NovelToon NovelToon

DOSA (Dosen Sayang)

Bab 1 : Karen dan Darren

Pagi hari yang cerah, di mana angin berkesiur menarik dedaunan yang berembun. Di sinilah irama dan detak jantung kehidupan dimulai. Seorang perempuan muda mengerjap pelan ketika indra penciumannya menangkap aroma harum yang menggairahkan. Ia menolehkan kepalanya ke samping, tampak suaminya sudah tak ada di tempat tidur.

Sambil menguap, ia menghampiri suaminya yang baru saja selesai memasak sarapan. Pria itu menatapnya, kemudian menahan tawa saat melihat sebagian rambutnya naik ke atas seperti orang yang baru kesetrum.

"Ada jadwal ngajar pagi, ya?" tanya perempuan itu.

"Iya," jawab suaminya singkat. Mulai menyantap sarapan, suaminya kembali berkata, "Omong-omong, tolong kalau kita enggak sengaja ketemu di tempat umum, anggap aja kita enggak saling kenal. Sebaliknya, kalau kita lagi bersama terus ada kenalanku ada yang enggak sengaja lihat, tolong bersikap seolah kamu tuh adik aku. Ngerti?"

"Tenang aja, teman-temanku enggak ada yang tahu juga kalau aku udah nikah," jawabnya santai sambil ikut mencicipi makanan yang baru saja dimasak suaminya.

Suaminya menahan makanan yang hendak diambil perempuan itu dengan garpu. "Jangan lupa tetap bersikap formal di kampus. Jangan sok akrab atau menunjukkan gerak-gerik kalau kita saling kenal!"

"Ih, bawel banget, sih! Dah tiap hari tahu kamu ngasih peringatan kayak gini. Sekali-kali keceplosan manggil suami, kan, gak papa," sambarnya. Namun, melihat tatapan suaminya seperti banteng yang hendak menyeruduk, ia bergegas berkata, "Iya ... iya ... bakal kuingat!"

"Bagus!" Pria itu menepuk kepalanya dengan lembut. "Aku tahu, kok, cewek seusia kamu pasti masih suka senang-senang di luar sana. Kamu bebas ngelakuin apa pun, aku enggak bakal mengikat kamu karena hubungan pernikahan ini."

"Terus, kenapa kamu mau nikah sama aku?" tanya perempuan itu sok judes.

"Kamu sendiri kenapa?" Suaminya balik bertanya dengan nada datar, "palingan juga alasan kita sama!"

"Aku sih gara-gara jatah per bulanku ditahan sama Oma. Mana papi dan mami enggak berkutik lagi," cetusnya.

"Ya, samalah kita. Aku juga enggak bisa menentang perintah Oma yang diktator. Lagian, aku cuma butuh status pernikahan di keluargaku."

...----------------...

Pasangan suami istri itu bernama Karen dan Darren. Pernikahan mereka baru berumur sekitar dua bulan. Dengan kata lain, dua insan beda usia ini disatukan oleh kakek dan nenek mereka masing-masing. Meski dijodohkan, keduanya tetap menjalani aktivitas normal sebagai pasangan suami istri.

Sejujurnya, Karen tidak pernah menyangka di usianya yang baru saja menginjak dua puluh tahun akan menikah dengan seorang pria yang lebih tua darinya. Pria itu adalah Darren William Bratajaya, pemuda cerdas yang telah meraih gelar profesor di Universitas London. Dia juga merupakan cucu dari salah satu dari old money¹ terpandang di Jakarta.

Sebenarnya, keluarga Karen sendiri juga berasal dari golongan kelas atas. Kakek-neneknya masuk dalam golongan crazy rich Jakarta. Ayahnya menjadi direktur di perusahaan kakeknya dan ibunya adalah seorang sosialita. Ini semua menjadikan dirinya tak bisa hidup mandiri dan sangat bergantung pada orang lain.

