NovelToon NovelToon

Mahligai Prahara

Ivana

Di tengah gelapnya malam. Ketika suara guyur hujan yang begitu deras disertai dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar di langit. Gemuruhnya berhasil membuat beberapa orang memanjatkan doa ketika rasa takut akan sesuatu kembali hadir dalam benak mereka.

Seorang gadis kecil mengerjapkan matanya panik, ia terjaga dari lelapnya buai indah alam mimpi. Gelegar suara petir yang menyeramkan berhasil membuat gadis itu terkesiap dan menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangan mungilnya. Sesaat kemudian matanya kembali terpejam, sedang bibirnya gemetar menahan isak tangis ketakutan.

Dia adalah Ivana, seorang gadis mungil berusia empat tahun dengan mata biru indah yang menjadi ciri khasnya. Ivana dalam bahasa Ibrani memiliki arti Pemberian Tuhan.

Seperti namanya, Ivana terlahir karena berkat dari Tuhan. Gadis belia itu memiliki paras cantik khas gadis Rusia dengan bola mata berwarna biru yang menjadi daya tarik utama bagi setiap orang yang melihatnya.

Namun tak seperti keindahan mata yang dimilikinya. Ivana kecil tak pernah merasakan arti kebahagiaan sebuah keluarga. Hari-harinya berlalu dengan kehampaan.

Kehadirannya seolah tak pernah terlihat di sana kecuali oleh sang papa.

Reynand, gadis itu memanggilnya dengan sebutan papa. Meski nyatanya paras keduanya jelas-jelas berbeda dan tak ada kemiripan jika dilihat dari sisi manapun.

"Papa ... Papa," panggilnya berulang seraya mengetuk-ngetuk badan pintu kamar papanya.

Gadis kecil itu meraung-raung sedang kakinya gemetar menahan takut yang dirasanya kian mencekam.

Sesaat kemudian pintu itu pun terbuka. Reynand yang baru saja pulang dari tempat usahanya dan baru saja memejamkan matanya itu pun kembali terjaga tatkala mendengar putrinya yang terus memanggil namanya berulang kali.

"Pejamkan matamu dan rapalkan doa seperti yang pernah papa ajarkan," bisik Reynand di telinga Ivana. Gadis itu mengangguk patuh.

Ia memejamkan matanya dan bibirnya pun segera merapalkan bait doa seperti yang telah diucapkan sang papa.

Reynand membawa gadis kecilnya itu dalam dekapannya, memeluknya dengan erat dan menimangnya dengan penuh kasih.

"Jangan takut, ada Papa di sini," ucapnya seraya membelai lembut rambut gadis kecilnya. Ia membawa Ivana dalam gendongannya, menimangnya dengan sayang dan juga menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya.

"Pa," Ivana kecil berucap pelan dengan mata yang berpura terpejam.

Reynand bergeming, namun ia tetap menghadirkan belai lembutnya di kepala gadis kecilnya itu.

"Apa mama membenci ku?" tanya Ivana lagi.

Seketika Reynand mematung, tangannya tak lagi bisa menghadirkan usapan lembut di kepala putrinya tatkala pertanyaan itu terus diucapkan oleh Ivana dan terus saja menghantuinya.

"Mama tidak membenci Ivana. Bukankah papa sudah seringkali menjelaskannya padamu, hm!" Reynand berucap penuh kelembutan. Berusaha membuat gadis kecilnya itu tenang setelah mendengar jawaban darinya.

"Tapi kenapa, mama selalu menatapku dengan penuh kebencian?" tanya Ivana lagi.

"Dengar papa, Sayang. Mama tidak membencimu, mama sangat menyayangi Ivana, mama juga mencintai Ivana. Mungkin saat ini mama hanya sedang lelah, jadi Ivana harus jadi anak baik dan dengar kata-kata Papa ya, Sayang." Reynand berupaya tegar menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh gadis kecil itu.

"Tidurlah, Papa akan terus menemanimu di sini sampai kau terlelap."

Ivana menganggukkan kepalanya, gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu sang papa hingga ia kembali lelap dalam buai mimpi.

*****

Lima tahun yang lalu. Ketika kedua pasangan muda itu dirundung suatu masalah rumah tangga. Reynand dengan segala kelembutan hatinya sudah mencoba segala hal demi meluluhkan hati sang istri.

Namun upayanya seolah tak membuahkan hasil, dan istrinya itu kian menggila tatkala ia tahu bahwa cintanya telah sepenuhnya pergi dari hidupnya.

