Plakkk ....
Sebuah tamparan mendarat di pipi Merlin. Pipi putih itu mendadak merah akibat tamparan keras dari tangan laki-laki paruh baya yang tidak lain adalah papanya.
"Anak tidak tahu malu! Membawa aib kedalam keluarga! Mau di taruh mana muka aku sebagai papamu, hah!"
"Ya Tuhan, ya Tuhan. Anakmu mas, bikin malu keluarga saja," ucap Mita menambah keruh suasana.
"Aduh, kalo anak aku yang bikin malu kayak gini, sudah aku usir dia dari rumah. Mana mau aku terima anak yang udah bawa aib ke dalam keluarga. Apa kata orang-orang nantinya," kata Mita lagi.
Merlin hanya bisa diam, menahan rasa sakit dalam hati. Percuma ia jelaskan apa yang terjadi, papanya tidak akan mau mendengarkan apa yang dia katakan.
"Kau! Jangan pernah kembali ke rumah!" kata papanya sambil mengangkat telunjuk menuding Merlin.
Sudah ia tebak. Papanya pasti akan mendengarkan apa yang Mita katakan. Setelah mamanya meninggal, papa Merlin menikah dengan janda beranak satu yang bernama Mita ini. Sejak itulah papa Merlin berubah. Merlin yang anak kandung menjadi anak tiri dalam keluarga. Sedangkan anak Mita, yang jelas-jelas anak tiri papanya, di sayang layaknya anak kandung.
Tiba-tiba, Jenni datang. Jenni adalah anak kandung Mita. Ia datang dengan wajah polos seakan tidak tahu apa yang terjadi di kamar hotel ini. Padahal, semua yang terjadi adalah ulahnya. Ia yang menjebak Merlin datang ke kamar hotel ini.
Tadi malam adalah pesta ulang tahun Tio. Tio itu teman Dicky, pangeran di SMA Anak Bangsa. Acara ulang tahun Tio diadakan di hotel dengan tema pangeran dan putri. Semua teman di sekolah diundang tanpa terkecuali.
Di sinilah Jenni mempunyai kesempatan untuk menjebak Merlin agar Merlin diusir dari rumah papanya. Dengan begitu, ia dan mamanya akan leluasa tinggal dan menguasai harta papa Merlin. Rencana licik yang sangat luar biasa.
"Ada apa ini, Ma, Pa?" tanya Jenni sambil memasang wajah polos tanpa dosa.
"Ini lho sayang, adik tiri kamu, si Merlin tidur di kamar hotel bareng dengan laki-laki. Pantesan gak pulang ke rumah setelah pesta tadi malam. Tau-taunya, eh nginap di sini," kata Mita dengan nada khas penuh penekanan.
"Apa! Gak mungkin, Ma. Aku tahu siapa Merlin. Dia gak mungkin tidur di kamar hotel ini dengan laki-laki. Diakan gadis baik-baik," ucap Jenni pura-pura membela, padahal di hatinya sedang bersorak-sorai.
"Aduh, kamu itu ya, Jenn. Udah ketangkap basah itu si Merlin. Masih aja kamu bela, nak-nak."
"Pa, aku tahu siapa Merlin. Dia gak mungkin tidur dengan laki-laki di sini," kata Jenni memasang wajah sedih sambil memegang tangan papa.
"Jenn, kamu tidak perlu membela adikmu lagi. Papa sudah melihat sendiri kalau dia di kamar ini bersama laki-laki. Laki-laki itu masih ada di dalam," kata papa sambil menyentuh tangan Jenni dengan lembut.
Jenni pun berjalan mendekati Merlin yang sedari tadi hanya diam tanpa kata. Ia menyentuh pundak Merlin untuk memperlihatkan kalau dirinya begitu lembut juga baik pada papa Merlin.
"Merlin, apakah benar apa yang aku dengar? Apakah itu alasan kamu bilang padaku, kalo kamu mau pulang duluan tadi malam?" tanya Jenni dengan nada lemah lembut.
"Jangan sentuh aku!" Merlin bicara sambil melepaskan tangan Jenni dari bahunya.
Jenni yang melihat ada kesempatan, langsung menjatuhkan dirinya dengan keras. Ia membuat seolah-olah, Merlin lah yang telah mendorongnya, sehingga ia terjatuh.
