Franz Rivano adalah anak dari Darma Rivano dan Ayunda Lestari. Ia juga memiliki adik perempuan yang licik bernama Laura Rivano sama seperti ayahnya.
Franz Rivano hidup dalam keluarga yang serba mewah. Ayahnya adalah seorang mafia kejam yang sangat ditakuti. Kehidupan mewah yang dimilikinya tidak membuat dirinya bahagia malah kesengsaraan. Ia dipaksa untuk menjadi sosok mafia seperti ayahnya.
Pada suatu hari Franz Rivano dituntut harus bisa membunuh seseorang sebagai bukti ikut serta bergabung bersama sang ayah mafia. Namun, ia menolak dengan tegas. Ia berjanji pada ayah dan ibu bahwa ia akan sukses tanpa bantuan sang ayah.
Plakk!
"Beraninya kau menentang ayah!" suara Darma terdengar nyaring di udara.
"Ayah, aku tidak mau jadi penerus Ayah, aku ingin menjadi orang biasa," tegasnya sambil memegang pipi yang sakit akibat tamparan ayahnya.
"Keterlaluan kau!" satu tamparan lagi mendarat diwajah Franz.
"Ayah sudah, Franz punya jalannya sendiri," Ayunda mencoba menenangkan suaminya
"Lepaskan aku! Anakmu ini tidak tahu diri!" teriak Darma memenuhi ruangan
"Aku punya jalan hidupku, aku akan sukses tanpa bantuanmu, Ayah." nada suara Franz meninggi.
Plakkk!
"Pergi kau dari sini!" usir Darma kepada anak sulungnya.
Dengan wajah kesal bercampur marah Franz mengambil pakaian dan menaruhnya di dalam koper.
"Nak, kau mau kemana?" tanya ibunya dengan berurai air mata.
"Aku mau pergi, aku sudah tidak diinginkan lagi disini." suara Franz sangat serius dia membereskan baju bajunya beserta barang barang miliknya.
"Nak, jangan tinggalkan Ibu!" memohon pada anaknya.
"Ibu, aku baik-baik saja, aku sudah dewasa. Tolong jaga Laura dan Ayah!" memeluk erat ibunya.
"Maafkan Ayahmu," dengan tangisan pelan.
"Sudah biarkan dia pergi!" menarik istrinya dari pelukan Franz
"Ingat pesanku ini baik-baik Ayah, jika aku jadi seorang ayah, aku akan lebih baik darimu!" kesal Franz dan meninggalkan rumahnya
"Kurang ajar kau!" teriak Darma dan mengepal erat jemari tangannya
"Kak! Kak! Mau kemana?" teriak Laura berpura-pura peduli.
"Kakak akan pergi jauh, lanjutkan kuliahmu dan jadilah Adik yang baik," sambil memeluk adik kesayangannya.
"Kakak hati-hati ya!" tersenyum naif.
"Iya, Kakak pergi dulu," melambaikan tangan.
Baguslah kalau Kakak pergi, jadi akulah yang akan meneruskan kekayaan Ayah. Melirik Franz dan tersenyum.
Franz berjalan tak tentu arah, mencari tempat untuk berteduh. terdapat pelakat di depan rumah yang berisi, "Rumah ini dikontrakkan." Melihat hal itu Franz langsung menelepon pemilik rumah.
"Hallo, saya." berpikir sejenak.
aku harus ubah namaku agar mereka semua tidak mengetahui siapa aku sebenarnya.
"Kok tidak ada suara, saya tutup teleponnya," mengancam ingin menutup telepon
"Saya Ali Pak, saya ingin mengontrak rumah, bisa tidak kita bertemu di kontrakan Bapak?"
"Bisa, saya akan segera kesana," bersiap-siap untuk pergi ke kontrakan miliknya.
"Sambil menunggu pemilik rumah ada baiknya aku duduk disini." gumam Franz, Franz duduk di bangku yang terbuat dari bambu sambil menunggu pemilik rumah. Rumah ini sangat kecil dibandingkan rumah orangtua Franz, tapi ia punya tekat kuat untuk menjadi sukses tanpa bantuan ayahnya.
"Sudah lama menunggu?' tanya pemilik rumah.
"Tidak Pak," berdiri dan tersenyum manis.
"Berapa Pak rumah ini perbulan?"
"6 ratus ribu perbulan," tersenyum ramah.
"Baiklah Pak, saya ingin tinggal disini, ini uangnya." mengeluarkan dompet dan memberikan uang pada pemilik rumah
"Terima kasih, ini kunci kamarnya." memberikan kunci kamar.
