🐝🐝🌺🌺🌺🌼🌼🌷🌷⚘⚘
Prangg!!!
Suara kaca pecah yang ambyar di lantai membuatku mendongak melihatnya. Mungkin aku lancang sekali, di antara barisan pembantu, yang suka kusebut kacung, hanya akulah yang berani menatap langsung si pelaku pecah kaca. Bos besar kami yang sok berkuasa dengan uangnya, tapi memang begitulah kenyataannya. Para kacung takut karena duitnya. Begitupun denganku.
"Heh, kamu!"
Eh, bos besar menunjuk aku dengan gaya berkuasanya, seperti menunjuk seorang harem untuk menemaninya bercinta. Aku tidak suka, gayanya tidak sopan. Tapi apa boleh buat, uang membuatnya berkuasa.
Akupun mendekat, kutatap mata coklat pekatnya dengan nekat. Boss besar memandang tidak suka padaku. Degupan takut datang tiba-tiba di luar kendaliku. Bagaimanapun, aku adalah anak baru alias kacung baru. Jadi, wajib bagiku mengingat etika yang ada. Kepalaku menunduk, kutatap ujung sepatunya yang hitam mengkilat, menunggu pasrah arahan bos padaku selanjutnya.
"Bersihkan!"
Segera kusambar tisu kering di mejanya, kupungut dan kubersihkan dengan gerak cepat jemari tanganku. Hingga semua bersih pun, tak juga ku pahami, kenapa bisa gelas porselen ini jatuh ambyar ke lantai. Aku tidak tahu kronologisnya, caloku mengantar lambat ke sini. Aku disuruh masuk begitu saja ke dalam barisan para kacung yang sedang apel pagi.
Yang ku duga, lelaki berkulit kuning cerah dan tampan itulah juraganku. Kulirik sepatu hitam mengkilat itu mulai bergerak menjauh. Para kacung menghembus nafas lega, begitu juga denganku. Segera kucampakkan gumpalan tisu berisi pecahan porselen ke keranjang sampah terdekat denganku.
Aku kembali ke barisanku yang sudah bubar. Barisan bubar itu telah kembali ke posisi mereka sesuai job kerja masing-masing. Hanya aku yang menoleh ke sana ke mari tanpa ada kesibukan apapun.
Orang yang membawaku ke sini telah raib entah ke mana. Tanpa serah dan terima job kerja yang jelas seperti mereka. Para kacung seniorku tidak peduli dengan keberadaanku.
Seorang wanita tinggi besar badan dempal mendekatiku. Wajahnya berjerawat. Rambutnya hitam, lurus kaku tak bersinar, sepertinya sudah lewat lama dari waktu rebonding ulang. Hanya tiga alasan pastinya kenapa terlambat. Antara sayang keluar uang, malas dan sibuk. Cobalah tanya sendiri di hatimu, apa alasannya?!
"Elshe Dindania?! Kaukah itu?!"
Ups! Logat itu... aku sering lihat logat bicara semacam itu dari televisi di kamar rumahku. Logat suku Batak, di Sumatera Utara. Aku suka mendengarnya!
Akupun mengangguk beruntun banyak kali untuk lebih meyakinkan.Diberikannya padaku selembar kertas, sebuah perjanjian. Kubaca seksama, aku tak mau dilibatkan dalam istilah perdagangan manusia. Jadi aku harus siaga, insting hati-hati kutancap di manapun aku berada.
Isi kertas ini ku pastikan berbunyi aman, ini adalah jaminan kontrak kerjaku selama magang enam bulan, waktu uji coba ngacungku di sini. Jika kerjaku berkesan dan aku berminat, aku bisa diperpanjang oleh wanita berambut kaku itu. Tanpa ragu, kucoretkan tanda tanganku di sebagaian atas materai, yang tertempel di pojok kertas bawah.
Wanita itu mengambil kertasku dan melirikku sedikit. Mungkin merasa aneh dengan penampilanku yang tidak gaul sama sekali. Aku tidak peduli, ini pilihanku. Senang atau tidak, itu urusanku dan juga urusanmu.
