NovelToon NovelToon

Halaman Terakhir Kisah Shabira

01. Tenggelam

"Akhirnya selesai juga!"

Livia Ananta tersenyum bangga sambil meregangkan otot-otot tangannya. Kini sudah beberapa menit berlalu sejak dirinya meng-update bab baru di sebuah platform novel online yang telah membesarkan nama penanya. Livia memang seorang penulis novel terkenal. Sudah cukup banyak karya yang ia buat dan semuanya disukai oleh para pembaca. Tidak terkecuali dengan karya terakhir yang baru saja ia selesaikan.

Livia memang sangat pandai dalam membuat cerita dengan akhir memuaskan, namun tidak untuk kali ini. Novel yang ia beri judul Happy Ending sangat berbanding terbalik dengan akhir kisah yang dibuatnya. Dalam perjalanan menuju akhir cerita, Livia sudah cukup banyak mendapatkan protes dari para pembaca. Itu semua karena alur cerita yang ia buat kali ini begitu menyedihkan bagi tokoh utama yang ia beri nama Shabira Lawrence.

Bermodalkan sifat arogan dan tangguhnya, Livia tidak pernah peduli dengan makian para pembaca dan tetap melanjutkan cerita sesuai alur sebelumnya. Hingga pada puncaknya, hari ini Livia telah menyelesaikan halaman terakhir novelnya dengan akhir menyedihkan untuk tokoh utama. Shabira Lawrence memutuskan untuk bunuh diri karena tidak mampu lagi menjalani hidupnya untuk mencari secercah kebahagiaan. Dan pada akhirnya, cerita Happy Ending itu kini berakhir dengan Sad Ending.

Dua puluh menit berlalu, Livia yang tengah menanti adanya komentar para pembaca sama sekali tidak terkejut melihat komentar pertama yang muncul di layar laptopnya. Seperti yang telah ia duga sebelumnya, para pembaca setianya pasti akan sangat kecewa mendapati tokoh utama yang justru memilih mengakhiri hidupnya dibanding membela diri di hadapan semua orang.

"Kali ini aku sangat kecewa dengan ceritamu, aku harap kamu merasakan apa yang dirasakan oleh Shabira!" Livia membaca komentar pertama dengan wajah remeh. "Mana mungkin? Gue nggak sebodoh dan selemah Shabira!" belanya.

Untuk sesaat Livia masih bisa santai membaca komentar negatif para pembacanya. Namun, semakin lama semakin banyak komentar negatif yang muncul di layar laptopnya. Livia yang mulai terpancing akhirnya ikut mengomel tanpa henti.

"Lo pikir bikin cerita mudah? Main ngehina aja, seenggaknya hargailah karya orang lain. Kalo nggak bisa skip aja, jangan dibaca!"

Livia mengomel tidak jelas, namun tidak juga merespons komentar-komentar negatif tersebut. Karena sebenarnya Livia cukup menyadari bahwa itu memang kesalahannya, para pembaca tidak akan berkomentar negatif jika cerita yang ia buat sesuai dengan keinginan para pembaca. Dan Livia sangat menyadari hal itu, setelah cukup lama bergelut di bidang kepenulisan.

Dari dalam rumah penginapan, terlihat seorang gadis berjalan menghampiri Livia yang masih duduk di tempatnya. Gadis itu tersenyum simpul sambil menggelengkan kepala, melihat tingkah sahabatnya yang tengah mengomel di depan laptop.

"Vy, lo kenapa? Dapet hujatan lagi?"

Livia mengalihkan pandangannya, menatap gadis yang kini duduk di hadapannya. Kinan Arista, dia adalah sahabat Livia sejak duduk di bangku SMA hingga sampai sekarang, kini mereka berkuliah di universitas yang sama namun dengan jurusan yang berbeda.

"Biasalah, gue udah nebak dari awal kalo mereka bakal protes sama ceritanya!" jawab Livia santai. "Tapi gue kesel sama komen pedes mereka, baca komentarnya udah kayak makan cabe carolina reaper satu baskom tau nggak!" gerutunya.

"Emang mereka komentar apaan?" tanya Kinan penasaran.

"Nyumpahin gue, mereka pengen gue bisa ngerasain apa yang Shabira rasain. Ya mana mungkin lah, secara Bokap sama Nyokap gue sayang banget sama gue. Beda jauh sama Shabira, udah gitu sifat kita jauh banget lagi!" ucap Livia menjelaskan panjang lebar.

