"Garis dua!" teriak Delilah, lalu ia menggeleng tidak percaya atas apa yang dilihatnya.
Lima buah test pack yang menunjukkan dua garis merah. Delilah menutup mulut untuk menahan tangis. Tapi kenyataan sangat menyakitkan. Hal yang ia lakukan kini membuahkan hasil.
"Tidak!" teriaknya. "Aku enggak mau hamil!"
Pintu rumah terbuka. Delilah menoleh ke arah pria yang baru saja masuk dan lelaki itu kaget melihat Delilah yang kacau.
"Del, ada apa denganmu?" Nayaka segera menghampiri kekasihnya.
"Aku hamil, Kak. Aku hamil," ucapnya.
"H-hamil?" ulang Nayaka.
"Aku enggak mau anak ini."
Nayaka memeluk Delilah. "Apa yang kau katakan, Sayang? Dia anak kita. Aku bahagia kau hamil."
Mendengar ucapan Nayaka, Delilah langsung mendorong tubuh kekasihnya. Nayaka terjungkal ke belakang dan Delilah menatapnya penuh amarah.
"Apa kau bilang? Bahagia dengan kehamilanku. Aku ini baru sembilan belas tahun!" teriaknya.
"Kita bisa menikah, Del. Umurku sudah dua puluh empat tahun," ucap Nayaka.
"Sialan!" Delilah melempar test pack itu ke hadapan Nayaka. "Menikah denganmu? Apa kau masih waras? Hidupmu saja menumpang. Apa yang akan kau berikan padaku kalau kita menikah? Rumah, biaya sekolah semuanya dari mendiang ayahku! Hidupmu itu penuh belas kasih dariku."
Nayaka tersentak mendengar ucapan Delilah. Ia akui selama hidupnya atas belas kasih dari Dion. Apartemen yang ia tinggali di Jakarta. Mobil serta biaya pendidikan atas pemberian dari Dion.
"Bisa-bisanya aku jatuh cinta pada pria ini. Sudah ibunya pelakor, anaknya biang masalah, dan sekarang aku malah mengandung penerusnya," ucap Delilah. "Kakak tau kalau aku itu harus meneruskan perusahaan. Aku sekolah ke luar negeri karena ini."
Ya, Nayaka adalah anak dari Nilam. Sang ibu yang dituduh sebagai pelakor oleh Delilah. Nilam yang kini sudah tiada. Berkat godaan ibunya, Dion memberi apartemen serta mobil.
Sejak diusir dari rumah Dila, Nayaka dan Delilah masih berhubungan. Nayaka mendapat beasiswa ke Inggris dan Beberapa tahun selanjutnya Delilah menyusulnya.
"Aku harus menggugurkannya," ucap Delilah.
"Jangan, Del. Dia anak kita."
"Kau ingin aku mengandung anak ini?" Delilah menatapnya tajam. "Oh, kau sengaja membuatku hamil karen ingin menjadi menantu Handoko, kan? Enggak pantes, Kak. Keluargaku tidak akan menyetujuinya."
"Kita berdua saling mencintai. Apa salahnya menikah? Aku akan berusaha keras untuk menghidupimu."
Delilah berdecih, "Pria lemah sepertimu ingin bekerja keras? Melawan pembully-mu saja kau tidak mampu."
Nayaka menunduk. Apa yang dikatakan Delilah ada benarnya. Selama di kampus ia jadi bahan bulli teman-temannya dan Delilah adalah dewi penyelamatnya.
"Keputusanku sudah bulat. Aku harus mengugurkan kandungan ini," ucap Delilah.
"Resikonya terlalu besar, Del. Kalau terjadi apa-apa denganmu bagaimana?"
"Aku tidak bisa memberitahu keluarga. Kehamilan ini harus disembunyikan. Kita harus pindah dari sini."
"Kakakmu akan tau kita pindah," kata Nayaka.