Ia frustrasi dan terus menyiksa diri tatkala mengetahui bahwa Zayn benar-benar memilih untuk pergi dan menghindarinya untuk selama-lamanya.

Terus menangisi kepiluan yang menimpanya, terjerumus dalam sesak yang seolah tak memberinya ruang untuk bernapas lega.

Bahkan untuk sehari saja seolah ia tak bisa lepas dari bayang kisah asmara yang sedari awal tak pernah berpihak pada dirinya.

Semuanya sudah hancur, baik dari segi hidupannya maupun mengenai segala ikatan yang kini menjeratnya dengan teramat erat.

Ia tak bisa lagi melangkah mundur, berlari menjauh, ataupun melangkah maju tanpa dasar yang ia inginkan.

Ia tak ingin seperti ini, apalagi memiliki jalan hidup yang begitu menyedihkan seperti sekarang ini.

Tapi apalah daya, sekarang Hanum hanya bisa berjalan di atas satu titian.

Ia harus tetap melanjutkan kehidupannya meski dengan keterpaksaan sekalipun.

...----------------...

Di suatu bar yang lumayan besar dan juga ramai. Di tepian paling ujung tempat laknat itu, Hanum tertunduk di sana.

Ia baru saja selesai dengan perdebatan panjangnya dengan suaminya, Reynand.

Ia benar-benar tidak bisa menerima kenyataan jalan hidupnya yang sedemikian rumit.

Menikah dengan orang yang tak ia cintai dan dihadapkan dengan kenyataan pahit lainnya mengenai kepergian Zayn.

Sudah tujuh bulan berselang semenjak ia resmi dipersunting oleh, Reynand, dan selama itu pula ia telah menyandang gelar sebagai menantu keluarga Malik. Namun begitu, ia tak berniat untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia masih menyimpan kesuciannya dan belum menyerahkan diri secara pasrah kepada suaminya.

Teguk terakhir dari gelas minuman beralkohol itu berhasil tandas dalam tenggorokannya. Hanum mulai merasakan pusing dan kepalanya serasa berputar.

Kakinya mendadak lemas dan terasa berat ketika ia hendak mengayunkan gerak langkahnya ke lantai. Meski begitu ia tetap berusaha walaupun harus berjalan dengan terhuyung-huyung sembari memegangi kepalanya, hingga ia pun berhasil sampai di depan pintu keluar bar. Namun rasa berat di kepalanya kian tak tertahankan, membuatnya limbung dan seketika hilang kesadaran.

Tubuhnya ambruk, lunglai tanpa daya di bawah kungkungan orang asing yang melintas di sampingnya.

Hilang Kesucian.

Dihari yang telah berganti. Ketika mentari mulai menampakkan sinar terang yang menyilaukan mata.

Hanum menggeliat nyaman di atas tempat tidur, merenggangkan sekujur otot tubuhnya yang terasa letih dan lunglai.

Ia mengerjap bingung tatkala tersadar dan mendapati dirinya sedang berada di tempat asing yang tak pernah ia sambangi sebelumnya. "Ini dimana?" tanyanya bingung seraya melihat sekeliling ruangan.

Pikirannya mendadak kacau tatkala ia baru saja tersadar dengan apa yang telah terjadi pada dirinya.

Serakan bajunya yang tercecer di atas permukaan lantai membuat wanita itu seketika menjerit histeris sembari mengencangkan selimut untuk menutupi bagian tubuhnya.

Ia histeris setelah mendapati keadaan tubuhnya yang memiliki banyak tanda merah dibeberapa bagiannya. Kesuciannya telah dipastikan hilang terenggut oleh seseorang yang tak ia kenali.

Segera ia memunguti pakainya kembali dan secepatnya mengenakannya dengan terburu-buru. Sesekali isaknya timbul kembali tatkala ia melihat adanya bercak merah darah yang telah mengering mengotori ranjang tempat semula ia berbaring tadi.

Dengan penuh ketegaran ia menghapus jejak air matanya. Percuma menangis karena hal buruk telah menimpa dirinya. Kesuciannya telah hilang dan takkan mungkin kembali walaupun ia menangis darah sekalipun.

Suasana teramat hening. Dari dalam bilik kamar berukuran luas itu ia dapat mendengar suara ayun langkah kaki yang sedang menuju ke arahnya. "Siapa?" kerjapnya panik seraya memeluk tubuhnya erat.

Langkah kaki itu kian berderap kencang, begitupula dengan napas Hanum yang kian memburu dilanda kecemasan.