Kinan tertawa mendengar omelan sahabatnya. "Udah udah! Daripada lo pusing mikirin komentar mereka, mending kita diving yuk. Yang lain udah nungguin tuh di kapal, hari ini kita ke sebelah selatan! Di sana lebih dangkal katanya, tapi tetep aja harus hati-hati!" ucap Kinan seraya mengajak.

"Serius? Kenapa nggak bilang dari tadi, gue udah nggak sabar renang bareng ikan-ikan lagi tau!"

Livia dengan girang menutup laptopnya, inilah yang sudah ia tunggu-tunggu sejak kemarin. Seperti biasa, liburan semester pasti akan ada waktu yang ia dan teman-temannya gunakan untuk jalan-jalan. Mencari destinasi wisata bawah laut yang menjadi incaran mereka.

"Ya udah buruan siap-siap!" ucap Kinan.

Livia segera merapikan laptopnya, kemudian berlari meninggalkan Kinan sendiri. Tidak menunggu lama, Livia sudah kembali dengan pakaian renang panjang yang tertutup oleh baju panjang dengan ukuran lebih longgar dan tipis.

"Udah siap, ayok buruan!"

Livia menarik tangan Kinan, mengajaknya untuk berjalan cepat menuju kapal. Gadis itu sudah sangat tidak sabar menikmati pemandangan bawah laut, setidaknya untuk melupakan sejenak kekesalannya pada komentar-komentar pedas itu.

Lima belas menit berlalu, kini kapal sudah berada pada area yang dituju. Saat dalam perjalanan, mereka sempat briefing sejenak, agar tidak ada kendala saat penyelaman nanti. Kini semua orang yang hendak ikut menyelam sudah memakai peralatan lengkapnya, begitu juga dengan Livia.

"Lo serius Vy, nggak mau pake aqualung?" tanya Kinan sambil mensejajarkan di samping Livia yang tengah bersiap-siap.

Dengan mantap Livia menganggukkan kepalanya. Kemudian berkata, "Serius lah! Lagian tadi tour guide nya bilang, dalamnya cuma sekitar dua sampe tiga meter doang kan? Gue bisa kok, kayak nggak tau gue aja lo! Lagian kan gue cuma di sekitar sini doang, nggak kayak lo yang mau nyelam lebih jauh!"

Ya, untuk penyelaman kali ini Livia memang tidak ingin terlalu jauh. Itulah kenapa ia tidak ingin menggunakan alat bantu oksigen untuk penyelaman kali ini. Entah mengapa tiba-tiba moodnya berubah setelah berada di kapal, ia kembali teringat dengan komentar-komentar pedas dari para membacanya. Padahal biasanya ia cuek dengan itu semua.

"Tiga meter juga dalem kali Vy, tinggi lo aja cuma seratus enam puluh lima meter doang!" ucap Kinan.

Livia menatap Kinan dari atas sampai bawah, gadis itu sudah memakai pakaian serta peralatan lengkap untuk diving kali ini. Namun bukan itu yang membuatnya menatap Kinan dengan pandangan remeh, melainkan tinggi badannya. "Seenggaknya gue lebih tinggi daripada lo!" cibirnya.

"Ye dikasih tau malah ngelunjak lo ya!" geram Kinan. Livia hanya terkekeh kecil.

"Baik teman-teman, mohon perhatiannya sebentar! Sebelum waktu semakin sore alangkah baiknya kita mulai sekarang. Saya cuma ingin mengingatkan kembali, jaga diri kalian. Jangan melakukan sesuatu yang berbahaya hingga merusak ekosistem laut," ucap seorang tour guide pada semua pengunjung. "Ya sudah kalau begitu selamat bersenang-senang, kami akan memantau kalian berenam dari atas kapal," lanjutnya mempersilakan.

Semua orang begitu antusias, mereka sudah tidak sabar menikmati keindahan bawah laut di sana. Satu persatu dari mereka mulai turun dari kapal, termasuk Livia dan Kinan. Dengan alat bantu renang berupa kaca mata serta snorkel, Livia langsung terjun ke dalam air. Di susul oleh Kinan dan teman-teman lainnya.

Livia berenang santai menikmati pemandangan bawah laut, terlihat banyak sekali ikan-ikan kecil berenang di sekitar sana. Terumbu karang serta hewan-hewan laut lainnya saling berdampingan, Livia merasa sangat senang bisa berenang bebas di sekitar sana. Sementara teman-temannya mulai berpencar mencari keindahan di tempat lain, termasuk Kinan yang memang ingin menyelam lebih dalam ke bagian selatan.

