mencampuri urusanku, kan?” sembur Hellga padaku dan Lynn.
“Hell, dengarkan penjelasan kami dulu,” ucap Lynn berusaha menenangkan gadis itu.
“Tidak! Aku tidak mau mendengar penjelasan apapun!”
“Putri, please, tenang dulu,” ucapku.
“Terutama kau!” telunjuk Hellga tertuju padaku, langsung saja aku mematung.
“Hellga ...,” ucap Lynn.
“Shut up!” dia bangkit dari ranjang, “keluar dari kamarku, now!”
Tanpa banyak bicara lagi, aku dan Lynn meninggalkan kamar Hellga. Pintu itu ditutup dengan keras.
“Sebaiknya kita bahas ini dengan Amanda,” saran Lynn.
“Ada apa memangnya?” tanyaku penasaran.
Akhirnya kami bertiga berkumpul di ruang bawah tanah. Oh, aku benci tempat ini. Isinya hanya buku-buku tua berdebu. Hanya si gadis penyihir yang menggemari tempat ini.
“Ada apa sih, Lynn?” tanya Amanda tidak sabar.
“Zel, kau ingat pria berkacamata yang ditemui Hellga tadi siang, kan?” Lynn menatapku.
“Yes.”
“Dia penyihir, aku yakin itu.”
Amanda membuang muka. “Lagi-lagi.”
“Dengarkan aku dulu, Mand,” ucap Lynn. “Laki-laki itu bukan penyihir biasa, sihirnya sangat kuat dan gelap. Bisa kubilang dia penyihir dengan elemen yang berlawanan dengan elemenku.”
“Lalu, apa dia berbahaya?” tanyaku.
“Belum tahu, tapi kalau dia tahu siapa Hellga, sudah pasti dia berbahaya.”
“Great, jadi kita punya musuh?” tanya Amanda yang masih melipat tangan di dada.
“Kurasa begitu.”
“Kau tahu nama pria itu, Lynn?” tanyaku.
“Fad Lee Zon.”
Little Dead Flower
Three
Aku menatap air mancur dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang entah ke mana. Rasanya aku hanya sebuah tubuh tanpa jiwa. Gemercik air menjadi satu-satunya suara yang tertangkap oleh telingaku. Padahal bukan suara itu yang ingin kudengar. Hanya suara tuan putriku saja yang ingin kudengar, bukan gemercik air membosankan ini. Sayangnya gadis pujaanku itu tak sudi melihat wajahku lagi.
“Memikirkan Hellga?” tiba-tiba saja Lynn berdiri di sampingku. Ah, kenapa gadis ini datang di saat moodku seperti ini? Menganggu saja.
“Siapa lagi, Lynn? Hidup matiku hanya untuk tuan putriku itu.”
“Kulihat dia dengan Amanda pagi ini, mereka makin akrab saja, ya,” ucap Lynn.
Aku memutar bola mata dengan malas. “Tentu saja, karena Hellga belum melihat sisi Amanda yang lainnya.”
“Kalau begitu, jangan sampai Hellga melihatnya. Kalau Amanda juga dia jauhi, makin sulit bagi kita untuk menjaganya, kau tahu?”
Aku mengangguk setuju. “Aku paham.”
Siang itu, aku dan Lynn memutuskan untuk menyiapkan makan siang. Hellga sedang belajar di ruangannya, sedangkan Amanda sibuk dengan bisnisnya. Aku harap tuan putriku itu akan kembali padaku dalam waktu dekat. Aku tak sanggup jika dia menjauhiku begini.
***
“Kau mau ke mana, Putri?” pandanganku tertuju pada Hellga yang berpakaian rapi dengan tas selempang di pundak kirinya. Tampaknya dia hendak pergi ke luar.
“Bukan urusanmu, Zel.”
“Aku minta Magelynn untuk menemanimu, oke?” tawarku.
“Tidak.”
“Tapi, Putri ...,” ucapku kurang yakin.
Hellga melipat tangan di dada. “Kuingatkan kau, Azel. Jangan campuri urusanku lagi, jangan campuri hidupku lagi, bisa?”