Bagi Karen Aurellia, pernikahan ini tak semenakutkan yang ia pikirkan. Ternyata, pria yang menjadi suaminya tak segarang yang ia bayangkan. Lebih asyiknya lagi mereka sefrekuensi. Awalnya Karen menolak keras pernikahan ini. Pasalnya, ia tak pernah melihat langsung pria itu. Saat mengetahui akan dinikahi seseorang bergelar profesor, yang ada dalam bayangannya adalah seorang pria berbadan gempal dengan perut yang buncit, memakai kacamata serta memiliki kebotakan di tengah kepala seperti profesor yang divisualkan film-film kartun.

Namun, sebuah kejutan menghampiri dirinya di hari pernikahan. Ketika pria yang akan menjadi suaminya itu berdiri tegap dalam balutan jas hitam rapi. Pasalnya, pria dengan postur tubuh proporsional itu ternyata berwajah rupawan seperti aktor film dengan sepasang mata yang indah, hidung yang mancung bak perosotan dan memiliki bentuk rahang tegas yang menambah sisi maskulinnya. Sama sekali tak terlihat seperti yang ia bayangkan. Malahan dia tampak seperti pangeran-pangeran di negeri dongeng. Lebih mengejutkan lagi, ternyata dia merupakan dosen baru yang menarik perhatian para mahasiswi di kampusnya.

"Aku pergi dulu, ya!" Darren pamit kerja setelah selesai sarapan.

"Tunggu!" Karen menghampiri Darren, berlagak seperti istri-istri di sinetron yang doyan memperbaiki dasi suami. Ia lalu melepaskan karet ikatan di rambutnya, lalu memasangkan ke lengan Darren.

"Ini apaan?" tanya Darren dengan dahi yang membentuk lipatan halus.

"Biar orang tahu kamu dah ada yang punya. Kamu kan enggak mau pakai cincin pernikahan," jawab Karen dengan wajah cemberut.

Darren tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Karen. Bukannya ia tak mau mengekspos pernikahan mereka. Masalahnya, dia seorang dosen, sementara istrinya adalah mahasiswa di universitas tempatnya mengajar. Ia tak ingin orang-orang menilainya tak profesional karena terlibat cinta dengan mahasiswi.

Setelah kepergian Darren, Karen menatap malas piring kotor yang baru saja dipakai makan suaminya. Ia malah memilih merebahkan tubuh di sofa empuk dengan kedua kaki yang selonjoran. Kebetulan hari ini ia sedang tak ada jadwal kuliah.

Karen menghabiskan sepanjang waktu dengan bermalas-malasan di sofa seraya berselancar di Instagram, mengunggah foto-foto yang masih tersimpan di galerinya lalu menyukai setiap postingan orang agar mendapatkan feedback. Begitulah kerjanya seharian ini sampai tak terasa waktu telah beranjak ke malam hari.

Untuk soal makan, Karen tidak pernah mengotori tangannya yang indah berhias kuku warna warni untuk berkecimpung di dapur. Selama sebulan menikah dan tinggal bersama suaminya, ia hanya memesan makanan online atau katering harian. Wajar saja, ia sama sekali tidak tahu memasak dan tak mau belajar untuk tahu. Untungnya, ia memiliki suami yang sangat mandiri. Ya, pria itu selalu menyiapkan sarapannya sendiri seperti tadi dan memilih makan siang di luar.

Sekarang, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Sedang tertidur lelap, tiba-tiba ia terkesiap tatkala mendengar dering telepon rumah di samping sofa yang ia tiduri.

"Siapa yang menelepon?" gumam Karen mengernyitkan dahi.

Ia mengangkat telepon itu dengan ragu. "Halo?"

"Ini Karen, ya?" Suara pria terdengar dalam sambungan telepon itu.

"I–iya." Karen tergagap karena ia mengenali suara itu adalah suara ayah Darren.

"Syukur deh kamu di rumah. Papa cuma mau ngasih tahu, Omanya Darren lagi menuju ke situ. Tadinya papa kira kalian enggak di rumah, makanya papa telepon ke situ."