"Kakakku bukan Tuhan. Tidak semua bisa dia lakukan dan ketahui. Aku harus cari alasan. Aku harus cuti kuliah. Pokoknya kita harus pindah dari London."
"Tapi, Del. Aku baru saja dapat kerja paruh waktu."
"Astaga, Nayaka!" teriak Delilah. "Uang jajanku saja masih besar dari gaji paruh waktumu. Kau bekerja di sepuluh tempat juga tidak bisa membuatmu kaya."
"Kita pindah ke mana?" tanya Nayaka.
"Paris saja. Pesan tiket kereta dan hotel. Seminggu lagi kita berangkat."
Nayaka mengangguk, lalu memesan tiket online. Delilah pergi begitu saja dari hadapan Nayaka. Ia masuk kamar dengan membanting pintu keras. Sudah biasa bagi Nayaka akan perlakuan Delilah yang semena-mena itu. Ia mencintai Delilah tulus dan bukan karena harta saja.
Delilah memiliki paras cantik. Matanya indah kecokelatan dengan bulu mata lentik. Hidungnya mancung kecil dengan bibir penuh. Senyumnya manis mengetarkan hati. Tinggi tubuhnya sekitar seratus enam puluh lima dengan bentuk berlekuk.
Bisa dibilang Nayaka begitu beruntung mendapatkan Delilah. Dari mereka remaja sudah menjalin hubungan teman, lalu menjadi sepasang kekasih.
Mereka tinggal bersama di rumah sewa. Delilah yang membayar semua. Memenuhi seluruh keperluan Nayaka. Apalah seorang pria yang cuma mengandalkan beasiswa untuk biaya pendidikkannya, dan untuk sehari-hari Nayaka bekerja paruh waktu.
Delilah menghubungi Reyhan lewat panggilan video. Ia harus memberitahu keinginannya untuk cuti dan berdiam di Paris. Delilah bisa saja pergi diam-diam, tetapi Reyhan kadang menyuruh orang untuk memantau perkembangan pendidikannya.
"Hai, Kak!" sapa Delilah sembari melambaikan tangan.
"Kebetulan sekali. Kakak dengar kau tinggal bersama seorang pria," ucap Reyhan.
"Kakak menyuruh orang untuk memata-mataiku? Aku sudah bilang jangan melakukan itu."
"Ayolah, Del. Kamu di negeri orang. Jelas Kakak khawatir. Sudah berapa lama dia tinggal bersamamu? Siapa pemuda itu?" tanya Reyhan.
"Bukan siapa-siapa. Sebenarnya dia cuma penyewa kamar sebelah. Kakak tau aku tinggal di rumah kontrakan dan dia salah satunya."
Meski bisa saja Reyhan membeli apartemen untuk Delilah, tetapi sang adik tidak menginginkannya. Delilah juga tidak ingin tinggal di apartemen mendiang ibunya. Itu akan membuatnya bersedih.
"Jaga kepercayaan Kakak, Delilah."
"Kakak yang harus percaya padaku. Jangan pikirkan apa pun. Lihat rambut Kakak yang memutih itu," ucap Delilah.
Dari seberang kamera sana, Reyhan tertawa. "Tapi masih tampan, kan?"
"Pastinya," ucap Delilah. "Oh, ya, Kak. Delilah mau pindah ke Paris dan cuti kuliah selama setahun."
Kening Reyhan berkerut. "Cuti kuliah?"
"Sebenarnya Delilah tengah ingin meneliti fashion di sana," dustanya.
"Meneliti fashion?" tanya Reyhan.
"Maksudnya mau ambil kursus. Pokoknya tentang fashion. Kakak tau kalau aku suka mendesain perhiasan."
"Oh, kebetulan ada tantenya kak Anna di sana. Kakak akan minta dia buat mengawasimu."
"Jangan merepotkan orang, Kak. Delilah bisa sendiri. Ayolah, Kak. Delilah ingin mandiri. Kiano saja bebas. Perlakukan kami dengan adil."