“Putri ... kau benar-benar tak sudi lagi melihatku, ya?” tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
“Yes, so ... go away,” ucapnya sesaat kemudian meninggalkanku yang masih berdiri di ruang tengah.
Tak lama kemudian, Amanda menghampiriku. “Mendapat penolakam, Zel?” tanya gadis pendek itu.
“Shut up, Mand.”
“Jadi aku benar, ya?” ucapnya dengan senyum mengejek.
Aku membuang muka, kesal.
“By the way, ke mana Hellga?” tanya gadis menyebalkan itu.
“Dia tidak memberi tahuku, Mand.”
Amanda mengangguk. “So, ini waktunya memakai Lynn lagi?”
“Kenapa dengan si penyihir?”
“Suruh dia mengawasi Hellga.”
“Magelynn sedang berada di ruangannya, Mand. Kenapa tidak kau saja yang menyusul Hellga?” usulku.
“Dia tidak ingin ditemani, kan? Aku tidak mau melawan kemauannya, Zel,” sahut Amanda.
“Ah, sial.”
Tap-tap. Kudengar suara langkah yang perlahan mendekat. Aku melirik sekilas ke arah sumber suara, kulihat kaki seorang gadis yang mendekat.
“Tampaknya kalian sedang buntu, ya?” tebak si gadis penyihir.
Tatapanku tertuju pada Lynn. Gadis itu sedikit merubah penampilannya. Tingginya tidak berubah, tidak juga bertambah gemuk. Ah, rambutnya. Rambutnya dia warnai dengan warna abu-abu, membuat sosoknya sangat mirip dengan penyihir sekarang. Mungkin setelah identitasnya sebagai penyihir diketahui Hellga, dia bisa sedikit bebas sekarang.
“Aku harap kau tidak membuat keadaan makin buruk, Lynn,” ucap Amanda seraya melipat tangan di dada.
Lynn tersenyum misterius. “Kalau aku justru memperbaiki keadaan dan menjadi berguna, kau mau apa, Mand?”
Amanda makin kesal. Langsung saja dia menunjukkan jari tengahnya di depan hidung Lynn lalu berlalu. Aku hanya mengangkat bahu menyaksikan tingkah mereka berdua.
“Apa tidak bisa kalian berdamai satu hari saja? Aku bosan dengan tingkah kalian, ayolah ...,” komentarku.
“Amanda yang mulai,” sahut Lynn.
“Okay Lynn, apa yang ada di kepalamu sekarang? Wanna tell me?” tanyaku seraya menatap gadis itu dengan serius.
“Ikut ke ruanganku, Zel.”
***
“What? Kau ingin aku menggunakan cerminmu untuk mengawasi Hellga?” tanyaku tak percaya. “Kenapa kau tidak mengikutinya secara diam-diam seperti kemarin, Lynn?”
“Dan bagaimana jika aku ketahuan lagi? Aku yakin tuan putrimu akan menendang bokongku keluar dari istana ini, bukankah begitu?” sahut Lynn.
“Sial.”
“Aku akan mencari intisari malam ini, Zel. Aku harap kau paham situasinya,” jelas Lynn.
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya setuju dengan usul Lynn. “So, aku hanya perlu menggunakan cerminmu seperti waktu itu, kan?”
Gadis penyihir itu terkikik. “Coba saja.”
Aku duduk di depan cermin Lynn lalu mengusapnya dengan tangan kananku. Beberapa detik kemudian, tidak ada yang muncul di cermin itu. Kucoba lagi mengusap benda itu, namun hasilnya tetap sama.
“Kenapa tidak bekerja?” tanyaku heran.
“Ahahaha!” akhirnya tawa gadis itu meledak juga.
“Lynn, jangan mengerjaiku seperti ini,” balasku kesal.
Lynn yang selesai tertawa akhirnya mendekatiku. “Begini, usap cerminnya, pikirkan target yang ingin kau lihat. Sebut nama lengkapnya, bayangkan wajahnya. Bayangkan dia berdiri di hadapanmu lalu lihat ke cermin.”