Tampilanku kali ini adalah bertopi, dengan poni panjang yang hampir menusuk mata. Ku perparah dengan kacamata sedikit buram seperti orang buta di televisi. Celana kain tiga perempat kedodoran, serta kaos longgar agak kusam.Orang lain mungkin tidak damai melihatku, tapi aku merasa nyaman dan berusaha kunikmati.
"Ratih! Kemarilah kau!!!"
Suaranya melengking tidak cuma besar, tapi serak juga seperti lelaki. Wanita setengah baya bernama Ratih melenggang mendekati kami. Sedikit melirikku dengan malas, akupun juga malas melihatnya, rasa tidak sukanya padaku begitu mudah kubaca dari mukanya.
"Bawa barang baru ini, hajar sesuai kebolehannya!"
Ish, apa nih maksud wanita besar berkata begitu tentangku, emang di sini ada ospek, kayak anak kuliahan aja. Usia udah tua, diam-diam obsesi jadi mahasiswa. Udah suaranya gede nggak ada halus-halusnya, jiwanya anak-anak!
Ratih mengajakku hanya dengan melirikku. Sepertinya aku punya daya telepati tinggi dengannya. Tanpa dia bicara pun, aku sudah paham apa maunya.
Ku ikuti langkahnya dengan santai. Ratih berdiri tepat di depan sebuah kamar besar yang kotor. Kamar ini sendirian dan terpisah di pojok belakang, dekat dengan kolam ikan yang juga nampak kotor.
Diberinya kunci kamar itu padaku. Hanya satu, tak ada duplikatnya. Aku berniat akan menggandakannya hingga selusin. Berjaga-jaga jika lupa satu, akan ada banyak penggantinya. Seperti halnya jarum pentul, peniti atau ikat rambut, yang akan kuhabiskan pada waktunya. Tanpa ada bangkai bekasnya sebijipun. Ibuku suka bising tentang ini.
Kamar itu berhasil kubuka, lumayan bagus namun tertutup debu tebal. Sebelum semangat bersih-bersihku berkurang, segera kukerahkan semua tenaga untuk solo baksos di kamar baruku. Tidak lama, kamar ini telah kusulap jadi sebuah suite ala hunian terbuka yang akrab dengan lingkungan. Kolam ikan mini itu memang pas di depan kamar baruku.
Badanku rasanya sangat kotor, debu menempel di sana sini.Segera ku lepas habis semua atributku. Topi bulatku, kaca mata dan gelungan rambutku. Poni yang hampir menusuk mata, ku singkap dan ku jepit rapi di belakang dahiku.
Dalam kamar mandi yang juga telah kubersihkan sendiri menjadi mengkilap, aku berkaca di cermin yang menempel di dinding. Ku pandangi wajahku yang kembali ke aslinya. Wajah super cantikku, yang justru sering merepotkanku. Ibuku bilang wajah istemewaku belum ada manfaatnya sama sekali. Karena di usia tanggungku ini, aku belum juga minat untuk bersuami.
Nama asliku dari ibu adalah, Elshe Dindania Usiaku 24 tahun, jomblo dan tentu masih perawan original, karena aku belum pernah berpacaran sekalipun. Aku mempunyai seorang kakak perempuan berusia 29 tahun, namanya Salsa Kandania, nama pemberian dari ibuku juga. Kakakku sangat cantik sekali, bagiku tak ada perempuan yang lebih cantik dari kakakku. Namun banyak orang bilang, aku sebenarnya lebih cantik dari kakak perempuanku.
Sebenarnya hanya penampilanku saja yang tomboy, sedang jiwaku adalah jiwa perempuan sebenarnya yang feminim. Aku hobby naik turun gunung dan keluar masuk hutan. Ibuku bilang, hobbyku sama sekali tak ada guna, berbahaya dan bahkan merepotkan jika saja aku hilang sewaktu-waktu saat mendaki. Padahal, aku telah belajar segalanya dari hobbyku, yang sebenarnya tersembunyi orang-orang hebat di sana.