"Auh." Jenni terduduk.
"Jenni." Papa dan Mita bergerak secara bersamaan untuk membantu Jenni.
"Jenni, apa kamu baik-baik aja, nak?" tanya Mita memasang wajah cemas.
"Aku gak papa kok, Ma. Hanya sedikit sakit di pinggangku. Tapi gak papa kok."
Papa melihat Merlin dengan tatapan marah. Ia bangun dari jongkoknya.
"Dasar anak tidak tahu dikasihani. Mau baik apa lagi Jenni padamu, hah!" Papa membentak Merlin dengan keras.
"Pa, udah. Aku yakin kok, Merlin tidak sengaja melakukannya. Aku aja yang tidak hati-hati, makanya jatoh."
"Nak, kita lihat sendiri kalau Merlin sudah buat jahat sama kamu. Kamu kok terus saja membela dia? Mama heran deh sama kamu. Terbuat dari apa sih hati anak mama ini?" tanya Mita dengan sangat bangga.
"Kamu sudah sangat keterlaluan Merlin. Aku sebagai papamu malu punya anak seperti kamu. Mulai saat ini, kamu jangan pulang ke rumah lagi."
"Pa, jangan seperti itu dengan Merlin. Merlin itu anak kandung papa. Papa tidak boleh mengusirnya," kata Jenni memohon.
"Jenni, dia sudah membawa aib dalam keluarga, dengan tidur di hotel dengan anak laki-laki. Gimana bisa papamu membiarkan dia tinggal di rumah. Apa kata tetangga nantinya. Mereka pasti akan ngomongin papamu tidak becus jaga anak."
"Tapi, Ma. Tidak sewajarnya papa mengusir Merlin. Jika benar Merlin sudah tidur dengan anak laki-laki, maka nikahkan saja dia dengan laki-laki itu," kata Jenni memberi saran. Sebenarnya, itulah tujuan Jenni menjebak Merlin. Ia ingin melihat Merlin menikah muda. Dengan begitu, Merlin pasti akan berhenti sekolah.
"Tidak! Aku tidak ingin menikah muda!" kata Merlin menolak.
"Aku akan menikahkan kamu dengan anak laki-laki itu. Kau sudah mencoreng nama baikku, maka aku tidak akan membiarkan anak laki-laki itu lolos," kata papa setuju dengan usulan dari Jenni.
"Tidak!" Merlin menolak keras.
"Aku setuju menikahi dia," kata anak laki-laki yang ada di kamar itu sambil membuka pintu kamar hotel tersebut.
Kini, semua perhatian tertuju pada laki-laki yang ada di depan pintu kamar. Jenni membelalakkan matanya ketika melihat siapa anak laki-laki tersebut. Bagaikan petir di siang hari, ia kaget bukan kepalang. Sampai-sampai, ia tidak bisa bernapas dengan benar.
"Aku akan menikahi dia," ucap laki-laki itu lagi.
"Dicky!" Jenni berteriak kaget.
"Kamu ... kamu bukannya tuan muda keluarga Prasetya?" Papa terlihat kaget.
"Ya, aku tuan muda keluarga Prasetya."
"Jadi ... jadi, kamu tidur dengan tuan muda Prasetya?" tanya Mita tak kalah kagetnya.
"Aku akan menikahi anak kalian. Kalian tenang saja. Aku akan mempertanggung jawabkan semuanya."
"Dicky .... " Jenni tidak bisa melanjutkan kata-katanya sangking kaget sekaligus tak percaya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi. Jenni tak habis pikir dengan semua ini. Mengapa rencananya jadi kacau begini ini.
Sebenarnya, ia menjebak Merlin dengan laki-laki lain. Teman sekelas mereka juga. Tapi, yang jelas bukan Dicky.
Jenni menjebak Merlin tidur satu kamar dengan Yoga. Anak miskin yang mengejar-ngejar dirinya. Karena merasa risih dengan Yoga yang bertampang pas-pasan lebih ke kurang tampan, Jenni berniat menjebak Merlin untuk menikah dengan Yoga. Dengan begitu, ia akan lepas dari dua orang yang tidak ia sukai. Bukan dengan Dicky, pangeran sekolah yang menjadi idola semua siswi. Termasuk dirinya.