"Kiano itu pria dan kamu perempuan. Jelas beda," ucap Reyhan.
Delilah mengerucutkan bibir. "Delilah cuma mau bilang itu saja. Sampai jumpa, Kak."
"Jaga dirimu," ucap Reyhan.
Delilah memutus sambungan videonya. Nayaka masuk kamar. Bukan ia tidak mendengar ucapan dari kekasihnya. Selamanya Nayaka hanya teman atau penyewa rumah jika teman-teman Delilah menanyakan tentang dirinya.
"Sebaiknya aku berangkat dulu ke Paris. Kau menyusul saja," kata Delilah.
Nayaka mengangguk. "Aku sudah pesan tiketnya."
"Mulai sekarang menjauh dariku. Kau dengar sendiri kakakku sudah curiga, kan?"
"Di luar aku tidak dekat denganmu," kata Nayaka.
"Sudahlah. Lagipula aku bisa mengatasinya. Buatkan aku makanan. Perutku lapar," perintah Delilah.
Nayaka mengiakan, ia keluar kamar, lalu menuju dapur. Perasaan Nayaka bahagia bisa melayani kekasihnya yang tengah hamil dan ia juga senang dengan rencana pindah ke Paris.
Artinya, Delilah akan mempertahankan kandungannya. Buah hati mereka akan lahir sebentar lagi dan Nayaka tidak sabar untuk itu. Ia harus bekerja keras menghidupi keduanya. Setelah lulus nanti, Nayaka akan mencari pekerjaan yang baik.
Bersambung
"Sayang, makananmu sudah siap. Aku juga sudah potong buah," ucap Nayaka sembari berjalan ke kamar.
Ia membuka pintu. Delilah tengah tertidur pulas di atas tempat tidur. Nayaka menghampiri sang kekasih dan duduk di sisi petiduran. Ia usap puncak kepala Delilah.
Nayaka juga tidak mengira jika Delilah hamil. Selama hampir setahun tinggal bersama memang keduanya baru melakukan hubungan itu empat kali. Setidaknya saat Delilah menginginkannya. Nayaka sendiri tidak berani meminta maupun menolak keinginan gadis itu. Delilah adalah segalanya. Jika Delilah memintanya terjun dari jembatan London, maka Nayaka akan melakukannya.
"Sayang," bisik Nayaka.
Delilah bergumam. Perlahan bulu mata lentik itu bergerak. Delilah membuka mata perlahan dan memandang Nayaka di depannya. Delilah tersenyum, ia meraih tangan sang kekasih, lalu menempelkannya ke pipi. Hangat dan Delilah suka itu.
Nayaka tampan. Alisnya tebal, hidung mancung dengan garis tulang pipi yang tegas. Tubuh tinggi dan berkulit putih. Nayaka berdarah arab dan Amerika keturunan dari ayahnya. Sayangnya tubuh itu tidak berotot. Nayaka begitu kurus dan sebenarnya buka tipe dari Delilah. Namun, begitu dekat dengan Nayaka terasa nyaman.
Delilah juga tidak suka Nayaka yang gampang tertindas. Nayaka selalu bilang jika ia tidak ingin membuat masalah dengan anak-anak di kampus. Ia ingin belajar dan lulus dengan cepat. Di kampus, Nayaka hanya sendiri. Dia tidak punya teman. Ada pun sesama kutu buku.
Sampai Delilah merasa ia sangat buta bisa menyukai pria seperti Nayaka. Di luar sana mereka tidak saling kenal. Delilah malu bila teman-temannya sampai tahu jika ia memiliki hubungan bersama Nayaka.
"Aku sudah siapkan makanan," ucap Nayaka.
Pandangannya menurun ke perut rata Delilah. Nayaka memandang sang kekasih. Ia ingin mengusap janin yang ada di dalam sana, tetapi takut Delilah akan marah.
Delilah tertawa. "Kau ini sungguh penakut."
Nayaka menunduk. "Aku cuma tidak ingin kau marah."