Ayahku sudah tiada, jadi setatus terbaruku adalah anak yatim sejak tiga tahun yang lalu. Meski yatim, aku tidak pernah dikasihi ataupun disantuni dalam bentuk apapun. Tapi justeru banyak lamaran dari para kerabat dan kenalan ayahku, yang berminat untuk menikahiku.
Itulah sebab aku di sini, mengambil profesi kacung pilihanku. Berharap nyaman sementara dari pelarianku. Akibat pusing berlebih atas tuntutan ibuku yang ingin menantu baru.
Dan Juanlah calon menantu baru incaran ibuku. Anak pak walikota di Malang, kota tempat lahir dan tinggalku. Juan terlalu gencar memepetku, dengan langsung melamar pada ibuku. Inilah cambuk bagiku untuk lenyap dari rumah ibuku.
Aku telah berlayar menuju pulau Batam sesuai tiketku. Bermodal uang tabungan yang tak seberapa, hasil mengumpul dari gaji les privat yang kukerjakan setahun belakangan. Sebagai profesi terakhirku sebelum kabur ke Batam, di kepulauan Riau ini.
Kuterbangun selepas maghrib. Secepat angin berhembus kukejar maghrib yang hampir terlepas, semoga Allah menerima sholatku. Perutku terasa melilit yang hampir seharian tidak makan, padahal hari ini sedang tidak puasa. Pagi tadi terbirit-birit mengikuti sang calo yang akan mengantarku ke rumah megah ini. Nasi kotak yang diberi caloku lupa tak kusambar. Caloku menyuruhku buru-buru seakan takut ketinggalan kereta. Padahal jelas-jelas di pulau Batam tak ada rel kereta!
Baru kusadari jika kamarku sangat horor. Lampunya begitu temaram, bahkan lampu kamar mandi pun tak berfungsi sama sekali alias gelap gulita. Pantas saja kamar ini amat kotor dan tidak ada yang berani menempati. Kurasa hanya dirikulah yang terpaksa harus bernyali untuk tinggal.
Parah lagi, ada kolam kotor di depan kamarku. Saat gelap begini, kolam itu berkilat sebab pantulan sinar dari langit. Kamar dan kolam ini adalah paket seram yang sengaja dihadiahkan untukku.
Namun, aku tidak merasa takut dan tidak ingin terpengaruh. Kerjaku adalah keluar masuk hutan saat gelap melanda bumi di malam hari.
Biasanya aku paling merasa susah payah menahan lapar. Badanku akan berkeringat dingin plus gemetaran saat menahannya. Jika dibiarkan, bisa jadi aku terkapar. Sebelum itu terjadi, aku harus cepat mendapat mangsa apa saja.
Segera kupasang semua atributku. Hanya baby doll panjang ini yang membedakan penampilanku dengan pagi tadi saat apel. Jalanku sangat cepat menuju lorong yang terang. Kuyakini dari sanalah adanya sumber makanan.
Ini adalah motto kami saat naik gunung, di mana ada terang di situ ada jalan untuk makan. Sekilas mirip-miriplah dengan buku Ibu Kartini, habis gelap terbitlah terang. Bangga dong kami sebagai anak gunung!
Yak betul, lampu gemerlap ini berasal dari dapur. Kakiku gegas meluncur ke sana, hanya bayanh makananlah yang terus memenuhi kepalaku.
Dapur seterang ini bisa-bisanya tidak ada orang satu pun. Padahal, bau sedap ini begitu harum. Di mana penghuni dapur, tak ada manusianya mana bisa aku makan, pantang kucuri makanan.
Prang!!!
Bunyi gelas pecah sepertimana pagi tadi. Cepat kuayunkan kaki menuju ruang sebelah dapur. Ck..ck..ck.. Ternyata ruang makan ini begitu luasnya.
Kutoleh di sebelah kiriku, ada barisan serupa pagi tadi. Inikah apel malam?! Hmm,, kerajinan banget euy!