Setelah lama menikmati pemandangan. Livia yang sejak tadi masih berenang mengambang di permukaan laut, kini memutuskan untuk berenang lebih ke bawah lagi. Kedalaman di tempatnya berada kini memang sudah sekitar tiga meter, Livia sangat ingin melihat terumbu karang indah itu dari jarak yang lebih dekat. Ia menduga itu pasti akan sangat menyenangkan.

Dan benar saja, dengan bermodal menahan nafas, Livia kini bisa menikmati indahnya ikan-ikan kecil yang bersembunyi di balik terumbu karang. Tidak hanya itu, ada banyak anemon laut yang bergoyang ke sana kemari sebagai tempat persembunyian ikan nemo kecil yang sangat lucu. Livia tersenyum dalam diam, tangannya terulur ingin menyentuh ikan tersebut.

Cukup lama berada di bawah air, Livia yang mulai kehabisan oksigen perlahan berenang ke atas untuk mengambil nafas. Namun siapa sangka, secara tiba-tiba ombak besar menerpa dirinya yang baru saja muncul dari dalam air. Livia yang belum sempat mengambil nafas kembali masuk ke dalam air.

Aneh, kenapa tiba-tiba ombaknya sebesar ini?

Livia yang baru muncul ke permukaan langsung mengambil nafas sebanyak-banyaknya, namun lagi-lagi ombak besar menerpa dirinya. Tidak, kali ini ombak itu jauh lebih besar dari sebelumnya. Bahkan air di bawahnya pun ikut merasakan gelombangnya. Livia begitu terkejut ketika dirinya tersapu ombak tersebut, tubuhnya terbawa arus hingga kembali masuk ke dalam air dan menabrak karang dengan cukup keras di bawah sana.

Kesadaran Livia masih ada, gadis itu menatap ke atas. Kini dirinya berada di kedalaman tiga meter, gelombang besar itu masih ada di atas sana. Tubuhnya bahkan ikut terombang-ambing seperti hewan-hewan di sekitar sana, namun anehnya Livia masih berada di tempatnya. Gadis itu memejamkan mata kala merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya akibat terhempas tadi, terutama pada salah satu kakinya.

Karena tidak ingin kehabisan nafas, Livia mencoba lagi untuk berenang ke atas. Namun, salah satu kakinya yang tadi terasa sakit, itu ternyata karena tersangkut di antara batu karang yang tampaknya cukup keras. Livia mencoba untuk tetap tenang, lalu menggerakkan kakinya agar terlepas dari sana. Akan tetapi hal itu justru semakin membuat kakinya semakin terasa sakit.

Tidak kehilangan akal, Livia mencoba membebaskan kakinya menggunakan tangan. Sayangnya bebatuan karang itu benar-benar keras hingga ia tidak mampu melepaskan jeratan kakinya. Livia mulai panik menyadari hal itu. Gadis itu menoleh ke sana kemari mencari benda keras semacam batu di sekitar sana. Setelah ketemu, ia langsung mengambilnya dan memukulkannya pada batu karang itu agar pecah.

Livia masih terus memukulnya. Namun sayang, semua usahanya tidak membuahkan hasil. Livia tidak bisa melepaskan kakinya yang masih terjepit terumbu karang itu. Panik, Livia mulai merasa takut. Ia tidak ingin mati konyol di tempat itu. Persediaan oksigen dalam tubuhnya semakin menipis, Livia mulai tidak bisa lagi menahan nafasnya. Gadis itu lupa, jika kepanikan hanya akan mengurangi persediaan oksigen dalam tubuhnya.

Gadis itu memberontak di dalam air, namun hal itu justru semakin membuat kakinya terasa sakit. Sudah cukup lama ia berada di dalam air, pasokan oksigennya benar-benar tinggal sedikit. Livia menatap ke atas, tidak ada siapapun di sekitar sana. Ingin rasanya ia berteriak meminta pertolongan, namun semua itu tidak mungkin membuahkan hasil.

Perlahan Livia memejamkan mata, ia mulai kehilangan kesadaran. Tubuhnya melemas dan perlahan semakin tenggelam, Livia tidak mampu lagi menahan nafasnya. Gadis itu dipaksa menyerah oleh keadaan yang tidak berpihak padanya.

Pah Mah, maafin aku. Bukan karena aku tidak mau berjuang, tapi keadaan ini memaksa diriku untuk menyerah!