Ia takut sekaligus bingung harus berbuat apa.

Ia hanya bisa berdiri tegap, mematung ditempat semula dengan tubuh gemetar sembari melihat badan pintu yang perlahan mulai terbuka.

"Selamat pagi, " ucap seorang pria yang memiliki warna mata bak permata indah itu. Senyumnya mengembang sempurna, tanda pria itu sedang berbahagia.

Hanum memundurkan langkahnya pelan, berupaya menjauh tatkala pria itu berusaha mendekatinya. "Berhenti, jangan mendekat!" peringatnya dengan nada bergetar seraya mengisyaratkan tangannya kepada pria itu untuk berhenti di tempatnya.

Sontak pria itu menghentikan laju kakinya. Ia mengusap kilas keningnya sebelum akhirnya ia kembali bersuara, "Danill Hamann," ucapnya seraya mengulurkan tangannya.

"Siapa namamu, Nona?" imbuhnya lagi sembari menanti jemari Hanum yang tak kunjung jua menyambut uluran hangat dari pria bermata indah itu.

Hanum bergeming, ia memandang wajah asing itu dengan tatap kebencian. Pria itu telah merenggut paksa kesucian miliknya, dan sialnya lagi ia tak ingat apapun mengenai peristiwa menjijikkan itu.

"Terkutuk kau pria bajingan!" makinya sarkatik dengan telunjuknya yang mengacung tepat di wajah Danill. Tangisnya pecah dan bibirnya terus saja meracau tak jelas.

Pria itu mengerjap terkejut. Bibirnya bungkam tak dapat berkata-kata ketika melihat gadis di hadapannya itu menangis histeris. Baru kali ini ada wanita yang memakinya dan menatapnya dengan pandangan seperti itu. "Maafkan aku atas segala kejadian semalam, Nona. Aku tau, aku sudah berlaku kurang ajar terhadap mu," ujarnya seraya mengulurkan tangannya mencoba untuk menenangkan hanum yang kian histeris.

"Kurang ajar? Kau bahkan tak layak disebut sebagai manusia!" Hanum menepis kasar uluran tangan Danill dari hadapannya.

Ia masih terisak menahan sesak akan kehancuran dirinya.

Ia bukan lagi seorang istri yang suci. Seharusnya ia menyerahkan kesuciannya kepada suaminya sejak jauh-jauh hari, bukan malah menyerahkannya kepada orang asing yang bahkan tak ia kenali.

"Kau mau kemana?" tanyanya tatkala melihat Hanum yang terburu mengemasi isi tasnya.

"Kau pikir, apa aku akan tinggal disini bersama dengan pria laknat yang telah merenggut harta paling berharga milikku? Melihat wajahmu saja aku sudah merasa muak!" sarkasnya dengan sorot mata tajam.

Air matanya masih menganak sungai, begitupun dengan kemarahannya yang kian menjadi-jadi. Pria di hadapannya ini benar-benar membuatnya muak dan jijik.

"Lantas, siapa yang salah disini? Bukankah semalam kau sendiri yang menjatuhkan diri ke pelukanku? Kau sendiri yang merengkuhku dan sekarang kau malah menjadikan ku sebagai kambing hitam?

Ayolah! Kita sudah sama-sama dewasa, dan ... semalam kau juga menginginkannya bukan?" cetus Danill yang seketika membuat Hanum terbungkam.

Ia memejamkan matanya untuk sesaat. Telinganya terasa panas mendengar kata-kata hina yang keluar dari mulut pria itu. Jemarinya mengepal erat sebelum detik berikutnya ia lepas kendali dan mendaratkan tamparan kerasnya tepat di pipi pria itu. "Kau pantas mendapatkannya!" ucapnya geram.

Danill mengusap wajahnya yang masih terasa kebas dengan rasa panas yang masih menjalari area wajahnya.

Gerahamnya mengetat sedang jemarinya mencekal erat wajah wanita itu. Membuat Hanum mau tak mau mendongakkan kepalanya lalu kemudian bersitatap dengan pria pemilik netra biru itu.

"Kau boleh memaki dan mengeluarkan segala emosimu, tapi tidak dengan memukul ku semau mu sendiri.

Tinggallah disini jika kau berkenan. Aku tak akan lari dan akan bersikap layaknya pria dewasa yang akan memenuhi tanggung jawabku terhadapmu. Jika memang itu yang kau inginkan," tuturnya sedikit lembut diikuti oleh sorot matanya yang perlahan mulai meredup.

"Cih!" decihnya dengan angkuh.