Mata Karen membesar dua kali lipat. "Apa?! Oma Belle mau ke sini?" batin Karen menjerit.

Seketika, kepalanya menoleh ke piring kotor dan dapur yang sedikit berantakan karena baru saja dipakai masak. Ia langsung bergegas membereskan piring kotor di atas meja. Masalahnya, ia sangat mengenal karakter nenek suaminya yang begitu berwibawa, tegas, dan cerewet. Kecepatan bicaranya bisa melebihi laju pembalap motogp. Konon katanya, Valentino Rossi memilih pensiun karena tak bisa menyalip laju celotehan Oma Belle.

"Aduh gimana, nih? Mana aku belum cuci piring lagi! Ngapain juga sih Oma Belle datang ke sini malam-malam. Udah tua bukannya diam-diam di rumah bareng minyak gosok, eh ... malah berkelana kayak pendekar. Ngeselin banget!" gerutunya sambil cepat-cepat membereskan ruang dapur.

Karen makin kelabakan saat mendengar bunyi bel apartemennya. Ia menyimpan piring kotor itu di dalam kitchen set, kemudian hendak membuka pintu. Sialnya, ia baru menyadari belum mandi seharian dan masih memakai piyama semalam.

"Aduh, gimana, nih?" Atas kepercayaan dan keyakinannya terhadap bau tubuhnya sendiri, Karen memutuskan langsung berganti pakaian tanpa mandi terlebih dahulu.

Ia juga mengambil koyo lalu menempelkan di dahinya seolah sedang sakit kepala. Ini karena setiap oma Belle datang mengunjungi mereka, pasti akan membawakan sesuatu yang tidak disukainya. Belum lagi mengajaknya ngobrol dari Sabang sampai Merauke balik lagi ke Sabang. Saking panjangnya arah obrolan mereka. Jadi, dia berharap bisa menggunakan alasan sakit agar oma dari suaminya itu tidak berlama-lama mengeram di sini.

Karen menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu apartemen. Wajah Oma Belle yang tersenyum seperti boneka Annabelle langsung memasuki pandangannya.

"Malam ...." Oma Belle menyapanya lalu menunjukkan sebuah bag paper transparan. "ayo coba tebak apa yang Oma bawakan buat kamu!"

"Apa, ya, Oma?" tanya Karen langsung yang malas bermain tebak-tebakan tak berhadiah.

Oma itu membuka isian bag paper, lalu menunjukkan sebuah botol cantik yang berisi cairan berwarna cokelat keruh.

"Ini jamu penyubur kandungan buat kamu," ucapnya dengan wajah yang senang.

.

.

.

catatan kaki:

old money¹: istilah yang mengacu pada kekayaan yang diwariskan secara turun temurun.

catatan author:

halo saya aotian Yu. ini adalah karya terbaru saya berkolaborasi dengan editor NT.

Untuk pembaca, mohon dukungan like dan komennya untuk menaikkan popularitas agar project tulisan ini bisa bertahan sampai tamat.

disclaimer: novel ini banyak memuat adegan kissing dan ranjang. Bukan novel berunsur religi dan tidak mewakili agama maupun ras tertentu. Bukan novel dengan alur cerita yang penuh drama. Hanya menceritakan kisah pengantin baru dengan konflik-konflik ringan dan cara mereka hadapinya. Harap bijak membaca, ya!

Bab 2 : Oma Belle

"A–apa? Jamu penyubur kandungan?" Karen tersentak hebat dengan mata yang terbelalak.

"Iya. Biar kamu cepat hamil. Oma udah pengen gendong cicit, loh," tutur Oma Belle sambil masuk ke dalam apartemen.

Sontak, Karen menggerutu dalam hati. "Apaan, sih, Minggu lalu bawain sayur toge terus maksain aku habisin satu mangkok, sekarang malah bawain jamu! Kenapa enggak sekalian bawa mesin pencetak anak otomatis ke sini!"