Franz bangun lebih awal, ia membereskan berkas-berkas yang akan dia bawa. Franz mengunci pintu rumah dan berjalan tanpa arah mencari pekerjaan. Franz bertanya ke berbagai perusahaan, pabrik, dan lainnya namun masih belum membuka lowongan pekerjaan.
Franz bukanlah sosok orang yang putus asa, ia terus mencari dan berusaha sampai titik keringat penghabisan. Setelah berhenti di sebuah pabrik roti, ada tulisan terpampang jelas, "Lowongan pekerjaan untuk laki-laki dan perempuan." setelah melihat pelakat yang tersebut, Franz kemudian bertanya pada satpam agar diizinkan masuk.
"Selamat siang, Pak!" ucap Ali memberi salam pembuka.
"Selamat siang juga, ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam tersebut.
"Apakah pabrik ini membuka lowongan pekerjaan?"
"Iya betul Pak," tersenyum ramah.
"Bisakah saya bertemu HRD nya?"
"Bisa Pak, di sebelah sana ada ruang HRD, masuk saja Pak. Kebetulan pabrik ini lagi banyak menerima tenaga kerja."
"Terima kasih Pak," tersenyum dan berjabat tangan
Franz mengetuk pintu ruang HRD dengan perasaan gugup, ini baru pertama kali dirinya memulai melamar pekerjaan.
"Selamat siang Pak, bolehkah saya masuk?" tanya Franz dengan masih merasakan gugup.
"Siang juga Pak, silahkan masuk! tersenyum ramah.
"Pak, saya ingin melamar pekerjaan. Apakah persyaratannya?"
"Tidak perlu persyaratan," senyumnya ramah.
Tidak perlu persyaratan? Batin Franz bingung.
"Iya Pak, langsung masuk dan sekarang bisa langsung bekerja," ujar HRD tersebut.
"Benar Pak, Bapak tidak sedang berbohong?" Franz bingungr mendengar perkataan HRD tersebut.
"Iya saya serius, kami sedang membutuhkan tenaga kerja yang banyak," senyumnya ramah sekali.
"Terima kasih, Pak." menunduk hormat.
"Sama sama Pak, Bapak bisa langsung berkerja. Senang bertemu Anda hari ini," memancarkan senyum ramah.
"Senang bertemu Bapak juga," tersenyum Franz berbinar.
Franz jalan menuju pabrik di sebelah kantor HRD, ia masih bingung dengan pekerjaan ini. Mengapa tidak membutuhkan persyaratan apapun? Itulah yang jadi pikiran Franz. Tapi, dia berpikir positif mungkin inilah rezeki untuknya.
Franz masuk ke pabrik dan memulai pekerjaan. Sebagai tenaga kerja baru, Franz terlihat rajin sekali, ia ditempatkan di proses pemanggangan roti. Mandor yang bertugas sebagai pengawas merasa sangat senang melihat Franz yang berkerja ulet dan bersemangat. Hari ini Franz masih belum memiliki teman. Di hari pertama bekerja, Franz mungkin masih belum begitu mau memulai pertemanan.
Pukul 5 sore saatnya pulang ke rumah, Franz berjalan pulang ke rumah dengan perasaan bahagia. Pasalnya ia tidak terancam kelaparan karena sudah memiliki pekerjaan tetap. Franz masuk ke rumah, kemudian mandi dan melaksanakan salat ashar. Walaupun Franz anak seorang Mafia tetapi Franz termasuk orang yang taat beribadah. oleh sebab itu mengapa ayahnya membenci dirinya. Franz sangat berbeda sifatnya dengan ayah, ibu, dan adik perempuannya. Sifat Franz yang begitu lembut dan baik hati membuat Franz jadi lain sendiri. Franz adalah orang yang menentang usaha gelap dan kelakuan ayahnya yang jauh dari agama bahkan melanggar hukum negara. Sekarang tekad Franz untuk membuktikan kepada ayahnya yang sombong itu bahwa dia bisa berjaya tanpa bisnis kotor yang selalu ayahnya tawarkan kepadanya.
Setelah salat magrib Franz berdoa kepada Allah Swt. Agar ayah, ibu, dan adiknya mendapatkan hidayah dari Allah.
Malam hari yang dingin, Franz memandangi foto ayah dan ibunya. Sebenarnya Franz tidak sama sekali ingin melawan ayahnya, tapi tindakan ayahnya yang menyuruh dirinya untuk membunuh sesorang membuatnya terpaksa melakukan hal itu. Inilah kehidupan Franz sekarang, jauh dari kemewahan dan harta yang melimpah.