🎀🎀🎀

Hai pren, ketemu lagi dengan karya othor yang ke sekian. Karya ini mengikuti event Wanita Mandiri, jadi mohon dukungannya ya pren. Jangan lupa Like, Komen, Favorit, Vote ya, dukungan kalian sangat berarti bagi kami.

...Sampai bertemu di cerita HTKS selanjutnya 👋🏻...

02. Halaman Terakhir

Pah Mah, maafin aku. Bukan karena aku tidak mau berjuang, tapi keadaan ini memaksa diriku untuk menyerah!

Livia membuka matanya, suara lembut seorang gadis berhasil menyadarkannya. Nafasnya tersengal, dengan rakus ia meraup udara di sekitar sana. Ia teringat beberapa menit yang lalu dirinya masih tenggelam di dalam air, akan tetapi sekarang ia justru terheran dengan hembusan angin yang menerpa tubuhnya.

Livia menatap ke sekeliling, tempatnya begitu asing. Ia merasa saat ini sedang berada di atas sebuah gedung yang cukup tinggi. Dan benar saja, Livia begitu terkejut ketika melihat ke belakang. Di bawah sana terlihat banyak sekali kendaraan yang melintas, gadis itu menyadari kini sedang berada di atas gedung di pusat kota. Di tengah malam yang cukup terang karena adanya cahaya rembulan.

Bodoh, kenapa aku bisa ada di sini. Bukannya tadi masih di laut? Bukannya tadi aku tenggelam dan ... ah tidak-tidak, aku belum mati!

Livia menggeleng kemudian bergidik ngeri, baru kali ini dirinya berada pada ketinggian sekitar tiga puluh meter. Ia bahkan tidak berani menatap ke bawah, karena hal itu hanya akan membuat dirinya merasa takut dan bisa saja ketakutan itu malah membuatnya terjatuh dari ketinggian. Akan tetapi, apa maksud dari semua ini? Kenapa tiba-tiba dirinya bisa berada di atas gedung seperti ini.

“SHABIRA!”

Livia tersentak mendengar suara seseorang, terlihat seorang cowok berlari tergesa-gesa menghampiri dirinya. Gadis itu mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu siapa laki-laki itu. Namun setelah dilihat-lihat, ciri-cirinya begitu mirip dengan ... Dion Almostin, salah satu tokoh figuran dalam novelnya.

Ah tidak mungkin, mungkin saja itu hanya kebetulan saja. - Pikir Livia.

“Ra, gue mohon lo jangan nekat kayak gini Ra. Masa depan lo masih panjang, gue yakin lo bisa hadapi semuanya!” ucap cowok itu khawatir.

“Maksudnya apa?” tanya Livia bingung.

“Shabira Lawrence, please! Jangan nekat kayak gini! Apa lo tega ninggalin keluarga lo?”

Shabira?

Livia termangu heran, bagaimana bisa cowok itu memanggil dirinya dengan nama Shabira.

Apa maksudnya ini?

Livia semakin tidak mengerti, ia melirik tangan kirinya yang bergetar. Kulitnya kusam dan kotor, ada beberapa noda darah di bajunya. Livia kembali menatap ke sekeliling, kali ini ia baru menyadari, keadaan ini sangat mirip dengan adegan ketika Shabira memutuskan untuk bunuh diri di atas gedung. Di halaman terakhir kisah Shabira, Livia kembali teringat dengan kata-kata terakhir yang Shabira ucapkan sebelum melompat dari gedung.

Bukan karena aku tidak mau berjuang, tapi keadaan ini memaksa diriku untuk menyerah!

Livia memejamkan mata, tiba-tiba kepalanya begitu sakit ketika serentetan adegan demi adegan dalam kehidupan Shabira masuk ke dalam ingatannya secara bersamaan. Seperti ada benda berat yang tiba-tiba menghimpit dadanya, Livia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Shabira selama ini.

Benarkah sekarang aku berada dalam tubuh Shabira?

Air mata kesedihan tiba-tiba menggenang, rasanya begitu sesak. Livia memukul beberapa kali dadanya, namun hal itu justru malah membuatnya terhuyung ke belakang. Livia lupa bahwa satu langkah di belakangnya sudah tidak ada lagi pijakan. Gadis itu kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh.

“AAAAAAA.....” Gadis itu berteriak kencang.

“SHABIRA!” teriak Dion langsung berlari mendekat.

Terlihat gadis itu masih berpegangan pada tembok, tubuhnya masih bergelantungan di atas gedung. Dion dengan segera meraih tangannya, mencoba menolong gadis yang kini tengah berteriak ketakutan itu.