Oma Belle kembali memutar kepalanya ke arah Karen sambil melihat koyo yang menempel di sekitar kepala gadis itu.

"Kamu kenapa? Sakit?"

Karen memijat dahinya sambil menyengir. "Iya, nih, Oma. Lagi sakit kepala, mata kunang-kunang," ucapnya dengan mimik wajah sakit yang dibuat-buat.

"Jangan-jangan kamu udah ...." Oma Belle menatap perut Karen dengan wajah gembira.

"Enggak, kok, Oma. Ini cuma sakit kepala biasa," tampik Karen cepat.

"Eeh, masih jadi pengantin baru kok malah sakit. Entar kamu enggak bisa layani Darren, loh! Pasti dia lagi semangat-semangatnya, tuh!" Nenek Darren tertawa geli. "Kalau begitu kamu minum dulu nih jamunya. Biar fit dan kalian bisa bertempur kembali malam ini."

"Bertempur apaan? Dikira ini Rusia sama Ukraina apa?" batin Karen kembali menggerutu. Bagaimana tidak, setiap oma Belle datang, pasti selalu memaksa mereka agar segera memiliki anak. Menikah di usia muda seperti ini saja dia tak siap, apalagi jika harus segera menjadi seorang ibu. Bukan impiannya!

Karen menatap masam botol jamu yang disodorkan ke arahnya. "Aduh, Oma. Aku lupa barusan aku habis minum obat sakit kepala. Kayaknya enggak boleh campur-campur obat, deh." Karen mulai mencari alasan. Seumur hidup, ia tidak pernah meminum jamu. Baru mencium aromanya saja sudah membuatnya mual.

"Oh, iya, ya!" Oma Belle menarik kembali botol jamu tersebut.

Yes, akhirnya ....

"Kayaknya satu jam kemudian kamu dah bisa minum nih jamu."

"Ah, iya. Bener, Oma. Kalau gitu biar aku simpan dulu jamunya di kulkas. Entar aku minum, deh." Karen hendak mengambil jamu tersebut.

"Ettt ... gak baik minum yang dingin-dingin. Jamu itu lebih baik dikomsumsi di suhu ruang. Lagian Oma, kan, masih mau di sini sampai Darren pulang, sekaligus ngasih wejangan buat kalian berdua."

Mata Karen terbelalak. "Wejangan lagi?!" gumamnya dalam hati. Inilah yang disebut dengan perfectly damn! (Alias benar-benar sialan)

Ya, bisa ditebak, ini bukan kali pertama Oma Belle datang ke apartemen mereka. Selain memaksa agar ia dan Darren segera memiliki momongan, perempuan paruh baya itu juga selalu menceramahi pasangan suami istri itu.

Di sisi lain, Darren baru saja selesai mengikuti rapat akademik yang dipimpin langsung oleh rektor universitas tempatnya mengajar. Dia adalah dosen baru di universitas ini. Walaupun mengajar di sini baru sekitar tiga bulanan, tapi namanya sudah terkenal di seluruh fakultas apalagi di kalangan mahasiswi. Wajar saja, bentuk fisiknya nyaris sempurna, ditunjang gaya pemaparan yang cerdas dan menakjubkan serta menjadi seorang profesor di usia muda.

Ponsel Darren mendadak berdering. Ia melihat nama pemanggil di layar ponsel dan segera menepi untuk menerima telepon.

Baru saja menjawab panggilan itu, suara omelan Karen langsung memecahkan gendang telinganya. "Aduh ... kamu cepetan pulang, deh! Ini Oma kamu lagi di rumah.

"Ini ada apa, sih?" Darren masih mengernyit tak paham mendengar gadis itu mengomel.

"Oma kamu, tuh! Bawel banget udah maksa aku minum jamu, sekarang dia malah betah berlama-lama lagi. Dia bilang mau nungguin kamu, tuh! Cepetan pulang terus suruh Oma kamu pulang!" ketus Karen rewel.