"Jangan mimpi dan jangan berharap apapun. Kau terlalu memandang tinggi dirimu sendiri. Seolah aku akan mengemis sebuah tanggung jawab dan membebani mu.

Perlu kau ketahui satu hal bahwasanya aku adalah seorang wanita yang sudah bersuami, bukan wanita murahan yang hanya mengemis sebuah tanggung jawab. Menyingkir dariku dan biarkan aku pergi, sekarang!" Hanum menatap Danill dengan sorot mata tajam. Tiada secuilpun ketakutan yang terbesit lagi dalam setiap tutur katanya.

Ia menepis kasar jemari Danill yang masih menangkupi wajahnya. Langkah kakinya melebar keluar dari kamar tersebut sebelum akhirnya bunyi dentam pintu yang berayun cepat menjadi sekat pemisah di antara keduanya.

Ia bergegas pergi meninggalkan kediaman terkutuk itu dengan cucuran air mata.

pertahanannya runtuh diikuti sesal dan rasa bersalahnya terhadap, Reynand.

Pria itu begitu mencintainya, memandangnya dengan tinggi dan tak pernah sekalipun memaksakan kehendak terhadapnya. Namun sekarang semuanya hancur, mahligai rumah tangganya serasa kian berantakan dengan hadirnya masalah ini.

Suatu Dosa

Langkahnya lunglai menyusuri pelataran rumahnya. Hanum baru saja tiba di kediamannya.

Ia melangkah pelan, sedikit terseok menjaga gerak langkahnya dengan hati-hati seraya menahan nyeri yang masih terasa mengganggu di area pribadinya.

Suasana rumah itu masih sepi dan wanita itu dapat menghela napas lega untuk sesaat. Ia melangkah gontai masuk ke dalam kediamannya, lalu kemudian merebahkan dirinya dengan nyaman di atas sofa. Tubuhnya terasa lelah dan sendinya terasa terlepas dari kerangka tubuhnya. Inginnya hanya bisa memejamkan mata untuk sesaat agar ia bisa lupa akan kejadian naas yang sempat menimpa hidupnya.

Baru saja sejenak ia terlelap, tetapi tiba-tiba indra penciumannya mendapati hadirnya aroma Jasmine tea yang menguar lembut ke udara.

Ia hafal betul teh ini selalu menjadi faforit Reynand tatkala pria itu sedang bersantai di rumah.

''Mungkinkah ia sudah kembali?'' batinnya segera bangkit dari posisi rebahnya.

"Kau baru pulang?" senyum Reynand tertoreh tipis menyambut kedatangan istrinya yang malah menatapnya dengan tatapan kosong.

Sorot mata teduh itu membuatnya kian merasa berdosa, ia telah mengkhianati kepercayaan Reynand terhadapnya.

"Haruskah aku jujur? Akan tetapi, bukankah hal itu malah akan menyakiti hatimu?" Hanum bimbang dengan dilema yang berkecamuk dalam pikirannya.

"Apa kau baik-baik saja?" Reynand berucap lirih penuh kekhawatiran.

Sorot matanya yang teduh dengan untaian kata syarat akan perhatian itu membuat Hanum kian teriris hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri menahan sendu dan air mata yang sudah berada di ujung matanya, "bukankah kau lelah?" ucapan itu keluar begitu saja secara tiba-tiba.

Ia hendak mengalihkan pembicaraan yang terasa menyesakkan dadanya itu.

"Aku baik-baik saja. Apa kau lapar?" Reynand balik bertanya dan hendak bangkit dari duduknya.

Namun jemari Hanum dengan segera menahannya untuk tetap duduk di tempat semula.

"Jangan pergi, duduklah sebentar. Aku ingin bicara."

Reynand menyunggingkan senyum tipisnya, kemudian mengangguk dan kembali duduk tepat di samping Hanum, "ada apa?" tanyanya.

Hanum mengalihkan pandangannya sejenak, menyapukan pandangannya ke penjuru ruangan serta melihat setiap detail tempat itu yang mungkin akan menjadi kali terakhir baginya untuk bisa melihat kediamannya bersama sang suami. Mungkin lebih tepatnya akan menjadi mantan suami sebentar lagi.

"Apa yang membuatmu begitu gelisah, hm?" Reynand menyapukan jemarinya lembut seraya membelai wajah Hanum yang mulai memerah. Jelas terlihat ada bulir air mata yang tertahan di sudut mata indahnya.

"Mari kita bercerai." Hanum berucap lirih dengan kepala tertunduk.