“Tolongin gue please!” Livia menitikkan air mata, tentu saja ia sangat takut karena lagi dan lagi dirinya kembali dihadapkan oleh kematian di depan mata.

“Tenang Ra, pegang tangan gue!”

Dion memegang tangan gadis itu dengan erat, kemudian menariknya perlahan. Begitu juga dengan Livia, gadis itu tidak melepaskan sama sekali tangan Dion bahkan sampai dirinya sudah berhasil naik lagi ke atas gedung. Karena kakinya masih terasa lemas, Livia yang tidak sanggup berdiri malah terhuyung ke arah Dion, hingga membuat keduanya terjatuh bersamaan.

Livia memejamkan matanya, namun tidak kunjung merasakan sakit sedikitpun. Karena penasaran, Livia membuka salah satu matanya. Terlihat Dion tengah terpaku menatap wajahnya dari dekat. Posisi Dion yang berada di bawah Livia, membuatnya bisa dengan bebas menatap wajah cantik alami itu.

“Maaf, maaf. Gue nggak sengaja!” Menyadari posisinya terlalu menempel, Livia segera beranjak berdiri.

Dion beranjak berdiri sambil membersihkan bajunya yang kotor. “Lo ngapain berdiri di situ hah, mau bunuh diri?” bentak Dion.

Livia terdiam, menatap bingung cowok yang kini dirinya ketahui bernama Dion itu. Meskipun masih tidak bisa dimengerti oleh akal manusia, namun gadis itu cukup sadar bahwa saat ini dirinya sudah berada dalam tubuh Shabira. Ia sudah masuk ke dalam cerita novelnya sendiri.

“Siapa juga yang mau bunuh diri?” elak Livia.

“TERUS NGAPAIN LO DI SITU HAH?”

Livia hanya menunduk, masih sangat jelas di ingatannya tentang apa yang membuat dirinya memutuskan datang ke gedung ini. Masih sangat jelas bagaimana sesaknya rongga dadanya saat ini. Saat di sekolah tadi siang, seperti biasa Shabira kembali mendapat bullyan dari teman-temannya. Bukan hanya itu, Ayah dan keluarganya pun masih sangat marah pada dirinya. Semua itulah yang mendorong Shabira untuk melakukan percobaan bunuh diri hari ini.

“Gue cuma cari angin,” jawab Livia beralasan.

“Cari angin lo bilang? Mana ada cari angin di atas gedung setinggi ini?”

Dion mengepalkan tangannya, dalam kondisi seperti ini bisa-bisanya Shabira masih mampu berbohong tentang perasaannya yang sesungguhnya. Dion tahu selama ini hidup Shabira begitu menderita, namun gadis itu selalu menyembunyikan penderitaan itu seorang diri.

“Gue cuma ....” Livia menggantungkan ucapannya, ia tidak tahu harus beralasan apa sekarang.

“Shabira, sadar! Yang lo lakuin tadi itu bahaya, jadi jangan bodoh dengan melakukan hal itu lagi!” ucap Dion memperingatkan

Livia terdiam menatap Dion, tidak disangka ternyata masih ada yang peduli dengan Shabira. Namun, haruskah ia melanjutkan hidup sebagai Shabira sekarang? Tapi jika tidak, itu tandanya ia akan mati untuk yang kedua kalinya. Livia sendiri masih tidak mengerti, mengapa ia bisa berada dalam tubuh Shabira, tokoh utama yang telah ia buat sendiri. Sangat tidak masuk akal.

Gadis itu kembali teringat dengan sumpah serapah yang diberikan para pembaca novelnya, sumpah dari mereka benar-benar terjadi padanya kini. Livia tidak menyangka, bahwa dirinya akan benar-benar merasakan bagaimana berada dalam posisi Shabira seperti sekarang ini.

Ternyata rasanya begitu menyakitkan, aku bahkan tidak menduga kalau ternyata sesakit ini menjadi seorang Shabira.

Livia memegang dadanya, hatinya dapat merasakan bagaimana sakit dan rapuhnya hati Shabira saat ini. Betapa menderitanya kehidupan Shabira selama ini, semua itu terus berputar dalam ingatannya. Itulah mengapa Shabira mengalami depresi berkepanjangan, namun semua itu hanya Shabira lah yang tahu. Hanya Shabira lah yang dapat merasakannya, karena mereka semua hanya mementingkan diri mereka sendiri.