"Buka bajumu. Aku menginginkanmu sekarang."
Nayaka tersentak. "Aku harus kerja sekarang. Nanti malam saja."
Delilah mengecup telapak tangan kekasihnya. "Ayolah, Kak. Aku menginginkannya. Tubuhmu membuatku ketagihan."
"Tapi, Del. Kau lagi hamil. Kalau terjadi apa-apa bagaimana?"
Delilah tersenyum. Sungguh Nayaka adalah pria penakut. Pantas saja sangat mudah untuk ditindas begitu saja.
"Kapan kau akan berubah? Aku menginginkan seorang kekasih yang kuat. Bisa melindungiku dan membuatku merasa aman," ucap Delilah.
"Aku akan berusaha," sahut Nayaka.
"Ayo, Sayang. Aku menginginkanmu. Kau tidak ingin aku kecewa, kan?"
"Tapi, Del."
"Kau tidak ingin melakukannya?" suara Delilah sudah meninggi.
Nayaka mengangguk. "Jangan marah, Del. Aku mau melakukannya."
"Cepat, buka bajumu!"
Nayaka bangun dari duduknya. Ia membuka habis pakaian yang dikenakan, lalu membantu Delilah melepas bajunya. Nayaka melaksanakan perintah Delilah. Memuaskan hasrat dari wanita itu.
"Jangan malu-malu, Kak. Perlakukan aku semaumu," bisik Delilah sembari mengigit daun telinga Nayaka.
"Sayang," ucap Nayaka.
"Iya, Sayang. Terus di sana. Hentak dengan kuat."
Kurus begitu, tetapi permainan Nayaka begitu memuaskan. Delilah selalu menginginkannya lagi dan lagi. Karena hal itu juga ia sampai kebablasan.
Nayaka menarik napas panjang. Tubuh berkeringat serta napas yang terengah menandakan ia telah bekerja keras. Delilah memeluknya dari belakang, lalu mengecup pipinya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Delilah.
"Kamu makanlah dulu. Aku harus berangkat kerja."
"Kita mandi bersama."
"Aku akan dipecat jika terlambat."
"Kau bilang mendapat pekerjaan paruh waktu lagi," kata Delilah.
"Aku harus menyiapkan uang buat kelulusan dan kembali ke Indonesia," ucap Nayaka.
"Kekasihmu ini yang akan membayar semuanya."
Nayaka menggeleng. "Jangan, Del. Aku ingin usaha sendiri."
Delilah berdecih, "Harga dirimu terlalu tinggi. Mau kau berusaha bagaimanapun tetap tidak mengubah keadaan. Kau memang penerima sumbangan."
"Aku tau, Del. Jangan selalu diingatkan. Aku tau diri, kok."
Nayaka memungut pakaiannya, lalu masuk kamar mandi. Delilah kembali merebahkan diri. Ia sama sekali tidak merasa bersalah telah mengucapkan kata-kata seperti itu. Memang kenyataannya begitu. Buat apa harus merasa bersalah.
Tidak lama Nayaka keluar kamar mandi dengan pakaian rapi. Ia akan bekerja di restoran yang buka sampai larut malam nanti.
"Aku pergi dulu. Kamu jangan lupa makan," ucap Nayaka.
"Iya, jangan lupa kunci pintunya."
Nayaka keluar rumah dan berjalan kaki menuju restoran tempatnya bekerja. Ada alasan kenapa ia bekerja mati-matian. Nayaka ingin mengembalikan semua pemberian ayah Delilah. Ia tidak ingin lagi sang kekasih mencercanya. Ia akan buktikan jika ia bisa hidup tanpa bantuan dari Delilah dan keluarga.
Namun, tidak tahu kapan ia bisa mengembalikan semuanya. Terlalu banyak dan Nayaka tidak yakin bisa membayarnya. Sekarang ia dihadapkan lagi pada sebuah kehidupan. Nayaka harus bertanggung jawab atas janin yang ada di dalam kandungan Delilah.