"Iya ... iya ... aku bakal pulang sekarang!" Darren menutup telepon lalu bersiap-siap pergi.

Di apartemen, Karen duduk bersimpuh di bawah sofa sambil menghadap Oma Belle. Sudah sejam lamanya dia duduk dalam posisi seperti ini sambil mendengar wejangan Oma Belle tentang bagaimana supaya bisa menjadi istri yang baik.

Tampaknya, aktingnya yang berpura-pura sakit kepala hanya sia-sia. Terbukti, Oma Belle tetap betah berlama-lama di apartemen sambil terus menasihatinya. Ia harus menahan kepalanya yang terus terantuk. Bahkan, matanya banyak kali hampir terkulai karena menahan kantuk. Tak hanya itu, kakinya pun mulai terasa keram kesemutan. Baginya, ini merupakan cobaan terberat, melebihi cobaan istri-istri di FTV.

Sementara, Oma Belle yang duduk di hadapannya, masih terus memberi nasihat pernikahan untuknya. "Nak, bangun biduk rumah tangga itu enggak mudah. Tapi kalau kalian sudah komitmen, segalanya bakal jadi mudah, kok. Menikah itu bukan ajang tarik ulur, atau saling meninggikan ego. Ada kalanya kita harus berani mengalah. Mengalah bukan berarti kita kalah, justru kita sedang mempertahankan kapal supaya enggak karam. Ibarat kalian sedang mengarungi samudera luas. Ya ... kalau cuacanya bagus, perjalanannya pasti menyenangkan. Sebaliknya kalau badai tiba-tiba datang, yang pertama kita lakukan adalah mempertahankan kapal biar enggak tenggelam."

"Iya, Oma," sahut Karen yang hanya mengangguk-angguk. Kalau dipikir-pikir apa yang nasihat Oma Belle benar adanya. Tapi sayangnya, semua kata-kata tadi enggan dipikirkan oleh Karen. Kalau istilah dari emak-emak tukang ngomel: masuk telinga kanan, keluar lagi di telinga kiri. Itulah Karen ketika mendapat nasihat dari siapapun. Catat, siapapun!

"Aduh! Kapan, sih, dia berhenti ngoceh! Enggak takut masuk angin apa mulutnya. Mana Darren lama banget." Batin Karen serasa hendak menjerit.

Meski Karen dan Darren sama-sama berasal dari keluarga terpandang, tapi mereka dibesarkan dengan cara berbeda. Karen tumbuh besar dalam keluarga yang berpikiran terbuka dan modern. Berbeda dengan keluarga Darren yang penuh aturan dan menjunjung tinggi tata krama.

Tak lama kemudian, Darren pun datang sehingga membuat mata Karen langsung berbinar bak melihat pahlawan bertopeng.

"Malam, Oma!" sapa Darren sambil menghampiri mereka.

Ia menarik lembut lengan Karen sehingga membuat gadis itu bangkit dari duduknya yang telah memakan waktu satu jam lebih. Detik selanjutnya, Darren langsung mengecup singkat kening Karen di depan Omanya. Romantis, bukan? Sayangnya, itu hanya akting yang selalu mereka lakukan untuk menyenangkan hati Oma Belle.

"Supir Oma dah nunggu tuh dari tadi," ucap Darren.

"Hah? Kok udah datang jemput! Padahal kan Oma dah bilang biar Oma yang hubungi dulu kalau mau jemput."

"Ya, enggak tahu," ucap Darren pura-pura bodoh. Padahal dia sendiri yang menelepon supir Omanya agar segera datang menjemput. "Udah deh, Oma pulang aja dulu. Ini udah jam sembilan malam, loh!" bujuk Darren sambil merangkul neneknya.

"Iya, tapi kamu harus janji dulu, kamu sama istri harus segera program kehamilan di dokter kandungan."