Baiklah Livia, mulai sekarang kamu adalah Shabira. Jika kamu tidak ingin mati konyol seperti sebelumnya, maka lanjutkan saja hidupmu dan perbaiki semuanya. Shabira layak mendapatkan kebahagiaan.

Jika tempat ini adalah halaman terakhir dalam kisah hidup Shabira, maka aku akan membuka halaman baru untuk melanjutkan kehidupan Shabira yang penuh dengan kebahagiaan!

🎀🎀🎀

...Sampai bertemu di cerita HTKS selanjutnya 👋🏻

...

03. Pulang Ke Rumah

Di dalam mobil, Dion yang sudah puas memarahi Shabira tadi kini hanya diam dan fokus dengan setirnya. Saat ini ia sedang dalam perjalanan menuju rumah Shabira. Bagaimanapun juga ia harus mengantarkan gadis itu sampai di rumahnya karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

“Lo nggak papa kan?” Dion menoleh ke arah Shabira yang masih terdiam.

“Nggak papa, makasih ya lo udah nolongin gue tadi!” jawab Shabira.

Dion tidak menjawab dan kembali fokus pada setirnya. Sebenarnya ia merasa aneh dengan perubahan Shabira, gadis itu tampak berbeda dari biasanya. Biasanya gadis itu selalu menggunakan bahasa aku dan kamu, bukan lo ataupun gue. Tapi Dion tidak ingin terlalu memusingkannya. Setelah sepuluh menit berlalu, ia menghentikan mobilnya di depan rumah Shabira. Ini adalah kali pertama bagi Dion melihat rumah itu, meski dirinya adalah teman sekolah Shabira.

“Udah sampe, buruan sana masuk. Udah malem!” ucap Dion.

“Sekali lagi makasih ya lo udah mau nganterin gue!” ucap Shabira kemudian keluar dari mobil.

Gadis itu masih berdiri di tempatnya, memandang kepergian mobil Dion yang perlahan menghilang dari pandangan. Setelah puas, ia membalikkan badannya sambil menghela nafas. Sejenak Shabira terdiam menatap rumah besar itu, mencoba meyakinkan diri untuk menjalani hidup sebagai Shabira kedepannya. Setelah mantap, ia mulai melangkahkan kaki memasuki rumah itu.

“Bagus! Habis dari mana saja kamu, Shabira?”

Suara bariton seorang laki-laki menghentikan pergerakan Shabira yang baru saja menutup pintu. Perlahan gadis itu membalikkan badannya, mencari ke sumber suara. Terlihat Papa Antonio Lawrence tengah melipat kedua tangannya, dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Di belakangnya ada Mama Shinta, Kak Justin dan Renita. Mereka adalah Mama tiri serta saudara tiri Shabira.

“Pa-Papa ....” Shabira mencoba untuk tetap tenang, meski sebenarnya merasa takut dengan tatapan tajam itu.

“DARI MANA SAJA KAMU HAH? SUDAH JAM BERAPA INI, KENAPA KAMU BARU PULANG?” bentak Antonio masih menatap tajam putrinya.

“BUKANNYA PAPA SUDAH BILANG, JANGAN KELUYURAN KALO HABIS PULANG SEKOLAH?!” tegas Papa mengingatkan.

“Pah, aku ....” Ucapan Shabira menggantung, ia tidak tahu harus memberikan alasan apa. Ia tidak bisa membela diri, karena memang itu adalah kesalahannya. Mana mungkin juga ia harus mengatakan kalau dirinya hampir bunuh diri tadi. Ah tidak, itu akan terasa sangat aneh.

“Aku apa? Dasar anak bandel kamu ya, mau sampai kapan kamu seperti ini hah?” Merasa geram dengan putranya, Antonio tidak segan menjewer telinganya dengan keras.

“Awh Pah, sakit Pah!”

Shabira meringis sambil memegangi telinganya yang masih ditarik oleh Papa-nya, sambil mengikuti langkah pria itu. Bukannya membantu, Mama Shina, Justin dan Renita justru hanya diam saja. Seperti biasa, Shabira tidak akan mendapatkan pembelaan dari siapapun jika sedang mendapat amukan dari Papa Antonio.

“Biar, biar kamu tahu rasa. Papa sudah bilang sama kamu, jangan pernah keluyuran malam-malam, tapi kenapa kamu tidak mendengarkan Papa!” bentak Antonio tanpa ampun. Pria itu bahkan tidak segan mendorong Shabira hingga tersungkur ke lantai, karena saking geramnya.