Eits,, mata tajam itu tengah mengirisku, boos besar yang telah memecahkan gelas mahalnya pagi tadi.
"Heh, kau!!!"
Kupelantingkan diriku masuk di barisan paling belakang. Ada tiga barisan yang entah barisan itu di susun berdasar apa, dan aku masuk dalam barisan kategori apa.. Pasrahlah, asal baris saja sudah kan??
"Heh, kau!!!"
Eits! Aku kembali dapat panggilan alam, panggilan si bos yang betul. Kaki ini maju mendekat seperti gayaku pagi tadi.
"Ratih!!!"
Itu nama wanita setengah baya yang tidak menyukaiku, dia juga dapat panggilan alam. Syukurin!
"Mana seragamnya?!!!"
Bos dengan tampang ganteng maksimal itu menatapku dengan ilfil. Aku puas dengan tatapannya, bermakna atribut yang ku pasang ini benar-benar berguna.
Telah kusadari, semua kacung guna seragam sama persis. Warna saja yang berbeda, ada pink, kuning dan biru. Patutlah ada tiga barisan, warna itulah pembedanya. Aku jadi kepo dengan makna tiga barisan warna itu. Nanti sajalah kuselidiki apa makananya yaa,, jika ingat euy..
"Maaf tuan, semua seragam habis stok."
Ratih menjawab dengan gemetaran. Hemmm, dengan kacung baru saja dia berani belagu! Dengan aku tuh, sombongnya minta ampun. Ini baru sama bos ya, belum sama malaikat penjaga kubur, bisa ingin hidup lagi dia kelak!
"Kau berani berbohong?! Seragam anak baru, yang terakhir kabur kemarin, mana?!!"
Suara bos yang sememangnya seksi berat itu menggelegar. Benar-benar menyaingi halilintar.
Halilintar dilawan,, kalah dong si boss! Jangan coba-coba melawan hukum alam ya!! Camkan itu boss!!!
"Turut dibawanya lari juga tuan"
Suara Ratih semakin gemetaran, sedikit kasihan kurasakan. Aduh, ngapain juga aku iba, tidak! Dia tak ada baik-baiknya pun padaku. Sorry saja lah ya!
"Lina!!"
Empunya nama Lina muncul, wanita berumur tiga puluh tahunan. Dari terawanganku, wanita ini baru melahirkan. Aroma terapi minyak telon, semerbak menghembus seluruh ruangan. Aku terlena, serasa ditimang-timang oleh ibuku. Serasa bermain dengan Kimbo, keponakan lelakiku yang cakep. Anak lelaki mbak Salsa, kakakku. Ah, sadar jika itu hanya khayalan yang tercipta karena aroma terapi minyak telon punya Lina. Merana sangat rasanya, tiba-tiba merasa rindu berat pada kota kelahiran!
"Buatkan seragamnya secepat mungkin!!!" boss tampan tetapi galak itu melengking memerintah.
Oh Gusti, bersuara pelan saja apa susahnya?!
Bos besar memandangku teramat sangat sekilas, takut matanya akan juling jika melihatku sebentar saja.
"Siap, warna apa tuan?"
Suara Lina pun tak kalah gemetaran dari Ratih.
"Apa saja, terserah!!!"
Suara bos ganteng itu terlalu sangat garang. Cocok banget pada mukanya yang tegang. Apa gunanya ganteng tapi tegang nggak ada lemes-lemesnya kan?!
Lina telah mengukur size tubuhku di semua bagian. Pengukuran langsung di hadapan bos ganteng meskipun aku tidak diliriknya sama sekali, cukup membuatku jadi kikuk. Tak ada kesempatan untuk memanipulasi size tubuhku barang satu senti meter pun.
Apel malam telah berakhir, apel yang cuma buat ngabsen nama-nama kacung doang. Meski bos kami juga sambil melakukan makan malam di antara kegiatan apel malam. Ah, orang berduit itu manja sekali!