"Be--benarkah tuan muda Prasetya akan menikahi anak saya?" tanya papa memastikan.
"Iya. Aku akan menikahinya sebagai bentuk tangung jawabku padanya. Kalian tenang saja."
"Kalau begitu ... kapan tuan muda akan datang melamar?"
"Aku tidak akan datang melamar lagi. Aku akan menikahinya langsung tanpa ada proses lamaran. Dan, aku akan datang secepatnya." "Sekarang, bisakah kalian pulang dan biarkan aku beristirahat?" tanya Dicky dengan nada kesal.
"Baiklah. Ayo Ma, kita pulang."
Mita mengikuti Bondan meninggalkan kamar hotel tersebut. Sedangkan Jenni, ia masih diam mematung sambil terus menatap wajah Dicky yang selalu jadi idaman hatinya.
Melihat Jenni terdiam mematung, Mita segera menyadarkan anaknya. Ia menyentuh bahu Jenni dengan lembut.
"Jenn, ayo pulang."
"Tapi, Ma .... "
"Jenni."
"Ma."
"Ayo pulang," kata Mita sambil menarik tangan Jenni. Mau tidak mau, Jenni harus mengikuti langkah mamanya.
Setelah semua keluarganya pergi, kini giliran Merlin yang ingin beranjak dari tempatnya. Ia juga ingin pergi dari depan kamar hotel tersebut. Namun, Dicky dengan cepat memegang tangan Merlin untuk menahan langkah gadis itu supaya tidak meninggalkannya.
"Eitc, kamu mau ke mana?" tanya Dicky sambil memegang tangan Merlin.
"Lepas! Aku juga mau pergi!" kata Merlin sambil berusaha melepaskan tangannya.
"Siapa yang mengizinkan kamu pergi?"
"Aku tidak butuh izin untuk pergi. Memangnya aku menggunakan kaki orang lain yang harus mendapatkan izin baru bisa pergi?"
"Kamu tidak bisa pergi. Urusan kita belum selesai," kata Dicky sambil menarik Merlin masuk kembali ke kamar.
"Eh eh eh, kamu mau ngapain bawa aku masuk ke kamar?" tanya Merlin sambil meronta.
"Sudah aku katakan, urusan kita belum selesai. Enak aja kamu mau pergi."
"Urusan kita pasti sudah selesai jika kamu tidak keras kepala. Sudah aku katakan sebelumnya, jangan keluar! Kamu aja yang bandel. Malah keluar nunjukin muka mu yang pas-pasan itu."
"Apa! Kamu bilang wajahku ini pas-pasan? Hello ... kamu itu rabun ya? Aku ganteng-ganteng gini di bilang pas-pasan."
"Ganteng? Ha ha ha. Jadi orang jangan terlalu percaya diri Mas, sulit buat terima kenyataan nantinya," kata Merlin sambil tertawa meledek.
"Kamu ... dasar aneh. Ternyata, kamu bisa berdebat juga ya? Aku pikir kamu bisu tadi. Diam aja saat mereka menindas mu," kata Dicky baru ingat alasan yang membuat ia tidak bisa menahan diri untuk keluar dari kamar ini.
"Itu bukan urusan kamu."
"Hei, kamu bilang bukan urusan aku? Kalo kamu gak diam saja saat mereka menindas mu, aku gak akan keluar kamar, tahu gak?"
"Percuma aku bicara, papa juga gak akan mendengarkan apa yang aku katakan. Jadi, dari pada aku buang-buang energi menjelaskan semuanya pada papa, lebih baik aku diam saja. Mendengarkan apa yang ingin dia katakan, itu lebih baik dari pada bicara dan menjelaskan dengan susah payah, tapi tidak di percaya."
"Aku heran dengan kamu, sebenarnya, kamu ini anak kandung dia atau jangan-jangan, kamu anak angkat papamu barang kali," kata Dicky sambil berpikir.
"Iya mungkin. Sebenarnya, lebih baik jika aku adalah anak angkat papaku, karena dengan begitu, aku bisa sadar diri siapa aku. Tapi kenyataannya, nggak begitu," kata Merlin memasang wajah sedih.
Sebenarnya, dia sangat rapuh. Tapi, ia berusaha menjadi gadis yang kuat. Ia sadar, tangisan tidak akan merubah segalanya. Malahan, semakin membuat dirinya berada dalam keterpurukan.