“Aw ssshhh ....” Shabira meringis sambil memegangi lututnya yang terasa nyeri, setelah mencium kerasnya lantai.

“Pah, berhenti Pah. Kamu sudah sangat keterlaluan!” Melihat putrinya masih terduduk di lantai, Shinta segera mendekat dan membantunya untuk berdiri. “Kamu nggak papa sayang?”

“Untuk apa kamu bela anak nakal ini, biar dia kapok. Papa sudah cukup lelah menghadapinya. Bukannya belajar, dia malah keluyuran tanpa tau waktu. Nilai sekolahnya selalu rendah, tidak seperti Renita!” ucap Antonio dengan geramnya.

Shinta hanya menatap suaminya dengan tidak percaya. Selalu saja Antonio itu membahas tentang nilai sekolah Shabira. Bukan karena Shabira selalu mendapatkan nilai rendah. Tidak, nilai sekolah Shabira bahkan selalu di atas delapan puluh. Hanya saja Antonio tidak pernah merasa puas dan selalu ingin melihat Shabira mendapatkan nilai sempurna, seperti Renita.

Shabira beranjak berdiri tanpa menerima bantuan dari Mama Shinta. Mendengar kalimat yang diucapkan Papa Antonio, berhasil membuat dirinya kesal. Gadis itu hendak membela diri, namun tiba-tiba ucapan Mama Shinta menghentikan dirinya.

“Sudahlah Pah, ini sudah malam. Tidak perlu marah-marah seperti ini, Shabira baru pulang. Papa nggak lihat bagaimana penampilannya?” Shinta menunjuk Shabira yang penampilannya begitu lusuh, ada beberapa noda darah di baju Shabira yang membuat dirinya bertanya-tanya.

“Habis ngapain kamu sampai kotor seperti ini hah?” tanya Antonio yang masih kesal.

“Papa baru tanya setelah melakukan semua ini?” Mata Shabira berkaca-kaca, akan tetapi ia masih bisa menahannya.

“Apa maksudmu?”

“Papa selalu saja seperti ini, menghukum ku tanpa bertanya apa saja yang udah aku alami seharian ini!” ucap Shabira dengan nada setengah meninggi.

“Berani sekali kamu meninggikan suaramu pada Papamu, dasar anak nakal!” bentak Antonio.

Pria itu hendak kembali menghukum Shabira, tapi terurung ketika melihat tatapan mata yang berhasil mengingatkannya pada cinta pertamanya. Shabira begitu mirip dengan Ibu kandungnya, istri pertama yang telah ia sia-siakan dulu. Bisa dikatakan itu adalah satu penyesalan paling besar dalam hidup Antonio. Ia sudah menyia-nyiakan Ibu kandung Shabira yang sudah lama meninggal, bahkan ia baru menemukan Shabira ketika usianya sudah menginjak tujuh tahun.

“Masuk kamu ke kamar!” titah Antonio sambil menunjuk ke kamar Shabira.

Shabira masih menatap Papanya dengan tatapan tidak biasa, ia kesal dengan perbuatannya yang selalu seenaknya sendiri. Tidak ingin berlama-lama di pandang oleh semua anggota keluarganya, Shabira langsung berlari meninggalkan keempat orang yang masih berdiri di tempatnya itu.

Sampai di dalam kamar, Shabira terdiam sejenak. Mengedarkan pandangannya menatap kamar bernuansa pink putih yang tampak begitu rapi. Perlahan Shabira berjalan menuju meja rias. Terdapat berbagai merek makeup dan skincare di sana, tapi sejak dulu Shabira tidak pernah memakainya. Bukan karena tidak mau, hanya saja ia tidak pernah sempat memakai itu semua.

Sejak dulu kegiatan Shabira hanya disibukkan dengan belajar, semua itu demi menuruti perintah Papanya yang selalu menuntut dirinya agar mendapatkan nilai sempurna seperti Renita. Kedua gadis itu memang lahir di tahun yang sama, hanya saja Renita lebih tua dua bulan dari Shabira. Shabira memang tidak terlalu pandai, karena itu ia harus berusaha semaksimal mungkin agar bisa mendapatkan nilai sempurna seperti yang diinginkan Papa Antonio.

“Oh ya ampun wajahku!” Sambil menatap pantulan dirinya dalam kaca, Shabira memegangi pipinya yang terlihat mengembang seperti bakpao. Wajah dan ukuran tubuhnya sangat berbeda dengan Livia saat di dunia. “Pantes aja Shabira gampang ditindas, dari wajahnya aja udah keliatan banget!”