Untuk ketiga kalinya, aku mengusap cermin. Kusebut nama Hellga Augeria di dalam kepalaku, kubayangkan wajah manisnya. Lalu kubayangkan dia berdiri di hadapanku, hingga aku bisa mengusap rambut lembutnya. Begitu kubuka mata, kudapati cermin menampilkan sosok Hellga di sana. Rupanya dia berada di perpustakaan.
“Waw, kau berhasil, Zel!” seru Lynn kegirangan.
Tak kugubris gadis itu. Aku hanya fokus pada Hellga. Kulihat dia sedang duduk bersama seorang gadis berambut hitam panjang. Kedua matanya memiliki iris mata yang berbeda. Mata kanannya berwarna merah, sedangkan mata kirinya berwarna biru laut, sungguh indah.
“Siapa namamu tadi?” tanya Hellga pada gadis itu.
“Hanny Cassnova.”
Hellga tersenyum hangat. “Salam kenal, aku Hellga Augeria.”
Lynn menyenggol sikutku hingga aku sedikit kehilangan fokus. “Gadis itu mencurigakan, Zel.”
“Siapa?” tanyaku.
Lynn menatap cerminnya lebih serius. “Hanny.”
Aku malah heran. “Apa yang mencurigakan dari gadis itu?”
“Kau butuh mata penyihir untuk bisa melihatnya, Zel,” sahut Lynn yang masih memasang tampang serius.
Tak lama kemudian, Hanny dan Hellga berpisah. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan bertemu lagi besok sore. Kulihat gadisku itu berjalan di trotoar.
“Sebaiknya aku menjemput tuan putriku,” sahutku yang kemudian bergegas meninggalkan ruangan Lynn.
***
“Pagi, Putri!” sapaku hangat pada gadis yang sudah rapi dengan pakaian pink favoritnya. Di sampingnya berdiri Amanda yang sudah rapi juga.
“Pagi, Tuan Servant,” sahut Amanda, sedangkan Hellga hanya diam lalu duduk di kursinya. Dia bahkan tidak menatap wajahku sedetik saja.
“Kemarin kau habis dari mana, Hell?” tanya Lynn.
Hellga memutar bola matanya dengan malas. “Bukan urusanmu, Lynn.”
“Tidak mau memberi tahuku?” kali ini Amanda yang angkat bicara.
Hellga menatap Amanda sesaat lalu kembali fokus pada makanannya. “Perpustakaan, Mand.”
“Tidak biasanya kau ke perpustakaan, Hell. Biasanya kau pergi ke taman bersama gadis pebisnis ini,” komentar Lynn yang kemudian melirik Amanda.
“Aku hanya ingin mencari suasana baru. Aku juga bertemu teman baru di sana. Yah, cukup untuk menghibur diriku,” ucap Hellga.
“Teman baru?” tanya Amanda penasaran. “Siapa?”
“Hanny, Hanny Cassnova. Kami baru berkenalan kemarin dan berjanji akan bertemu lagi hari ini. Dia anak yang baik, kok,” cerita Hellga pada Amanda. Tampak jelas gadis itu mengabaikan keberadaanku dan Lynn.
“Jadi, hari ini kau akan bertemu lagi dengan si Hanny ini? Boleh aku ikut?” tanya Amanda.
“Hm ... bagaimana ya. Dia agak pemalu, sih,” ucap Hellga ragu.
Tiba-tiba Lynn angkat bicara. “Kau yakin kalau dia baik, Hell?”
Hellga mengerutkan kening. “Apa maksudmu, Lynn?”
“Aku bukan menghakimi, tapi menurutku, gadis bernama Hanny dapat membahayakanmu, Hell. Sebaiknya kau menjaga jarak dengannya,” ucap Lynn terang-terangan.
Spontan Hellga menggebrak meja dengan keras. “Kau tidak punya hak ikut campur dalam urusanku, Lynn! Jaga batasanmu! Kau hanya sekedar alat bagiku, paham?”
Suasana hening sejenak. Tiba-tiba Lynn tersenyum lebar. “Hanya sekedar alat, hmm? Yah, kau benar juga. Aku hanya alat.”