Nayaka mengusap wajahnya. "Semangat Nayaka," ucapnya.
*****
Memakan waktu hampir dua minggu untuk mengurus kepindahan mereka ke Paris. Tiket hotel dan kereta harus diganti untuk keberangkatan selanjutnya. Mengurus cuti kuliah cukup merepotkan.
Sementara Nayaka hanya izin beberapa hari saja. Ia akan mengantar Delilah dan mencari tempat tinggal. Nayaka harus menunggu kelulusan untuk bersama Delilah. Hanya dua bulan lagi dan mereka akan bersama.
"Aku berangkat dulu, kamu menyusul saja nanti," kata Delilah.
Nayaka mengangguk. "Aku sudah pesan taksi. Sebentar lagi akan tiba."
"Tetaplah di dalam sini sampai aku naik taksi. Koperku biar sopir taksi saja yang bawa."
"Tunggu aku di stasiun," ucap Nayaka.
"Aku tidak akan pergi tanpamu," sahut Delilah.
Taksi yang dipesan tiba. Sesuai permintaan Delilah, Nayaka cuma berdiam diri di dalam rumah sembari menatap sang kekasih masuk mobil taksi.
Setelah kendaraan itu berlalu, Nayaka kembali memesan taksi untuk dirinya. Ia akan pergi menyusul Delilah ke stasiun kereta. Sebenarnya bisa saja keduanya pergi bersama, tetapi Delilah mengatakan untuk berjaga-jaga saja. Takutnya ada seorang kenalan yang memperhatikan. Bagaimanapun Delilah tidak akan mengaku jika ia punya hubungan bersama Nayaka.
Sesampainya di stasiun, Nayaka segera menemui Delilah. Sang kekasih memang tengah menunggunya dan kereta cepat pun datang. Keduanya masuk dan siap menuju negara Paris untuk kehidupan baru.
"Saat di sana, aku harus mendaftar kursus mendesain. Ini hanya untuk pura-pura saja," ucap Delilah.
"Saat di sana berhati-hatilah. Aku akan datang bulan depan," kata Nayaka.
"Enggak salah ucapanmu? Bukannya aku yang selalu melindungimu dari pembulli."
"Aku sudah lihat beberapa iklan apartemen yang disewakan. Kau tinggal pilih saja," ucap Nayaka mengalihkan pembicaraan.
"Cari yang biasa saja. Saat di sana kita harus ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan," kata Delilah.
Nayaka mengangguk. "Aku memang berencana seperti itu, Sayang."
Delilah merebahkan kepalanya di pundak Nayaka. Ia memejamkan mata sembari menunggu kereta yang akan sampai beberapa jam lagi. Nayaka setia menjadi sandaran. Dari dulu ketika Delilah kehilangan orang tua sampai sekarang.
Bersambung
Akhirnya, Delilah dan Nayaka tiba di Paris. Keduanya menuju hotel yang telah dipesan untuk beristirahat. Delilah lebih dulu merebahkan diri di atas tempat tidur, sedangkan Nayaka sibuk mencari apartemen di wilayah sana melalui iklan di internet.
"Sayang, apa sebaiknya kita pindah ke kota Nantes? Di sana biaya hidup lebih murah," kata Nayaka.
Hidup di kota metropolitan seperti Paris memerlukan biaya hidup yang tinggi. Di kota kecil seperti Nantes, biaya hidup agak lebih murah. Nayaka bisa menyewa rumah atau apartemen sederhana dengan uang hasil kerjanya.
"Enggak bisa. Kita harus tetap berada di Paris. Tempat kursus itu ada di sini. Lagian aku yang bayar sewanya per tahun. Kau jangan khawatir," sahut Delilah.
Rencananya Delilah akan mengikuti kursus agar keluarganya percaya jika selama di Paris, ia benar-benar belajar. Kedok itu akan dijadikan tameng untuk menyembunyikan kehamilannya.