Seolah mengerti dengan apa yang Merlin rasakan, Dicky mencoba memikirkan sesuatu untuk mengubah topik pembicaraan mereka. Ia tidak ingin melihat Merlin menangis. Entah mengapa, hatinya paling tidak bisa melihat perempuan bersedih.
"Hei! Bagaimana jika kita melakukan perjanjian?"
"Maksud kamu?" tanya Merlin sambil mengalihkan pandangan.
"Bukankah aku sudah berjanji untuk menikahi kamu? Bagaimana jika kita buat perjanjian sebelum menikah?"
"Bodoh! Sudah aku katakan, aku tidak ingin menikah. Apa kamu lupa, aku masih bersekolah? Aku belum mau menikah. Aku punya cita-cita yang harus aku kejar. Aku sudah janji pada almarhumah mama, aku akan buat dia bahagia di sana dengan kesuksesan yang aku capai," ucap Merlin bicara panjang lebar.
"Udah ngomongnya?" tanya Dicky sambil melipat tangan.
"Aneh!" Merlin ingin meninggalkan kamar itu.
Sekali lagi, Dicky bergerak cepat dengan menarik tangan Merlin lalu membawa tubuh mungil itu ke tembok kamar. Merlin yang tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu, kaget bukan kepalang. Jantungnya tiba-tiba berdetak dua kali dari detak jantung normal.
"Ka--kamu nga--ngapain sih?" tanya Merlin gelagapan.
"Kenapa kamu tidak mau terima tawaran aku? Setidaknya, kamu dengar dulu apa yang ingin aku tawarkan padamu," kata Dicky sambil menatap wajah Merlin dengan jarak cukup dekat.
Merlin semakin merasa deg-degan. Apalagi ketika wajah tampan Dicky hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Tatapan mata Dicky yang mampu membuat hati kaum hawa melayang, begitu tajam menembus jantung Merlin.
Merlin berusaha tetap sadar ketika aroma khas tubuh Dicky menyentuh hidungnya. Bau harum khas parfum yang entah apa mereknya, begitu sejuk menyentuh hidung.
Sekuat tenaga, Merlin melawan pesona Dicky yang sedang meracuni hati dan jiwanya. Ia dorong tubuh Dicky sedikit menjauh dari wajahnya. Dengan cepat, ia paling kan pandangannya ke sisi lain.
"Ngapain sih kamu! Gak ada sopan santunnya jadi cowok!" Merlin membentak Dicky setelah ia mampu mengumpulkan kembali kesadarannya yang terpecah.
"Hei! Kamu aja yang gak mau aku ajak diskusi. Kamu pikir, kamu bisa mengejar cita-citamu, jika kamu masih tinggal di rumah papamu itu?"
Merlin terdiam. Perlahan, rekaman masalah demi masalah muncul di ingatannya. Sejak papa menikah, ia tidak pernah diperhatikan lagi. Papa tidak mau tahu tentang hidupnya.
Semua kebutuhannya, papa juga tidak ambil tahu. Semua peranan dalam rumah tangga, Mita yang pegang sekarang.
Bukan hanya itu, Mita dan Jenni yang selalu mencari masalah, juga tergambar jelas di benak Merlin. Kedua ibu dan anak itu selalu saja ingin membuat ia dibuang dan tidak sedikitpun merasakan kasih sayang lagi di rumah itu.
"Hei! Aku ajak kamu ngomong, kamu malah bengong. Melamun apa sih?" tanya Dicky sambil menepuk pundak Merlin pelan.
"Apa perjanjian yang akan kamu tawarkan padaku? Apakah menguntungkan, atau tidak?"
"Kamu tenang saja. Pasti menguntungkan kita berdua."
"Apa? Katakan sekarang! Mana tahu aku berminat."
"Cih, kamu terlalu banyak omong. Seharusnya kamu bangga, aku bersedia menikahi kamu."
"Aku tidak minta kamu menikahi aku! Kamu .... "
"Oke-oke, kita lupakan saja. Sekarang, mari kita bicarakan apa perjanjiannya."
Dicky mengajak Merlin duduk untuk membicarakan perjanjian sebelum mereka menikah. Perjanjian yang akan menguntungkan kedua belah pihak, bagi Dicky tentunya. Tapi, bagi Merlin, belum tentu. Karena, yang akan ia hadapi, adalah masalah besar.