"Heeh, kau!!!" Kembali gelagar suara berat mengudara dan menyambar.
Suara seksi berat itu benar-benar tak ingin ku dengar. Kulirikkan mata ini padanya. Sudah kuduga, lagi-lagi dirikulah yang dipanggilnya. Hah! Malas sangat rasanya jika tak ingat dialah yang akan membayar kekacunganku.
"Bersihkan!" lengkingnya.
Seperti pagi tadi, dengan gerak sapu jagad, kusambar tisu di depannya. Kubersihkan dengan gerak cepat kedua tanganku, sama persis dengan gerakanku pagi tadi.
Momok itu telah datang, lapar gemetaran datang melanda menyerangku. Keringat dingin mengucur deras, tubuhku sukses menggigil tak terkontrol. Aku mulai hilang kesadaran dan sepertinya akan pingsan. Kini aku sedang menderita kelaparan sebenar-benarnya.
Seseorang, tolonglah akuuuuuu .....
Aku tidak juga jatuh pingsan. Rasa lapar ini sungguh berat dan menyiksa, serasa mendekati hipothermia. Tubuhku menggigil, keringat dingin mengucur dan kepala ini seperti kosong tanpa isi. Badanku gemetaran tiada daya, ini benar-benar lapar akut. Serasa saingan saja dengan para penduduk di negara Somalia, malu sekali rasanya!
Dengan kepala kosong tanpa isi dan lupa etika siapa diriku, kupegang erat betis kaki di depanku.
"La,,par...."
Sempat kupandang pemilik kaki itu sebelum tanganku kena kibas kakinya. Aku jatuh terjengkang dan tidak berdaya untuk bangkit . Mungkin saat ini aku ibarat kucing jalanan yang sedang sekarat. Tak ada harga diri lagi. Tubuhku diam tak bergerak, hanya kelopak mata di balik kaca mata buramku yang masih berkedip satu dua kali.
"Ratih!!!"
Sayup kudengar suaranya kembali menggelegar.
"Kenapa ada pekerja busung lapar di sini?!"
Mataku tidak mampu melihat mereka, hanya gelegar suara berat bosku saja yang terus sayup kudengar. Kupasrahkan raga lemah ini pada siapapun mereka. Ada tangan mengambil bahuku yang lalu memberiku minum. Seperti ada kekuatan ghaib merasukiku. Oh air! Kuteguk lama dengan tiada puasku. Namun, tangan baik itu tiba-tiba melepas paksa gelas dari bibirku.
Kini posisiku telah didudukkan. Nampak di depanku telah ada makanan yang begitu tampak menggoda liurku. Kusambar piring penuh nasi itu tanpa ada yang menyuruh. Aku berubah kuat seketika. Tenagaku telah pulih berlipat-lipat. Piring itu telah bersih tanpa sebulir nasipun.
Harga diriku terasa kembali seketika dengan perut penuh berisi makanan. Juga kesadaran penuh yang kembali kuat kurasakan, serasa siap dengan segala peperangan di hadapan.
"Bersihkan itu!!!"
Aku tahu, kaca pecah itu hanyalah tugasku. Kenapa? Jangan coba tanya dulu, sebab aku sama sekali tidak tahu.
Kusambar lembaran tisu di mejanya kembali dan kubersihkan dengan gerak super cepat. Kulempar tisu berisi gelas pecah itu ke keranjang sampah terdekatku dengan bar-bar. Telah kupastikan bahwa lantai itu sudah jadi steril kembali. Mungkin siap menerima pecahan kaca oleh si boss garang esok lagi.
Kupandang nekat bos garangku yang juga sedang dilihatnya aku ke sekian kali dengan tatap ilfil yang parah. Meski kejut jantung ini bertalu, kucoba bermuka batu dengan terus memandang wajah tampannya.
"Kamuu?!!" Boss garang itu menunjuk muka burukku dengan telunjuk kirinya tiba-tiba. Seakan merasa sayang jika tangan kanannya diguna untuk menunjukku.