“Argh kenapa juga aku harus bikin tokoh Shabira selembut ini, wajahnya bukan tipeku banget!” Shabira menarik rambut kusamnya, semua yang ada di tubuhnya sangat tidak terurus. Mungkin karena itu banyak orang yang bisa dengan mudah dan tega membully gadis ini.

“Tidak bisa dibiarkan! Sebagai langkah pertama, aku harus sedikit merubah penampilan ku. Setidaknya dengan itu mereka semua akan bisa sedikit menghargai ku kedepannya!” monolog Shabira sambil menjewer kedua pipinya.

Sayup-sayup terdengar suara ketukan pintu dari luar, Shabira sudah tahu siapa orangnya. Tanpa menunggu izin dari sang pemilik kamar, pintu kamar perlahan terbuka menampilkan seorang wanita yang masih terlihat muda di usianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun.

Seperti biasa, Mama Shinta pasti akan datang menghampiri jika salah satu anaknya baru saja mendapatkan amukan dari suaminya. Dan yang paling sering adalah Shabira, karena sejak dulu Papa sangat jarang memarahi kedua anaknya yang lain. Shabira juga tidak mengerti kenapa, Papa selalu menuntutnya untuk sempurna, sementara Justin dan Renita justru diabaikan saja.

“Sayang, kamu belum tidur?” Shinta berjalan menghampiri Shabira dengan senyum lembut di bibirnya, kemudian mendudukkan diri di dekat gadis itu. “Maafin sikap Papa kamu tadi ya sayang, Papa tadi cuma khawatir sama kamu.”

“Kamu nggak papa kan?” tanya Mama Shinta sambil memeriksa keadaan putrinya.

“Rara nggak papa kok Ma,” jawab Shabira.

“Bukannya Papa jahat sama kamu, sebenarnya dia itu terlalu sayang sama kamu. Kamu tahu? Dari sore Papa nyariin kamu ke mana-mana, tapi nggak ketemu. Dia khawatir banget sama kamu, sampai tanyain ke semua temen-temen kamu. Makanya Papa marah banget waktu lihat kamu pulang malem tadi!” ucap Mama menjelaskan. Mencoba memberi pengertian pada Shabira agar tidak salah paham dengan sikap Papanya.

“Kamu jangan marah ya sama Papa, Mama tahu apa yang Papa lakuin tadi keterlaluan. Tapi Papa begitu karena kamu juga salah sayang, seharusnya kalo kamu mau pergi atau mau ke mana bilang dulu ke Papa. Minta izin dulu biar kita nggak khawatir nantinya!” lanjutnya.

“Iya Ma, maafin Shabira ya. Lain kali Shabira nggak akan kayak gitu lagi!” ucap Shabira membuang rasa kesal dihatinya.

“Mama percaya kok, kamu anak yang baik seperti Bunda mu!” ucap Shinta sambil mengelus puncak kepala Shabira. Meskipun status Shabira hanyalah anak tiri, tapi Shinta sudah sangat menyayanginya dan menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Tapi tetap saja ia tidak bisa banyak membela jika suaminya sedang sangat marah, karena itu semua akan percuma.

“Ya udah, kamu mandi dulu sana. Udah malem, abis itu langsung tidur aja ya!” titah Mama Shinta. "Oh iya, besok setelah pulang sekolah jangan ke mana-mana ya. Langsung pulang aja, Papa sama Mama mau ajak kamu ketemu seseorang," lanjutnya.

"Seseorang? Siapa Ma?"

"Besok kamu bakal tau siapa, Mama hanya berharap kamu setuju dengan keputusan Papa nanti!" ucap Mama Shinta.

"Keputusan apa maksud Mama?" Shabira mengerutkan keningnya, akan ada masalah apa lagi ini. Shabira hanya mampu berharap tidak akan ada masalah yang begitu berat menimpanya kali ini.

"Besok kamu bakal tau sayang, sekarang mandi dulu gih. Habis itu langsung tidur, ok?"

Mau tidak mau, Shabira menganggukkan kepalanya. Mencoba untuk tidak terlalu memikirkan ucapan Mama Shinta, untuk sesaat ia ingin beristirahat sejenak dari kerasnya kehidupan yang Shabira jalani selama ini. Dan untuk masalah berikutnya, akan Shabira pikirkan selanjutnya.

🎀🎀🎀

...Sampai bertemu di cerita HTKS selanjutnya 👋🏻...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!