"Bagaimana?" tanya Dicky sambil tersenyum.
"Baik. Aku setuju. Tapi kamu yakin kalau aku tidak akan tinggal di rumahmu?"
"Tenang saja. Kamu tidak perlu tinggal di mansion keluarga Prasetya. Karena aku punya apartemen milikku sendiri."
"Baiklah."
Mereka sama-sama berjabat tangan, tanda sepakat dengan isi perjanjian yang Dicky buat. Isi dari perjanjian itu adalah, yang pertama, tidak boleh saling jatuh cinta. Karena Dicky sudah punya tambatan hati, seorang gadis desa yang saat ini masih berada di desa. Yang kedua, tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing. Yang ketiga, tidak saling mengatakan kalau sebenarnya mereka sudah menikah pada teman, atau orang lain selain keluarga yang tahu saat mereka menikah.
Terlepas dari tiga perjanjian itu, Dicky berjanji akan memenuhi semua kebutuhan Merlin, hingga biaya untuk Merlin melanjutkan sekolahnya, mengejar cita-cita yang ia impikan selama ini. Merlin menyetujuinya. Ia berpikir, dengan begitu, ia bisa hidup tenang tanpa harus satu atap dengan Jenni, manusia bermuka dua.
Sementara Dicky, ia melakukan hal itu agar ia bisa lepas dari perjodohan yang mamanya buat. Ia tidak ingin menikah dengan anak teman masa kecil mamanya. Ia tidak suka dengan gadis manja yang sangat narsis ketika bersamanya.
_____
Di kamar, Jenni membanting semua barang yang ada di atas meja riasnya. Ia benar-benar kesal dengan apa yang baru saja terjadi. Rencana yang ia buat, bukannya berhasil, tapi malah merenggut apa yang ia impikan selama ini.
"Dasar sialan!" Jenni berteriak kesal hingga sampai terdengar ke kamar Mita yang berada di lantai dasar.
Mendengar teriakan dari anak kesayangannya, Mita tidak menunggu waktu lama lagi untuk melihat apa yang telah terjadi pada Jenni. Ia setengah berlari menaiki anak tangga agar bisa cepat sampai ke lantai dua.
Saat ia berada di depan pintu kamar, terdengar bunyi sesuatu pecah. Dengan tangan gemetaran, Mita membuka pintu kamar anaknya dengan cepat. Ketika pintu terbuka, Mita kaget dengan isi kamar Jenni yang begitu berantakan, mirip kapal pecah. Seprei yang tercabik dari kasur. Vas bunga pecah berantakan. Bedak dan alat kosmetik lainnya juga berserakan di lantai. Sementara Jenni, ia sedang menatap dirinya di depan kaca.
"Ada apa ini, Jenni? Mengapa semuanya jadi berserakan seperti ini? Kenapa kamu teriak-teriak? Untung aja papamu gak ada di rumah. Kalo ada, kan bisa bahaya. Bisa rusak semua rencana mama," kata Mita sambil berjalan masuk.
"Aku kesal, Ma. Kesal ... banget!" Jenni bicara sambil mengacak-acak rambut hitam sebahunya.
"Kesal kenapa sih? Coba katakan pada mama. Kali aja, mama bisa bantu."
"Ini semua gara-gara si Merlin sialan itu."
"Ada apa lagi sih, sayang? Bukankah kamu sudah menjalankan rencana mu dengan sangat baik?"
"Apanya yang baik, Mama! Semua rencana yang aku buat jadi berantakan. Kacau! Semuanya kacau!" Jenni kembali mengacak-acak rambutnya karena terlalu kesal dengan apa yang baru saja terjadi.
"Ya Tuhan! Kamu bikin mama semakin bingung deh, Jen. Mama gak ngerti deh apa yang kamu katakan ini. Kacaunya di mana sih?"
"Kacaunya di mana mama tanya? Ya jelas di laki-laki yang akan menikahi Merlin itu, Ma. Mama tahu gak, cowok yang akan menikahi Merlin itu adalah tuan muda keluarga Prasetya, Ma?"
"Iya mama tahu." Mita menjawab pertanyaan anaknya dengan wajah tenang.