Paris akan masuk musim gugur. Dengan begitu, ia bisa menyembunyikan kehamilan dengan mengenakan baju tebal. Delilah memperkirakan ia melahirkan di akhir musim salju nantinya.
"Coba kamu lihat apartemen ini. Cuma ini yang bisa kudapatkan," ucap Nayaka sembari memberikan ponselnya.
Delilah melihat beberapa apartemen serta fasilitas yang berada di dalamnya. Apartemen paling murah sekitar sebelas juta per bulan jika dirupiahkan. Belum biaya makan, listrik, internet serta transport. Bagi Delilah itu bukan masalah, tetapi bagi Nayaka sekali lagi harga dirinya terluka. Ia akan terus menumpang hidup dengan Delilah.
"Kita pilih di jalan Marais saja. Besok kita ke sana melihat-lihat. Sekarang aku tidur dulu. Capek banget," ucap Delilah.
"Mau makan apa?" tanya Nayaka.
"Cari saja yang menurutmu enak. Aku mau makan apa saja."
"Aku keluar sebentar cari makanan."
Delilah menanggapi dengan deheman. Merebahkan kepala di atas bantal, lalu menarik selimut sampai batas leher. Nayaka cuma bisa menggelengkan kepala melihat itu. Delilah hamil, tetapi seperti tidak sedang mengandung. Dia tidak mengidam seperti kebanyakan wanita hamil biasanya.
Nayaka keluar dari kamar hotel. Ia akan berjalan-jalan sekitar sembari mencari lowongan kerja untuk kedatangan berikutnya. Ia akan lulus setelah itu pulang ke Jakarta mencari pekerjaan di sana. Rasanya tidak sabar untuk itu. Ia merindukan tanah kelahirannya. Bersama Delilah dan buah hatinya. Mereka akan hidup bahagia.
Roti juga buah yang bisa Nayaka beli dengan uang yang ia punya. Juga dua botol air mineral untuk berdua. Makanan siap saji begitu mahal dan lebih bagus bisa memasak makanan sendiri. Tapi mereka berada di Paris. Nayaka tidak bisa memasak makanan untuk sang kekasih. Uang yang diberikan Delilah memang ada, tetapi Nayaka ingin buah hatinya merasakan makanan yang ia beli dengan uang hasil keringatnya.
Saat Nayaka tiba di kamar hotel, Delilah sudah bangun dan mandi. Nayaka langsung saja memberikan roti gandum dan air mineral untuknya.
"Aku cuci dulu buahnya," ucap Nayaka sembari berjalan ke kamar mandi.
Delilah menggeleng melihat makanan yang dibeli Nayaka. "Padahal aku sudah memberinya uang. Tetap saja membelikanku makanan ini dengan uangnya sendiri."
Nayaka keluar dengan membawa buah apel yang telah bersih. Ia memberikan itu kepada Delilah untuk dimakan sementara ia cuma melihat.
"Sungguh ingin jadi pengemis? Kenapa tidak membeli untukmu juga?" ucap Delilah.
"Enggak, kok. Aku masih belum lapar," kilah Nayaka, lalu mengambil sebotol air mineral dan meneguknya.
"Jangan terlalu memaksakan diri, Kak. Aku sangat muak akan tingkahmu ini."
Dua buah roti gandum dan tiga buah apel serta dua botol air mineral. Hanya itu yang Nayaka beli. Khusus untuk kekasihnya saja, sedangkan ia juga kelaparan.
"Makan saja roti itu. Aku pesan makanan di resto saja," ucap Delilah.
"Jangan, Sayang. Makan roti ini biar anak kita merasakan juga," kata Nayaka.
"Jadi, kau membeli ini untuk anakmu?"
"Biar dia tau pemberian ayahnya," jawab Nayaka.
Delilah tersenyum. "Baiklah, tapi ayahnya harus makan juga. Kita bagi saja. Aku tidak kuat menghabiskannya."