Reynand termangu. Tak disangka dan tak diduga pernyataan seperti inilah yang akan ia dengar dari mulut istrinya. Jemarinya berhenti bergerak hingga keheningan membentang di antara keduanya di beberapa detik berikutnya. Sesaat kemudian pria itu kembali menyapukan jemarinya lagi ke pipi sang istri yang telah basah oleh tetes air mata kepedihan. Hatinya serasa hancur ketika bibir mungil itu mengucap ingin akan perpisahan.

"Kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?" Reynand berucap lirih seraya menundukkan kepalanya. Pandangannya redup menahan perih yang mulai merambati hatinya.

"Tak ada alasan pasti.

A-aku hanya ingin kita berpisah," ucap Hanum sembari memalingkan wajahnya lagi. Hatinya pun terasa sakit ketika melihat pria di hadapannya itu nampak pilu setelah mendengar tutur katanya. Ia telah kotor, tersentuh oleh tangan pria lain.

Dan hatinya pun tak kuasa jika harus menahan kebohongan yang merupakan suatu dosa besar dalam pernikahan. Ia hina, dan ia tak lagi pantas bagi seorang, Reynand.

"Kita tidak akan pernah berpisah." Reynand berucap penuh ketegasan. Sedang dalam benaknya tersimpan banyak pertanyaan yang carut marut menuntut akan sebuah jawaban. Hanya semalam istrinya itu tak pulang ke rumah, namun paginya tiba-tiba ia meminta sebuah perceraian.

"Apakah, kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyanya curiga.

Hanum mengerjapkan matanya beberapa kali, debar jantungnya kembali berpacu seiring lidahnya yang keluh sulit untuk mengucapkan bait rangkai kata. Ia dilanda dilema, inginnya berkata jujur namun ia takut membuat pria dihadapannya itu menjadi murka.

"Jangan lagi berpijak di atas bara api. Jikalau tidak, bukan hanya kakimu yang akan melepuh melainkan seluruh tubuhmu juga akan terbakar." Hanum menipiskan bibirnya lagi.

Gurat wajahnya terlihat suram dengan kepedihan yang tersirat nyata di sana.

"Lepaskan aku, jangan lagi bertahan dan berjuang untuk memperkokoh rumah tangga yang sudah hancur sejak awal mula pernikahan kita, Rey."

Reynand bergeming, pria itu telah cukup lama bersabar dan diam demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Namun perceraian secara sepihak terlalu kejam baginya yang tak merasa berbuat suatu kesalahan. "Katakan alasannya, maka setelah itu aku akan mempertimbangkan soal perpisahan."

Hanum tertegun lagi, ia bergerak gelisah menyugar rambutnya dan menyisipkannya ke belakang telinga. "Yakinlah, kau tak akan sanggup untuk mendengarnya, Rey!"

"Katakan," ucapnya bersungguh-sungguh menanti sebuah penjelasan. Dalam hatinyapun ia merasa takut kalau hal yang akan ia dengar merupakan suatu hal tentang penghianatan akan ikatan suci pernikahan mereka.

"A-aku ... aku," ucapnya tersendat-sendat seraya menautkan jari jemarinya. Ia gugup diselimuti oleh ketakutan akan kemurkaan Reynand terhadapnya. "Maaf, Rey. Sungguh aku ... hanya ingin kita bercerai "

"Apakah ini sebuah kedok perselingkuhan? Apa kau menemukan pria lain di luaran sana dan berniat membuangku. Begitu?" ujarnya tegas seraya mencengkeram kuat bahu istrinya. Ia menatap bola mata Hanum dengan tatap penuh selidik, jika memang benar begitu adanya lantas dimana harga dirinya sebagai seorang pria disini?

Hal itu membuat Hanum mengeratkan kepalan tangannya. Ia jelas bukanlah perempuan semacam itu, tapi apa bedanya ia dengan seorang wanita yang berselingkuh? Jelas ia bukan lagi seorang wanita suci. Ia telah kotor, terjamah oleh pria asing yang merenggut hak dari suaminya sendiri.

Reynand memejamkan matanya sejenak kemudian terdengar desis lirih akan kemarahannya yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

"Apa kau menikmatinya, ketika kau berada di atas ranjang yang sama dengan pria itu? Bukankah menyenangkan bisa berhubungan dengan seorang wanita bersuami?" ujarnya dengan senyum mencela.

Bibirnya menyunggingkan senyum penuh ironi, menyamarkan kesedihan hatinya yang terasa pedih, hancur lebur dalam bingkai kepalsuan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!