"Iya, tenang aja, Oma. Aku dah kontak teman yang jadi dokter kandungan, kok. Tinggal nunggu waktu aja, soalnya aku lagi sibuk-sibuknya juga di kampus," balas Darren yang masih merangkul Oma Belle sambil terus menggiringnya ke pintu. Sejenak, pria itu menengok Karen sambil mengedipkan sebelah mata.

Setelah kepergian Oma Belle, Karen dan Darren menuju ke kamar mereka. Darren membuka kameja kerjanya sambil melirik ke arah istrinya yang mendekat dengan wajah memelas bagai anak kucing.

"Kenapa? Mau bikin anak?" cerocosnya dengan wajah mesum.

"Ya, enggaklah! Ren, kita enggak usah punya anak, ya? Aku enggak mau! Enggak kebayang, deh. Badan aku yang ramping gini tiba-tiba jadi buncit, terus entar aku jadi enggak bisa nyantai lagi karena harus ngurus anak," rayu Karen sambil mengelus lengan kokoh suaminya.

"Ya, terserah!" sahut Darren. Jujur, ia juga tak mengharapkan memiliki anak dari perempuan itu. Jangan pun anak, sebenarnya ia juga enggan menjadikan Karen sebagai pendamping hidupnya. Sejak ditinggal pergi kekasihnya, ia memilih untuk tidak memiliki hubungan asmara. Hanya saja, untuk menyenangkan hati omanya, ia pun terpaksa menikahi gadis yang menjadi mahasiswanya itu.

Saat ini, Karen kembali menunjukkan muka manis di hadapan suaminya.

"Ada apa lagi?" ketus Darren.

"Anu ... gini, loh! Tugas kuliahku belum selesai. Boleh bantuin, enggak?" pinta Karen sambil mengerlingkan mata.

.

.

.

Bab 3 : Dipaksa Hamil

Berkacak sebelah pinggang, Darren lantas berkata, "Mana? Sini kulihat!"

Karen bergegas mengeluarkan buku tugas dari tasnya, kemudian memperlihatkan pada Darren.

"Ini sih bukan belum selesai, tapi belum dikerjakan!" ketus Darren menggeleng-geleng kepala, "kerja sendiri sana!"

"Ya, makanya bantuin, dong! Emang kamu mau kalau nilaiku di mata kuliahmu anjlok? Kamu sendiri kan yang malu nanti," rengek Karen.

"Ngapain malu?" tandas Darren sambil memakai piyama tidur.

"Ya, malulah! Kalau istri kamu nilainya jelek, entar apa kata orang-orang. Kamu bakal dianggap dosen yang enggak becus. Apalagi kamu tuh seorang guru besar."

"Kan enggak ada yang tahu kita suami istri," tampik Darren santai.

"Ya, udah kalau gak mau bantu!" Karen memberengut, sehingga tampak menggemaskan di mata Darren.

"Ettt ... jangan ngambek, dong!" Darren menarik tangan Karen lalu memaksanya duduk di meja belajar. Ia juga turut duduk di samping perempuan itu dan mulai membimbingnya mengerjakan tugas kuliah.

Karen seorang mahasiswa fakultas ekonomi jurusan akuntansi semester tiga. Sedang Darren seorang dosen di universitas tempat Karen kuliah. Ia meraih capaian profesor bidang ilmu akuntansi. Penelitian terkait ilmu akuntansi yang ia laksanakan sudah tak diragukan lagi. Bukan hanya jurnal, bahkan sejumlah buku ciptaannya banyak digunakan sebagai referensi oleh peneliti lainnya.

"Perhatikan contoh yang kukerjakan, lalu ikuti sesuai instruksi soal!" perintah Darren yang tampak sabar mengajari istrinya.

Bukannya mengikuti petunjuk, Karen malah tak fokus dan menguap berkali-kali. Maklum, Karen memang bukan anak yang rajin pangkal pandai. Lulus dengan nilai pas-pasan pun sudah mencetak rekor MURI baginya.