Nayaka mengangguk kemudian ikut makan bersama. Selesai makan bersama, Nayaka mengeluarkan hadiah dari saku celana. Sebuah gelang rantai perak yang terdapat inisial nama Delilah.
"Sayang, aku punya hadiah untukmu," ucap Nayaka.
"Oh, ya. Gelang itu?" tanya Delilah.
"Ini cuma gelang perak. Aku memberikannya tulus."
Delilah tertawa kecil. "Kakak, kau masih saja malu-malu. Jangan takut padaku. Aku tidak akan marah. Pakaikan di tanganku."
Delilah mengulurkan tangannya. Nayaka dengan senang hati memakaikan gelang itu di pergelangan tangan sang kekasih. Ia memberanikan diri mengusap perut rata Delilah. Menundukan kepala untuk bisa mengecupnya.
"Apa yang kau lakukan?" ucap Delilah.
Nayaka tersentak. "Maaf, aku cuma ingin menyentuhnya."
Delilah tertawa. "Ya, ampun. Aku cuma bercanda. Lakukan apa pun yang kau mau. Aku kekasihmu."
Nayaka tersenyum. "Iya, Sayang."
Selalu saja ada kata permintaan maaf. Nayaka sudah terbiasa mengatakannya sedari hidup tersiksa. Dia tidak boleh berbuat salah kalau tidak sang ayah akan memukulinya. Nayaka adalah korban kekerasan dalam keluarga. Meski Delilah sudah memberi banyak nasihat tetap saja Nayaka bersikap seperti itu.
"Kakak bersih-bersih dulu. Aku akan tunggu di atas tempat tidur," bisik Delilah.
"Kau ingin lagi?"
"Mumpung kita di Paris. Kita tidak boleh melewatkan moment romantis ini, kan?" ucap Delilah.
Nayaka mengangguk. "Baiklah, aku mandi dulu."
Selesai membersihkan diri, Nayaka melayani Delilah. Ia memperlakukan sang kekasih begitu lembut. Nayaka tidak ingin sampai terjadi hal tidak diinginkan pada kandungan Delilah.
"Iya, Sayang. Kuat sedikit," pinta Delilah.
Nayaka mengecup bibirnya. "Kasihan anak kita, Sayang."
"Aku tidak tau, kenapa selalu mengingingkanmu," ucap Delilah yang kembali memagut bibir Nayaka.
Nayaka membalik posisi mereka. Delilah berada di atas dan bergerak seiring irama tubuhnya. Pelan, tetapi menghunjam dengan kedua tangan Nayaka menangkup dua sisi kelembutannya.
Delilah jatuh di atas tubuh Nayaka. Ia mencapainya. Kakinya tidak sanggup lagi untuk menopang tubuh dalam gerakan turun naik tanjakan. Napasnya terengah kelelahan. Nayaka memutar kembali posisi. Mengambil alih kendali untuk pelepasannya. Keluar masuk dalam tempo sedikit cepat.
"Sudah puas?" tanya Nayaka.
Delilah mengangguk. "Biar aku istirahat dulu."
Nayaka mengecup kening kekasihnya, lalu kecupan itu turun ke perut rata Delilah. "Sayang, baik-baik di dalam sana. Maaf, ya, Papa selalu mengguncangmu."
"Dia yang minta," kata Delilah.
Nayaka membawa Delilah dalam dekapannya. "Mama suka fitnah padahal mamanya yang kepengen."
Delilah tertawa. "Sungguh! Aku ingin terus ditiduri olehmu. Mungkin karena dia juga."
"Istirahatlah. Jangan sampai kelelahan."
"Aku memang sudah lelah dan kau penyebabnya. sahut Delilah sembari tertawa.
"Aku hanya menuruti permintaan kekasihku. Sekarang, tidurlah," ucap Nayaka.
Delilah memejamkan mata. Nayaka kembali mendaratkan kecupan di kening sang kekasih. Kemudian ikut menutup mata sampai mimpi mengambil alih.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!