"Lalu, kenapa mama terlihat begitu tenang saat tahu kalau cowok yang akan menikah dengan Merlin itu adalah anak keluarga terkaya di kota ini, Ma? Apa mama rela membiarkan Merlin menikah dengan pewaris tunggal dari keluarga yang paling berpengaruh di kota ini, hah?"
"Jenni sayang, dengarkan mama ya," ucap Mita sambil merangkul pundak anaknya dengan lembut.
"Kamu tidak pernah dengar kabar ya, sebelumnya?"
"Kabar apa?" tanya Jenny masih dengan wajah kesalnya.
"Pewaris tunggal keluarga Prasetya itu sudah di jodohkan sejak kecil, tahu gak?"
"Apa maksud mama?"
"Maksud mama adalah ... cowok yang bernama Dicky yang akan menikah dengan Merlin itu sebenarnya sudah ada calon istri. Mereka sudah di jodohkan sejak masih kecil oleh kedua belah pihak keluarga mereka. Jadi ... kamu tidak perlu merasa sedih atau kesal dengan apa yang baru saja terjadi, sayang. Karena ... Merlin pasti tidak akan menikah dengan tuan muda keluarga kaya itu."
"Ja--jadi ... Dicky sebenarnya sudah punya calon istri, Mama?"
"He em, iya." Mita menganggukkan kepala sambil menarik senyum di bibirnya.
Berharap anaknya ikut bahagia dan tenang dengan berita yang ia sampaikan barusan. Namun kenyataannya, Jenny malah semakin menangis dengan suara keras. Hal itu membuat Mita menjadi kebingungan dengan apa yang Jenny perbuat.
"Mama .... " Jenny berteriak dengan nada sangat sedih. Ia langsung memeluk mamanya sambil menangis.
"Ih ... kamu ini ada apa sih, Jen? Harusnya itu kamu bahagia dengan apa yang mama katakan barusan. Ini kenapa malahan semakin menjadi-jadi tangisannya?"
"Bagaimana aku bisa bahagia, Ma? Kabar yang mama bawa ini sangat menyakitkan buat aku, tau?"
"Menyakitkan bagaimana?"
"Mama gak ngerti apa dengan apa yang aku rasakan, hm? Aku suka Dicky, Ma. Aku suka dia. Aku ingin memiliki dia sebagai kekasihku. Tapi ... kabar itu ... hu hu hu ... Mama .... "
"Jenny. Jangan bermimpi terlalu tinggi, Nak. Kita tidak punya kedudukan yang terpandang. Kamu tidak bisa mendambakan pemuda seperti Dicky. Karena kita tidak akan bisa di terima oleh keluarga Prasetya yang yang memiliki latar belakang terpandang. Mereka benar-benar mempertimbangkan dari mana kamu berasal nantinya."
"Sudah, ya. Mama sarankan padamu agar kamu melupakan Dicky dari pikiranmu. Cari laki-laki yang kaya lainnya. Asal itu bukan keluarga Prasetya."
"Kamu inikan cantik, sayang. Masih banyak laki-laki tampan lainnya yang pasti akan tertarik dengan kecantikan kamu. Juga masih banyak laki-laki yang lainnya yang pasti suka dengan kamu, Nak."
"Mama ini gimana sih, Ma? Kenapa mama biarkan Merlin menikah dengan Dicky? Sedangkan aku, mama larang."
"Mama tidak membiarkan Merlin menikah dengan Dicky begitu saja, Jenny. Tapi, kita tidak mungkin mencampuri urusan keluarga Prasetya, bukan? Kamu mama larang, karena kamu anak satu-satunya kesayangan mama. Mama tidak ingin kamu tersiksa jika masuk ke dalam keluarga Prasetya. Karena kamu bukan wanita yang keluarga Prasetya pilih untuk menjadi nona muda keluarga mereka."
"Mama harap kamu paham apa yang mama maksudkan."
Jenny terdiam. Ia berusaha mencerna apa yang mamanya sampaikan. Perlahan, benar Jenny membenarkan apa yang mamanya ucap. Wajah sedih itu mendadak menghilang setelah ia mengerti apa yang mamanya ucapkan barusan.
"Jadi ... kita tidak perlu ikut campur lagi sekarang, mama? Biar keluarga Dicky yang membuat perhitungan dengan Merlin? Itu maksud mama, kan?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!