"Iya, saya, Boss??" tanyaku terheran.
"Tiap kau lambat, gelas-gelas ini akan melayang. Apa kau suka bersih-bersih dengan tidak ada guna?!" tanya si boss menggelegar.
Kini jadilah kupahami, kenapa gelas itu ambyar begitu saja hari ini. Bos anti dengan perkara kata lambat. Bukan saja dia, sebenarnya akupun anti lelet. Itu sama sekali bukan salahku, tetapi salah toke pengantarku Namun, sadar diri akan posisi kacungku, bibir dan mulut ini benar-benar kukondisikan agar bungkam.
"Maafkan saya Tuan, saya berjanji tidak akan mengulangnya lagi."
Berusaha kuberkata tenang dengan suara merduku yang sedang tidak niat kututupi. Bos garang itu menjelingkan matanya padaku sekilas. Lalu berlalu pergi dari hadapanku dengan wajah keras dan sekaku tongkat besi.
"Bagaimana keadaanmu, apakah masih lapar dek?"
Ada suara halus yang menegur di sampingku. Milik wanita berkerudung dan kurasa seusia Lina. Tampaknya kacung baik, bisa sopan kepadaku. Akupun mengangguk senang padanya, memang betul, perutku telah kenyang dan sangat hangat rasanya.
"Trims kak."
Dia sangat berjasa padaku hari ini. Kan kuingat hingga kapanpun tentangnya.
"Nama kakak siapa? Aku Elshe." Kupandang hangat redup pada wajah ademnya.
"Welvia." Perempuan berwajah keibuan itu menyebut namanya sambil tersenyum.
Welvia dari kota Padang, Sumatera Barat. Enam tahun di atasku, usianya sudah tiga puluh tahun.Jadi, aku akan memanggilnya uni, uni Welvia. Orangnya lembut dan kuyakin sikapnya akan baik luar dalam. Aku ingin berteman dengannya.
Uni Welvia seorang kacung dapur, alias koki. Aku berteman dengan orang yang tepat. Tidak banyak pun tak masalah dan satu saja oun cukup. Terlebih orang yang berkuasa di bidang perdapuran, rizqi sekali untukku!
"Hei Kamu!" Ratih melengking padaku tiba-tiba.
Aku menatapnya, kuikuti langkahnya ke dapur. Disuruhnya aku cuci piring segunung. Itu bukan masalah bagiku dan hal sepele yang mudah kulakukan.
Uni Welvia menemuiku.Tersenyum menghibur hatiku. Kubalas dengan senyum termanisku.
"Jangan khawatir uni, ini hal biasa," sahutku menenangkan.
Piring dan peralatan memasak yang menggunung di wastafel super panjang, ku habiskan tidak sampai tiga puluh menit. Jangan heran, aku adalah mantan asisten pribadi ibuku, sedang ibuku punya usaha catering yang lumayan. Jadi soal dapur itu urusan kecil, aku bisa apa saja di sana.
Uni Welvia, kupangggil gadis berumur itu uni Wel, sedang menemuiku lagi sebelum pergi. Diberinya aku sekotak cake, aku senang sekali. Ku lucap terimakasih dengan tulus banyak kali.
"Hei Kamu!" Ratih kembali melengkingku.
Dia menyuruhku membuang sampah. Ku sambar kantong sampah dan kulempar dalam tong besar penampung sampah di belakang. Langsung kuberjalan cepat dan menghindar, tidak ingin mebdebgarkan Ratih melengking lagi.
Kamarku yang remang-remang memang nampak lebih seram. Apalagi dengan adanya kolam ikan di depan kamar ini, semakin berefek dengan merindingnya bulu roma.
Berusaha abai dengan perasaanku, tergesa kutancap kunci sebijiku ke dalam lubang pintu. Berharap kunci ini janganlah hilang dulu sebelum berhasil kuduplikat beberapa. Dengan panjat doa yang selalu kuingat, kumasuki kamar remangku dengan cepat.