“Bagus akhirnya kau sadar, dasar penyihir!” sembur Hellga yang kemudian meninggalkan ruang makan.
Setelah sosok Hellga tak telihat lagi, terdengar suara tepuk tangan Amanda. Dia tampak menahan tawa setelah melhat kekacauan tadi.
“Luar biasa,” komentar Amanda.
Lynn menatap Amanda sinis. “Apa, Mand?”
“Lihat yang kau lakukan, kau merusak mood paginya, penyihir,” balas gadis dingin setengah kasar itu.
“Dia memang belum menyadarinya sekarang, tapi segera,” balas Lynn.
Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya ... “Cukup kalian berdua! Kenapa kalian selalu saja ribut di saat yang salah? Tidak bisakah buat diri kalian lebih berguna?”
Mendadak dua gadis di hadapanku terdiam. Aku yang muak akhirnya meninggalkan ruang makan.
***
Sore harinya, sesuai perkiraanku, Hellga akan pergi ke perpustakaan untuk menemui Hanny. Lagi. Amanda tidak ambil pusing dengan prediksi Lynn mengenai Hanny. Dia merasa Hellga akan baik-baik saja. Berbeda denganku yang sedari tadi merasa was-was.
“Kenapa kau ini, Zel? Penyihir itu memang suka bicara melantur, kan?” ucap Amanda yang melihat ekspresi cemasku.
“Aku tidak tahu, Mand. Aku rasa Lynn benar kali ini. Dari tadi fiasatku tidak enak,” sahutku.
“Oh sudahlah, ini hanya akan membuang waktuku.” Amanda beranjak dari sofa empuk itu lalu meninggalkan ruang tengah.
Tak lama kemudian, Lynn muncul lengkap dengan senyumnya. “Mau ke ruanganku, Zel?” tawarnya.
“Nice idea.”
Sesampainya di ruangan Lynn, aku langsung duduk di depan cermin ajaibnya. Langsung saja kuusap cermin itu untuk melihat keadaan Hellga. Syukurlah aku dapat melakukannya dengan lancar kali ini.
“Dia sudah sampai,” ucap Lynn.
Ya, kulihat Hellga sudah sampai di perpustakaan. Di dalam, Hanny sudah menunggunya. Aku mulai serius memandang ke arah cermin.
“Akhirnya kau datang juga, Hell. Aku sudah lama menunggu, loh.”
Hellga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Maaf, pelajaran fisika sedikit lebih lama.”
“Kau bersekolah di mana?” tanya gadis dengan kedua mata indah itu.
“Aku homeschooling, Hann. Sekolah formal bukan tempatku,” sahut Hellga.
Hanny mengangguk paham. “Oh begitu.”
Tak lama kemudian, tatapan mereka saling bertemu. Mendadak tatapan Hanny berubah. Tatapan gadis itu seperti memancarkan sedikit percikan pada wajah Hellga. Dua detik kemudian, tatapan Hellga menjadi kosong. Hanny tersenyum puas. Dia membuka ranselnya, mengeluarkan sebuah pistol di dalamnya.
“Gunakan ini, bunuh mereka semua,” ucap Hanny pelan.
Hellga dengan tatapan kosong itu menerima pistol yang disodorkan Hanny. Dia berdiri lalu mengarahkan pistol ke arah pengunjung perpustakaan secara acak.
“What the hell?” teriakku kaget.
“Yaaayy! Ada yang terbunuh!” seru Lynn.
Aku menatap gadis itu tajam. “Jangan main-main, Lynn. Pergi, susul Hellga, SEKARANG!”
Lynn mengambil langkah mundur setelah kubentak. Dia melesat meninggalkan ruangannya.
Tatapanku kembali tertuju pada cermin. Kulihat Hellga makin brutal menembak orang-orang yang ada di sana. Sedangkan Hanny hanya berdiri di samping Hellga dengan senyum lebar.
“Kau melakukannya dengan baik, Augeria,” ucap Hanny di telinga Hellga.
Aku mengepalkan tangan kananku. “Beraninya gadis itu mempengaruhi gadsiku!”