Mata Karen yang hampir tertutup, harus membulat seketika kala Darren sengaja menjentik dahi perempuan yang sebenarnya lebih cocok menjadi adiknya. Baru saja Karen hendak serius, mereka malah diusik oleh suara dering panggilan di ponsel Karen. Ternyata itu berasal dari teman sekelas Karen.

"Karen, kamu udah ngerjain tugas dari pak Darren, belom?" tanya temannya.

"Nih, lagi sementara."

"Duh, aku nebeng, ya! Aku enggak sempat ngerjain tugas, nih. Soalnya lagi sibuk kerja sampingan akhir-akhir ini," pintanya memelas agar Karen memberinya contekan tugas.

"Eee ....." Karen menatap Darren yang ternyata mendengar permintaan temannya itu.

Pada saat ini, Darren langsung mengambil pulpen dan menulis sesuatu di belakang buku catatan Karen.

"Kalau kamu kasih dia contekan, aku enggak bakal bimbing kamu ngerjain tugas lagi!"

Tulisan bernada ancaman itu tentu membuat Karen takut. Dia langsung berkata pada temannya. "Duh, maaf, nih. Aku juga enggak bisa mastiin selesai atau enggak. Susah banget soalnya! Kayaknya mau aku kerjain asal-asalan doang."

"Asal-asalan juga gak papa deh. Yang penting aku ikut kumpul tugas."

Darren yang mendengar sembari bersedekap, menggeleng-geleng kepala sembari melototkan mata ke arah istrinya.

"Wah, aku takut nih kalau kita dianggap kerja sama. Kamu tahu sendiri kan pak Darren itu orangnya teliti banget." Karen beralasan. Selanjutnya, ponselnya langsung diambil Darren yang langsung mengakhiri panggilan tersebut.

"Kamu kenapa, sih? Dia itu sahabatku. Aku jadi enggak enak, nih, enggak bisa bantu dia!" Karen protes.

"Tolong menolong itu memang baik, tapi tidak dalam hal tugas individu."

Karen masih tak enak hati dengan temannya. Tapi apa boleh buat, ia harus mendengarkan perkataan Darren. Pria itu kembali menjelaskan materi yang tidak dimengerti istrinya.

"Gimana, dah paham, belom?" Darren menoleh, kemudian tertegun melihat Karen yang telah tertidur di atas buku tugasnya. Tangannya hendak memegang kepala perempuan itu, bermaksud ingin membangunkannya. Namun, diurungkan kembali. Ia malah menepikan anak rambut yang menutupi wajah polos Karen yang tengah terlelap. Akhirnya, ia pun menggendong istrinya dan membaringkannya di ranjang mereka.

...----------------...

Keesokan harinya, mereka menerima undangan makan malam di rumah keluarga besar Darren. Keduanya pun datang lebih awal dan disambut hangat Oma Belle yang memang menantikan mereka.

Jujur saja, sebenarnya Karen tidak mau menghadiri makan malam keluarga. Bukan tanpa sebab, ia hanya menghindari topik seputar kehamilan dan anak seperti yang selalu diproklamasikan Oma Belle.

"Karen, gimana? Dah minum jamu yang dikasih Oma, Belum?" tanya Oma Belle bersemangat.

Sempat kaget, Karen buru-buru menjawab. "Iya, sudah Oma. Jamunya enak banget. Aku suka."

"Enak?" Oma Belle kaget bukan main. "Kamu enggak rasa pahit sama sekali?" tanyanya heran. Sebab, ia teringat akan Herbalis yang mengatakan jika jamu itu terasa pahit dan sedikit menyengat.

Karen terdiam dan hanya berkata dalam hati. "Mampus, ketahuan ngarang, kan, aku!"

Mengerutkan dahinya yang masih kencang, tampaknya wanita berusia tujuh puluh tahun itu sadar jika Karen berbohong. Mungkin jika ajang penghargaan sekelas Oscar mengadakan award untuk aktor dengan akting tergagal, maka Karen pasti akan jadi nominatornya.