Bersambung......
Ayunda Lestari merasa sangat cemas, pasalnya putra sulung kesayangannya tidak pernah pulang ke rumah. Hatinya mulai resah memikirkan anaknya tersebut. Ayunda melihat poto Franz yang terpajang di kamar anaknya. Sedih sekali rasanya ditinggal oleh anak yang paling ia cintai.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya suaminya dengan nada tinggi.
"Tidak ada," menghapus air mata yang membasahi pipinya.
"Oh karena foto anak sialan ini kamu menangis?" teriak Darma menggelegar.
"Sayang, sudah lama putra kita tidak pulang ke rumah. Aku takut dia kenapa-kenapa," Ayunda mengungkapkan isi hatinya sebagai seorang ibu.
"Dia bukan putra kita," teriak Darma sambil melempar bingkai poto yang dipegang istrinya.
"Begitu bencinya kamu sama Franz hingga tega melempar fotonya?" kesal Ayunda melihat kelakuan suaminya.
"Anak itu tidak mau diatur, lupakan dia, biarkan dia menderita. Agar dia tahu betapa kejamnya dunia ini," teriak Darma memenuhi ruangan.
"Darma aku sangat menyayanginya," Ayunda membersihkan serpihan kaca yang berserakan di lantai
"Dengar Ayunda, dia pasti kembali dan bertekuk lutut dihadapanku dan meminta untuk tinggal bersama kita. Anak manja seperti dia pasti tidak tahan hidup sendiri di dunia yang kejam," jelas Darma.
Darma keluar dari kamar putranya, ia mengambil senapan panjang di dalam almari.
"Tuan, Anda mau kemana?" tanya ajudan Darma.
"Aku ingin menarik semua hutang orang-orang padaku, jika mereka tidak membayarnya akan kubunuh mereka," jawab Darma yang terdengar mengerikan.
Darma mendatangi rumah-rumah yang telah ia pinjamkan uang. Memaksa orang-orang untuk membayar hutang beserta bunganya yang sangat tinggi.
"Bayar hutangmu Pak tua!" teriak Darma sambil menendang laki-laki tua tidak berdaya.
"Jurangan saya tidak punya apa-apa lagi. Tolong beri saya waktu!" pinta pria tua tersebut memohon.
"Memberimu waktu, apakah waktu saya meminjamkan uang padamu saya menundanya?" teriak Darma kesal.
"Ampun Tuan," sujud di kaki Darma.
"Ampun katamu!" menendang tubuh pria tua tersebut tanpa ampun.
"Ampuni saya Tuan," ucapnya merintih kesakitan.
"Mengampunimu, hahaha keuntungan apa yang bisa kau berikan padaku?" tanya Darma menyeringai.
"Apapun Tuan, asal kau tidak membunuhku," ungkap pria tua tersebut lirih.
"Bekerja selama setahun padaku tanpa digaji, tapi hutangmu tetap tidak berkurang sama sekali," tawa Darma menggema.
"Baik Tuan, asalkan saya tidak mati," bersujud kembali.
"Aku suka orang-orang yang patuh kepadaku" tawa Darma kembali.
"Baik, kita pergi sekarang. Oh ya kamu Pria tua, mulai sekarang sudah bisa bekerja. Kau ambil pinang yang banyak kemudian kupas dan jual kemudian uangnya setor padaku."
"Bukannya Tuan tidak punya pohon pinang,"
"Aku tidak peduli, aku mau kau memberikan setoran padaku. Jika tidak jangankan dirimu, satu keluargamu akan mengalami kepedihan." Ancam Darma.
"Baik Tuan"
"Ajudan, ayo kita kita ke rumah yang lain mengambil setoran untukku," tertawa lepas kemudian memakai topi koboy miliknya.
"Baik Tuan,"
Itulah kehidupan mafia bernama Darma, ia tidak segan-segan membunuh orang yang lemah. Ia sangat berkuasa tak satupun orang yang berani menentangnya kecuali anaknya sendiri_Franz Rivano.
Sedangkan kehidupan Laura adalah menghamburkan uang. Banyak barang-barang yang ia beli untuk menyombongkan diri. Sifat konsumtif yang dimilikinya sangat tidak terkontrol. Ia juga melakukan tindakan kejam, menyuruh semua orang patuh padanya. Adik Franz yang satu ini sifatnya memang menurun dari sang ayah_Darma Rivano.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!