Tak lama kemudian, Lynn muncul dari balik pintu. Dia langsung menunjuk ke arah kening Hanny dan berseru. Tampaknya Lynn melakukan teleportasi karena aku yakin sebelumnya dia berada di ruangan yang sama denganku.
“Nau maida un forbida wacna!” (jangan ganggu gadis itu)
Hanny tertawa lepas. “Gadis ini milikku, wicky.”
Lynn langsung menerjang ke arah Hanny, sambil merapal mantra. Hanny tak tinggal diam, dia melangkah mundur lalu mendekati Hellga.
“Bunuh penyihir ini,” ucapnya.
Spontan pistol Hellga tertuju pada Lynn. Beberapa peluru melesat ke arahnya. Lynn dengan sangat lihai menghindari peluru-peluru itu. Kini dia sudah satu meter di hadapan Hellga. Segera Lynn meraih pistol itu lalu merampasnya dari tangan Hellga.
Hanny tak kehabisan akal. “Patahkan lehernya.”
Hellga berusaha meraih leher Lynn, namun Lynn lebih ahli dalam menghindar. Aku yakin gadis penyihir itu tidak ingin menyakiti Hellga hingga dia lebih memilih menghindar. Hingga akhirnya, Lynn berhasil mengunci pergerakan Hellga.
“Maafkan aku, Hell,” dia meniup ubun-ubun Hellga dari belakang. Tiga detik berikutnya, Hellga terkuai lemas namun kedua matanya masih terbuka.
“Kau!” Hanny tak terima. Dia mencoba mempengaruhi Lynn dan mengendalikan pikirannya. Seketika tatapan Hanny memancarkan percikan. Sebelum percikan itu mengenai wajah lawannya, Lynn berkedip lalu menjetikkan jarinya. Mendadak percikan itu berbalik arah.
“Dasar, hypnotic witch,” ucap Lynn.
Hanny mematung, tatapannya kosong.
Lynn kembali terfokus pada Hellga yang perlahan mulai tersadar. Dia segera bangkit dibantu Lynn. Tatapannya tertuju pada Lynn lalu pada Hanny.
“Kenapa kau di sini?” tanya Hellga.
Lynn tidak menjawab. Tampaknya dia membiarkan Hellga membaca situasi sendiri. Setelah beberapa detik, Hellga makin bingung. Didapatinya mayat bergelimpangan di perpustakaan. “Apa yang terjadi?”
“Gadis itu mengendalikanmu, Hell. Dia membuatmu membunuh orang-orang ini. Bahkan kau hampir membunuhku,” jelas Lynn.
“Benarkah?”
Lynn hanya mengangguk.
Hellga menatap pistol di tangan Lynn. “Kill her then.”
“Kau mengizinkanku untuk ini, Putri?” tanya Lynn.
Oh tidak, ini tidak boleh sampai terjadi.
“Kenapa minta izin?” tanya Hellga.
“Karena kau putrinya.”
“Apa kalian minta izin padaku ketika menarik nyawa orang waktu itu?” tanya Hellga.
Lynn menggaruk kepalanya. “Tidak sih ....”
“So ... kill her!”
Langsung saja kujentikkan jariku. Dua detik kemudian, aku sudah berada di tempat Hellga dan Lynn. Kulihat peluru melesat ke arah Hanny. Langsung saja kutangkap peluru itu menggunakan tanganku, lalu menjetikkan jari lagi untuk menciptakan ledakan asap.
“Kau membunuhnya?” tanya Hellga.
“Bisa jadi,” sahut Lynn.
“Good, ayo pulang. Aku lelah.”
Mereka berdua meninggalkan perpustakaan. Aku membuang peluru yang kutangkap lalu menatap Hanny. Kujentikkan jariku, tatapannya kembali normal. Aku menatapnya tajam.
“Kau apakan tuan putriku, penyihir?”
Hanny hanya diam.
“Dengar, hari ini aku menyelamatkan nyawamu. Tapi jika kau berani mendekati Hellga lagi, aku sendiri yang akan menyeretmu ke neraka.”
Kujentikkan jariku untuk kesekian kalinya. Dua detik kemudian, aku berada di ruangan Lynn.
“Hari yang melelahkan.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!