Karen melirik ke arah Darren yang duduk di samping sambil memeriksa tugas-tugas mahasiswa yang masuk lewat email. Seolah mengerti perempuan itu tengah meminta bantuannya, dia pun segera berkata, "Yuk, ikut aku! Ada yang pingin aku lihatin ma kamu."

Karen lekas berdiri membuntuti Darren. Sambil menunggu pelayan mereka mempersiapkan sajian makan malam, mereka mengobrol di ruang tamu. Ia melihat-lihat foto-foto masa kecil suaminya yang membuatnya berdecak kagum. Ternyata dari kecil, Darren telah mencetakkan banyak prestasi akademik. Tak heran di usianya yang sekarang, pria itu telah meraih gelar guru besar. Berbanding terbalik dengannya yang sangat malas belajar dan hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.

Saat hendak ke kamar kecil, Darren tak sengaja melihat Omanya mencampurkan sesuatu di makanan yang akan disajikan pada istrinya.

"Oma masukin apa di dalam makanannya Karen?" tanya Darren dengan wajah tak senang.

"Oh, ini obat penyubur kandungan herbal. Biar istri kamu cepat isi," jawab Oma Belle santai.

"Oma enggak boleh seenaknya kayak gitu. Kemarin maksa Karen minum jamu, sekarang nyampurin obat di makanannya tanpa sepengetahuan Karen!" cetus Darren masih tak senang dengan kelakuan neneknya.

"Lah, Oma kan cuma pengen kamu cepat dapat momongan. Lagian istri kamu dah Oma bawain jamu semalam malah enggak diminum, pake pura-pura bilang minum lagi." Oma Belle menyinggung kebohongan Karen.

"Ngapain buru-buru punya anak, sih? Aku sama Karen kan baru nikah sebulan."

"Terus, mau nunggu kapan? Mau nunggu Oma meninggal duluan?"

"Ya, enggak. Tapi kalau terus maksa kayak gini, cuma bikin Karen stress nanti."

"Oh, gitu. Kamu takut Karen stress tapi gak takut Oma mati penasaran karena gak nimang cicit dari kamu?"

Daren terdiam. Ya, percuma saja berdebat dengan Oma Belle yang merupakan pemegang tahta tertinggi di rumah ini. Kedudukan Oma Belle di rumah ini ibarat ratu Elizabeth di kerajaan Inggris. Sangat disegani dan tak ada yang bisa membantah. Bahkan orangtua Darren pun tak berani menolak perintahnya. Sejujurnya, ini pertama kali Darren berdebat dengan neneknya.

Karen dan Darren kembali ke apartemen selepas makan malam. Karen mengatur tempat tidur mereka, tak lama kemudian Darren naik ke atas ranjang lalu duduk bersandar sambil lanjut memeriksa tugas yang dikirim mahasiswanya. Tiba-tiba Karen langsung merebahkan kepalanya di dada pria itu sambil memeluknya.

"Kenapa belum tidur?" tanya Darren tapi dengan mata yang tertuju pada layar ponsel.

"Kamu juga belum tidur," jawab Karen dengan manja.

"Aku masih periksa tugas. Udah sana, tidur!"

"Aku belum ngantuk," jawab Karen yang masih merebahkan kepalanya di dada pria itu. Namun semenit kemudian, perempuan itu malah mengeluarkan suara dengkuran kecil yang membuat Darren tergelitik.

Kepalanya menggeleng pelan atas tingkah aneh perempuan yang menjadi istri sekaligus mahasiswanya. Sejak menikahinya, satu-satunya kelebihan yang ia ketahui tentang istrinya adalah mudah tertidur di manapun dan kapanpun. Terbukti, setiap pulang kerja ia selalu mendapati perempuan itu tertidur di sofa, kursi makan, bahkan di dalam bathub. Aneh, bukan?

Keesokan harinya, Karen dan Darren bersiap-siap menuju ke kampus. Tentunya sebagai seorang dosen dan mahasiswi.

.

.

.

Jangan lupa like dan komen, ya

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!