Meski terbiasa, berjaga diri tetap wajib bagiku. Sehabis sholat isya, kubaca ayat-ayat illahi secukupnya. Kubaca terus hingga raga ini merebah lelah dan terkapar kaku di kasur.
Tengah malam tiba-tiba mata ini terjaga, kurasa ada benda dingin merayap di perut rataku yang tersingkap. Dapat kuduga itu benda apa. Aku diam tanpa gerak, menunggu ular itu habis menyeberangi perutku.
Kududuk perlahan, dalam remang ku lihat ular sebesar pergelangan tangan menuruni kasurku perlahan. Ular itu merayap cepat, melewati jendela kamarku keluar. Rupanya kolam ikan itulah tujuannya. Ular itu menyelam dan tidak tampak muncul keluar kembali kepermukaan. Kurasa aman lagi meski rasanya sungguh tegang.
Berjumpa ular saat mendaki gunung memang sudah tak terhitung kualami. Awalnya sungguh takut, lama-lama pun terbiasa. Seniorku pernah memberikan tips rahasia menjinak ular disaat terdesak.
Aku berusaha tidur lagi setelah menutup jendela rapat-rapat. Suasana masih selalu remang-remang. Aku mulai terkapar di ranjang menuju alam mimpiku yang gelap, remang dan tegang.
Aku terjaga saat adzan subuh berkumandang dengan pandangan yang masih remang-remang. Terentang sebentar dalam renungan. Kepala ini teringat subuh lima hari yang lalu.
Dengan persiapan apa adanya, aku meluncur kabur dari kamar. Meninggalkan ibuku sendirian dalam rumah di kampung halaman. Tidak tahan dengan bising mulutnya agar aku menikah. Ibu ingin kuterima lamaran anak pak Walikota yang kaya luar biasa, tetapi aku tidak ingin.
Aku berangkat dari kota dingin Malang menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Beruntung kebagian tiket kapal kelas satu pada pagi hari itu. Tiket tujuan pulau Batam yang asal-asalan kubeli begitu saja. Akupun berlayar dan berpura-pura bahagia di lautan dengan penuh tanda tanya.
Dalam perjalanan kapal besar itu, aku berkenalan dengan seorang calo tenaga kerja area Kota Batam. Ah! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku yang galau pun ditolongnya memasuki otorita pulau Batam. Segala urusan dokumentasi, dialah yang menyiasati. Entah, berapa biaya yang dihabiskan untuk mengurusku belum sempat kutanyakan.
Calo lelaki itu menawariku sebuah pekerjaan. Dengan senang hati, kuterima tawarannya untuk memberiku kerja sebagai kacung. Kacung pada sebuah keluarga kaya raya di kota Batam, tepatnya di kota Batam Center. Tentu saja dengan penampilan baruku yang kubuat kumal agar tampak sedekil mungkin.
Maka, di sinilah aku sekarang, di kamar horor remang-remang. Bersemayam di bagian pojokan rumah mewah, megah dan kaya raya orangnya.
Yang hingga sekarang pun, tidak kupaham juga mana saja bosku itu. Hanya bos garang ganteng sajalah yang beberapa kali kulihat di meja makan. Bos serupa robot yang kaku dan tiada hati sama sekali. Eh, benarkah dia seperti itu?? Entahlah..
Tentang bosku, sama sekali tak ku tahu. Bahkan namanya sekalipun. Dalam kertas yang kuparaf tangan itu, hanya ada pihak 1 selaku Bos, dan ada pihak 2 selaku kacung, yaitu diriku. Yang hanya ada nama terangku saja di sana.
Ah, sudahlah, yang penting bagiku adalah menikmati pelarian dan kebebasan sementaraku.
Sambil menyelam minum air. Sambil berlari kumenggali rizqi dan mengumpul uang sebanyaknya! Tapi bagaimana, apa hanya cukup menjadi kacung yang terasa menyiksa jiwa?! Tidak!!! Profesiku sebagai kacung, harus sesegera mungkin kutikung!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!